Sabtu, 11 Juni 2011

Tipologi Respons terhadap Riddah


TIPOLOGI RESPONS TERHADAP H}ADD Riddah: PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Rusli *
Abstract
Riddah (apostasy) is a controversial concept in the discourse of human rights nowadays. This controversy lies in the type of punishment imposed to the apostate. Therefore, contradictory respons emerges as a result of their understanding to the normative bases behind this concept. For some Moslems, it is obligatory to apply death punishment as integral part of Islamic sharî’a which must be obeyed, since it is stated implicitly by the Qur’ân and is clearly explained by the hadîth. However, death punishment to apostate, for others, is not enforced by the Qur’ân, as well as the hadîth. These people, who are mostly liberals and moderates, support the idea of human rights.
Kata kunci: riddah, konversi agama, positivisasi, human rights
I.   Pendahuluan
Salah satu konsep al-fiqh al-jinâ’î yang begitu kontroversial dalam wacana human rights saat ini adalah konsep riddah (apostasi). Letak kontroversinya adalah pada bentuk hukuman yang diberikan bagi pelaku riddah dalam Islam. Bagi sebagian umat Islam, ini adalah bagian dari ajaran Islam yang mesti dipatuhi. Sementara bagi sebagian yang lain, ini dianggap sebagai penghancuran terhadap hak kemanusiaan seseorang yang asasi untuk hidup. Memang, dalam perjalanannya, agama yang sebenarnya ditujukan untuk kebaikan umat manusia terkadang mempunyai dua wajah yang problematis.
Wajah pertama menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan menyejukkan. Sebagai contoh, ketika seorang merasa mengalami keresahan, kesedihan dan kesulitan dalam dirinya, dalam batas-batas tertentu ia akan mencoba mencari obat penawarnya dalam agama, entah itu dalam bentuk ajaran-ajaran normatif maupun dalam ritual-ritual. Banyak penelitian juga memperkuat adanya pengaruh yang luar biasa dari mengikuti ritual-ritual keagamaan tersebut. Menurut Pink,
“Sebagian penyakit kehidupan modern—stres, penyakit jantung, dan seterusnya—dapat dihilangkan dengan menghadiri ritual-ritual spiritual. Orang-orang yang regular berdoa terlihat mempunyai tekanan darah lebih rendah rata-rata daripada mereka yang tidak menurut suatu penelitian pada Universitas Duke.”[1]
Di sisi lain, agama seringkali menampakkan wajah yang menyeramkan. Ia bisa mewujud sebagai bencana, jika dipahami secara ketat dan terbatas. Dalam salah satu artikel, Marty[2] menyatakan bahwa,
“agama, seringkali bagi kebanyakan orang, bukanlah instrumen untuk membunuh. Orang-orang adalah religius … sebagai bagian dari upaya mereka untuk menemukan kedamaian, keselamatan, kerukunan, pelipur lara, dan integrasi ke dalam sistem makna dan kepemilikan … Pandangan kedua bagaimanapun juga telah mengungkapkan bahwa elemen-elemen yang sama yang membuat agama menjadi sebuah penghibur dan penyembuh dapat berubah menjadi senjata-senjata pembuat kekacauan dan pembunuhan.”
Kedua wajah dari agama ini akan terus ada selama manusia itu ada. Dan  bahwa seberapa besar wajah yang akan ditampilkan itu tergantung pada bagaimana seseorang memahami agamanya dan menerjemahkannya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Apakah agama digunakan sebagai media untuk perbaikan diri atau untuk merekrut anggota sebanyak mungkin (politic of number). Dari poin yang terakhir ini, muncul fenomena “pemurtadan”, yang terkadang melalui proses penyucian otak mereka secara terpaksa atau sukarela keluar dari suatu keyakinan dan masuk ke dalam keyakinan yang lain.  Inilah yang kemudian disebut sebagai “konversi agama”.
 Konversi agama atau apostasi (riddah) memunculkan konsekuensi teologis dan sosiologis yang serius. Secara teologis, apostasi memunculkan konsep “kufr”, sebuah konsep yang sangat serius dalam bangunan identitas keagamaan seseorang. Secara sosiologis, pelaku apostasi (apostate) bisa membahayakan kesatuan agama yang ditinggalkannya, karena perpindahan agamanya bisa menarik perpindahan yang lain, atau menguak ‘aib’ dari agama yang pernah dianutnya kepada komunitas lain sehingga memunculkan kebencian dan ketegangan.
 Karenanya, masalah ini menjadi objek bahasan dari setiap agama, tidak terkecuali Islam. Bagaimana menerapkan sangsi terhadap pelaku apostasi adalah persoalan serius bagi masing-masing agama. Dalam Islam, seperti yang tertera dalam kitab-kitab fikih klasik, sangsi positif yang diberikan adalah hukuman mati. Dalam konteks multikultural yang menekankan pada hak asasi manusia dan kebebasan beragama, sangsi hukuman ini menjadi problematis. Dari ini, konflik dan ketegangan pun muncul, tidak hanya di kalangan internal umat Islam, bahkan juga di luar komunitas Islam. Secara sosiologis, reaksi terhadap masalah ini begitu beragam. Tulisan ini mencoba membuat tipologi respons dan reaksi terhadap konsep riddah. Namun sebelumnya, akan dipaparkan kerangka teoritis yang terkait dengan riddah dan pelbagai implikasi sosialnya.
II.   Riddah dan Respons Sosial: Kerangka Teoritis
Dalam kajian sosiologis, konsep riddah bisa dimasukkan ke dalam kajian tentang “konversi agama”. Istilah “konversi” (conversion) umumnya merujuk kepada suatu proses peralihan atau pengubahan arah dalam hidup. Secara khusus ia merujuk kepada perubahan dalam pandangan dunia, atau transformasi dalam gambaran diri seseorang.[3] Atau, dalam bahasa yang paling umum, ia menunjuk kepada makna “pindah agama, keyakinan, atau paham ideologis.” Sebagai sebuah unit analisis, konversi agama dapat dikaji dalam berbagai pendekatan yang berbeda, seperti di antaranya psikologi[4] dan sosiologi.
Dalam wacana sosiologis, kajian yang memfokuskan pada proses konversi adalah teori brainwashing (penyucian otak) atau persuasi koersif. Istilah brainwashing merujuk kepada satu proses di mana seseorang dipaksa untuk mengadopsi satu sistem kepercayaan, perilaku atau pandangan dunia.[5] Untuk dapat melakukan hal itu, seseorang harus mempunyai kontrol fisik yang total terhadap orang itu, terutama dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendasar. Atau dengan kata lain, ia mempunyai kontrol terhadap kehidupan dan kematian orang itu. Dalam model konversi ini, orang yang melakukan konversi pada dasarnya tidak didasari oleh keinginan pilihannya sendiri, tetapi ada kekuatan-kekuatan luar yang mempengaruhi pilihan-pilihan keagamaan tersebut. Pilihan-pilihan keagamaan yang didasari pada proses penyucian otak tersebut tidaklah rasional, yaitu lebih didasari pada emosi dan insting, ketimbang pada rasio atau pertimbangan yang sadar. Untuk itu, konversi yang didasari pada kondisi-kondisi seperti ini tidak dianggap sebagai konversi yang riil (true conversion), namun sebagai konversi palsu (pseudo-conversion). Dan pilihan-pilihan yang didasari pada faktor-faktor non-rasional, seperti emosi, intuisi dan pengalaman-pengalaman mistis yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata secara implisit dianggap sebagai inferior.
Riddah adalah sebuah konsep teologis yang mengandung muatan sosiologis. Sebuah konsep yang dibungkus dengan kemasan teologis mengandung muatan-muatan ideologis. Segala sesuatu yang bersifat ideologis akan cenderung menciptakan respons dan reaksi. Riddah karena mengingat potensi yang ditimbulkannya terhadap umat, maka mendapatkan perhatian serius dalam fikih dengan memberikan sangsi yang berat kepada pelakunya. Sangsi yang mendapatkan pijakan teologis dari Alquran dan hadis Nabi menguat melalui proses hegemoni, yang tersebar di berbagai kitab fikih empat mazhab, bahkan lebih. Ini kemudian disebarluaskan melalui lembaga-lembaga pendidikan dan h}alaqât ‘ilmiyyah, sehingga konsep riddah dan sangsi hukumnya menjadi diterima oleh komunitas muslim sebagai sesuatu yang taken for granted. Dan ini pada gilirannya akan dipostitifkan melalui perundang-undangan untuk menciptakan kestabilan dan mempertahankan identitas kolektif keberagamaan. Namun, ketika konsep ini menguat, dalam realitas akan memunculkan sebuah resistansi oleh kelompok tertentu, yang oleh Gramsci disebut “organic intellectual”, yang meng-counter hegemoni konsep tersebut. Dalam kondisi ini, maka terjadi tarik menarik dan ketegangan, dan terkadang menciptakan konflik dan kekerasan.
III.  Riddah dalam Kitab-kitab Fikih Klasik
Kata riddah atau irtidâd mengandung pengertian “berpindah”, dan kata riddah ‘an al-Islâm berarti “keluar dari Islam”.[6] Dalam wacana hukum Islam, ia dipahami sebagai “keluar dari agama Islam menuju kepada kekafiran, baik dengan niat, ucapan, maupun tindakan baik dimaksudkan sebagai senda gurau, atau dengan sikap permusuhan maupun karena suatu keyakinan.”[7] Termasuk dalam kategori riddah pengingkaran terhadap ajaran-ajaran agama Islam yang sudah pasti, pelecehan terhadap Islam, atau penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.[8] Bahkan, pandangan-pandangan yang keras terhadap Islam dianggap sebagai kesesatan dan dinyatakan sebagai riddah, dan pelakunya disebut “murtad”. Klaim murtad berdasarkan hal ini pernah dialami oleh tokoh-tokoh seperti, Nas}r H}âmid Abû Zayd, Faraj Fauda dan H}assan H}anafî di Mesir, Mah}mûd Muh}ammad T}âhâ di Sudan, Asim Nesin di Turki dan Taslima Nasreen di Bangladesh. Selain itu, tuduhan apostasi dialami pula oleh beberapa kelompok keagamaan seperti Ahmadiyah di Pakistan dan Bahâ’î di Iran.
Dalam kitab-kitab fikih, masalah riddah dimasukkan ke dalam bagian fikih jinâyât (pidana), dan diulas secara cukup mendalam dalam berbagai kitab fikih mazhab yang ada. Hampir semua pendapat fikih mengarah kepada satu pembenaran adanya pembunuhan terhadap pelaku riddah jika pelakunya adalah bergender laki-laki dan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih mazhab, yaitu, “berakal dan tidak dipaksa.”[9] Dalam batasan ini, tidak dianggap riddah jika perbuatan atau perkataan tersebut berasal dari orang gila, anak kecil yang belum bisa mencapai usia tamyîz, orang mabuk, atau dipaksa selama hatinya tetap dalam keadaan iman.[10] Sementara itu, jika pelakunya adalah perempuan, dalam pandangan mazhab Mâlikî, Shâfi‘î, dan H}anbalî, mereka tetap juga harus dieksekusi, sedangkan menurut mazhab H}anafî dan Shî‘ah, ia hanya dipenjara sampai bertaubat dan menyesali perbuatannya serta kembali kepada Islam.
Meskipun adanya pandangan seperti itu dalam kitab-kitab fikih, namun tidak ditemukan dalil Alquran yang eksplisit menegaskan sangsi hukuman dunia terhadap orang yang keluar dari Islam, selain bahwa orang yang murtad akan mendapatkan sangsi yang pedih di akhirat.[11] Dalil yang dijadikan sebagai dasar pembenaran sangsi dunia, yaitu pembunuhan terhadap pelaku riddah, adalah hadis yang diriwayatkan dari banyak versi, namun yang paling terkenal dan sahih diantara hadis-hadis tersebut, menurut al-Bûtî,[12] adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abd Allâh b. ‘Abbâs, “Siapa yang mengubah agamanya, maka bunuhlah ia,”[13] dan hadis dari ‘Abd Allâh b. Mas‘ûd, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan-Nya’ kecuali karena salah satu dari tiga hal: pembunuhan, zina muh}s}an, serta meninggalkan agama dan keluar dari jama’ahnya.”[14] Semua hadis ini berada dalam status ahad, dan tidak satu pun yang masuk dalam kategori hadis mutawâtir.
Jika ditelaah secara historis, semenjak munculnya mazhab-mazhab fikih, umat Islam telah sepakat (ijmâ‘) tentang sangsi bunuh terhadap orang yang murtad dari Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbâs di atas.[15] Akan tetapi, mereka tidak menganggap pembunuhan tersebut sebagai sangsi atas keadaannya keluar dari Islam atau kufur. Mereka menganggap hanya sebagai hasil dan akibat penghianatan mereka terhadap agama Islam.[16] Jadi, dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa ‘illat dari sangsi bunuh terhadap seorang murtad bukanlah kufr, seperti diasumsikan oleh mayoritas ulama Shâfi‘iyyah, melainkan h}irâbah.[17] Al-Bût}î mengartikan h}irâbah sebagai “tampaknya tujuan permusuhan” (z}uhûr qasd} al-‘udwân).[18]
Beberapa kasus sejarah mendukung pula adanya asumsi ini, seperti kasus yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Abû Bakr al-Siddîq, yaitu ketika ada sejumlah orang yang enggan atau tidak mau membayar zakat. Kelompok ini beranggapan bahwa kewajiban berzakat hanya ada pada masa Nabi, dan ketika Nabi wafat, maka kewajiban tersebut pun menjadi hilang. Begitu pula, kasus munculnya klaim-klaim nabi palsu, yang juga diperangi oleh khalifah Abu Bakar. Pengingkaran terhadap kewajiban zakat yang qat}‘î dan klaim-klaim nabi palsu mengantarkan seorang individu atau kelompok kepada status murtad, dan dalam pandangan sahabat saat itu, harus dibunuh.
Bagi para pendukung pandangan ini, sangsi bunuh terhadap pelaku apostasi (apostate) mengandung pelbagai hikmah. Dan hikmah tersebut dijelaskan secara luas oleh salah seorang ulama besar dan mufassir kontemporer asal Tunisia, Shaykh Muh}ammad al-T}âhir b. ‘Âshûr dalam kitab tafsirnya al-Tah}rîr wa al-Tanwîr:
Orang kafir pada dasarnya tidaklah dibunuh, karena irtidâd merupakan keluarnya seseorang atau kelompok dari kesatuan Islam. Maka dengan keluarnya ia dari Islam setelah ia masuk ke dalamnya, sembari menyatakan bahwa ketika ia bercampur dengan agama ini ia merasa tidak cocok dan menemukan apa yang ada sebelumnya lebih baik. Maka, hal ini merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama, dan juga merupakan pembuka jalan bagi orang yang ingin mencabik-cabik agama. Hal ini bisa menyebabkan disintegrasi kelompok. Seandainya tidak ada sesuatu yang dijadikan penghalang terhadap hal itu, maka manusia tidak akan pernah jera. Dan tidak satu pun yang bisa menjadi penghalang selain hukuman mati. Oleh karena itu, hukuman mati dijadikan sebagai sangsi bagi pelaku apostasi sehingga seorang tidak akan masuk agama Islam kecuali dengan penuh kesadaran dan pengetahuan, dan tidak akan keluar dari agama itu setelahnya. Ini bukanlah bentuk pemaksaan agama, karena yang masuk dalam kategori pemaksaan beragama seperti dalam ayat “Tidak ada paksaan dalam agama adalah memaksa mereka untuk keluar dari agama mereka dan masuk ke dalam agama Islam. Sangsi hukuman ini adalah pemaksaan untuk tetap berada dalam agama Islam. [19]
Kesatuan pandangan para fuqahâ’ tentang siginifikansi hukuman mati terhadap pelaku riddah setidaknya sebagian hal didasari pada kekhawatiran adanya pengaruh negatif yang akan merongrong kesatuan kolektif umat Islam (social construction of the muslim collective identity). Bahasan berikut akan melihat bagaimana reaksi dan respons sebagian masyarakat muslim terhadap eksistensi h}add riddah dan urgensi penerapannya dalam masyarakat muslim.
IV.  Tipologi Respons terhadap H}add Riddah
Respons 1: Positivisasi H}add Riddah
Kebebasan beragama dan hak untuk berpindah agama, menurut kaum konservatif, bertentangan dengan tradisi Islam. Apostasi (riddah), dalam pandangan mereka, menghadirkan satu bahaya yang dapat menjauhkan seorang muslim dari agama Islam. Konversi agama atau apostasi di kalangan muslim dipercaya sebagai sesuatu yang sangat dilarang, dan bahkan merupakan satu kejahatan yang sangat serius. Di sebagian besar negara muslim, seperti Pakistan, Iran, Mesir, Sudan, Saudi Arabia, Yaman, dan Mauritania, pelbagai amandemen telah dimasukkan ke dalam konstitusi yang menjadikan apostasi sebagai satu tindakan kriminal yang dapat diberikan sangsi hukuman mati.[20] Di negara-negara Islam yang lain, apostasi dianggap ilegal namun tidak sampai dijatuhi hukuman mati, seperti di Malaysia, Jordania, Kuwait, Oman, Maldives, dan Qatar.
Di Pakistan, misalnya, seorang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan dan menghina terhadap Nabi Muhammad akan dikenakan sangsi pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup. Ketentuan ini berdasarkan pada Kitab Undang-undang Pidana Pakistan, Pasal 295C, yang berbunyi:
“Penggunaan kata-kata yang melecehkan, dan seterusnya, berkenaan dengan Nabi: siapapun ia dengan kata-kata, entah itu verbal atau tertulis, atau melalui gambar-gambar yang kelihatan, atau melalui pemberian atribut, sindiran, secara langsung atau tidak langsung, melecehkan nama Nabi Muhammad (Semoga Allah memberikan salawat kepadanya), akan dihukum mati, atau dipenjara seumur hidup, dan juga akan dikenakan denda.”
Bahkan, pada bulan Oktober 1990, Pengadilan Syariat Federal Pakistan menyatakan bahwa “hukuman bagi pelecehan terhadap Nabi Muhammad … adalah hukuman mati, bukan yang lain.”[21]
Sangsi pidana yang sama juga diberikan kepada segala upaya yang membanding-bandingkan atau menyamakan Mirza Gulam Ahmad dengan Nabi Muhammad di negara ini, karena penyamaan ini dianggap masuk dalam kategori apostasi. Pemberian sangsi yang keras terhadap pelaku apostasi dimaksudkan untuk menjaga ketentraman publik dengan memberikan sangsi pidana terhadap setiap tindakan yang menganggu perasaan keagamaan kelompok agama yang besar.
Di Iran, meskipun Undang-undang Pidana-nya tidak menegaskan adanya tindakan pidana apostasi, namun ia disebutkan dalam UU Press Iran pasal 26:
“Siapa pun yang menyakiti Islam dan tempat-tempat sucinya di media dan jika ini mencakup apostasi, maka akan diputuskan sebagai murtad. Jika tidak termasuk apostasi, maka orang tersebut akan diputuskan oleh pengadilan agama sesuai dengan peraturan perundangan pidana.”
Sangsinya memang tidak ditetapkan dalam UU Press Iran ini, namun secara implisit ditegaskan dalam fatwa yang ditulis oleh mendiang Ayatollah Khomeini: “Seorang yang murtad akan dipaksa untuk bertaubat dan jika menolak akan dieksekusi. Dianjurkan untuk memberikan penundaan tiga hari dan mengeksekusinya pada hari keempat jika ia menolak.” Menurut keterangan tertulis lainnya dari Khomeini, bukti terpenting untuk menuduh dan menghukum apostasi adalah bahwa tertuduh mengakui bahwa ia telah murtad dan dua orang laki-laki memperkuat ini. Pengadilan revolusi menggunakan fatwa Khomeini ini untuk mengeksekusi mati seorang yang telah konversi dari Islam ke Bahâ’î.[22]
Di Yaman, yang konstitusinya mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi negara dan syariat Islam sebagai sumber bagi semua legislasi, pemerintah memberikan kebebasan bagi umat Islam dan penganut agama lain untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya, namun melarang dengan keras apostasi dari agama Islam dan praktik pemurtadan terhadap umat Islam. Pelakunya dapat dikenakan sangsi pidana mati, menurut Kitab Undang-undang Pidana Yaman, Pasal 259.
Di Sudan, pidana mati terhadap pelaku riddah dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pidana Sudan 1991, pasal 126 (2) berbunyi:
“Siapa pun yang bersalah karena murtad diajak untuk menyesalinya sampai batas waktu yang ditentukan oleh pengadilan. Jika ia tetap bersikeras dalam kemurtadannya dan tidak kembali kepada Islam, maka ia akan dikenakan hukuman mati.”
Sementara itu, di Mauritania pidana mati terhadap orang yang murtad dari Islam dinyatakan dalam Undang-Undang Pidana Mauritania 1984 Pasal 306 yang berbunyi:
“… Semua muslim yang bersalah karena murtad, entah diucapkan atau dilakukan, akan diminta untuk menyesali perbuatannya selama rentang waktu tiga hari. Jika ia tidak menyesalinya selama waktu ini, maka ia dijatuhi hukuman mati sebagai seorang murtad, dan harta miliknya akan disita oleh Bendahara Negara.”
Positivisasi h}add tersebut adalah reaksi dan respons terhadap signifikansi penerapan “syariat Islam” dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam komunitas muslim. Karena diyakini oleh kelompok tradisionalis bahwa keengganan dan ketidakmauan menerapkan hukum Allah bisa mengantarkan seseorang masuk ke dalam kategori zalim, fasik, dan kafir. Dan penerapan ini merupakan bagian dari sadd al-dharî‘ah demi menghindari terjadinya sesuatu yang bisa merusak kesatuan dan identitas kolektif umat Islam.
Respons 2:
Kritik terhadap H}add Riddah dan Seruan Penghapusan dari Perundang-undangan
Meskipun sebagian besar fuqahâ’ mazhab mendukung hukuman bunuh terhadap pelaku apostasi, namun ada pula sebagian yang mempertanyakan relevansi dan validitas sangsi hukuman tersebut. Di antara mereka, seperti diungkapkan oleh Kamali,[23] adalah Ibrâhîm al-Nakhâ‘î (w. 95/713) dan Sufyân al-Thawrî (w. 162/772), yang dikenal sebagai amîrul mu’minîn fî al-h}adîth dan penulis kitab al-Jâmi‘ al-S}agîr dan al-Jâmi‘ al-Kabîr. Menurut mereka, orang yang murtad seharusnya diajak kembali kepada Islam bukan dihukum mati. Ajakan tersebut tetap terus dilakukan selama masih ada harapan bahwa orang itu akan mengubah pikirannya dan menyesali perbuatannya. ‘Abd al-Wahhâb al-Sha‘rânî juga mengutip pandangan-pandangan kedua ulama besar ini dan menambahkan bahwa orang murtad harus terus diajak untuk bertaubat dan menyesalinya.[24] Selain itu, dengan mendukung pendapat al-Nakhâ’î di atas, ‘Abd al-H}akîm H}asan al-‘Ilî dan Ismâ‘îl al-Badawî juga memberikan komentar bahwa pada masa al-Nakhâ’î, Islam aman dari kebencian orang kafir dan murtad. Ini, tegas mereka, mengindikasikan bahwa al-Nakhâ’î benar-benar memahami hadis tersebut dengan baik, yang menganggap hukuman mati bagi pelaku apostasi sebagai berwatak politik dan ditujukan hanya pada musuh-musuh Islam yang telah kuat.
Al-Sarakhsî, ahli fikih kenamaan dari mazhab H}anafî, juga berpendapat bahwa riddah tidak tepat dikenakan sangsi hukuman dunia, dan tidak ada rincian sangsi hukuman (h}add) terhadapnya. Al-Sarakhsî berkata:
إن تبديل الدين و أصل الكفر من أعظم الجنايات ولكنها بين العبد و بين ربه فالجزاء عليها مؤخر إلى دار الجزاء ...
“Peralihan agama dan kekafiran termasuk kesalahan yang paling besar, namun itu adalah urusan dirinya dengan Tuhannya, dan hukumannya ditunda sampai pada hari pembalasan nanti.”[25]
Di kalangan ulama dan intelektual muslim kontemporer, kritik terhadap eksistensi hukuman mati sebagai h}add riddah diarahkan kepada ayat-ayat yang dan hadis-hadis Nabi yang dijadikan sebagai dasar legitimasi hukuman tersebut. Mah}mûd Shaltût,[26] misalnya, menganalisis bukti yang relevan dalam sumber-sumber tersebut dan menarik suatu kesimpulan bahwa riddah tidak membawa hukuman dunia, dan berkenaan dengan dosa yang khusus ini, Alquran hanya berbicara tentang hukuman di akhirat: “Hadis yang menyatakan ‘seorang yang mengubah agamanya harus dibunuh’ memunculkan respons yang serius dari para ulama yang sebagiannya sepakat bahwa h}udûd tidak dapat dibangun pada hadis ahad, dan kekafiran itu sendiri tidak menyerukan hukuman mati,” demikian kata Shaltût. Ia juga menambahkan bahwa faktor kunci yang menentukan penerapan hukuman mati adalah permusuhan terhadap orang beriman dan kebutuhan untuk mencegah fitnah terhadap agama dan negara. Kesimpulan ini didukung oleh makna yang jelas dari ayat-ayat Alquran (Q.S. al-Baqarah [2]: 256 dan Yûnus [10]: 99) yang menegaskan tidak adanya paksaan dalam beragama.
Argumen bahwa tidak ada ayat Alquran yang secara eksplisit menerangkan hukuman mati bagi apostasi juga didukung oleh Jamal A. Badawi, [27] Ashgar Ali Engineer,[28] Abdullah Saeed,[29] Riffat Hassan[30] dan Louay Safi.[31] Yang benar-benar jelas dijadikan dasar legitimasi bagi sangsi hukuman mati terhadap pelaku apostasi hanyalah hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Karenanya, yang menjadi sasaran kritik mereka adalah bagaimana validitas dan relevansi hadis tersebut.
Menurut Louay Safi,[32] kedua hadis yang dijadikan dasar sangsi hukuman di atas tidak dapat berdiri sebagai dalil yang dipercaya karena bertentangan dengan banyak dalil Alquran. Menurut pendekatan maqâs}id, sebuah hadis dapat membatasi penerapan pernyataan Alquran yang umum, namun tidak pernah menegasikannya. Selain itu, hadis tersebut bahkan bertentangan dengan praktik nabi yang diriwayatkan telah memaafkan orang-orang muslim yang murtad. Salah satu contoh adalah kasus ‘Abd Allâh b. Sa‘ad setelah ‘Uthmân memohon atas namanya. ‘Abd Allâh dulunya adalah salah seorang penulis yang diangkat Nabi untuk menulis wahyu Alquran. Setelah hidup sesaat dengan umat Islam di Madinah, ia keluar dari Islam dan kembali ke agama Quraisy. Ia dibawa ke depan pengadilan Nabi oleh Uthmān yang memohon agar ‘Abd Allâh dimaafkan. Ia dimaafkan meskipun ia masih dalam keadaan murtad dan belum kembali kepada Islam. Jika riddah benar-benar dikenakan sangsi h}add, tentunya ‘Uthmân tidak akan memohon kepada Nabi, dan juga Nabi tidak akan memaafkannya karena melanggar hukum syariat. Oleh karena itu, menurut Safi, riddah tidak mencakup tindakan moral konversi, namun merupakan sebuah tindakan pemberontakan militer, yang peredamannya membenarkan penggunaan kekuatan dan senjata.
Dalam tinjauan kritik hadis di atas, dapat dikatakan bahwa validitas sangsi hukuman mati terhadap pelaku riddah selama tidak mengandung motivasi untuk menghancurkan fondasi agama atau makar militer mesti diperhitungkan ulang karena hal ini menyangkut masalah kebebasan dan kehidupan seseorang, sementara mendasari hukuman mati hanya semata-mata pada hadis ahad yang bersifat z}annî tidak bisa dibenarkan dalam tinjauan sharî‘ah.
Bagan 1: Tokoh-tokoh pengkritik hukuman mati terhadap pelaku apostasi
No.
Nama
Posisi
1.
‘Umar b. ‘Abd al-Azîz (w. 97/720)
Khalifah Bani Umayyah
2.
Ibrâhîm al-Nakhâ‘î (w. 95 H)
Faqîh H}anafî
3.
Sufyân al-Thawrî (w. 141 H)
Faqîh, amîr al-mu’minîn fî al-H}adîth
4.
Shams al-Dîn al-Sarakhsî (w. 389 H.)
Faqîh H}anafî, pengarang al-Mabsût}
5.
Abû al-Walîd al-Bâjî (w. 474 H)
Faqîh Mâlikî
6.
Imâm Abû ‘Abd Allâh al-Qurt}ubî (w. 1273)
Mufassir al-Jâmi‘ li Ah}kâm al-Qur’ân, Faqîh Mâlikî
7.
Abû H}ayyân al-Andalusî (w. 1355)
Faqîh Mâlikî, Mufassir al-Bah}r al-Muh}ît
8.
Ibn al-Hammâm al-Hîanafî (abad ke-14)
Faqîh H}anafî
9.
Shaykh Rashîd Ridîâ (1865-1935)
Intelektual, murid ‘Abduh dan Afghânî
10.
Mawlânâ Muh}ammad ‘Alî Jawhar (1878-1931)
Pemimpin “Khilâfat Movement”
11.
Shaikh Mah}mûd Shaltût (1893-1963)
Shaykh al-Azhar, 1958-1963
12.
Subh}î Mah}masânî
Ahli hukum Lebanon
13.
Shaykh Muh}ammad Sayyid T}ant}âwî
Shaikh al-Azhar, sejak 1996
14.
Dr. Jamal Badawi
Professor Emeritus, St. Mary's University, Canada
15.
Dr. Mohammad Hashim Kamali
Professor of law, the International Islamic University of Malaysia
16.
Dr. Tariq Ramadan
Akademisi dan ilmuan Swiss
17.
Ayatullah Murtadha Mutahari (w. 1979)
Ulama, akademisi dan tokoh politik Iran berpengaruh
18.
Dr. Hassan Turabi
Sudanese Islamic leader and intellectual
19.
KH. Abdurrahman Wahid
former President of Indonesia and leader of Nahdatul Ulama
20.
Ayatollah Hossein-Ali Montazeri
Ulama Shî‘ah Imâmiyyah
21.
Dr. Muhammad Ma‘ruf al-Dawalibi
Mantan Professor of Law, University of Damascus, Syria; Anggora, Supreme International Council for Mosques, Makkah
22.
Sheikh Gamal Al-Banna
Pemikir, pengarang, dan jurnalis Muslim Mesir
23.
Dr. Abdul Aziz Sachedina
Professor, Religious Studies, University of Virginia
24.
Dr. Rachid Ghannouchi
Pemikir, filosof dan ilmuan di the European Council for Fatwa and Research
25.
Dr. Abdul Hamid Abu Sulayman
Mantan Rektor, International Islamic University, Malaysia; Mantan Ketua, International Institute of Islamic Thoughts
26.
S. A. Rahman
Mantan Hakim Agung Pakistan
27.
Dr. Khaled Abou El Fadl
Professor of Law and Islamic Studies, University of California, Los Angeles, USA
28.
Dr. Fathi Osman
Intelektual, Jurnalis
29.
Dr. Sheikh Mohammed Ali Al-Hanooti
Mufti Besar Washington
30.
Dr. Mahmoud Ayuob
Professor of Islamic Studies, Temple University
31.
Dr. Asghar Ali Engineer
Direktur, Institute of Islamic Studies, India
32.
Dr. Abdullah Saeed
Direktur, Centre for the Study of Contemporary Islam, University of Melbourne, Australia
33.
Dr. Mohamed Shahrour
Intelektual Syiria, pengarang al-Kitâb wa al-Qur’ân dan Nahwa Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî
34.
Dr. Irfan Ahmad Khan
Presiden, the World Council of Muslims for Interfaith Relations and Chair of the Interreligious Engagement Project
35.
Dr. Imad-ad-Dean Ahmad
Presiden/Direktur, Minaret of Freedom Institute, Maryland, USA
36.
Shaikh Dr. Taha Jabir al-Alwani
Presiden, the Fiqh Council of North America sejak 1988
37.
Dr. Louay Safi
Direktur Eksekutif, ISNA Leadership Development Center
38.
Dr. Ingrid Mattson
Presiden, Islamic Society of North America; Professor of Islamic studies at Hartford Seminary in Connecticut
39.
Dr. Zaki Badawi
Ketua, the Muslim Law (Shariah) Council UK; Wakil Ketua, the World Congress of Faiths;, dan Direktur, Trustee of UNICEF UK
40.
Imam Feisal Abdul Rauf
Pendiri dan CEO of the American Society for Muslim Advancement (ASMA Society) and Imam of Masjid Al-Farah, masjid di New York City
41.
Dr. Saif Ad-Deen 'Abdul-Fattah
Professor of political theory at Cairo University
42.
Dr. M. Cherif Bassiouni
Presiden, International Human Rights Law Institute at DePaul University
43.
Sheikh Muhammad Al-Mukhtar Al-Shinqiti
Direktur, the Islamic Center of South Plains, Lubbock, Texas
44.
Dr. Chandra Muzaffar
Ilmuan politik Malaysian; Presiden, the International Movement for a Just World (JUST)
45.
Dr. Riffat Hassan
Direktur, Religious Studies, University of Louisville
46.
Dr. Ziauddin Sardar
Kritik budaya, Ilmuan Muslim, pengarang yang paling produktif, dan editor Futures: The Journal of Planning, Policy, and Futures Studies
47.
Dr. Abdullahi Ahmed an-Naim
Professor of Law at Emory University School; Direktur, The Religion and Human Rights Program di Emory
48.
Dr. Azizah al-Hibri
Professor di the T. C. Williams School of Law, University of Richmond; Pendiri dan Presiden, KARAMAH: Muslim Women Lawyers for Human Rights
49.
Dr. A. Rashied Omar
Research Scholar of Islamic Studies and Peacebuilding, Joan B. Kroc Institute for International Peace Studies, University of Notre Dame
50.
Zainah Anwar
Direktur Eksekutif, Sisters in Islam, Kuala Lumpur, Malaysia
51.
Dr. Muqtedar Khan
Assistant Professor, the Department of Political Science and International Relations at the University of Delaware
52.
Masih juga yang lainnya yang tidak dicakup di sini

Sumber: “On Apostasy and Islam: 100+ Notable Islamic Voices affirming the Freedom of Faith” http://apostasyandislam.blogspot.com
Selain kritik teks di atas, kritik lain didasarkan pada pentingnya penegakan isu-isu human rights dan freedom of belief, yang ini sudah dicanangkan oleh Universal Declaration of Human Rights Pasal 19: “setiap orang mempunyai hak untuk bebas berpikir, bersuara dan beragama. Ini termasuk  hak untuk mengubah agama atau keyakinannya …”. Tokoh-tokoh yang berpijak pada isu ini di antaranya adalah Abdullah Saeed dan Riffat Hassan. Sebagai contoh adalah pernyataan Riffat Hassan:
In the context of the human right to religious freedom, it is necessary to mention that, according to traditional Islam, the punishment for apostasy is death. In other words, a person who is born a Muslim or who becomes a Muslim is to be put to death if he or she later chooses to renounce Islam. There is nothing in the Qur’an which suggests any punishment at all, let alone the punishment of death, for a Muslim who renounces Islam. There is absolutely no reason to assume that the Qur’anic dictum, “Let there be no compulsion in religion” (Sura 2:256), which modern Muslims apply with such magnanimity to non-Muslims does not or should not apply to Muslims also. (I believe that the death penalty was not meant to be a punishment for apostasy alone but for apostasy accompanied by “acts of war” against the Muslims. Muslim legists, however, obliterated the distinction between the exercise of a human right and the violation of others’ human rights in order to terrify the “wavering”Muslims into remaining in the fold of Islam).[33]
VI.   Penutup
Konflik dan ketegangan dalam masalah riddah [apostasi] adalah suatu hal yang dapat dipahami dalam bangunan suatu agama, karena ia menyangkut masalah-masalah yang sangat sensitif. Di satu sisi, ia terkait dengan kerangka iman yang membutuhkan satu kesadaran penyerahan yang total dan tidak akan bisa keluar lagi ketika telah masuk ke dalam bangunan tersebut, karena keluar darinya dapat membahayakan keseluruhan bangunan dan yang ada di dalamnya. Di sisi lain, perpindahan dari suatu agama kepada agama lain adalah hak asasi manusia yang bebas menentukan keyakinan yang dikehendakinya. Hak pemeliharaan atas agama dan kebebasan individu berada dalam suatu lingkaran ketegangan yang sulit untuk diselesaikan.
Kelompok pro-sangsi mati terhadap apostasi bersikukuh tentang perlunya sangsi yang keras demi pemeliharaan identitas kolektif umat Islam, dan itu tidak lain adalah hukuman mati. Bahkan, sangsi ini harus dipositifkan dalam bentuk perundang-undangan. Pernyataan ini dikritik oleh sebagian fuqaha dan juga intelektual muslim kontemporer, terutama terkait dasar teks yang dijadikan sandaran legitimasi sangsi itu. Lebih dari itu, isu-isu human rights dan freedom of belief dijadikan kerangka penyelesaian masalah oleh hampir sebagian besar intelektual muslim kontemporer.
VII.  Bibliografi
1.  Sumber Cetak
al-Andalûsî, Abû Muhammad ‘Alî b. Ahmad b. Sa‘îd b. Hazm, al-Îsāl fī al-Muhallâ bi al-Âthâr, Tahqîq: ‘Abd al-Ghaffâr Sulaymân al-Bandârî, Jilid 12, Beirut: Dâr al-Fikr, 1984
‘Âshûr, Muhammad Tâhir b., al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid 1, Juz 2, Tunisia: Dâr al-Sahnûn, 1997
al-Bûtî, Muhammad Sa‘îd Ramadân, al-Jihâd fî al-Islâm: Kayfa Nafhamuhu wa Kayfa Numârisuhu, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âsir, 1993
Dahlan, Abdul Aziz et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Cet. ke-4, Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 2000
al-Fâsî, ‘Allâl, Maqâsid al-Sharî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ, Cassablanca: Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, tt
Fowler, James, Stages of Faith, San Fransisco: Harper & Row, 1981
Hassan, Riffat, “On Human Rights and the Quranic Perspective” dalam Journal of Ecumenical Studies, Vol. 19, No. 3 [Summer 1982]: 51-65
Kamali, Mohammad Hashim, Islamic Law in Malaysia: Issues and Developments, Kuala Lumpur: Islamic Publisher, 2000
Kohlberg, Lawrence, Essays on Moral Development, I: The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of Justice, San Francisco: Harper & Row, 1981
Manzûr, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad b. Mukram Ibn, Lisân al-‘Arab, Juz 3, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1990
Marty, Martin E., “The Role of Religion in Cultural Foundations of Ethnonationalism” dalam Religion, Ethnicity, and Self Identity: Nations in Turmoil,  ed. Martin E. Matty dan R. Scott Applebi, New England: Universtiy Press of New England, 1997
al-Mâwardî, Abû al-Hasan ‘Alî b. Muhammad b. Habîb, al-Hâwî al-Kabîr fî Fiqh Madhhab al-Imâm al-Shâfiî, Tahqîq & Ta‘lîq: ‘Alî Muhammad Mu‘awwad dan ‘Âdil Ahmad ‘Abd al-Mawjûd, Juz 13, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994
Monshipouri, Mahmood, “Islam and Human Rights in the Age of Globalization,” dalam Islam Encountering Globalization, ed. Ali Mohammadi, New York: Routledge Curzon, 2002
Pink, Daniel H., A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future, New York: Riverhead Books, 2006
Pink, Daniel H., Misteri Otak Kanan Manusia, Terj. Rusli, Yogyakarta: Think Press, April 2007


[1] Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future, (New York: Riverhead Books, 2006), 222. Daniel H. Pink, Misteri Otak Kanan Manusia, Terj. Rusli, (Yogyakarta: Think Press, April 2007).
[2] Martin E. Marty, “The Role of Religion in Cultural Foundations of Ethnonationalism” dalam Martin E. Matty dan R. Scott Applebi (eds), Religion, Ethnicity, and Self Identity: Nations in Turmoil,  (New England: Universtiy Press of New England, 1997),  2-3.
[3] Keith A. Roberts, Religion in Sociological Perspective, (California: Wadsworth, 1995), 113.
[4] Kajian psikologis tentang konversi bisa ditemukan dalam teori “perkembangan moral” (moral development) yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg menyatakan bahwa semua orang tanpa melihat kepada latarbelakang keagamaan atau budayanya bergerak melalui alur tingkatan yang sama. Begitu pula dengan afiliasi formal keagamaan seseorang, meskipun tidak secara berurutan, namun tetap akan melalui tingkatan-tingkatan: (1) preconventional level; (2) conventional level; dan (3) principled level. [lihat, Kohlberg, Essays on Moral Development, I: The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of Justice, (San Francisco: Harper & Row, 1981)]. Kajian lain dikembangkan oleh James Fowler, yang mengusulkan enam tingkatan yang terjadi dalam agama apa pun di dunia. Tahapan-tahapan itu merujuk kepada pemrosesan kognitif atas simbol-simbol dan mitos-mitos, tidak kepada muatan atau keyakinan khusus suatu keimanan. Tahapan tersebut adalah: (1) intuitive-projective faith; (2) mythic literal faith; (3) conventional faith; (4) individuative-reflective faith; (5) conjunctive faith; (6) universalizing faith. [Lihat James Fowler, Stages of Faith, (San Fransisco: Harper & Row, 1981); Roberts, Religion, 143-47; dan A. Supratiknya (ed), Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James Fowler, Terj. Agus Cremers, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 26-37].
[5] Ibid., 114.
[6] Abû al-Fad}l Jamâl al-Dîn Muh}ammad b. Mukram Ibn Manz}ûr, Lisân al-‘Arab, Juz 3, Cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), 172-3.
[7] Abdul Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Cet. ke-4, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 2000), 1233
[8] ‘Abd al-Karîm Zaydân, al-‘Uqûbah fî al-Sharî‘ah al-Islâmiyyah, Cet. ke-2, (Kairo: Mu’assasah al-Risâlah, 1988), 34
[9] Abû al-H}asan ‘Alî b. Muh}ammad b. H}abîb al-Mâwardî al-Bas}rî, al-H}âwî al-Kabîr fî Fiqh Madhhab al-Imâm al-Shâfiî, Tah}qîq & Ta‘lîq: ‘Alî Muh}ammad Mu‘awwad dan ‘Âdil Ah}mad ‘Abd al-Mawjûd, Juz 13, Cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 149; Abû Muh}ammad ‘Alî b. Ah}mad b. Sa‘îd b. H}azm al-Andalusî, al-Îs}âl fî al-Muh}allâ bi al-Âthâr, Tah}qîq: ‘Abd al-Ghaffâr Sulaymân al-Bandârî, Jilid 12, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), 115; Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Tah}qîq: ‘Abd Allâh b. ‘Abd al-Muh}sin al-Turkî dan ‘Abd al-Fattâh} Muh}ammad al-H}ilw, Jilid 12, Cet. ke-1, (Kairo: Hajar, 1990), 264; Shams al-Dîn al-Sarakhsî, al-Mabsût}, Juz 10, Cet. ke-1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 98
[10] Zaydân, al-‘Uqûbah, 34
[11] Lihat Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 90-91, “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat (90). Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” (91); Q.S. al-Nisâ’ [4]: 137, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”; Q.S. al-Nah}l [16]: 106-109, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar (106). Yang demikian itu adalah karena mereka sungguh mencintai kehidupan di dunia lebih daripada akhirat, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (107). Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai (108). Pasti mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi (109).
[12] Muh}ammad Sa‘îd Ramad}ân al-Bût}î, al-Jihâd fî al-Islâm: Kayfa Nafhamuhu wa Kayfa Numârisuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âs}ir, 1993), 210
[13] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Ibn Mâjah, Abû Dâwûd dan Tirmidhî. Redaksi hadis ini adalah sebagai berikut:   من بدل دينه فاقتلوه
[14] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim. Redaksi hadis ini adalah sebagai berikut:
لا يحل دم امرء مسلم يشهد أن لاإله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث: النفس بالنفس والثيب الجاني والمفارق لدينه التارك للجماعة (رواه الشيخان وغيرهما عن عبد الله بن مسعود) 
[15] Ibn Qudâmah, al-Mughnî, 264
[16] ‘Allâl al-Fâsî, Maqâs}id al-Sharî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ, (Cassablanca: Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, tt), 249
[17] Al-Bût}î, al-Jihâd, 214
[18] Ibid., 107
[19] Muh}ammad T}âhir b. ‘Âshûr, al-Tah}rîr wa al-Tanwîr, Jilid 1, Juz 2, (Tunisia: Dâr al-Sah}nûn, 1997), 336
[20] Mahmood Monshipouri, “Islam and Human Rights in the Age of Globalization,” dalam Ali Mohammadi (ed), Islam Encountering Globalization, (New York: RoutledgeCurzon, 2002), 100
[21] Amnesty International, Report on Pakistan (ASA 33/10/96) [Online]. Diakses: 20 Mei 2007. Artikel tersedia di http://www.thepersecution.org/ai/amnst196.html
[22] Danish Immigration Service, “On Certain Crimes and Punihsments in Iran” Report from fact-finding mission to Tehran and Ankara, 22-29 January 2005. Dapat diakses pada http://www.udlst.dk
[23] Mohammad Hashim Kamali, Islamic Law in Malaysia: Issues and Developments, (Kuala Lumpur: Islamic Publisher, 2000), 217; M. H. Kamali, “Punishment In Islamic Law: A Critique Of The Hudud Bill Of Kelantan, Malaysia” [online] diakses pada http:// www.lawinislam.com/article.php?id=18
[24] Ibid.
[25] Al-Sarakhsî, al-Mabsût}, 10: 110
[26] Mah}mûd Shaltût, al-Islâm ‘Aqîdah wa Sharî‘ah, Cet. ke-17, (Kairo: Dâr al-Shurûq, 1997), 281
[27] Jamal A. Badawi, “Is Apostasy a Capital Crime in Islam?” [Online] Artikel dapat diakses pada http://www.islamonline.net/English/contemporary/2006/04/ article02.shtml
[28] Asghar Ali Engineer, “Islam and Punishment for Apostasy”, Islam and Modern Age, 2006. Dapat diakses pada http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/ articles/islam_and_punishment_for_apostasy
[29] Abdullah Saeed, “A Fresh Look at the Freedom of Belief in Islam” [Online]. Dapat diakses pada http://www.globalwebpost.com/farooqm/study_res/islam/ freedom/a_saeed_freedom_of_faith.html
[30] Riffat Hassan, “On Human Rights and the Quranic Perspective” dalam Journal of Ecumenical Studies, Vol. 19, No. 3 [Summer 1982]: 51-65
[31] Louay Safi, Human Rights and Islamic Legal Reform, (Online). Dapat diakses pada http://home.att.net/~l.safi/articles/1999/human.html
[32] Ibid..
[33] Hassan, On Human Rights, 58