Jumat, 25 Desember 2009

Sinopsis Buku: Panduan Cepat Menghafal Al-Quran


Panduan Cepat Menghafal Al-Qur'an
Penulis: Ahmad Salim Badwilan
Penerjemah: Rusli
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, 2009

Pernahkah Anda mendengar riwayat bahwa orang yang mampu menghafal al-Qur’an, kelak di alam kubur jasadnya tidak akan hancur dan di akhirat tidak akan tersentuh oleh api neraka?!
Subhanallah...!
Betapa luar biasanya balasan yang disediakan oleh Allah Swt. pada siapa pun yang bisa menghafal al-Qur’an, mengamalkannya secara istiqamah, dan menjadikannya kompas hidup ini.
Namun, jangankan menghafal, sekedar istiqamah membaca dan mengamalkan al-Qur’an dewasa ini sudah menjadi pemandangan yang amat langka. Dunia semakin jauh dari cahaya al-Qur’an, dan akibatnya telah jelas terjadi di depan mata: hati gelisah, hidup berantakan, tatanan sosial buruk, akhlak terpinggirkan, dll.
Hadirnya buku ini memancarkan kesegaran ruhani bagi kita semua, yakni mengenalkan metode praktis dan cepat untuk menghafal al-Qur’an. Juga disajikan rahasia-rahasia kebarakahan dan keajaiban bagi para penghafal al-Qur’an. Dan, yang tak kalah pentingnya, dihidangkan tips-tips bagi para orang tua dan guru bagaimana cara menjadikan anak-anak masa kini cinta pada al-Qur’an, bersemangat mempelajarinya, membacanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ini adalah buku panduan yang amat langka, maka jangan pernah Anda lewatkan begitu saja! Rasakan kedahsyatan metode dan tips-tipsnya!

Sinopsis Buku: 25 Hari Menciptakan Pikiran yang Positif

25 Hari Menciptakan Pikiran yang Lebih Positif, Kuat, dan Membahagiakan 
Penulis: Linda E & Richard P
Penerjemah: Rusli
Penerbit: Think Press, 2008

"Kunci bagi setiap orang adalah pikirannya." Emerson.

"Dari semua pencarian pengetahuan, seorang yang bijak dan baik adalah yang mengutamakan pencarian tentang dirinya sendiri." Shakespeare.

"Langkah pertama menuju pengetahuan adalah dengan menyadari bahwa kita ini bodoh." Cecil.

"Semakin Anda mempraktikkan apa yang Anda ketahui, maka semakin Anda tahu apa yang harus dipraktikkan." W. Jenkin.

"Berpikir adalah pekerjaan yang paling berat. Ini merupakan alasan yang paling masuk akal mengapa hanya sedikit orang yang terlibat di dalamnya." Henry Ford.

Pembeda pertama yang paling tegas antara orang yang gagal dengan orang yang sukses, antara orang yang kecil dengan orang yang besar, dan antara winner dengan looser terletak pada kekuatan pikirannya. Orang sukses, maju, dan ba-hagia pastilah selalu orang yang memiliki pikiran kuat, positif, dan optimistis. Tanpa bekal utama itu, jangan pernah berharap Anda akan menjadi orang bermakna dalam arus kehidupan yang amat kompetitif ini.

Buku ini menuntun Anda meraih bekal utama tersebut, hanya dengan 25 hari yang efektif dan mencengangkan. Simaklah 25 hari tersebut, lakukanlah, Anda akan terperangah dengan hasil yang Anda capai!

Sinopsis Buku: Membaca Masa Depan Anda


Membaca Masa Depan Anda Melalui Kekuatan Pikiran dan Emosi
Penulis: Norman Drummon
Penerjemah: Rusli
Penerbit: Think Press, 2008

Mayoritas Anda pasti akan mengatakan bahwa untuk menjadi pribadi hebat, sukses, diperlukan modal besar, manajemen solid dan disiplin, mitra bisnis yang luas, networking, dll. Ya, Anda memang tak salah. Tetapi, ada satu prinsip pokok yang harus Anda sebutkan pertama kali, sebelum menyebut hal-hal lain, yakni kemampu-an menciptakan koneksitas hati (emosi/psikologi) dan kepala (pikiran/ strategi). Bahwa sesungguhnya titik-pangkal paling dasar yang menentukan kapabilitas dan integritas kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan Anda sendiri dalam membaca, mengelaborasi dan mengaktualisasikan kekuatan emosi dan pikiran Anda sekaligus!

Lantas, bagaimana cara membaca telah seberapa kuatkah koneksitas emosi dan pikiran Anda? Dan, bagaimana pula cara menghadirkan koneksitas emosi dan pikiran tersebut dalam integritas kepribadian dan sekaligus kecerdasan yang sensitif sukses?

Buku ini memberikan panduan sistematis tentang bagaimana mengeksplorasi dan memperluas sumber-sumber, kemampuan-kemampuan, dan potensi-potensi emosi dan pikiran Anda. Prinsip dasar yang ditampilkan buku ini adalah bahwa untuk benar-benar memiliki integritas kepribadian yang hebat, sebagai bekal utama menjadi orang sukses, Anda pertama kali harus melihat ke dalam diri Anda dan membaca kekuatan diri Anda sendiri (self-entrance) yang sesungguhnya. Menge-tahui siapa diri Anda yang sebenarnya dan ke mana Anda akan mengarahkan, itu sangat penting agar kinerja Anda selalu fokus, kreatif, memuaskan, dan produktif.

Dengan menggunakan metode pertanyaan-pertanyaan, latihan-latihan, ilustrasi-ilustrasi, dan teknik-teknik yang detil, buku ini menyediakan cara-cara efektif untuk mengembangkan pengetahuan diri dan kepercayaan diri agar Anda dapat berbuat dan bekerja lebih solid dan positif, mampu menciptakan hasil-hasil yang lebih baik, dan bisa mengatur kehidupan dengan cara-cara yang lebih bernilai, bermakna, dan memuaskan, baik untuk diri Anda ataupun orang lain.

The good news is: dengan membaca buku ini, berarti Anda telah melangkah lebih maju dalam mendobrak masa depan Anda sendiri!

Resensi Buku: Bagaimana Rasulullah Mengelola Sistem Ekonomi


Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi, Keuangan, dan Sistem Administrasi
Penulis: Qutb Ibrahim Muhammad
Penerjemah: Rusli
dari buku al-Siyasah al-Maliyyah li al-Rasul


Kalahnya bangsa Arab dalam perang melawan Israel pada tahun 1970-an telah membuat sebagian kelompok masyarakat mulai menyadari perlunya kembali kepada sumber asasi ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Nabi. Gerakan kembali kepada Alquran dan Sunnah muncul karena beberapa faktor, yang mencakup politik dan ekonomi. Faktor yang pertama terkait dengan kekalahan yang dialami oleh bangsa Arab ketika perang melawan Israel. Anggapan mereka bahwa kekalahan tersebut adalah karena umat Islam tidak lagi berpegang secara sungguh-sungguh kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Selain itu, booming minyak di negara-negara Islam mempercepat gerakan tersebut.
Salah satu agenda penting dari gerakan ini adalah mengislamkan semua aktivitas dan mendasarinya dengan ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah. Di antara yang terkena agenda islamisasi adalah bidang ekonomi demi meng-counter pengaruh ekonomi Barat yang desktruktif yang telah meluas masuk ke dalam urat nadi dan nafas kehidupan umat Islam. Karenanya, muncul banyak pemikir yang menggali konsep ekonomi dan keuangan dari nilai-nilai Alquran dan praktik-praktik Nabi yang terkait dengan aktivitas ekonomi dan keuangan Rasul dalam pemerintahan Madinah. Dalam rentang waktu itu, tampaklah signifikansi buku yang ditulis oleh Qutb Ibrāhīm Muhammad.
Buku yang ditulis oleh Muhammad, al-Siyāsah al-Māliyyah li al-Rasūl, membahas tentang topik politik keuangan dan ekonomi Rasul yang mencakup analisis tentang sebagian ayat Alquran, hadis Nabi dan segala bentuk praktiknya yang terkait dengan ajaran-ajaran tentang politik keuangan negara pada negara Islam awal.
Pembahasan dalam buku ini dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama dimulai dengan menjelaskan unsur-unsur yang menjadi sumber pembentuk politik keuangan negara, yaitu terbentuknya negara yang memiliki pemerintahan, yang mengumpulkan sumber-sumber pendapatan negara dan mengarahkannya kepada pembiayaan publik atau negara dalam suatu administrasi keuangan yang matang demi mewujudkan tujuan-tujuan yang universal. Buku ini membuktikan bahwa Alquran mencakup ayat-ayat yang memperlihatkan setiap unsur politik keuangan negara, dan menjelaskan pula bahwa pengumpulan ayat-ayat ini dan penghubungannya dengan sebagian ayat yang lain menjadi satu kerangka umum yang kuat bagi politik keuangan Islam. Karena kerangka politik keuangan Islam bersumber dari Alquran, maka politik ini ditandai dengan ciri-ciri Alquran yang membedakannya dari berbagai macam politik keuangan yang non-Islam.
Kemudian, dalam bab ini dibahas pula unsur-unsur keuangan negara satu persatu melalui pemaparan, penganalisaan, dan pendukungannya dengan Alquran dan Sunnah Rasul. Unsur pertama yang dibahas adalah terbentuknya negara Islam awal dan pemerintahannya melalui kepemimpinan Rasul, setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan bab ini memperjelas langkah-langkah yang meningkatkan pertumbuhan negara dan turunnya pelbagai kewajiban agama, di antaranya kewajiban ekonomi, yang ikut andil dalam kesatuan umat Islam dan kesempurnaan terbentuknya negara Islam.
Selanjutnya, pada bab-bab berikut, buku ini membahas berbagai macam sumber pemasukan negara, seperti zakat (Bab 2), ghanīmah dan khums (Bab 3), jizyah (Bab 4), dan menjelaskan dasar-dasar kewajiban, orang-orang, kriteria-kriteria harta dan kelompoknya, serta metode penghitungan dan sistem pemasukannya. Karena sumber keuangan khusus ini mendukung pendapatan-pendapatan publik pada masa Rasulullah melalui harta-harta yang diberikannya sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah Swt dan pemenuhan terhadap seruan-Nya demi melakukan jihad keuangan, maka buku ini mengulas penyediaan dana perang melalui harta-harta jihad, rampasan-rampasan (ghanīmah) yang dihasilkan dari perang-perang jihad itu, pengembaliannya kepada negara sesuai dengan ketentuan ayat al-khums (seperlima), dan kesempurnaan pembagiannya di kalangan veteran perang sesuai dengan dasar-dasar yang telah diletakkan dan dipraktikan oleh Rasulullah Saw.
Karena sumber-sumber pemasukan negara ini diarahkan untuk pembiayaan publik dan, dalam Islam terdapat sumber-sumber pendapatan negara yang dialokasikan untuk aspek-aspek pembiayaan terbatas, yaitu sumber pemasukan dari zakat dan seperlima harta rampasan perang, maka bab lima membahas aspek-aspek pembiayaan tersebut satu persatu dengan memperkenalkan dan menentukan pembagiannya, dengan bersandar pada perkataan dan perbuatan yang muncul dari Rasulullah Saw. Sedangkan sumber-sumber pendapatan bebas lainnya yang tidak dialokasikan pada pembiayaan-pembiayaan publik yang terbatas, Alquran menjelaskan berbagai macam layanan publik yang diarahkan oleh sumber-sumber pendapatan umum yang tidak bersifat khusus, dan bagaimana negara Islam awal di bawah pengawasan Rasulullah  mengikuti dan menjalaninya.
Karena gerakan sumber pendapatan dan pembiayaan publik berjalan di bawah administrasi keuangan publik dan yang mengepalainya adalah Nabi Muhammad Saw, maka keuangan publik tersebut tentunya dijalankan melalui inspirasi Alquran dan mendapatkan sinar radiasi dari akhlak Rasul (Bab VI). Bahasan ini menjelaskan contoh-contoh Qurani yang mencakup perencanaan keuangan publik, pengaturan, dan mobilisasi sumber pendapatan dan pengawasannya, serta menjelaskan berbagai contoh yang meliputi asketisisme Rasul dalam harta-harta publik, keadilan ekonomi, dan egaliterianisme beliau dalam bermuamalah, kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan, mempertimbangkan pendapat rakyat dalam hak-hak ekonomi mereka, dorongannya terhadap para pengemban amanah, dan larangannya dari fanatisme ekonomi. Dengan demikian, ia bergerak dalam jalan yang lurus sebagaimana yang diperintahkan Allah, dan karenanya, menjadi contoh yang baik. Umat Islam mematuhi dan mengambil contoh darinya. Untuk itu, administrasi ekonomi publik pun menjadi matang dan bernilai tinggi melalui Alquran dan keluhuran akhlak Rasul.
Dan ketika keuangan negara Islam tidak hanya diterapkan dan dijalankan pada masa-masa Rasulullah saja, tetapi juga pada setiap masa dan zaman, maka pasti ia dapat berubah demi menyesuaikan peradaban-peradaban dari periode-periode yang berbeda dan masa-masa berikutnya serta peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Bagain terakhir buku ini juga mendiskusikan topik tentang pengembangan keuangan publik Islam dan membuktikan kelenturannya serta kapasitasnya dalam menghadapi muamalah, sistem ekonomi, dan metode pembayaran yang baru selama tetap berada dalam kerangka prinsip-prinsip syariat Islam dan hukum-hukumnya.
Buku ini membahas tentang unsur keuangan publik Islam yang terakhir yaitu, pewujudan terhadap tujuan-tujuan publik, ia pula menjelaskan bahwa keuangan publik Islam pada masa Rasulullah ikut serta dalam menyebarkan dakwah Islam, menyediakan dana perang, melembutkan hati banyak orang untuk menganut agama Islam, mewujudkan solidaritas Islami, membebaskan budak, menebus tahanan muslim, membantu orang yang terlilit utang dan orang asing, serta menjamin perlindungan negara terhadap Ahli Kitab.
Kelemahan buku ini terletak pada uraiannya yang begitu membosankan karena sistematika penulisan yang cenderung kali mengulang-ulang. Meskipun begitu, buku ini mempunyai banyak kelebihan, di antaranya adalah ia telah menyingkap secara lengkap tentang bagaimana Rasulullah Saw mempraktikan politik keuangan, ekonomi dan administrasi negara pada pemerintahan Madinah, yang tentunya berada dalam sinaran Alquran dan petunjuk wahyu, yang didukung oleh para sahabat yang tercerahkan, sehingga buku ini cukup menjadi sumber informasi tentang perilaku politik Rasulullah Saw dalam hal keuangan negara.
Untuk lebih utuhnya, daftar isi dari buku tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I     : Kerangka Alquran tentang Keuangan Negara Islam
Bagian 1: Kerangka Alquran tentang Keuangan Negara Islam
Bagian 2: Ciri-ciri Qurani dari Keuangan Negara Islam
Bagian 3: Tegaknya Negara Islam dan Keuangan Negara

Bab II   : Sumber Pendapatan Negara melalui Zakat
Bagian 1: Kaidah-kaidah Umum Zakat
Bagian 2: Harta-harta yang Terkena Zakat
Bagian 3: Penentuan Nilai Zakat dan Perolehannya

Bab III  : Sumber Pendapatan Penaklukan Islam
Bagian 1: Sumber Pendapatan Jihad dan Pembiayaan Perang
Bagian 2: Ghanīmah dari Peperangan dan Detasemen Militer
Bagian 3: Seperlima Ghanîmah dan Harta Karun

Bab IV  : Sumber Pendapatan Negara dari Jizyah dan Sumber-sumber Lain
Bagian 1: Sumber Pendapatan Negara dari Jizyah
Bagian 2: Sumber Pendapatan Negara dari Tanah Pada Masa Rasul
Bagian 3: Sumber Pendapatan Negara Lainnya pada Masa Rasul

Bab V   : Pembiayaan Negara pada Masa Nabi
Bagian 1: Pembiayaan Negara dari Zakat
Bagian 2: Pembiayaan Negara dari Seperlima Ghanīmah
Bagian 3: Pembiayaan Negara yang Tidak Prioritas pada Masa Rasul

Bab VI  : Administrasi Keuangan Negara Islam oleh Rasul
Bagian 1: Pengaturan Kuangan Negara Islam melalui Alquran
Bagian 2: Pengaturan Keuangan Negara Islam melalui Akhlak
Bagian 3: Pengembangan Administrasi Keuangan Negara Islam 

Sinopsis Buku: Misteri Otak Kanan Manusia


Misteri Otak Kanan Manusia
Penulis: Daniel H. Pink
Penerjemah: Rusli
Penerbit: Think Press, 2008


"Jika kelihatannya seseorang di China atau India dapat menyelesaikan pekerjaan anda dengan biaya lebih murah daripada jika anda yang mengerjakannya, atau jika komputer dapat melaksanakannya dengan lebih cepat daripada anda, rahasianya adalah BACA BUKU INI."

Pengacara. Akuntan. Insinyur Software. Itulah apa yang ibu dan ayah kita inginkan untuk kita. Mereka salah. Era dominasi "otak-kiri" telah lewat. Masa depan adalah milik orang-orang yang berbeda dengan pikiran yang berbeda pula: desainer, penemu, guru, pencerita? pemikir "otak-kanan" yang kreatif dan empatik yang kemampuannya membedakan antara mereka yang maju dan yang tidak.

Dengan mengadakan penelitian dari seluruh dunia maju, Daniel Pink memaparkan enam kemampuan pokok manusia yang sangat penting untuk kesuksesan profesional atau personal dan mengungkap bagaimana cara untuk menguasainya.

Dari klub ketawa di Mumbai, sekolah menengah umum yang dikhususkan untuk desain di tengah kota, sampai pelajaran bagaimana mendeteksi senyum yang tidak tulus, buku ini membawa pembaca ke tempat baru yang menantang dan menawarkan jalan baru untuk memikirkan masa depan yang semakin menantang dan kompetitif.

Kamis, 24 Desember 2009

Fikih Ekologi

FIKIH EKOLOGI DAN KEARIFAN TRADISIONAL
(TINJAUAN TERHADAP KONSEP IḤYÂ AL-MAWÂT DAN ḤIMÂ)

Rusli

Abstract: This paper deals with the concepts related to the protection and preservation of ecology. It is argued that the Islamic concern to this issue is significantly great. It is proven by the existence of iḥyâ al-mawât (revival of dead land) and ḥimâ (conservation area), which give serious concern to the protection of land. Both concepts indicate that such malicious acts to lands are seriously prohibited. Otherwise, acts to cultivate lands are necessarily encouraged. Besides, customary laws (‘urf) which are universally friendly to ecology could be used as means of protecting ecology and environment.
الخلاصة:
هـذه المقالة تبحث فى المواضيع الفقهية التى تتعلق بحفظ البيئة. و من المعلوم أن الفقه الإسلامي يهتم بهذه القضية اهتماما كبيرا. ويدل على هـذا وجود مفهومي إحياء الموات و الحمى اللذان يصوران الحفاظ على الأرض. وعلى هـذا فالإضرارعلى الأرض والإغفال عنها من المحظورات فى الإسلام على الإطلاق. و من ناحية أخرى فالإسلام يحث على استصلاح الأراضى للزراعة وما إلى ذالك. علاوة على ذالك فإن العرف الصحيح الـذى يعنى بالمحافظة على البيئة وما فيها يمكن أن يستخدم وسيلة لغاية حماية البيئة وما فيها من مجموعة الكائنات الحية.

Kata Kunci: ekologi, hifẓ al-bî’ah, iḥyâ al-mawât, ḥimâ, ‘urf

Pendahuluan
Masalah ekologi sudah seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai kerusakan terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya menurun, malah semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, penebangan hutan, penambangan dan pabrik kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih banyak yang lainnya, mungkin merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Tentu ketika ditanya apa faktor-faktor di balik ini, jawabannya adalah sederhana. Pertama, pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan bahwa alam beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan hampir banyak didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya.
Lynn White Jr. (1967: 1203-7) mengemukakan sebuah tesis bahwa akar historis ekologis yang dihadapi manusia sekarang ini sebenarnya dapat ditemukan pada agama-agama monoteistik. Misalnya, antroposentrisme (paham yang menganggap manusia sebagai pusat dan puncak segala ciptaan) yang dalam tradisi Yahudi-Kristen sering dikaitkan dengan perintah Tuhan sebagaimana terdapat dalam Bibel “untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya; menguasai ikan-ikan di lautan, burung-burung di udara, dan segala binatang merayap di muka bumi” (Kitab Kejadian 1: 28) telah dipakai sebagai legitimasi teologis atas pelimpahan wewenang dari Tuhan kepada manusia untuk menundukkan dan mengeksploitasi alam secara semena-mena demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam tradisi Yahudi, terdapat pernyataan, “Kamu yang memberikan kekuasaan kepada manusia terhadap hasil-hasil ciptaan-Mu. Kamu telah meletakkan segala sesuatu di bawah kakinya” (Kitab Psalm 8: 6). Dalam tradisi Islam, terdapat ayat, “Allah telah menundukkan kepada kamu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya…” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 13). Tesis White ini kemudian memprovokasi timbulnya wacana tentang ecotheology dalam agama-agama besar dunia.
Kedua, perilaku negatif manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi alam beserta isinya demi kepentingan dirinya dengan menggunakan media sains dan teknologi tanpa mempedulikan hak-hak alam. Seorang filosof Jerman, Nietszhe, menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to power), tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap terhadap alam. Dalam tradisi Marxis ada penekanan bahwa ekonomi menjadi suprastruktur terhadap segala aktivitas manusia. Paham-paham materialis ini semakin memperbesar pemilahan antara subjek-objek, “yang berkuasa dan dikuasai”, yang telah dibuat oleh sains dan teknologi Barat.
Oleh karena itu, persoalan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moral. Maka, penanganannya pun harus melibatkan pertama kali, perubahan paradigma terhadap alam dan lingkungan. Kemudian, melakukan tindakan afirmatif untuk mengembangkan sikap bersahabat dan berbuat baik kepada alam. Tulisan ini berusaha untuk menawarkan solusi tersebut dalam perspektif fikih Islam yang kaya dengan konsep-konsep yang menekankan kebaikan dan keseimbangan manusia dan alam. Ini pada gilirannya dimaksudkan untuk dapat ditindaklanjuti dalam tataran praktis.

Pemeliharaan Ekologi: Tawaran Fikih dan Tindakan Afirmatif
Maqâṣid Sharî’ah: Framework for Action
Dalam kitab I’lâm al-Muwaqqi’în, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1977, II: 14) dengan cerdas menyebutkan bahwa “Sesungguhnya fondasi dan dasar syariat Islam adalah hikmah dan kemaslahatan hamba baik di dunia maupun diakhirat. Syariat Islam itu adalah keadilan, kasih sayang, hikmah dan kemaslahatan. Segala sesuatu yang keluar dari prinsip keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah, menuju kepada kezaliman, perusakan, dan kesia-siaan, bukanlah syariat, meskipun ia dipahami dengan cara ta'wil.” Karena syariat Islam berpijak pada prinsip universal ini, maka berbagai tujuan di balik pensyariatan hukum adalah “menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan”. Prinsip ini kemudian dibagi ke dalam tiga bagian: ḍarûriyyah, ḥâjiyyah dan taḥsîniyyah. Yang dianggap pertama kali merumuskan konsep ini adalah al-Juwaynî dalam kitab al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh (1997: 79-80). Kemudian, konsep ini dielaborasi dengan sangat cerdas oleh al-Ghazzâlî dalam al-Mustaṣfâ min ‘Ilm al-Uṣûl. Ulama berikutnya yang memperluas konsep ini dan mengulas dengan begitu cemerlang adalah al-Shâṭibî dalam al-Muwâfaqât fî Uṣûl al-Sharî’ah khususnya dalam juz ke-2.
Menurut rumusan al-Ghazzâlî dan al-Shâṭibî dengan urutan yang tidak sama, maṣlaḥah ḍarûriyyah ini dibagi ke dalam lima prinsip: ḥifẓ al-dîn (pemeliharaan terhadap agama); ḥifẓ al-nafs (pemeliharaan terhadap jiwa); ḥifẓ al-‘aql (pemeliharaan terhadap akal); ḥifẓ al-mâl (pemeliharaan terhadap harta); dan ḥifẓ al-nasl atau ḥifẓ al-‘araḍ (pemeliharaan keturunan dan kehormatan). Dalam perkembangannya, mengingat permasalahan yang dihadapi umat Islam begitu kompleks, maka pembatasan hanya terhadap lima prinsip pokok ini menjadi dipertanyakan. ‘Aṭiyyah (1997: 79-80) menguraikannya dengan singkat upaya penambahan tersebut dalam bukunya Naḥwa Taf’îl Maqâṣid al-Sharî’ah. Namun di antara penambahan yang mungkin kontroversial yang berkembang dalam wacana global ini adalah ḥifẓ al-bî’ah (pemeliharaan terhadap lingkungan). Pemeliharaan terhadap isu ekologi dan lingkungan ini mendapatkan pijakan Alquran yang kuat, selain fakta juga menunjukkan bahwa berbagai kerusakan terhadap alam menuntut dengan cepat perhatian yang sangat serius dari teks-teks keagamaan.
Misalnya, perhatian Alquran yang kuat terhadap bumi dan perintah untuk memakmurkannya bisa dilihat dari berbagai rentetan ayat dan juga hadis Nabi yang menegaskan perintah untuk menanam dan menyuburkan, dan larangan menyia-nyiakannya. Dalam Alquran kata bumi (‘arḍ) disebutkan sektiar 61 kali (al-Bâqî, 1994: 34-42). Dalam ayat-ayat ini kita menemukan bahwa bumi digambarkan sebagai mahd (QS. al-Zukhrûf [43]: 10), mustaqarr atau qarâr (QS. al-Mu’min [40]: 64), firâsh (QS. al-Baqarah [2]: 22), bisâṭ (QS. Nûh [71]: 19) dan mihâd (QS. al-Naba’ [78]: 6). Menurut hukum Islam, segala tindakan yang membahayakan dan merusak bumi adalah sangat dilarang dalam Islam. Yang dimaksud dengan bumi di sini mencakup tanah, gunung, tanaman, hutan, dan seterusnya. Istilah ‘arḍ juga mencakup makna “tempat yang halus dan mudah untuk manusia berjalan, bekerja, menanam dan memanen, membangun rumah dan pabrik dan melakukan segala sesuatu yang berada dalam batasan-batasannya.” (lihat QS. al-Mulk [67]: 15)
Sebagian ahli tafsir mengomentari ayat di atas dengan berkata bahwa Allah Swt membuat dan mempersiapkan bumi ini sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang cocok untuk membangun rumah buat manusia dan semua makhluk bumi lainnya. Tanah ini mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang dan merupakan asal mula bagi sumber makanan utama buat manusia dan binatang. Ia tidak datang dengan sendirinya, namun karena kehendak dan kekuasaan Sang Pencipta. Tuhan menciptakan manusia untuk menetap di bumi, generasi per generasi. Ia, dengan kebijaksanaan-Nya, menempatkan bumi pada jarak yang sesuai dan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi spesies-spesies yang berbeda untuk eksis dan hidup di atasnya (al-Qurtubi, 1994, XVIII: 205-6; al-Razi, 1985, XXX: 68-9). Malah, tanah, menurut Alquran, dianggap sebagai mati atau kering, ketika tidak ada air hujan yang turun dan keringnya atmosfer yang menyebabkan matinya tumbuh-tumbuhan dan sulitnya kehidupan. Namun demikian, Allah Swt lah yang menghidupkannya dengan mengirimkan air dari langit dan menutupinya dengan pohon dan tumbuh-tumbuhan.
Dari pentingnya isu ini muncul konsep iḥyâ’ al-mawât dan ḥimâ dalam literatur fikih Islam. Bahasan berikut akan mengulas kedua isu ini secara sederhana (Lihat al-Zuḥaylî, 1989, V: 549-587; al-Nawawî, 1996, XVI: 81-130).

Iḥyâ’ al-mawât (menghidupkan tanah mati atau tidak produktif)
Kata iḥyâ’ berarti “menghidupkan” dan mawât berarti “tanah-tanah mati yang tidak ada pemiliknya”. Menurut al-Zuḥaylî (1989, V: 550), kandungan makna dari istilah ini adalah:

استصلاح الأراضى الزراعية أو جعلها صالحة للزراعة برفع عوائق الزراعة من أحجار وأعشاب منها واستخراج الماء و توفير التربة الصالحة للزراعة وإقامة الأسوار عليها أو تشييد البناء فيها

“membuat tanah-tanah pertanian menjadi subur atau menjadikannya cocok untuk ditanami dengan menghilangkan hal-hal yang menghambat penanaman seperti batu-batu dan rumput-rumput, membuat air keluar, menaburkan tanah-tanah yang cocok untuk ditanam, dan mendirikan pagar atau mendirikan bangunan di atasnya. ”

Tujuan dari konsep ini, seperti yang dipahami para fuqaha dan juga dokter, tidak hanya dianggap sebagai sumber dalam ekonomi negara, namun juga sumber bagi kesehatan lingkungan. Memang benar bahwa Islam memberikan perhatian khusus kepada pentingnya tanah. Ini karena, iḥyâ’ al-mawât sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, yang tanpanya tidak ada tumbuh-tumbuhan dan pengolahan yang bisa dikembangkan di atas bumi. Karena tanah mati yang tidak produktif jika diabaikan begitu saja akan menyebabkan degradasi tanah, dan ini pada gilirannya bisa mengancam keselamatan hidup manusia, binatang dan makhluk ciptaan lainnya.
Secara historis, praktik ini pernah ada pada masa Nabi, Khulafâ’ Râshidûn dan juga ‘Umayyah. Sejarawan menceritakan bahwa ketika Nabi berhijrah ke Madinah, sejumlah umat Islam Madinah telah memiliki lahan-lahan pertaniannya sendiri. Nabi tidak hanya mengkonfirmasi kepemilikan tanah, namun ia sendiri juga menetapkan aturan yang positif yang membiarkan tanah tersebut menjadi milik perorangan. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelahnya juga. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb, misalnya, menyerahkan semua lahan Khaybar kepada ratusan orang setelah ia mengeluarkan orang-orang Yahudi dari sana.
Dasarnya adalah hadis: من أحيا أرضا ميتة فهي له(Siapa pun yang tadinya menghidupkan tanah yang tidak dipakai—terlantar dan tidak dimiliki siapa pun—maka tanah tersebut menjadi miliknya”). Hadis ini diriwayatkan oleh Aḥmad dan al-Turmudhi melalui jalur Jâbir b. ‘Abd Allâh. Status hadis ini, menurut al-Turmudhî, adalah ḥasan saḥîḥ Semangat hadis ini memberikan pesan agar tidak membiarkan tanah tidak bertuan atau kawasan terlantar begitu saja. Konsep ini sangat penting sebagai landasan memakmurkan bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Namun untuk konteks sekarang, praktik tersebut tidak bisa begitu saja dilakukan. Namun perlu mendapatkan persetujuan pemerintah atau penguasa, menurut mazhab Hanafî (Yûsuf, 1985: 180). Alasan dari pandangan ini adalah untuk menjauhi berbagai sengketa yang mungkin terjadi dari berbagai klaim yang bertentangan—entah itu antara pengembang iḥyâ’ dan pemilik iqṭâ’. Sedangkan mazhab Mâlik berpendapat bahwa persetujuan dari negara itu penting hanya ketika tanah mati yang tidak berpenghuni (mawât) itu berada dekat dengan perhunian masyarakat. Jika tanah mawât tersebut terisolasi dan jauh dari kampung masyarakat, maka persetujuan dari negara tidaklah begitu penting.
Menurut hemat penulis, dalam konteks sekarang, intervensi pemerintah itu sangat penting demi menghindari terjadinya konflik, karena ḥukm al-ḥâkim ilzâm yarfa’ al-khilâf (putusan penguasa bersifat mengikat dan mengangkat segala bentuk sengketa). Untuk itu, pemerintah dan peraturan perundangan harus aktif dan akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb, misalnya, membuat peraturan perundangan untuk mengambil tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila tidak terlihat ada tanah-tanah yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, pemerintah dapat memproses lahan tersebut agar bisa dialihkan kepemilikannya untuk dijadikan lahan produktif.
Namun demikian, dalam iḥyâ’ al-mawât ada beberapa ketentuan fikih yang perlu diperhatikan, yaitu selain penggarapan tanah tidak berlaku terhadap tanah yang sudah dimiliki orang lain, ia juga bukan merupakan kawasan yang bisa mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum, seperti tanah yang rawan longsor atau daerah aliran sungai yang bisa berakibat berubahnya aliran sungai. Dalam proses iḥyâ’ tersebut, menurut al-Mâwardî (1998, IX: 333-334), diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Karenanya, ia harus dilakukan menurut watak alami dan londisi tanah yang tidak produktif (mawât) tersebut. Jika tanah tersebut masuk dalam kategori tanah pertanian, maka pekerjaan yang diharapkan untuk dilakukan seharusnya mencakup pembuatan batas-batas, pembersihan lahan tanah, dan pengairan.
Ḥimâ (lahan konservasi atau cagar alam)
Dalam literatur fikih, kata ḥimâ mengandung pengertian “lahan terlarang bagi orang lain”. Dasarnya adalah hadis Nabi, yang diriwayatkan oleh Aḥmad, Bukhârî dan Abû Dâwûd: لا حمى إلا لله ورسوله [Semua ḥimâ (lahan konservasi) hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh siapa pun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan penggembalaan hewan ternak. Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, menurut al-Suyuti dan juga para fukaha yang lain, ḥimâ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dari praktik Nabi Muhammad Saw dan khalifah-khalifah pertama: (1) harus diputuskan oleh pemerintahan Islam; (2) harus dibangun sesuai ajaran Allah–yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaintan dengan kesejahteraan umum; (3) harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan; (4) harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya. (Dikutip dalam Llewelyn, 2003: 213)
Secara historis, praktik ini sudah dilakukan Nabi, misalnya dengan membuat ḥimâ di wilayah Naqi’, delapan mil dari kota Madinah, untuk kuda-kuda kaum muslimin. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb membangun ḥimâ Sharaf dan al-Rabadah, yang diperluas oleh Uthmân b. ‘Affân, membentang dari tempat di Rabadah di barat Nejed sampai ke perkampungan Dariyah. Pada tahun 1969, diperkirakan ada tiga ribu ḥimâ, yang mencakup sebuah kawasan luas di bawah pengawasan konservasionis dan berkelanjutan.
Meskipun pada masa Nabi dan setelahnya dimanfaatkan untuk menggembala ternak, namun dalam konteks sekarang, istilah ini bisa diperluas pemahamannya menjadi taman nasional, cagar alam, suaka alam, hutang lindung, dan suaka margasatwa. Di Indonesia banyak ditemukan hima atau cagar alam, di antaranya Cagar Alam Ujung Kulon, Cagar Alam Way Kambas, Cagar Alam Karaeta di Maros, Hima Batang Gading, Hima Gunung Leuser (Aceh), dan sebagainya.

Prinsip al-‘Âdah Muḥakkamah dan Kearifan Lokal
Di dalam kaidah fikih induk, ini masuk ke dalam kaidah kelima yang secara umum mengandung pengertian “Adat bisa menjadi hukum”. Adat kebiasaan, atau dikenal pula dalam bahasa uṣûl al-fiqh dengan ‘urf, yang bisa dijadikan sebagai hukum adalah yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: (1) tidak bertentangan dengan syariat; (2) kemaslahatannya harus bersifat universal, bukan parsial. Kemudian, segala sesuatu yang ditetapkan hukumnya melalui adat, maka ketetapan hukumnya seperti ketetapan hukum melalui nash. (al-thâbit bi al-‘âdah ka al-thâbit bi al-naṣṣ)
Adat, dalam pengertian yang luas, bisa mencakup pula kearifan lokal atau kearifan tradisional. Yang dimaksudkan di sini adalah “semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis” (Keraf, 2002: 289). Jumlah kearifan lokal dari masyarakat adat ini melimpah, karena masyarakat adat membentuk jumlah yang cukup signifikan di dunia. Menurut laporan dari The World Conservation Union (1997) dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat budaya dunia (Keraf, 2002: 282).
Kearifan lokal dari masyarakat-masyarakat adat ini terhadap lingkungan bisa dikatakan hampir sama (universal) di seluruh dunia. Mereka memandang dirinya, alam dan relasi antara keduanya dalam perspektif religius, spiritual. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional sebagai sakral. Atau singkatnya semuanya menekankan berbagai prinsip yang bisa diringkas sebagai berikut:
• Sikap hormat terhadap alam (respect for nature).
• Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature).
• Solidaritas kosmik (cosmic solidarity).
• Prinsip kasih sayang dan kepedulian (caring for nature).
• Prinsip no harm (la ḍarar wa lâ ḍirâr).
• Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.
• Prinsip keadilan dan keseimbangan.
• Prinsip integritas moral.

Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip yang terambil dari kearifan tradisional dari berbagai masyarakat adat bisa dijadikan sebagai ingredient bagi upaya pelestarian ekologi dan penyelamatan bumi. Meskipun penerapannya bersifat lokal [dan terkadang dibungkus pula dengan mitos-mitos], namun mempunyai ajaran-ajaran moral yang bersifat universal terhadap lingkungan. Kita mempunyai berbagai kearifan tradisional dan falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sebenarnya dalam komunitas perkotaan yang modern pun kini tumbuh berbagai kearifan lingkungan, seperti halnya pengelolaan sampah di Banjar Sari Jakarta, Sukunan Yogyakarta, Karah Surabaya, Kassi-Kassi Makasar, dan lain-lain.

Catatan Penutup
Kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yaitu lingkungan rumah, dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan. Rasulullah Saw pernah menyatakan, “Seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan di tanganku ada benih yang akan ditanam, maka saya akan menanam benih itu.” Aksi ini kemudian mesti diperluas jangkauannya hingga lingkungan sekitar, masyarakat dan begitu seterusnya dalam tataran yang lebih luas, agar hal itu bisa menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan tempat-tempat sampah yang organik dan non-organik, agar yang bisa didaur ulang kembali menjadi hal yang berguna, pun perlu diperhitungkan. Di negara-negara lain, seperti di antaranya Australia, hal ini sudah dilakukan.
Tentunya pemerintah dan masyarakat harus bergandeng tangan mewujudkan cita-cita ini. Tanpa adanya partisipasi yang tulus dari segenap masyarakat dan political will dari pemerintah daerah, maka pewujudan lahan konservasi (ḥimâ) dan pengembangan tanah-tanah tidak produktif (iḥyâ’ al-mawât) tidak akan bisa terwujud.

Daftar Pustaka
‘Aṭiyyah, Jamâl al-Dîn, Naḥwa Taf’îl Maqâṣid al-Sharî’ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001
al-Bâqî, Muḥammad Fu’âd ‘Abd., al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfâẓ al-Qur’ân al-Karîm bi Ḥâshiyat al-Maṣḥaf al-Sharîf, Beirut: Dâr al-Fikr li al-Ṭibâ‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzî‘, 1994
al-Jawziyyah, Ibn Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Juz 3, Cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Fikr, 1977
al-Juwaynî, Abû al-Ma’âlî, al-Burhân fi Uṣûl al-Fiqh, Jilid 2, Taḥqîq: Ṣalâḥ b. Muḥammad b. ‘Uwayḍah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002
Llewelyn, Othman. “The Basic for a Discipline of Environmental law” dalam Islam and Ecology, R.C. Foltz, F.M. Denny and A.Baharuddin (Eds), Cambridge: Harvard University Press, 2003
al-Mâwardî, Abû al-Ḥasan, al-Ḥâwî al-Kabîr, Maḥmûd Satrajî (ed), Jilid 9, Beirut: Dâr al-Fikr li al-Ṭibâ‘ah wa al-Nashr wa al-tawzî‘, 1994
al-Nawawî, Imam, al-Majmû’ Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid 16, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Aḥkâm al-Qur’ân, Muḥammad Ibrâhîm al-Hafnawî (ed), Jilid 18, Cairo: Dâr al-Ḥadîth, 1994
al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtîḥ al-Ghayb, Jilid 30, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985
al-Shâṭibî, Abû Ishâq Ibrâhîm, al-Muwâfaqât fî Uṣûl al-Sharî’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt
White Jr, Lynn., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis”, Science, Vol. 155, No. 3767, (10 Maret 1967): 1203-7
Yûsuf, Abû Ya‘qûb b. Ibrâhîm, Kitâb al-Kharâj, Iḥsân ‘Abbâs (ed), Kairo: Dâr al-Shurûq, 1985
al-Zuḥaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu Jilid 5, Cet. Ke-3, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989.

Dosen STAIN Palu. Artikel sudah diterbitkan dalam Jurnal Hunafa, STAIN Palu Vol. 5, No.3, Desember 2008, 300-310.

Brief Review


Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer  
Penulis: Rusli, et.all
Pengantar: Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah  
Penerbit: Pustaka Pelajar, Desember 2009
ISBN 978-602-8479-76-9. (561 hlm.)  

Buku ini berbicara tentang berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam di berbagai tempat, seperti pluralisme , HAM, demokrasi, gender, teologi pembebasan, oksidentalisme, hermeneutika, local culture, lingkungan hidup, dialog agama dan peradaban, yang tentunya sulit dipecahkan hanya dengan pendekatan normatif. Di sini perlu inkorporasi berbagai pendekatan ilmu sosial dan humaniora untuk membedahnya. Dalam buku ini, ditampilkan berbagai pendekatan kontemporer yang dimulai, terutama mengulas basis filosofis studi Islam kontemporer beserta metodologi dan pendekatan studi yang dapat digunakannya. Kemudian dibahas pula tentang HAM dalam perspektif intelektual Muslim kontemporer serta berbagai tren dalam Islam.

Fikih Anti-Korupsi

Fikih Anti-Korupsi
Pencegahan Korupsi dalam Perspektif Fiqh Islam


Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc

Abstract: this paper deals with the corruption, its nature and causes, from a sociological point of view. It also concerns with the prevention of corruption from the perspective of Islamic law (fiqh). It is assumed that corruption is like a virus which endangers a social order of society. Its basic causes cannot be separated from the objective and material environments—social, economic, political and physical—which have spurred the outbreak of corruption. The solution for the prevention of corruption from the perspective of fiqh might be, among others, setting the high standards of morals for the public offices, such as presidency, bureaucracy, magistracy, judiciary, etc.; establishing the tribunal of madhâlim ("grievances") which deals with the abuse of power and corruption committed by the ruling groups; and law enforcement of anti-corruption system. Furthermore, there must be moral movements which perform the task of like-muhtasib, that is, al-amr bi al-ma'rûf wa al-nah 'an al-munkar [to command the good and forbid the bad].

الخلاصة: وتحاول هذه المقالة على البحث فى قضية "الفساد المالي" (corruption) وخصائصه وأسبابه على ضوء علم الإجتماع وهي تبحث أيضا فى منعه على ضوء الفقه الإسلامي. وقد يقال أن الفساد المالي كالفيروس التى تفسد النظم الإجتماعية. وهذه الظاهرة لا تنفصل عن الأوضاع والحالات الإجتماعية و الإقتصادية و السياسية وغيرها التى تسبب الفساد المالي. و ربما الحلول فى هذه القضية على ضوء الفقه الإسلامي منها:الأول اشتراط القيم الخلقية العليا للوظائف الحكومية كرؤساء الهيئات العليا للدولة و القضاء. و الثانى بناء قضاء المظالم الذى يفحص و يقضى على سوء استعمال الوظائف الحكومية و القضائية. و الثالث تطبيق النظم القادرة على دفع الفساد المالي واجتنابه. و علاوة على ذلك لابد من التحركات الأخلاقية و الإجتماعية التى بذلت جهدها للدعوة إلى الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.

Key Words: korupsi, qâdî, moral, madhâlim, hisbah, fit and proper test

PENDAHULUAN
Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang bahayanya begitu menular. Keberadaaannya ibarat sebuah virus yang bisa hidup di mana saja, bahkan di dalam seluruh lini kehidupan masyarakat. Ia bisa masuk ke dalam pranata-pranata jalanan hingga institusi-insitusi birokrasi dan pemerintahan. Dari pemerasan dan pungutan liar di perempatan jalan hingga penggelapan dan manipulasi uang milyaran bahkan trilyunan di lembaga-lembaga birokrasi negara. Hampir semua orang rentan dan berpeluang besar terkena virus ganas ini, bahkan hingga intelektual-intelektual yang sering menyuarakan clean-governance (pemerintahan yang bersih dari korupsi dan penyimpangan wewenang) dan tokoh-tokoh ulama yang kerapkali dipandang sebagai penjaga gawang moralitas masyarakat sekalipun.
Tentu saja, kemunculan korupsi tidak muncul dalam ruang yang hampa. Lingkungan material dan realitas objektif seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik, ikut menjadi pemicu dan pelanggeng tindakan dan perilaku korupsi. Ketimpangan-ketimpangan sosial, kemiskinan, krisis-krisis dan kesulitan-kesulitan ekonomi, ketidakcukupan gaji dan upah yang diterima oleh buruh dan pekerja, bisa menjadi lahan subur dan ruang yang kondusif bagi munculnya virus ini. Demikian pula, kondisi politik yang tidak sehat yang diwarnai dan ditandai dengan merebaknya nafsu politik kekuasaan membuka peluang menjamurnya sikap mental dan perilaku korup yang tidak akan pernah bisa dihilangkan secara total seperti diantaranya, money politics (politik uang), akan tetapi hal itu mungkin saja bisa dikurangi dan diawasi dengan seperangkat sistem hukum yang sehat dan kuat. Budaya instan (instant culture), jalan pintas dan sikap mental suka menerabas dan melanggar aturan, serta depolitisasi agama yang semakin mendangkalkan iman, semuanya menjadikan korupsi semakin lebih subur dan bahkan sulit diberantas, di samping tentunya karena banyaknya segmen masyarakat dan komponen bangsa yang secara sadar atau tidak sadar juga ikut terlibat dalam melanggengkan dan memperkuat tindak korupsi.
Tentunya, mengingat begitu meluas dan mewabahnya praktik korupsi ini beserta pengaruh yang ditimbulkannya, banyak kajian dicurahkan untuk mengkaji isu korupsi serta menganalisa akar penyebab dan solusi yang bisa ditawarkan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya praktik ini. Tulisan ini mencoba meneropong korupsi sebagai sebuah fenomena sosial dengan pendekatan sosiologis, yang kemudian mencoba melacak nilai-nilai dan norma-norma yang mungkin ditawarkan oleh fiqh demi mencari solusi pencegahan korupsi. Dalam penelusuran norma-norma dan nilai-nilai yang bisa dijadikan pencegah korupsi, yang menjadi sumber rujukan adalah kitab-kitab fiqh klasik, terutama yang terkait dengan siyâsah shar'iyyah dan qadâ' (peradilan).

What is corruption?

Sebelum lebih jauh membahas tentang korupsi, terlebih dahulu kita perlu memberikan klarifikasi makna dari kata "korupsi". Kata korupsi merupakan derivasi dari bahasa Inggris, "corruption" atau "to corrupt" yang berarti "to change from good to bad in morals, manners, or actions" [berubah dari baik ke buruk dalam hal moral, sikap dan tindakan]. Robert Klitgaard mendefinisikannya dengan "penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi" (misuse of office for personal gain). Pemakaian kata ini berbeda di sepanjang negara dan masa, dan pada tempat dan waktu tertentu, hukum dan kebiasaan mungkin saja tidak sama. Namun demikian, adalah menakjubkan bahwa di sepanjang sejarah, dan di seluruh dunia saat ini, orang cenderung menyepakati tindakan-tindakan tertentu sebagai tindakan yang "korup", seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Dalam bahasa Arab, sulit mencari padanan yang tepat untuk kata ini. Sebagian menyebutnya dengan rishwah [suap], suht, akl al-amwâl bi al-bâtil (makan harta secara tidak legal), ghulûl, ikhtilâs, dan al-fasâd al-mâlî. Semua pengertian tersebut dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang terdapat dalam korupsi. Secara ilustratif, misalnya, kita dapat menyebut "korup" kepada seorang pegawai negeri yang menerima hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian yang diberikan oleh seseorang dengan maksud merayunya untuk memberikan perhatian yang khusus kepada kepentingan-kepentingan si pemberi hadiah (suap: bribery, rishwah). Pemerasan (extortion), yaitu meminta hadiah atau pemberian untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban publik juga bisa dianggap "korupsi". Malahan, istilah ini terkadang diterapkan kepada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang berada di bawah pengawasan mereka demi kepentingan mereka sendiri, atau, dengan kata lain, orang yang bersalah karena penggelapan dengan mengorbankan badan-badan publik atau negara.
Fenomena lain yang dapat dimasukkan ke dalam kategori "korupsi" adalah pengangkatan keluarga terdekat, teman-teman atau kawan-kawan politik untuk jabatan-jabatan publik tanpa melihat kepada prestasi, kapabilitas, kredibilitas, integritas dan kualitas moral dari orang-orang yang diangkat tersebut, serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya terhadap kesejahteraan publik. Ini lah yang disebut dengan "nepotisme". Singkatnya, dalam pengertian ini, ada tiga hal yang masuk ke dalam kategori "korupsi": penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme (nepotism). Meskipun ketiganya tidak sepenuhya dapat dikatakan identik, namun mereka dapat dimasukkan ke dalam satu kolom.
Pada praktiknya korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. Tidak bisa dikatakan korupsi, misalnya, dalam kasus pencurian. Para pelaku korupsi sebenarnya tidaklah begitu eksis, dan kasus-kasus tersebut biasanya juga cenderung bernuansa penggelapan. Ia melibatkan dua fihak yang saling mendapatkan keuntungan, yaitu fihak yang mampu menentukan dan mempengaruhi kebijakan dan fihak yang berkepentingan. Kedua fihak ini berupaya menyembunyikan aktivitas-aktivitas mereka dengan mencari bentuk justifikasi yang legal. Mereka menjauhi benturan terbuka dan terang-terangan dengan hukum. Tindak korupsi ini dilakukan secara rahasia, yang biasanya mengandung kecurangan dan penipuan terhadap badan publik atau masyarakat umum, dan ia juga melanggar norma-norma kewajiban dan tanggungjawab dalam tatanan sipil. Ia lebih didasari pada keinginan yang disengaja untuk mensubordinasikan kepentingan umum demi kepentingan tertentu. Ini lah yang menjadi karakteristik dominan dari korupsi.
Lalu, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ini? Tentu saja jawabannya tidak sesederhana yang dibayangkan, karena tidak semua wilayah dan negara memahami makna korupsi secara sama.. Di sini perlu dilihat faktor-faktor kultural dan struktural. Alatas secara umum menyebutkan faktor-faktor umum yang menyebabkan terjadinya korupsi, sebagai berikut: (1) ketiadaan atau lemahnya kepemimpinan pada posisi-posisi penting yang dapat memberikan inspirasi dan pengaruh kepada perilaku-perilaku korupsi; (2) lemahnya ajaran-ajaran dan norma-norma keagamaan dan moral-etika; (3) rendahnya tingkat pendidikan; (4) meluasnya kemiskinan; (5) ketiadaan standar-standar sangsi penghukuman yang tepat; (6) ketiadaan lingkungan yang kondusif bagi muncul dan berkembangnya sikap mental dan perilaku anti-korupsi; (7) struktur pemerintahan yang tidak sehat; (8) perubahan-perubahan yang radikal. Ketika sebuah sistem nilai mengalami perubahan yang radikal, maka korupsi akan muncul sebagai sebuah perasaan transisional yang tidak nyaman; (9) keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi merefleksikan totalitas masyarakat.
Tentunya, faktor-faktor ini tidaklah cukup menjelaskan fenomena korupsi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Masing-masing wilayah memiliki perbedaan dengan yang lainnya dalam hal keunikan dan kompleksitasnya. Fakta menunjukkan bahwa korupsi adalah masalah yang sangat kompleks sehingga faktor pemicunya pun tidaklah sederhana. Namun demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor yang disebutkan Alatas di atas paling tidak bisa dikatakan sebagai unsur-unsur dasar dan umum bagi pembentuk dan pemicu munculnya korupsi.

Sekilas Pandang Tentang Teori Korupsi
Dalam sejarah pemikiran Islam, di antara ulama yang pernah menyentuh pembahasan tentang korupsi adalah 'Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn (1332-1406) dalam kitabnya yang terkenal al-Muqaddimah. Ia dikenal tidak hanya sebagai penemu sejarah dan sosiologi ilmiah, namun juga ulama yang mempelajari tentang masalah korupsi. Ia bukanlah seorang teoritisi yang hanya duduk di belakang meja, namun juga seorang tokoh publik yang aktif dan pernah menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan, bahkan pernah mengalami penahanan dan berbagai perubahan nasib dan keberuntungan. Selama ia menjabat sebagai seorang hakim (qâdî) ia berupaya menghilangkan praktik korupsi dan suap, namun upayanya gagal, dan bahkan malah ia dipecat dari jabatannya. Ia beranggapan bahwa akar dan sebab mendasar dari perilaku dan praktik korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah di kalangan kelompok elit yang berkuasa. Untuk memenuhi biaya hidup mewah tersebut kelompok elit ini mencari jalan pemenuhan melalui cara-cara korupsi. Praktik-praktik korupsi yang dilakukan kelompok elit ini kemudian menimbulkan terjadinya kesulitan-kesulitan ekonomi, dan kesulitan-kesulitan ini pada gilirannya menyebabkan munculnya korupsi lanjutan. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu kelompok yang memerintah dan penanggulangannya harus pula melibatkan seluruh kelompok tersebut.
Teori lain adalah yang dikembangkan oleh Syed Hussein Alatas (1999) yang cenderung melihat segelintir tokoh yang berintegritas tinggi untuk pemberantasan korupsi. Teori Alatas adalah hasil refleksinya terhadap gejala korupsi di Asia, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Menurut Alatas, korupsi dalam suatu masyarakat, bangsa atau negara bisa berkembang dari stadium pertama ke stadium kedua dan selanjutnya ke stadium ketiga. Namun demikian, suatu masyarakat, bangsa, atau negara (yang sudah memasuki korupsi stadium ketiga) masih bisa diselamatkan dari kanker korupsi apabila masih ada segelintir orang yang punya integritas moral yang tinggi yang memimpin kampanye anti korupsi di dalam masyarakat, bangsa, atau negara tersebut.
Di sisi lain, Wiliam J. Chambills melihat korupsi sebagai satu bagian integral dari sistem birokrasi dan akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi, yang merupakan suatu intrik dari kelompok yang tertutup [cabal]. Pendekatan Chambliss adalah hasil refleksi terhadap munculnya cabal di sebagian besar kota di Amerika Serikat, khususnya di Seatle. Menurutnya, kejahatan terorganisir adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi. Kejahatan terorganisir itu kemudian membentuk suatu cabal yang meliputi unsur-unsur (a) pengusaha, (b) birokrat dan politisi, (c) aparat penegakan hukum. Cabal sukar diterobos dari dalam (berkat kolusi yang kuat antara para pengusaha dengan politisi dan aparat penegak hukum), dan juga sukar ditembus dari luar (karena "ikan-ikan teri" yang dikorbankan untuk diadili dan dihukum tetap dilindungi oleh "ikan-ikan kakap" yang tetap tak terjamah oleh aparat hukum di luar atau di atas cabal itu).
Selanjutnya, Milovan Djilas merumuskan sebuah teori tentang munculnya kelas baru (new class) di negara-negara sosialis. Teori Djilas merupakan hasil refleksinya terhadap keadaan Uni Soviet dan Yugoslavia dimana “kelas baru” itu timbul akibat konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi di tangan satu elit nasional yang dipilih oleh Komite Sentral Partai Komunis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di dalam sistem-sistem politik ekonomi yang monolitik, dalam arti, dikuasai oleh suatu partai tunggal, akan timbul suatu kelas baru, yang meliputi para birokrat, kader partai tunggal tersebut, yang menguasai politik, ekonomi dan bahkan juga alat-alat reproduksi ideologis sistem politik ekonomi itu. Konsentrasi kekuasaan ini lah yang kemudian menciptakan mudahnya terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dari semua teori di atas, paling tidak dapat dikatakan bahwa korupsi terjadi jika terjadi pemusatan kekuatan politik dan ekonomi pada satu tangan. Mereka ini lalu membentuk suatu koalisi yang kuat yang sulit ditembus, yaitu antara birokrat, aparat hukum, dan penguasa ekonomi. Tokoh-tokoh elit yang berada dalam kelompok elit ini adalah mereka yang mengagungkan pola dan gaya hidup mewah sehingga tidak segan-segan mengorbankan nilai-nilai moral dan etika demi memenuhi hasrat dan kepuasan mereka.

Pergumulan Korupsi dalam Realitas Masyarakat Muslim
Dalam dunia Islam, masalah korupsi ini bukan hal yang asing dan baru. Ketika terjadinya peralihan kekuasaan dari al-Khulafâ' al-Râshidûn ke tangan Dinasti Umayyah, cikal bakal praktik dan perilaku korupsi mulai menampakkan diri secara terang-terangan. Mu'âwiyah ketika mengambil alih kekuasaan dari 'Alî secara tidak fair, mulai melakukan banyak penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dengan cara mengangkat keluarga dan orang-orang terdekatnya kepada jabatan-jabatan penting (nepotism). Dan ini kemudian diikuti dengan sebagian khalifah yang cenderung terikat dengan orientasi hidup keduniawian dan gila kepada gaya dan pola hidup mewah, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini, mereka seringkali mengabaikan nilai-nilai agama dan moral-etika untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara-cara yang tidak bermoral. Fakta ini membenarkan teori yang dikemukakan oleh Ibn Khaldûn yang menekankan akar korupsi pada nafsu hidup mewah di kalangan penguasa.
Pada masa Abbâsiyyah, korupsi juga mewabah di lembaga-lembaga dan praktik-praktik hukum. Para hakim dan qâdî banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Penjualan jabatan hakim dan jabatan-jabatan yang terkait seperti di antaranya, juru tulis, adalah satu contoh yang sangat umum. Dari abad ke-4 hijriah, kata Tyan, korupsi tidak lagi bersifat insidental, tetapi sistematis. Salah seorang Hakim Kepala, Ibn al-Furât, misalnya, menjual jabatan hakim kepada orang-orang yang bahkan tidak memiliki sedikitpun pengetahuan tentang hukum dan bahkan mempunyai moral yang sangat meragukan. Jabatan-jabatan publik lainnya seperti shurtah (kepolisian), hisbah (inspeksi pasar), juga sama-sama diperjualbelikan. Proses penjualan jabatan-jabatan ini menjadi diformalkan dan resmi, dalam arti bahwa kontrak-kontrak penjualan dibuat dan disusun, syarat-syarat pun ditetapkan, dan wilayah-wilayah kewenangan dan keuntungan pun dirinci secara khusus. Pada tahun 932, Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Abî al-Shawârib mengambil jabatan hakim agung dengan bayaran sejumlah uang yang telah disepakati. Keluarga Abû al-Shawârib ini memegang jabatan hakim selama beberapa generasi. Pada tahun 961, Wazîr Mu'izz al-Dawlah menjual jabatan yang sama kepada saudara Muhammad dengan sejumlah uang 2000 dirham pertahun.
Harta-harta anak yatim yang berada dalam perwalian, orang-orang cacat dan sakit mental adalah yang paling rentan terkena penggelapan oleh para hakim dan juga wali negara yang ditunjuk. Satu contoh tipikal adalah seorang hakim agung Mesir pada peralihan abad ke-5 hijriyah, yang berkonspirasi mengambil harta seorang gadis yang kaya. Ia merekayasa empat orang saksi yang membawa kasus tersebut ke pengadilan yang membuktikan bahwa gadis tersebut menggunakan hartanya secara tidak bertanggung jawab, dan sebagai seorang yang boros, gadis itu kemudian dimasukkkan ke dalam kategori "orang yang tidak cakap" (incapable) yang terkena perwalian pengadilan.
Tampak di sini bahwa sebagian besar penyalahgunaan wewenang dan korupsi terjadi pada kelompok elit kekuasaan, terutama para hakim dan qâdî. Oleh karena itu, Abû Yûsuf dalam Kitâb al-Kharâj menasehati khalifah agar bersikap hati-hati dalam hal mengenai siapa yang ia percayakan untuk mengurus dana-dana wakaf buat anak-anak yatim dan orang-orang cacat, karena menurut Abû Yûsuf, sebagian besar qâdî tidak dapat dipercaya, dan para stafnya juga bahkan tidak ragu-ragu melakukan penggelapan dana tersebut.
Namun demikian, tidak semua ulama terjerembab ke dalam kenikmatan menduduki posisi sebagai hakim atau qâdî. Ada sebagian ulama yang sangat antipati terhadap sikap dan perilaku korupsi kelompok penguasa dan tidak senang ditawarkan atau memegang posisi yang rentan penyalahgunaan dan penyimpangan ini. Ekspresi yang paling kentara dari sikap menentang korupsi adalah boikot terhadap jabatan hakim atau qâdî. Sebagian ulama menjauhi dan menghindari penunjukkan dan pengangkatan sebagai qâdî. Bahkan, banyak ulama yang saleh cepat-cepat hijrah dari Mesopotamia menyeberangi Syiria menuju Arabia demi menjauhi jabatan-jabatan ini seperti, diantaranya, Sufyân al-Tsawrî, yang meninggal di persembunyian, dan Abû Hanîfah yang tidak mau menerima jabatan qâdî yang ditawarkan oleh Khalifah al-Mansûr, sehingga akhirnya ia ditahan dan dicambuk. Muhammad bin Idrîs al-Shâfi'î juga tidak mau menerima jabatan ini ketika Khalifah al-Ma'mûn memintanya. Jauh sebelumnya, di kalangan sahabat sendiri, seperti 'Abdullâh ibn 'Umar menolak permintaan Khalifah Utsmân agar ia menduduki posisi sebagai qâdî.
Contoh lainnya yang populer adalah Ahmad bin Hanbal (750-855), seorang pendiri salah satu mazhab pemikiran hukum terbesar dalam Islam. Ia dikenal sebagai seorang yang tidak pernah kompromi terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia pernah dicambuk dan dipenjara oleh Khalifah al-Mu'tasim karena menolak untuk menyepakati sebagian masalah-masalah teologis [tragedi mihnah]. Ia benci jabatan hakim, dan tidak begitu suka menerima hadiah-hadiah dari istana dan penguasa. Oleh karena itu, pernah ia memutuskan komunikasi dengan anak-anaknya selama dua atau tiga bulan hanya karena mereka secara diam-diam menerima hadiah-hadiah dan uang dari Khalifah.
Salah seorang pengikut mazhab Hanbali yang juga sangat gigih dan konsisten menyerang praktik korupsi dari elit kekuasaan adalah Ahmad Ibn Taimiyyah. Musuh-musuhnya adalah para hakim senior dan syaikh-syaikh tarekat sufi. Ibn Taimiyyah hidup pada masa kekuasaan Dinasti Mamlûk pada penghujung abad ke-13 dan 14, yang mana pada masa ini penyalahgunaan kekuasaan dan penyuapan kekuasaan begitu maju dan meluas. Sistem kekuasaan, persaingan dan perjuangan untuk mendapatkan pemasukkan keuntungan memperpanas dorongan untuk melakukan pemerasan fiskal dalam berbagai bentuknya, yaitu melalui penyuapan, pemberian hadiah, dan upeti. Kejahatan dan degradasi moral, berdasarkan standar hukum dan etika Islam, menjadi terlembagakan dalam negara, misalnya, dengan memberikan izin dan mengambil pajak dari tempat-tempat pelacuran dan kedai minuman keras. Tidak aneh jika Ibn Taimiyah tidak mau menerima jabatan hakim, bahkan sangat marah dengan situasi ini, dan kemudian melakukan gerakan reformasi yang tampaknya kurang begitu berhasil pada masa itu.
Di samping itu, ia juga menentang keras segala bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh para elit penguasa yang sibuk memperkaya diri sendiri sehingga meninggalkan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Dalam bukunya al-Siyâsah al-Shar'iyyah fi Islâh al-Râ'î wa al-Ra'iyyah, ia menulis:
"… para pemimpin sibuk memperkaya diri mereka sendiri dari rezeki yang dianugerahkan Allah untuk semua hamba-Nya. Matahati dan pikiran mereka telah dibutakan oleh harta yang melimpah, hingga kewajiban yang harus mereka tunaikan mereka tinggalkan, sedangkan larangan yang harus ditinggalkan mereka kerjakan."
Demikian juga, demi menghindari terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, Ibn Taimiyyah menasehati penguasa untuk memilih sebagai pejabat (gubernur, jenderal, pemimpin shalat, kepala desa) orang-orang yang sesuai dengan kapabilitas dan kredibilitasnya. Khusus berkenaan dengan jabatan hakim atau qâdî, seorang penguasa harus memilih kandidat yang tebaik. Memilih orang yang tidak cakap dan tidak mampu, bagaimanapun juga, merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kepercayaan (abuse of trust). Karena, menurut Ibn Taimiyyah, jika para pejabat ini sehat moral, intelektual dan spiritualnya, tentu segala sesuatu dalam masyarakat akan menjadi baik. Sebaliknya, jika kualitas moral, intelektual, dan spiritual mereka tidak sehat, maka mereka akan melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sehingga hal itu pada gilirannya akan menyebabkan perusakan yang berkelanjutan terhadap masyarakat yang ini tentunya sulit untuk dihilangkan. Pernyataan Ibn Taimiyyah ini pada dasarnya merupakan sebuah serangan pedas yang diarahkan terhadap nepotisme yang memang benar-benar menjamur pada masa itu.
Kita perlu menggarisbawahi bahwa "korupsi" dalam konteks masyarakat Islam tidaklah menunjuk kepada kelemahan-kelemahan moral individu namun kepada keseluruhan sistem, sehingga orang yang saleh pun akan kesulitan untuk bertahan hidup. Karena itu, dalam lintasan sejarahnya akan selalu ada hakim-hakim yang saleh, jujur dan memiliki integritas moral yang tinggi, namun keberadaan mereka akan bergantung pada kondisi-kondisi sosial masanya. Sebagian orang saleh menolak menduduki jabatan hakim dan menganggapnya sebagai pipa saluran menuju dosa dan degradasi moral. Dengan demikian, dalam alur pikiran ini, korupsi bukanlah semata-mata penyuapan duniawi, namun juga merupakan pelanggaran terhadap ajaran dan nilai-nilai agama.

Perspektif Fiqh tentang Pencegahan Korupsi
Faktor yang paling penting dalam dinamika pencegahan korupsi, tentu saja, adalah menciptakan sistem yang lebih baik yang dapat mencegah terjadinya berbagai bentuk tindak korupsi. Namun demikian, hal itu tidak bisa berjalan baik tanpa adanya kualitas intelektual dan moral yang tinggi dari pemimpin-pemimpin masyarakat dan birokrat negara. Namun demikian, hal ini seharusnya jangan dipahami dalam pengertian yang naif. Kualitas intelektual dan moral menjadi menentukan dan penting jika berada dalam konfigurasi prasyarat-prasyarat yang lainnya. Untuk itu, perlu ada pembentukan prasyarat-prasyarat lain yang bisa mencegah atau setidaknya mengurangi praktik dan tindak pidana korupsi. Di sini, salah satu bagian dari konstruksi ilmu keislaman, yaitu fiqh (hukum Islam) dan metodologinya, dapat berpotensi menawarkan beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan dalam rangka pencegahan tindakan korupsi.
Pertama, adanya penetapan standar moral yang kuat dalam pengangkatan untuk jabatan-jabatan publik seperti presiden, hakim [qâdî], dan aparat penegak hukum. Mengapa penetapan moral bagi jabatan-jabatan publik menjadi begitu penting? Jawabannya adalah karena hal itu terkait dengan watak dan kecenderungan dari kelompok elit penguasa yang cenderung "korup". Perilaku moral kelompok berkuasa, sebagaimana ditegaskan Sorokin dan Lunden, cenderung lebih kriminal dan kurang bermoral ketimbang rakyatnya. Dan ini sejalan dengan generalisasi Actonian bahwa "kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung sangat korup" [power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely].
Untuk itu, dalam hukum Islam, beberapa kriteria disusun dalam kaitannya dengan pemilihan dan pengangkatan orang-orang yang akan menduduki jabatan publik berdasarkan atas prinsip maslahah dan sadd al-dzarî'ah, dalam pengertian untuk mencegah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang berakibat pada penderitaan dan bahaya lebih besar kepada masyarakat. Dalam kaidah fiqh juga disebutkan, al-darar yudfa' bi qadr al-imkân [bahaya harus dihindari atau ditolak sebisa mungkin]. Kaidah ini terkait dengan bahaya yang belum terjadi, namun berpotensi akan terjadi jika tidak dilakukan aksi pencegahan (prevention). Dan kaidah ini bisa dihubungkan dengan pembuatan seperangkat sistem aturan dan perundang-undangan oleh negara demi mencegah terjadinya bahaya yang tidak diinginkan [siyâsah shar'iyyah].
Salah satu kriteria paling penting yang ditawarkan fiqh Islam adalah "kualitas adil dan jujur" dari calon yang akan diangkat. Sebagian besar ulama mazhab mensyaratkan "kualitas adil" bagi seorang yang akan menjadi presiden atau hakim pengadilan, kecuali ulama Hanafiyah yang membolehkan orang fasik menjadi seorang qâdî dan menganggap putusannya tetap sah, namun demikian, dalam pandangan mereka, seorang yang fasik seharusnya jangan diangkat menjadi qâdî. Muhammad Salam Madkur juga mendukung pendapat Abû Hanîfah ini. Lebih luas lagi, Izz al-Dîn 'Abd al-Salâm (w. 660 H) mengatakan bahwa, "kualitas adil adalah syarat dalam setiap wilayah kewenangan dalam negara agar ketidakmampuan dalam mendatangkan segala bentuk kebaikan dan menghindari segala bentuk kerusakan bisa dicegah".
Bagaimana menentukan standar keadilan (fairness) ini adalah bisa melalui metode fit and proper test (proses uji kepatutan dan kelayakan calon). Di sini, yang bisa dijadikan standar penilaian diantaranya adalah integritas (integrity), kejujuran (honesty) dan reputasi (reputation). Di samping itu, terkait pula dengan proses uji kepatutan dan kelayakan calon ini adalah menilai kapabilitas dan kompetensi calon. Seorang bisa dikatakan "adil" jika tidak pernah melakukan berbagai bentuk kejahatan yang mengganggu masyarakat, memiliki kejujuran dan track-record yang par excellence selama hidupnya, serta memiliki kemampuan yang baik sesuai dengan bidang profesinya.
Menurut Ibn Taimiyyah, metode yang bisa digunakan untuk mengetahui kelayakan calon adalah dengan melihat kepada baiknya hubungan vertikal orang tersebut kepada Tuhan dan besar upayanya dalam memperbaiki kondisi sosial dan spiritual masyarakatnya. Metode ini juga bisa diterapkan pada institusi-institusi publik yang lain, yang dalam sejarah hukum Islam mencakup diantaranya, qadâ' (peradilan biasa), kejaksaan (muhâmât), madhâlim, hisbah (Inspeksi Pasar dan Harga), dan shurtah (Kepolisian). Sehingga, jika mereka yang berada pada posisi-posisi penentu kebijakan untuk kemaslahatan publik ini memiliki integritas moral (good character), kejujuran, reputasi yang par exellence, maka mereka berpotensi menjadi figur teladan yang bisa menjadi ikon pemberantasan korupsi, sebagaimana yang ditekankan oleh Alatas bahwa tokoh-tokoh elit yang berintegritas tinggi dapat memangkas mewabahnya virus korupsi.
Kedua, pembentukan lembaga yang bisa mengadili para pejabat atau elit penguasa jika mereka menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam peradilan Islam, lembaga ini disebut dengan madhâlim, yang merupakan suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam kewenanangan hakim biasa. Ia memeriksa penganiayaan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim-hakim. Lembaga ini dilengkapi dengan para hakim yang adil dan cerdas, ahli fikih, dan saksi-saksi ahli yang mumpuni.
Menurut al-Mawardî, perkara-perkara yang dapat ditangani oleh lembaga ini ada sepuluh macam: (1) Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun golongan; (2) Kecurangan para pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat harta kekayaan negara lain; (3) mengontrol atau mengawasi atau mengawasi keadaan para pejabat; (4) Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi atau diperlambat pembayarannya; (5) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zalim; (6) Memperhatikan harta-harta wakaf. Jika wakaf-wakaf itu merupakan wakaf umum, maka lembaga ini mengawasi berlaku-tidaknya syarat-syarat si pemberi wakaf. Adapun dalam soal wakaf khusus, lembaga ini bertindak setelah ada pengaduan dari yang bersangkutan; (7) Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim itu sendiri lantaran orang yang dijatuhkan hukuman adalah orang yang tinggi statusnya; (8) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang berkenaan dengan kepentingan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah; (9) Memelihara hak-hak Allah yaitu ibadah-ibadah yang nyata seperti shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha, haji, dan jihad; (10) Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara fihak-fihak yang bersangkutan, yang tidak dapat diputuskan oleh orang biasa.
Ketiga, penegakkan hukum (law enforcement) yang mempertegas sistem anti-korupsi. Keberadaan sistem-sistem hukum yang solid dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi akan sia-sia tanpa adanya penegakkan hukum yang kuat. Ini tentunya memerlukan para aparat yang memiliki komitmen yang kuat dan integritas moral yang tinggi sebagaimana telah disebutkan di atas. Penegakkan hukum harus dilaksanakan secara tegas, adil dan tanpa pandang bulu. Siapa pun yang terlibat, hukum harus ditegakkan tanpa melihat kepada status sosial si pelaku. Dalam sejarah, ketika dihadapkan sebuah kasus yang terdapat kecenderungan kecurangan, Nabi Muhammad berkata, "Telah binasa orang-orang sebelum kamu, karena jika orang bangsawan mencuri, mereka tidak menerapkan hukum atasnya. Sebaliknya, apabila orang yang lemah melakukan pencurian, mereka menerapkan sangsi hukuman. Demi Tuhan, sekiranya Fatimah mencuri, pasti akan saya potong tangannya." Pernyataan ini menegaskan tentang perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Lebih lanjut, 'Umar bin Khattâb, dalam sebuah risalahnya kepada Abû Mûsâ al-Ash'arî, berkata, "Perlakukan manusia secara sama baik dalam majelis dan putusan hukum anda sehingga seorang bangsawan tidak berharap penyimpangan anda dan juga orang-orang lemah tidak putus asa terhadap keadilan anda." Jika putusan adil tersebut telah ditetapkan, maka hendaklah putusan tersebut dilaksanakan dengan tegas. "Tidak ada gunanya berkata tentang kebenaran, tanpa sama sekali dilaksanakan", demikian perkataan Umar dalam risalahnya tersebut. Ini menegaskan tentang pentingnya pengimplementasian putusan hukum jika ditetapkan secara adil dengan bukti-bukti yang kuat.
Dalam melakukan penegakkan dan pengimplementasian hukum, seperti dikutip oleh al-Zuhailî, para fuqaha sepakat dalam dua hal: pertama, hak untuk mengeksekusi putusan hukum berada di tangan penguasa atau lembaga eksekutif negara. Kedua, pencegahan terjadinya dendam pribadi. Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, yang masuk dalam kategori sangsi pidana (¬al-'uqûbât al-jinâiyyah), maka negara lah yang memiliki kompetensi absolut dalam memberikan sangsi hukuman, baik yang telah ditentukan ukurannya maupun tidak, baik yang masuk dalam kategori hudûd ataupun ta'zîr. Hal itu dimaksudkan untuk pemeliharaan atas sistem, mencegah terjadinya kekacauan, menolak segala bentuk kerusakan dan penyebaran segala bentuk konflik dan ketegangan, dan menghilangkan segala kebiasaan dendam pribadi. Di sini, tidak dibenarkan adanya pengeksekusian hukum di tangan orang perorangan.
Meskipun banyak solusi lain yang ditawarkan fiqh Islam mengenai masalah korupsi, ketiga poin di atas sebenarnya bisa dijadikan sebagai landasan fundamental dalam mencegah dan menanggulangi praktik korupsi dalam masyarakat Islam. Untuk itu, diperlukan adanya keseriusan dalam penegakkan dan pengimplementasiannnya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya juga adalah perlu adanya kontrol dan pengawasan dari kelompok di dalam negara, seperti lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh negara, namun tetap independen dalam menjalankan tugasnya dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan, seperti, dalam konteks Indonesia, "Komisi Pemberantasan Korupsi" yang didelegasikan oleh negara untuk menyelidiki para pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Juga, perlu adanya gerakan-gerakan moral anti-korupsi yang menjalankan tugas sebagaimana layaknya tugas muhtasib yaitu melakukan amar ma'rûf nahî munkar dalam pengertian umum. Sebagai contoh, gerakan moral anti-korupsi yang pernah digerakkan oleh organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, LSM-LSM seperti diantaranya, Indonesian Corruption Watch, dan organisasi-organisasi lain yang bergerak dalam tujuan yang sama.

CATATAN PENUTUP
Korupsi, yang menjadi isu besar perbincangan di dalam masyarakat dan negara, akan semakin berurat akar jika terjadi koalisi antara tiga kekuatan yaitu, penguasa ekonomi (pengusaha), birokrat dan politisi yang menentukan kebijakan, dan aparat penegakan hukum (kejaksaaan, kehakiman dan kepolisian). Dan ini tidak bisa dihilangkan secara instan, namun melalui proses yang panjang dan untuk itu perlu mengantisipasinya dengan menciptakan sistem anti-korupsi yang tegas yang didukung oleh orang-orang yang berintegritas moral yang tinggi yang berada pada posisi-posisi yang penting dan menentukan dalam pemerintahan dan birokrasi negara serta institusi-institusi hukum dan peradilan.
Solusi fiqh fundamenetal ditawarkan adalah penetapan standar moral yang tinggi, yaitu kualitas adil dan jujur bagi orang-orang yang akan menduduki posisi-posisi ini, yang bisa ditentukan melalui proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan). Juga, dalam praktiknya, menurut fiqh Islam, agar tidak terjadi abuse of power perlu dibentuknya lembaga yang disebut dengan pengadilan madhâlim, yaitu lembaga yang menangani segala bentuk penyimpangan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Mengenai model, bentuk, dan formatnya tentunya diserahkan kepada kondisi dan konteks masyarakat yang akan mengimplementasikannya. Semua sistem anti-korupsi yang telah dibentuk tersebut harus dipertegas dengan penegakkan hukum (law enforcement) tanpa pandang bulu. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pembentukan kelompok-kelompok di luar negara yang melakukan kontrol atas segala penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi yang dilakukan elit penguasa, dalam kerangka fundamental amar ma'rûf nahî munkar.

BIBLIOGRAFI
Alatas, Syed Hussein, "Sociology of Corruption" dalam Alatas (ed.), Corruption and Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentice Hall, 1999
Black, Antony, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, New York: Routledge, 2001
Burnû, Muhammad al-Sidqî ibn Ahmad al-, al-Wajîz fî Îdâh Qawâ'id al-Fiqh al-Kulliyyah, Cet. ke-1, Beirut: Mu'assasah al-Risâlah, 1983
Chambliss, Willian J., "Vice, Corruption, Bureaucracy, and Power," dalam Chambliss (ed.), Sociological Readings in the Conflict Perspective, Reading: Addison-Wesley, 1973
Djilas, M., "The New Class in Communist Societies", dalam Chambliss (ed.), Sociological Readings in the Conflict Perspective, Reading: Addison-Wesley, 1973
Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, I'lâm al-Muwaqqi'în 'An Rabb al-Âlamîn, Juz I, Cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Fikr, 1977
Khaldûn, 'Abd al-Rahmân Ibn, al-Muqaddimah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt
Klitgaard, Robert, "What Can Be Done? Fighting Corruption", UNESCO Courier, Juni 1996, dapat diakses pada http://www.findarticles.com
Madkûr, Muhammad Salâm, Peradilan dalam Islam [terj], Cet. ke-4, Surabaya: Bina Ilmu, 1993
Marâghî, Mustafî al-, Tafsîr al-Qur'ân al-Adhîm, ditakhrij oleh Bâsil Uyûn al-Sûd, Jilid 2, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998
Mawardî, Abû al-Hasan 'Alî al-, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, Cet. ke-3, Kairo: Mustafâ al-Bâb al-Halabî, 1973
Mish, Frederick C. (editor utama), Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, Cet. ke-10, Springfield, Massasuchet, USA: Merriam-Webster Inc., 1993
Nadwî, 'Alî Ahmad al-, al-Qawâ'id al-Fiqhiyyah, Cet. ke-5, Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000
Nawawî, Abû Zakariyyâ Muhyî al-Dîn bin Sharaf al-, al-Majmû' Sharh al-Muhadzdzab, Juz. XXII, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
Salâm, 'Izz al-Dîn 'Abd al-Azîz bin 'Abd al-, Qawâ'id al-Ahkâm fî Islâh al-Anâm, Cet. ke-1, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2003
Sorokin, P.A. dan W.A. Lunden, Power and Morality, Boston: Porter Sargent, 1959
Taimiyyah, Ahmad ibn, Siyasah Syar'iyah: Etika Politik Islam [Terj], Cet. ke-2, Surabaya: Risalah Gusti, 1999
'Ulyân, Shaukah, Qadâ' al-Madhâlim fi al-Islâm, Baghdad, 1977
Uthman, Miftah Adebayo, "Wilayah al-Hisbah dan Wilayah al-Mazalim" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, Vol. II, No. 9, 1991
Zubaida, Sami, Law and Power in the Islamic World, London, New York: I.B. Tauris, 2003
Zuhailî, Wabah al-, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Jilid 6, Cet. ke-3, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Palu Sulawesi Tengah. Artikel sudah diterbitkan pada Jurnal Asy-Syir'ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 39, No. II, Tahun 2005.

Max Weber

Max Weber: Etika Keagamaan, Kharisma dan Kepemimpinan Kharismatik

Oleh: Rusli

Abstract
This paper tries to discuss the concept of religious ethics and charisma which Weber formulates. Weber analyses the influence of religious ethics on humans’s behaviour and attitude in their social world. As a matter of fact, according to Weber, there is close affinity between the calvinist ethics and the spirit of capitalism. The Protestant ethics has broken up traditions and encouraged its adherents to apply it rationally in their works to gain material goods. In other words, Protestantism has ethics that evokes the spirit of capitalism. By this thesis, Weber also investigates economical ethics of non-western cultures and religions, such as Confusianism and Taoism in China, Hinduism and Budhisms in India, Ancient Judaisme and Islam. Weber finds that these pre-industrial societies have already had technological infrastructure and other important preconditions to begin capitalism and economic expansion, however, capitalism has failed to emerge and develop. Furthermore, Weber also explores the concept of charisma which, Weber believes, can provoke social change. Charisma, as innovative force and revolution, may threaten and destroy an established social and political order. Charismatic leaders ask loyalty from their followers based on their personal excellence or superiority, such as divine mission, heroism, and God’s bounty, which makes them different. Institutionalization of charisma may occur from several ways, among other things, genealogy, heredity and institution.

Kata kunci:

Etika protestan, rasionalisasi, rasionalitas nilai, rasionalitas tujuan, otoritas tradisional, otoritas legal-rasional, otoritas kharismatik

Pendahuluan
Max weber menempati posisi penting dalam perkembangan sosiologi. Signifikansinya tidak semata-mata bersifat historis; ia juga menjadi sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh dalam sosiologi kontemporer. Bahkan ia seringkali dianggap sebagai perumus teori sosiologi klasik paling penting karena telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai bidang, serta pendekatan dan metodenya banyak membantu analisa sosiologis kemudian. Seperti Karl Marx, Weber memiliki ketertarikan dalam berbagai bidang, seperti politik, sejarah, bahasa, agama, hukum, ekonomi, administrasi, disamping tentunya sosiologi.
Tulisan ini tidak akan mengulas keseluruhan ide dan gagasan besar Weber tentang sosiologi yang secara umum berporos pada tiga konsep: tradisi, kharisma dan rasionalitas, serta konsep metodologisnya yang terkait dengan tiga skema konseptual: mode otoritas legitimate, tipe ahli keagamaan, dan tipe dasar aksi sosial. Tetapi, tulisan ini hanya membahas dan mendiskusikan sosiologi agama, terutama tesis Weber tentang “Etika Protestan” yang, menurut Ralph Schroeder, menjadi norma dalam sosiologi serta kharisma dan kepemimpinan kharismatik. Namun sebelumnya akan diuraikan secara singkat latarbelakang kehidupannya agar dapat mengetahui bagaimana gagasan-gagasan tersebut muncul.

Sketsa Biografis Weber

Weber hidup pada periode penting dalam perkembangan masyarakat modern dari 1864 sampai 1920. Ia dilahirkan dalam lingkungan politik kelas menengah Jerman. Bapaknya seorang birokrat yang mendukung kebijakan-kebijakan Kaisar dan Kanselor Jerman yang konservatif dan reaksioner, Bismarck. Tetapi, Weber tidak sejalan dengan pandangan politik bapaknya dan sering kali berselisih pendapat karena liberalisme Weber yang sangat mendukung demokrasi dan kebebasan manusia.
Ibunya, Helen Weber, adalah seorang Protestan-Calvinis, dengan ide-ide absolutis moral yang kuat. Weber sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan serta pendekatan ibunya kepada kehidupan. Meskipun Weber tidak menyatakan sebagai seorang yang religius, tetapi agama juga mempengaruhi pikiran dan tulisan-tulisannya. Misalnya, selain meneliti agama Kristen, Weber juga mempelajari agama-agama lain secara luas, seperti Konfusianisme, Hindu, Budha, Yahudi dan Islam. Buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan sebuah model dari metode historis dan sosiologis yang ditempuh Weber dalam meneliti tentang hubungan antara Calvinisme dan kemunculan kapitalisme.
Pendidikan Weber ditempuh di universitas Heidelberg, Goettingen dan Berlin, dan ia melanjutkan di perguruan tinggi yang disebut terakhir itu setelah memperoleh kualifikasi untuk praktik hukum di pengadilan-pengadilan di kota besar itu. Dia memperoleh gelar profesor penuh dalam bidang ekonomi di Freiburg dalam usia tiga puluh tahun, sebuah prestasi yang sangat menonjol dalam dunia akademis Jerman yang terkenal hierarkis dan berorientasi senioritas. Pada tahun 1896 ia memperoleh jabatan mengajar di Heidelberg, tetapi setahun kemudian ia menderita kelumpuhan syaraf yang, meskipun sudah sembuh sebagian, tidak memungkinkannya untuk mengemban secara penuh jabatan akademis itu selama sisa hidupnya. Selama empat tahun ia tidak aktif dalam pengembangan intelektual. Kemudian setelah itu selama 14 tahun, ia dapat menjalankan tugas-tugas akademis dan larut dalam produktivitas secara intensif selama beberapa pekan dan bulan. Lalu depresinya kembali lagi dan baru sembuh setelah ia sering melakukan perjalanan ke luar negeri.
Setelah sembuh dari depresi psikologis, Weber melakukan perjalanan ke Amerika pada tahun 1904. Kunjungan in sangat mempengaruhi Weber. Ia sangat terkesan dengan partai-partai politik masa, LSM, dan institusi-institusi lainnya yang ia rasa turut membantu mengembangkan kebebasan dan demokrasi di Amerika. Ia juga mulai menyadari pentingnya politik mesin dan peran birokrasi dalam ‘demokrasi masa’. Usahanya untuk mengembangkan demokrasi di Jerman sebagiannya dipengaruhi oleh pengamatannya tentang demokrasi di Amerika.
Sekembalinya dari Amerika ia menyelesaikan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905, diterjemahkan tahun 1930). Tahun-tahun berikutnya, ia menerbitkan esai-esai tentang metodologi, The Methodology of the Social Sciences (1949). Dan mulai melanjutkan penelitiannya tentang agama-agama besar dunia dan perspektif historis-dunia, seperti The Religion of China (1916, diterjemahkan tahun 1951), The Religion of India (1916-17, diterjemahkan tahun 1958), Ancient Judaism (1917-19, diterjemahkan tahun 1952). Disamping itu, secara ekstensif, Weber juga melakukan penulisan tentang ekonomi dan sejarah, dan mulai karya besarnya Economy and Society pada tahun 1909, tetapi tidak pernah selesai, dan General Economic History (1923). Karya-karya ini adalah karya-karya Weber yang terpenting di antara banyak tulisannya yang lain.
Weber menetap di Heidelberg dan rumahnya menjadi tempat pertemuan para intelektual. Perang Dunia Pertama meledak pada tahun 1914, dan ini sangat mempegaruhi kerja Weber. Ia lalu bekerja sebagai pegawai pada rumah sakit militer. Kemudian, ia mulai mempertanyakan kompetensi militer dan regim politik, serta mencoba meyakinkan para jenderal untuk menghentikan perang, tetapi ini tidak berpengaruh. Setelah perang, Weber bekerja sebagai penasihat delegasi Jerman di Versailles, membantu membuat draft konstitusi Jerman dan kemudian menjadi tokoh politik penting. Ia tidak sejalan dengan pemerintahan Kaisar Jerman yang konservatif dan juga menentang partai-partai sosialis. Dan ini tentunya memberikan sedikit kesempatan kepadanya untuk memberikan kontribusi yang signifikan mengingat pada saat itu belum ada partai yang menengahi kedua maistream tersebut di Jerman. Maka, ia mulai mengajar kembali di Munich pada akhir-akhir hidupnya. Kemudian ia terkena pneumonia dan meninggal pada tahun 1920 pada usia 56 tahun.
Gagasan-gagasan Weber yang terekam dalam berbagai tulisan-tulisannya banyak mempengaruhi sarjana-sarjana penting generasi berikutnya dalam ilmu-ilmu sosial, seperti diantaranya Robert N. Bellah, Clifford Geertz, C. Wright Mills dan Karl Mannheim.

Pengaruh intelektual
Kata orang bijak, “Tidak ada yang baru di bawah kolong langit”. Karenanya, pengaruh pemikiran sebelumnya dapat kita lihat pada semua pemikiran. Weber pun tidak terkecuali. Secara intelektual, ia banyak dipengaruhi oleh tradisi berfikir pada masanya, dimana pada masa itu, filsafat Immanuel Kant (1724-1804) begitu mendominasi masa hidup itu, disamping tentunya berbagai aliran dalam filsafat seperti positivisme dan idealisme. Kant berpendapat bahwa "Metode-metode ilmu pengetahuan alam memberi kita suatu pengetahuan yang benar mengenai dunia fenomenal eksternal–dunia yang kita alami melalui rasa-rasa kita." Pada saat yang sama Kant berpendapat bahwa filsafat moral atau sistem moralitas juga penting dan “mencakup refleksi tentang kaidah-kaidah moral yang nampak berada di dalam dan dapat difahami tanpa merujuk kepada pengalaman manusia." Yaitu, analisa empirik dan penilaian moral adalah dua sistem yang terpisah—sosiologi tidak dapat menjelaskan nilai-nilai moral, tetapi dapat mendiskusikan efek-efek dari nilai-nilai tersebut.
Karena sosiologi mesti memperhatikan analisa-analisa empirik dari masyarakat dan sejarah, metode sosiologi tentunya berbeda dengan metode ilmu pengetahuan alam. Analisa sosiologis meneliti dan mempelajari tindakan sosial dan konteks interaksi sosial, dan harus interpretive (didasari oleh pemahaman, verstehen), tidak melihat manusia sebagai objek yang hanya didorong oleh kekuatan-kekuatan impersonal. Pengaruh-pengaruh seperti ini dapat dilihat dalam pendekatan Weber mengenai metodologi, pemahaman dan tindakan sosial.
Dari sinilah, Weber mengkritik pemikir positivis seperti Comte yang berusaha menyamakan ilmu sosial dengan ilmu alam. Kedua disiplin ilmu tersebut tidak bisa disamakan, ilmu alam lebih menekankan pada “penjelasan” (explanation; erklaren), sementara ilmu sosial sangat terkait dengan “pemahaman” (understanding; verstehen). Seperti Dilthey, Weber lebih menekankan pentingnya makna subjektif dan menolak bahwa kebudayaan manusia dapat difahami secara memadai tanpa interpretasi nilai.

Posisi ideologis Weber
Secara ideologis, Weber sangat apresiatif terhadap faham Individualisme. Bahkan ia memperjuangkan faham ini. Ia juga menganggap dirinya sebagai seorang yang liberal, tetapi liberalismenya adalah “authoritarian liberalism”. Disamping itu, ia juga pembela kapitalisme Barat yang gigih, tetapi pada saat yang sama ia juga menjelaskan karakteristik kapitalisme yang kontradiktif dan berpotensi merusak. Ia sangat mendukung kebebasan, tetapi sangat skeptis terhadap demokrasi popular, dan tidak pernah meninggalkan ketertarikannya pada kepemimpinan politik yang otoriter dan despotik.

Konsepsi Ilmu Sosial dan Metodologi Weber
Konstruksi pemikirannya adalah produk dari kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan dalam pemikiran sosial abad ke-19. Ada beberapa poin yang dapat diambil berkenaan dengan konsepsi ilmu sosial dan metodologi Weber:
Pertama, penekanan Weber adalah pada tindakan sosial (social action), bukan struktur sosial. Unit analisis dasar dari bagi Weber adalah selalu individu, paling tidak dalam pernyataan-pernyataan programatiknya, karena dalam analisis sosiologisnya tentang agama, penekanannya cenderung kepada kelompok-kelompok kepentingan. Menurut interpretasi standar, Weber menganggap sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial yang komprehensif. Titik fokus teoritisnya terletak pada “arti subjektif” (subjective meaning) yang dilekatkan manusia kepada tindakan sosial dan interaksi-interaksi mereka dalam konteks sosial tertentu. Dalam hubungan ini, ia membedakan empat tipe utama tindakan sosial: zweckrational, wertrational, affective action dan traditional action.
Zweckrational (rasionalitas tujuan) dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mana cara dan media untuk memperoleh tujuan tertentu dipilih secara rasional. Yang khas pada rasionalitas tujuan ini adalah bahwa pedoman normatif dan ikatan-ikatan afektif tidak diutamakan. Yang penting adalah tercapainya tujuan yang dimaksud berupa manfaat yang sebesar-besarnya. Pemilihan cara-cara yang digunakan tidak didasarkan pada norma-norma tertentu, tetapi hanya pada pertimbangan biaya. Dalam arti ini, suatu tindakan disebut rasional apabila dalam mencapai tujuannya dipergunakan cara-cara yang dapat menekan biaya sampai sekecil-kecilnya.
Wertrational (rasionalitas nilai) dicirikan dengan usaha untuk mencapai tujuan yang esensinya mungkin tidak rasional, tetapi alat untuk mencapai tujuan tersebut dipilih secara rasional. Contohnya adalah seorang yang mencari penyelamatan (salvation) melaui ajaran-ajaran seorang Nabi. Tujuan itu sendiri pada dasarnya tidak rasional, tetapi media yang digunakan untuk sampai kepada tujuan tersebut adalah dipilih secara rasional.
Tindakan afektif (affective action) didasari pada keadaan-keadaan emosional seseorang dari pertimbangan-pertimbangan rasionalnya dalam memilih alat dan tujuan. Sentimen adalah daya yang kuat dalam memotivasi tindakan dan perilaku seseorang. Sementara yang terakhir, traditional action dipandu oleh adat kebiasaan. Mereka terlibat dalam tindakan seperti ini seringkali tidak memikirkannya, karena perbuatan tersebut selalu dan biasa dilakukannya.
Kedua, penekanan pada makna (meaning). Disini ia mengemukakan suatu metode penelitian yang spesifik, yaitu verstehen. Metode ini dapat digambarkan sebagai upaya memahami aksi sosial melalui pemahaman empatik terhadap nilai dan kebudayaan orang lain. Tetapi pemahaman terhadap makna atau motif subjektif tidak semata-mata dimaksudkan untuk memastikan perilaku atau keyakinan seseorang, tetapi Weber lebih mengartikan verstehen sebagai suatu metode yang diterapkan untuk memahami peristiwa-peristiwa historis. Kendati demikian, Weber juga concern untuk menjelaskan fakta sosial; kehidupan sosial harus dipahami tidak hanya secara subjektif tetapi juga objektif. Maka pemahaman interpretatif harus dilengkapi dengan analisa kausal.
Ketiga, penekanan pada sosiologi bebas nilai. Dalam hal ini, Weber menyatakan bahwa ilmu selamanya tidak boleh menyajikan norma dan ideal-ideal yang mengikat, dan dijadikan acuan bagi aktifitas praktis. Sebuah ilmu sosial, tegas Weber, harus netral secara etis dan politis.

Weber dan Sosiologi Agama
Tema pokok sosiologi agama Weber adalah gagasan tentang rasionalisasi. Rasionalisasi adalah suatu proses yang menjadikan aturan-aturan dan prosedur-prosedur dapat dikalkulasikan secara eksplisit dan intelektual, disistematisasi dan dispesifikasikan, dan langsung menggantikan sentimen dan tradisi. Rasionalisasi juga menunjukkan suatu bentuk kontrol normatif, suatu bentuk kekuatan legitimate yang oleh Weber disebut dengan “otoritas legal rasional”. Weber mendefinisikan model legitimasi ini sebagai “model yang didasarkan pada keyakinan atas legalitas pola-pola aturan normatif dan hak orang-orang yang menduduki otoritas dimana di bawah aturan tersebut ia mengeluarkan perintah. Weber mempertentangkan bentuk dominasi legitimate ini dengan “otoritas tradisional” dan “karismatik”.
Otoritas tradisional atau otoritas yang dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Dalam otoritas ini, tatanan sosial dipandang sebagai suci, abadi dan tak bisa dilanggar. Rakyat terikat dengan penguasa karena ketergantungan personal dan tradisi kesetiaan. Dan ketaatan mereka kepada penguasa makin diperkuat oleh keyakinan-keyakinan seperti hak ilahi para raja. Semua sistem pemerintahan sebelum berkembangnya negara modern merupakan contoh otoritas tradisional. Meskipun kekuasaan penguasa dibatasi oleh tradisi yang memberikan legitimasi kepadanya, pembatasan tersebut tidaklah bersifat ketat, karena penguasa dipandang tetap memiliki kesewenang-wenangan. Pada umumnya, otoritas seperti ini cenderung mempertahankan status quo dan tidak cocok bagi perubahan sosial.
Sementara itu, otoritas kharismatik, sebagai kekuatan inovatif dan revolusi, yang mengancam dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas ini didasarkan kepada kepatuhan terhadap person ketimbang pada sistem hukum impersonal yang memberdayakan pemegang posisi untuk melaksanakan otoritas semata-mata dalam kapasitas resminya. Legitimasi kharisma secara inheren tidak stabil karena bergantung pada satu orang yang mungkin melalui kegagalan dan kekalahan dapat menghancurkan keyakinan para pengikutnya terhadap misinya dan yang akhirnya mati. Dengan demikian, masalah suksesi dihadapi oleh semua gerakan yang diciptakan oleh para pemimpin kharismatik.
Weber percaya bahwa tindakan rasional dalam sistem otoritas legal-rasional merupakan jantung masyarakat modern. Disini, Weber meneliti tentang pergeseran dan peralihan dari tindakan tradisional ke tindakan rasional. Weber juga percaya bahwa rasionalisasi tindakan dapat diwujudkan apabila cara-cara hidup tradisional ditinggalkan. Di dunia Barat, orang-orang modern telah meninggalkan cara-cara hidup tradisional yang berorientasi kepada nilai-nilai keagamaan, dan mereka mengembangkan suatu hasrat dan keinginan yang kuat untuk memperoleh benda-benda materi dan kekayaan.
Setelah melakukan penelitian yang hati-hati, Weber mengemukakan sebuah hipotesis bahwa etika Protestan telah membongkar ikatan tradisi sekaligus mendorong penganutnya untuk menerapkan etika tersebut secara rasional ke dalam kerja mereka untuk memperoleh kekayaan materi. Dengan kata lain, Protestan memiliki etika yang dapat memunculkan spirit kapitalisme. Dengan tesis ini, Weber juga menelaah etika ekonomi budaya-budaya atau agama-agama non-Barat, seperti Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Budhisme di India, Judaisme Klasik dan Islam. Weber mendapati bahwa masyarakat-masyarakat pra-industri ini telah memiliki infrastruktur teknologis dan prasyarat-prasyarat penting lainnya untuk memulai kapitalisme dan ekspansi ekonomi, tetapi, kapitalisme tetap gagal untuk muncul dan berkembang. (lihat bagan 1)

Bagan 1: Korelasi antara agama-agama dunia dengan spirit kapitalisme

No. Agama-agama Dunia Prasyarat material Prasyarat ideal
(e.g. penduduk, teknologi) (e.g. semangat pencapaian)
1.Medieval Religions Ada Tidak ada
2.Protestantisme Asketik Ada Ada
3.Judaisme Klasik Ada Tidak ada
4.Islam Ada Tidak ada
5.Taoisme (Cina) Ada Tidak ada
6.Konfusianisme (Cina) Ada Tidak ada
7.Hinduisme (India) Ada Tidak ada
8.Budhisme (India) Ada Tidak ada

Konfusianisme digambarkan oleh Weber sebagai doktrin dan ritus yang dipaksakan terhadap Cina oleh kelas birokratnya atau literati. Ia dipandang mencakup etika konvensi, kontrol diri, yang masih terikat dengan masalah-masalah praktis dan demi kepentingan birokratis. Orang lebih mengembangkan seni kaligrafi yang sulit sehingga tidak ada perkembangan dalam penalaran. Etika ini meremehkan perang, menekankan harmoni, dan satu-satunya penyelamatan adalah membebaskan orang dari perilaku barbar dan stagnasi; satu-satunya dosa adalah dosa yang dilakukan terhadap otoritas yang lebih tua, seperti nenek moyang, atasan, adat-tradisi; satu-satunya kabajikan adalah kesehatan, panjang umur, kekayaan, dan nama baik setelah mati. Dengan etika mandarin ini, yang terkait erat dengan tradisi dan berlawanan dengan reformasi apapun, Cina tetap jauh dari spirit kapitalis. Sekalipun memiliki semangat untuk meraih pendapatan yang besar dan menggunakan kekayaan untuk kesempurnaan moral, terdapat kedamaian dan kebebasan berusaha, serta memilih profesi, Cina tidak mengembangkan aktivitas bisnis yang terorganisir dengan baik dan sistem moneter.
Berkenaan dengan Taoisme dan Budhisme, meskipun keduanya memiliki etik yang berbeda, namun dalam tindakan ekonomi mempunyai akibat yang mirip dengan Konfusianisme, yaitu tidak mendukung kapitalisme. Keduanya menarik diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian karena bertujuan menyatu dengan sifat adikodrati. Sedang kedua massa dari kedua agama itu cenderung menekankan pada hal-hal yang bersifat magis, artinya kejadian-kejadian magis bertanggungjawab atas nasib dan takdir manusia di bumi dalam kaitannya dengan kesejahteraan material. Untuk mempengaruhi kekuatan magis itu, perlu diadakan ritual atau pemujaan.
India, di sisi lain, memiliki semua kondisi yang mendukung perkembangan aktivitas bisnis rasional, seperti berkembangnya riba dan perdagangan, politik dan keuangan yang rasional, insting keuntungan yang tak pernah terpuaskan, persediaan dan monopoli, tetapi kapitalisme tidak muncul di India. Karena, menurut Weber, masyarakat terbagi ke dalam kasta-kasta. Dalam sistem kasta ini, lapisan Brahma dapat dikatakan sebagai a political stratum. Brahma mampu meletakkan makna dunia lewat ide kastanya, namun menurut Weber, makna-makna itu tidak rasional dan tidak komunikatif sehingga menghambat perkembangan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, sistem kasta mencegah terwujudnya free wage labour karena masing-masing kelompok saling terisolasi.
Dalam Jainisme, menurut Weber, ditemukan etik yang mirip dengan Protestantisme, sebab Janisme menolak otoritas Brahma dan ketidakseimbangan praktek-praktek ritual dan magis. Akibatnya, Jainisme mampu memproduksi tingkah laku yang mengejar keuntungan ekonomis dan menjadi minoritas pedagang yang sukses. Namun sekte ini juga tidak mempengaruhi perkembangan secara luas karena terserap dan didikte oleh kultur dominan dari Hinduisme.
Berkenaan dengan Islam, Weber hanya memberikan komentar secara terpencar-pencar dan tidak memberikan analisis secara mendalam. Islam menurut Weber, tidak menawarkan konsep keselamatan individual di alam baka dan ini berbeda dari Hinduisme, Budhisme dan Yahudi. Sementara itu, dikatakan bahwa dalam Islam ditemukan hubungan kuat antara agama dan politik. Hambatan perkembangan ekonomi dalam masyarakat Islam terwujud dalam beberapa bentuk. Pertama, ada korelasi yang terlalu dekat antara agama dan politik. Kedua, industrialisasi tidak muncul bukan karena etik Islam, tetapi karena struktur negara Islam, sistem administrasi dan aturan hukumnya. Dalam hal ini, negara bersifat patrimonial, misalnya dalam penggunaan budak dan prajurit angkatan perang, kota-kota yang otonom, dan sistem legal yang juga otonom. Namun karena tidak ada pemisahan yang tegas antara sekuler dan sakral dalam setiap bidang kehidupan, maka ekonomi dan masyarakat tidak berkembang.

Weber dan Etika Protestan
Pembahasan klasik dan paling berpengaruh tentang hubungan antara etika dan agama, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi, adalah yang dilakukan oleh Weber. Tesisnya yang terkenal yang diungkapkan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism membuktikan bahwa munculnya zaman modern dengan Kapitalisme-nya itu mempunyai akar dalam pandangan etis dan keagamaan Kristen Protestan, khususnya Calvinisme. Tesis ini merupakan bantahan terhadap tesis Marx tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme.
Dalam bukunya tersebut, Weber mengungkapkan bahwa segi keagamaan Kristen yang paling berpengaruh bagi pertumbuhan kapitalisme modern adalah justru asketisme. Asketisme ini dalam perkembangan agama Kristen, diwakili secara ekstrem dalam puritanisme yang muncul di Inggris pada abad ke-16 dan 17 sebagai kelanjutan dan perkembangan Calvinisme di Jenewa, Swiss. Asketisme kaum puritan memancar dalam etika mereka.
Etika yang terdapat dalam Cavinisme adalah ketidaksetujuan mereka dengan pola hidup yang lebih menghabiskan waktu pada hal-hal yang sia-sia dan tak berguna, sikap malas, tidur yang tidak penting, pembicaraan-pembicaraan yang tidak bermanfaat, kesenangan seksual, olahraga, rekreasi untuk kesenangan, dan apapun yang dapat menjauhkan mereka dari panggilan keagamaannya, termasuk menghadiri pesta-pesta dansa. Penekanan agama Calvinisme ini adalah pada sikap disiplin diri.
Kelompok Calvinis, menurut Weber, percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir seorang manusia sebelum ia dilahirkan. Bagaimanapun, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah digariskan sebelumnya, kelompok Calvinis, menurut Weber, berada dalam proses pencarian untuk menjadi manusia pilihan Tuhan. Yang dimaksudkan Weber dengan pernyataan ini adalah bahwa masing-masing individu mengalami suatu penderitaan kegelisahan atas penyelamatan Tuhan dan, dengan melakukan arahan-arahan serta aturan-aturan Calvinisme untuk berperilaku baik, mereka mencari suatu bukti bahwa mereka adalah kelompok pilihan. Mereka percaya bahwa pendekatan sistematis untuk berkerja tidak hanya akan menghasilkan hasil yang baik, tetapi juga akan menghasilkan tanda-tanda pilihan Tuhan. Mereka juga percaya bahwa kerja keras adalah suatu yang baik dan dilakukan atas dasar pilihan, bukan atas dasar kebutuhan. Aktivitas ekonomi mereka tergantung atas pengumpulan kekayaan, yang menurut Weber, melalui penolakan-penolakan atas kesenangan-kesenangan. Meskipun mereka tidak anti kepada pencarian uang, mereka tidak suka menggunakan uang untuk kegiatan-kegiatan yang mengandung kenikmatan semu. Karena itu, mereka memutar uang mereka dalam suatu bentuk kerja yang kemudian membawa kepada pengumpulan kekayaan. Inilah yang kemudian mendorong timbulnya kapitalisme.
Tesis Weber jelas tidak sepi dari kritik. Dalam buku Antropologi Agama, Brian Morris, memaparkan beberapa kritik terhadap tesis Weber ini. Kritik yang paling umum adalah penolakan terhadap berbagai korelasi atau pertalian antara Protestantisme dan Kapitalisme dengan didasarkan kepada landasan-landasan empiris. Misalnya, kapitalisme telah ada di negara-negara seperti Itali, Perancis, Spanyol, Portugal sebelum dan terlepas dari etika Protestan. Sebaliknya, di negara-negara seperti Switzerland dan Skotlandia dimana Protestatisme tumbuh subur, kapitalisme tidak mengalami perkembangan.
Kritik kedua, menurut Morris, adalah terfokus pada penggambaran Weber tentang etika Protestan. Weber, menurut para pengkritik, tidak cermat menampilkan ajaran-ajaran asli Calvin. Bukan Calvin yang menyebarkan kebebasan bagi seluruh kapitalisme dan tidak ada perbedaan antara teologi Katolik dan Calvinis dalam kaitannya dengan cercaan mereka terhadap kekayaan.

Kharisma dan Kepimpinan Kharismatik
Fenomena kharisma dan kepemimpinan kharismatik, seperti dikatakan oleh Loewenstein, dapat ditemukan di suatu wilayah dimana keyakinan rakyat pada kekuatan supranatural masih meluas, seperti, misalnya, di Indonesia. Berbeda dengan Loewenstein, Edward Shills melihat adanya unsur kharismatik dalam setiap masyarakat. Secara umum, Weber mendefinisikan kharisma sebagai “kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supernatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu, individu yang besangkutan diperlakukan sebagai pemimpin”. Kharisma dipandang oleh Weber sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuat dia berbeda.
Institusionalisasi kharisma dapat diperoleh melalui beberapa cara, misalnya, bisa melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan tradisional, kharisma banyak diturunkan melalui hubungan darah. Kharisma yang dimiliki oleh Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, yang ketiganya memimpin partai dengan ideologi Soekarnoisme, diwarisi dari bapaknya, Soekarno, tokoh proklamator yang sangat kaharismatik. Para pendukungnya setia kepada mereka kerapkali tidak didasari pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada ikatan-ikatan emosional dan kharisma bapaknya.
Satu contoh yang mungkin juga representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan institusi, disamping pengetahuan Gus Dur yang mendalam tentang masalah-masalah sosial-politik-keagamaan. Sepak terjang Gus Dur dalam banyak bidang, baik pemikiran keagamaan maupun masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi, telah banyak mengguncang tatanan normatif masyarakat Islam tradisional NU. Timbulnya para pemikir liberal di kalangan NU dan semakin memudarnya ciri tradisionalitas organisasi NU yang pernah dipimpinnya, paling tidak, berkat jasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid, yang lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940, mempunyai seorang kakek yang kharismatik, Hasyim Asy’ari, yang merupakan satu dari pemimpin Muslim terbesar Indonesia pada pergantian abad lalu, dan seorang ayah, Wahid Hasyim, yang juga merupakan tokoh penting dan pernah menjabat posisi Menteri Agama pada 1945.
Sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur mewarisi kharisma moyangnya. Hasyim Asyari dikenal sebagai seorang penggalang Islam tradisional yang sangat berpengaruh. Ia mendirikan sebuah organisasi yang sampai saat ini masih mempengaruhi pola hidup sebagian besar umat Islam di Indonesia. Ucapan-ucapannya ditaati oleh para pengikutnya, terutama di kalangan orang-orang NU. Misalnya, antara tahun 1945-1947, Kiyai Hasyim mengeluarkan fatwa yang menggerakkan umat Islam, khususnya di Jawa Timur, untuk mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Kedua, ia melarang kaum Muslimin Indonesia untuk melakukan perjalanan haji dengan kapal-kapal Belanda. Kampanye yang dilakukan oleh Kiayi Asy’ari agar kaum Muslimin melancarkan perang melawan Belanda ternyata berhasil. Hal ini disebabkan pengaruhnya yang luar biasa di kalangan para pengikut Islam tradisional, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, disamping ia pendiri Pondok Pesantren Tebuireng yang terkenal di Jawa Timur.
Disamping itu, jika ditelusuri ke belakang, kharisma tersebut ternyata dapat ditemukan juga pada nenek moyangnya. Gus Dur ternyata memiliki keturunan yang sangat berpengaruh dan berdarah biru. Nenek moyang dari Gus Dur, dapat ditelusuri sampai kepada Syeikh Ahmad Mutamakkin, seorang yang dipercaya sebagai “waliyullah” (derajat tinggi dan terhormat dalam keyakinan umat Islam) dan yang merupakan ulama kontroversial zaman Mataram Kertosuro, abad ke-18. Syeikh Mutamakkin dipercaya juga merupakan keturunan dari seorang yang sangat legendaris di tanah Jawa yang juga raja Pajang, yaitu Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir.
Rutinisasi kharisma melalui keturunan ini-lah yang membuat para pengikut Gus Dur sangat loyal, bahkan sekalipun sinyalemen-sinyalemen Gus Dur seringkali sulit dipahami dan membingungkan banyak orang. Masyarakat tradisional NU bahkan berani mati untuk mendukung tokoh ini. Ini terbukti dengan dibentuknya “pasukan berani mati” untuk membela Gus Dur dari upaya-upaya yang ingin menjatuhkan kekuasaannya, sekalipun pembentukan pasukan ini juga mengundang kontroversi di kalangan NU juga. Contoh lain, sekalipun pendapat-pendapat yang dikemukakan Gus Dur membuat banyak kiayi tradisional NU kecewa, tetapi pada saat pemilihan ketua umum sebelum Gus Dur menjadi presiden, Gus Dur tetap mendapat dukungan para kiayi dan dinobatkan kembali menjadi ketua umum. Hal ini menandai bahwa ketaatan kepada Gus Dur cenderung menjadi “keharusan” dan bahkan Gus Dur seringkali “disakralkan”. Lebih-lebih, untuk sebagian orang, Gus Dur seringkali dipandang sebagai “waliyullah”. Dalam masyarakat Islam tradisional juga terdapat sebuah pernyataan yang mendukung sinyalemen di atas bahwa hormat kepada anak seorang ulama adalah sebuah “keharusan”.
Sebagai seorang pemimpin kharismatik, ucapan-ucapan Gus Dur selalu membawa pengaruh besar bagi kaum nahdliyin. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU. Selain membesarkan NU, Gus Dur juga dikenal tokoh universal. Ia adalah pejuang demokrasi, tokoh LSM, pengamat bola, dan juga budayawan. Satu ciri menonjol karakter Gus Dur adalah sosoknya yang nyentrik. Tak heran, komentar atau sikapnya sering menjadi kontroversi.
Dari sinilah, pernyataan Weber bahwa kharisma bisa menjadi kekuatan yang inovatif dan faktor yang dignifikan dalam perubahan sosial, dapat relevan dengan fenomena kharisma Gus Dur. Dalam kalangan masyarakat NU yang dahulu dianggap sebagai “kaum sarungan”, terjadi sebuah pergeseran paradigma dari yang “tradisional” menjadi “liberal”. Hal ini sebagian disebabkan oleh peran Gus Dur yang, menurut Greg Barton, dikenal sebagai “liberal” yang berpandangan pluralis, moderat dan humanis. Gus Dur mampu membuat terobosan-terobosan berani yang mengubah pola pikir masyarakat tradisional menjadi liberal, yang pada gilirannya membawa kepada perubahan tatanan sosial masyarakat Islam, khususnya masyarakat NU.
Pergeseran paradigma ini secara lebih jelas dapat dilihat pada tokoh muda NU. Terbentuknya Lakspesdam merupakan satu bukti yang representatif. Lembaga yang berada di bawah NU ini didominasi oleh tokoh-tokoh muda NU yang berpandangan liberal, pluralis dan sangat dinamis. Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pengurus lembagai ini juga merupakan salah seorang penggagas dan pembentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Ia dikenal sebagai seorang yang liberal yang pandangan-pandangannya seringkali kontroversial dan pernah mengundang fatwa mati oleh sebagian ulama terhadap dirinya.
Contoh lain, terbentunya LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang dikenal cukup moderat dan liberal, merupakan respons anak-anak muda yang tergabung dalam PMII, sebuah organisasi pelajar NU, terhadap kesenjangan antara idealisme dan kenyataan. Organisasi ini, menurut Machasin, merupakan generasi intelektual generasi muda NU yang dibesarkan di kalangan Islam tradisional yang ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan zaman dan menyadari kekurangan perlengkapan keahlian dan pengetahuan untuk dapat terlibat secara aktif dalam percaturan dunia modern, melakukan berbagai kegiatan yang semula tidak jelas bentuknya, namun kemudian menjadi lembaga yang dapat melakukan kegiatan yang berarti. Bahkan, lebih dari itu, LKiS juga berani mengkritik ajaran Islam yang dipahami dan dinterpretasi secara tradisional oleh para bapaknya.
Singkat kata, kharisma dan kepemimpinan kharismatik dapat menjadi agen perubahan dari yang bersifat tradisionalis ke non-tradisionalis. Kendati demikian, keterikatan pengikut terhadap pemimpin yang kharismatik masih dapat dikatakan sebagai pertimbangan yang emosional dan tradisional.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan sosiologi Weber penekanannya terletak pada tindakan sosial, makna subjektif dan sosiologi bebas nilai. Dan ini dapat dilihat ketika Weber melakukan analisa tentang pengaruh agama dalam tindakan sosial seorang individu. Ternyata, menurut Weber, ada hubungan yang sangat erat antara etos kerja kaum Calvinis dengan semangat kapitalisme modern. Kendati demikian, tesis Weber tentang Etika Protestan tidaklah sepi dari kritik. Kritik tersebut pada dasarnya diarahkan kepada korelasi yang tidak tepat antara Prosetantisme dan Kapitalisme berdasarkan bukti-bukti empirik, dan kepada penggambaran Weber yang tidak cermat mengenai ajaran-ajaran Calvinis. Kendati demikian, terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan kepadanya, Weber telah menggagas ide-ide besar yang sangat berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial.
Tesis Weber tentang kharisma dan kepemimpinan kharismatik dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan-keyakinan tradisional masih dapat diterapkan. Contoh yang representatif adalah Gus Dur yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi, yang kepemimpinannya serta gebrakannya dalam pemikiran keagamaan dan masalah-masalah kemanusiaan mewarnai dan mengubah pola pikir masyarakat NU, terutama kalangan anak mudanya yang antusias dan dinamis.

Bibliografi

Antoni, Carlo, “Pandangan tentang Agama dan Kelas” dalam Dennis Wrong (ed), Max Weber: Sebuah Khazanah, (terj.), Yogyakarta: IKON, 2003

Ashley, David and David M. Orenstein, Sociological Theory: Classical Statements, Edisi ke-3, Boston: Allyn and Bacon, 1995

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman, Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999

Blau, Peter M., “Komentar Kritis atas Teori Weber tentang Otoritas” dalam Dennis Wrong (ed), Max Weber: Sebuah Khazanah, Yogyakarta: IKON, 2003

Dhofier, Zamakhsyari, “K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional” dalam Prisma, No. 1, Januari 1984

Foucault, Michel, Arkeologi Pengetahuan, (terj), Cet. ke-1, Yogyakarta: Qalam, 2002

Gertz, Hans dan C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, New York: Oxford University Press, 1958

Grabb, Edward G., Theories of Social Inequality: Classical and Contemporary Perspective, Edisi ke-2, Toronto, Holt, 1990

Kleden, Ignas, “Model Rasionalitas Teknokrasi” dalam Prisma, No. 3, Maret 1984

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi ke-2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

Machasin, “Zâhirah Harakah Syubbân al-Nahdiyyîn al-Fikriyyah: Dirâsah ‘an Majma’ al-Dirâsah al-Islâmiyyah wa al-Ijtimâ’iyyah (LKiS) bi Jogjkarta” dalam Al-Jami’ah, No. 60, 1997

Marshall, Gordon, Oxford Dictionary of Sociology, Edisi ke-2, Oxford, New York: Oxford University Press, 1998

Morris, Brian, 2003, Antoropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, Cet. ke-1, Yogyakarta: AK Group

Schroeder, Ralph, Max Weber and the Sociology of Culture, London: Sage, 1992

-----------, Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, disunting dan diberi kata pengantar oleh Heru Nugroho, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organisation, New York: Oxford University Press, 1947

----------, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Edisi ke-2, Los Angeles: Roxbury, 1998

Wrong, Dennis, “Pendahuluan: Max Weber” dalam Max Weber: Sebuah Khazanah, (terj.), Yogyakarta: IKON, 2003

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Palu, Sulawesi Tengah. Artikel ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Religi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. IV, No. 1, Januari 2005