Rabu, 12 Desember 2012

Sharia-fashion

ShariaH-Fashion: MENELUSURI SEJARAH DAN NILAI IDEOLOGIS PAKAIAN DALAM TRADISI ISLAM *

Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc **


1.   Pendahuluan: Makna Fesyen dan Faktor Pemengaruh

Istilah “fesyen” (fashion) dan “pakaian” (clothing) cenderung digunakan secara sinonim. Namun secara sosiologis, keduanya berbeda. Fesyen menyampaikan sejumlah makna sosial yang berbeda, sedangkan pakaian (clothing) adalah bahan-bahan dasar generik dari sesuatu yang dipakai seseorang (the generic  raw  materials  of  what  a  person  wears).[1] Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa istilah fashion, secara sosiologis-politis, mengandung muatan-muatan ideologis yang kental, ketimbang kata clothing. Yang pertama ini nantinya akan mengemas dan mewarnai yang kedua, terutama dalam kaitannya dengan bentuk, model, dan mungkin jenis pakaian.

Sebagaimana telah diketahui bahwa semua realitas yang ada dalam kehidupan kita ini pada dasarnya dikonstruksi secara sosial, termasuk fesyen. Dalam proses pembentukan tersebut, ada beberapa hal yang mungkin mempengaruhinya. Pertama adalah kultur atau etnisitas. Pada masa-masa awal, terutama sebelum globalisasi muncul, bentuk pakaian dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat. Pakaian-pakaian tersebut disebut ethnic dress atau folk costume.[2] Menurut Akou,[3] dari namanya tersirat bahwa pakaian-pakaian tersebut tidak meluas secara global atau sampai kepada komunitas lain di belahan dunia lain, namun hanya terbatas kepada kelompok orang tertentu dalam kaitan dengan produksi dan penggunaannya. Dalam hal ini, iklim, cuaca, pandangan hidup dan keyakinan lokal setempat tentu saja sangat mempengaruhi.

Kedua adalah agama. Istilah agama secara umum dipahami sebagai nilai-nilai yang mengatur sikap dan perilaku seseorang. Berpakaian adalah salah satu perilaku dan perbuatan, dan menurut agama, baik buruknya seorang berpakaian ditentukan oleh nilai-nilai yang dibuat oleh Tuhan. Agama tentu saja mengatur persoalan tubuh dan bagian-bagian darinya yang harus ditutupi. Sehingga tidak heran jika dalam sebuah komunitas agama terdapat berbagai model dan corak busana yang dianjurkan untuk menutupi bagian-bagian tersebut, yang dalam Islam, disebut ‘aurah, yang dalam bahasa Arab artinya “sesuatu memalukan yang harus ditutupi.”

Faktor pemengaruh yang terakhir adalah globalisasi. Istilah ini mengarah kepada pemahaman “memudarnya batasan-batasan geografis” dalam pembentukan suatu praktik atau pengetahuan. Artinya, apa yang terjadi di belahan dunia lain akan dapat diakses dan bahkan mempengaruhi belahan dunia lainnya, dalam kaitan dengan pembentukan praktik dan pengetahuan. Pakaian etnik (micro-culture) atau pakaian nasional (culture) akan mudah dipengaruhi oleh apa yang menjadi tren dunia atau global (macro-culture). Sebagai contoh, celana jeans, yang menjadi world fashion, dipakai oleh perempuan muslim di mana pun, meskipun mereka tetap tidak menghilangkan identitas keislamannya sebagai wanita muslimah, yaitu dengan tetap memakai jilbab atau kerudung.

Perumusan ketiga faktor ini tentu saja tidak bersifat mutlak atau eksklusif, namun ini dapat dikatakan merupakan fakta umum yang keberadaannya saling berkaitkelindan. Artinya, pakaian etnik mungkin tetap dalam kekhasan dan keunikannya, namun secara estetika mungkin memakai apa-apa yang sudah menjadi tren global atau dunia.

2.   Motif Manusia Berbusana

Mengenai motif yang mendasari berbagai variasi busana manusia dapat direduksi ke dalam lima hal yang, tidak bersifat ekslusif atau absolut, namun menjadi fenomena umum alasan orang berpakaian, yaitu protection (perlindungan), warmth (kehangatan), decoration (dekorasi), modesty (kesopanan), dan symbolism (simbol).[4] Alasan-alasan ini mungkin saling tumpang tindih, dan mereka disusun sesuai dengan urutan tampilannya. Motif pertama dan kedua mungkin mempunyai keserupaan, yaitu perlindungan dari kondisi-kondisi lingkungan luar. Pandangan ini dikritik oleh Michel de Montaigne. Menurutnya, seperti dikutip oleh Johnson et.al,[5] “keadaan telanjang” adalah kondisi alami, dan manusia-manusia tanpa busana, seperti halnya makhluk hidup lainnya, tidak membutuhkan perlindungan artifisial dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Tetapi, manusia juga tidak mendapatkan perlindungan apa pun dari pengaruh-pengaruh tersebut ketika mereka mulai berbusana. Jadi, bukan motif perlindungan yang membuat seorang berpakaian, menurut Montaigne, namun kebiasaan (custom).

Sementara itu, motif yang ketiga, dekorasi, mengikuti dua alur yang berbeda; pertama, motif untuk menarik secara seksual (sex attraction).[6] Menurut teori ini, berpakaian muncul terutama “dari keinginan pria dan perempuan untuk membuat diri mereka saling tertarik.” Pandangan ini didukung oleh Havelock Ellis, Grosser, dan lain-lain. Kedua, untuk tujuan kecantikan dan keindahan yang lebih tinggi, yang menyenangkan dalam hal warna, bentuk, disain, dan untuk tujuan kesenangan estetika, yang tidak berhubungan dengan motif yang pertama.[7]

Motif yang keempat adalah modesty, yaitu satu bentuk kesadaran terhadap jenis kelamin, khususnya buat perempuan.[8] Maka, modesty dalam pakaian, seperti yang diterapkan kepada perempuan, adalah memberikan satu ciri feminitas yang dapat dilihat orang bahwa dirinya adalah perempuan. Oleh karena itu, kostum perempuan dan laki-laki berbeda berdasarkan pandangan ini. Pakaian laki-laki kebanyakan dimodifikasi oleh kondisi-kondisi fisiknya, sedangkan busana perempuan oleh keadaan-keadaan kejiwaannya.[9]

Motif yang terakhir adalah symbolism. Simbolisme ini sangat berpengaruh dalam memodifikasi pakaian kita. Bahkan dalam pakaian-pakaian praktis pria, unsur-unsur simbolisnya lebih kelihatan, meskipun tidak disadari. Simbolisme ini terlihat jelas pada pakaian-pakaian seragam. Misalnya, pakaian militer lebih kental terlihat simbolisnya ketimbang kegunaannya. Dan, semakin tingginya simbol terlihat ketika seorang mempunyai posisi-posisi yang tinggi.[10]

Selanjutnya, Alfred E. Crawley dalam sebuah esainya yang diterbitkan dalam buku Dress, Drinks and Drums juga membahas tentang motif dan asal mula manusia berpakaian. Crawley[11] mengkategorikan apa yang ia lihat sebagai hipotesis ke dalam tiga kelompok yang berbeda: unsur dekoratif, gagasan penyembunyian terkait dengan kesopanan dan ketertarikan seksual, dan kebutuhan terhadap perlindungan. Ia percaya bahwa karena kita tidak mempunyai bukti langsung tentang asal mula pakaian, maka alasan untuk asal mula kemunculannya hanya sekedar spekulasi. Crawley melihat pakaian sebagai ekspresi dan perluasan dari keperibadian, dan dalam pengertian ini, karenanya, menjelaskan bagaimana pakaian memperluas kapabilitas tubuh. Pakaian menandai tingkatan biologis dan sosial dalam kehidupan seperti usia, gender dan status. Pakaian, sebagai bentuk sosial, adalah sebuah kebiasaan sosial dan menjadi afirmasi langsung terhadap keperibadian dan negara, mengekspresikan keluarga, gerakan sosial dan peran sosial yang senantiasa berubah, dan pemerintah. Pakaian juga merupakan pelindung baik fisik maupun psikologis, yang digunakan sebagai jimat. Pakaian juga merupakan bentuk komunikasi, pertunjukan sosial, dan mata uang sosial.

Selain itu, Sylvia Hortnese Bliss menjelaskan alasan manusia berpakaian melalui pendekatan antropologi dan psikoanalisis. Bliss[12] memperkenalkan gagasan manusia sebagai makhluk yang “belum sempurna” dan “belum selesai” dibandingkan dengan alam yang lainnya. Ia menjelaskan bahwa pakaian (dress) mengekspresikan dan merefleksikan cita-cita dan gagasan-gagasan tidak sadar atau separuh sadar. Berbeda dengan Montaigne, Bliss berpendapat bahwa sejarah pakaian itu adalah proses usaha manusia untuk mencari “kostum manusia” yang sempurna. Ini lebih pas, alami, khas sebagai eksterior bulu bagi binatang. Perubahan pakaian, karenanya, menyiratkan perubahan dalam wawasan mental kolektif manusia.

3.   Pesan Ideologis Pakaian: Perspektif Sosiologis

Seperti dikatakan Calefato,[13] pakaian adalah “penyampai makna dan nilai, yang memberikan bentuk kepada objek, yang kepadanya tubuh menemukan ruang bagi identitas inderawi yang kompleks dan tidak terhitung.” Pakaian adalah bahasa komunikasi bagi tubuh. Sebagai contoh, pakaian berwarna hitam menyampaikan pesan “berduka” dalam masyarakat-masyarakat tertentu, dan mempunyai fungsi ritual. Terkait fungsi magisnya, penggunaan pakaian hitam malah dilarang bagi bayi-bayi yang baru dilahirkan, agar bayi terhindar dari gambaran-gambaran tentang malam, kematian, dan hantu. Hitam, karenanya, dalam konteks konsep simbolik-tradisional tentang pakaian, selalu berhubungan dengan fungsi-fungsi khusus.

Pesan-pesan yang disampaikan oleh pakaian mungkin dapat direduksi kepada beberapa hal berikut ini:

3.1.  Simbol Identitas

Pakaian menjadi satu ekspresi penting bagi identitas seseorang, termasuk identitas keagamaan. Ia merefleksikan satu pemahaman seorang pemakai terhadap prasyarat-prasyarat yang diatur dalam tradisi atau keyakinan mereka bahwa memakai bentuk pakaian ini sebagai tanda komitment keagamaan membantuk meningkatkan kehidupan spiritual mereka. Ia mungkin juga merefleksikan satu hasrat untuk mengafirmasi identitas yang mereka dihubungkan kepadanya. Di Inggris, ekspresi keimanan dalam cara-cara yang berbeda—dalam keyakinan, tindakan, dan pakaian—adalah bagian dari komitmen terhadap kebebasan agama. Pakaian yang dihubungkan dengan agama adalah tanda yang jelas tentang perbedaan dalam masyarakat. Mereka merefleksikan ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi berbeda dari komunitas agama utama yang para pengikutnya adalah warga negara Kerajaan Inggris.

3.2.  Simbol perlawanan politik

Pakaian dapat juga dijadikan sebagai simbol perlawanan politik. Sebagai contoh, kasus gerakan perempuan yang berhijab dalam Revolusi Iran tahun 1979. Para perempuan memakai hijab sebagai lawan terhadap rezim Shah Pahlevi yang tunduk dalam ketiak Barat yang sekular. Begitu pula dengan gerakan hijab di Turki. Di Indonesia, kebaya, seperti dikatakan Henk Schulte Nordholt,[14] dalam bukunya Outward Appearances, menulis betapa kebaya pernah menjadi simbol politik perempuan Indonesia. Selama periode pendudukan Jepang (1942-1945), para perempuan Indonesia yang kala itu menjadi tahanan perang memilih mengenakan kain kebaya ketimbang mengenakan baju tahanan ala Barat. Sikap ini menunjukkan posisi politik untuk membedakan mereka dengan para perempuan tahanan perang asal Belanda.

4.   Nilai Ideologis Busana Islam

Dalam tradisi masyarakat Islam, istilah yang digunakan untuk pakaian dan pelbagai asesorisnya adalah libas, hijab, khimar, niqab,burqa, litham, jilbab, dan lain-lain. Secara historis, kita akan mendapati bahwa kebutuhan untuk berpakaian adalah pada saat ketika Adam dan isterinya memakan buah terlarang sehingga tersingkap aurat-aurat mereka. Ketika mereka tersadar, mereka pun lalu menutupinya dengan dedaunan surga (QS. al-A’raf (7): 22). Sehingga, dapat dikatakan bahwa berpakaian adalah fitrah manusia, yang mereka malu jika aurat-auratnya terlihat.

Dalam perkembangannya, pakaian mengalami modifikasi karena beberapa hal yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, dalam konteks masyarakat muslim, nilai agama Islam begitu jelas mewarnai pakaian. Alquran memang tidak menjelaskan bentuk pakaian khusus, namun Alquran membuat satu catatan penting bahwa diturunkannya pakaian adalah untuk menutupi aurat manusia (QS. al-A’raf (7): 26). Artinya, tujuan mendasar dari berpakaian itu adalah untuk “menutup aurat”.

4.1.  Nilai identitas keislaman

Dalam Islam, istilah hijab tidak mengarah kepada bentuk pakaian khusus tertentu, apakah itu khimar atau burqa, namun lebih tepatnya kepada kondisi kesopanan yang sesuai, yang membedakan dengan komunitas lainnya.[15] Ini ditegaskan dengan terang benderang dalam Alquran surat al-Ahzab (33): 59.

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak di ganggu. Allah adalah maha pengampun dan penyayang.

Sebab dan alasan diturunkannya ayat ini terkait dengan cerita tentang isteri-isteri Nabi yang pergi keluar pada suatu malam untuk suatu kepentingan yang mendesak, lalu sebagian orang munafik yang berperilaku menghalang-halangi dan melecehkan mereka karena kebiasaan mereka yang selalu menganggu perempuan di jalan-jalan. Mereka mengeluh kepada Nabi tentang hal itu. Namun, ketika ditegur, orang-orang munafik tersebut berkata bahwa mereka hanya melakukan kepada perempuan-perempuan budak saja. Lalu turunlah ayat ini.

Ayat ini, karenanya, memerintahkan perempuan beriman untuk memakai sejenis pakaian yang disebut jilbab, untuk membedakan mereka dari perempuan-perempuan budak. Artinya, jilbab menjadi simbol identitas yang membedakan perempuan muslim dengan lainnya. Lalu, tafsiran tentang jilbab berbeda-beda. Sebagian penafsir mengatakan bahwa ia lebih besar daripada khimar, atau sebagai pakaian luar (rida) yang menutupi kepala hingga kaki, atau pakaian yang besar (yang disebut mila’,milfafah, izar).[16]

4.2.  Nilai kehormatan

Tubuh perempuan menjadi fitnah kepada orang lain, oleh karena itu keindahan tubuh perempuan tersebut harus ditutupi. Artinya, tubuh perempuan dapat menarik orang lain dan membangkitkan hasrat seksualnya. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ditegaskan dalam Alquran surat al-Nur (24): 30-31 diharuskan untuk menjaga pandangan mereka.

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya. Hal itu adalah lebih suci bagi mereka. Allah sungguh maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. al-Nur (24): 30).

Bagian tubuh yang harus ditutupi disebut aurat. Apa itu aurat? Secara kebahasaan, kata aurat berasal dari bahasa Arab  عورة, yang berarti “celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu kalau dipandang” (الخلل والعيب فى الشيء dan كل ما يستره الإنسان استنكافا أو حياء).[17] Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai “bagian-bagian pribadi” atau “genital”. Dalam Alquran, kata ‘awrah muncul empat kali.[18] Namun, tidak terlihat rujukan yang jelas dalam Alquran atau hadis terkait dengan definisi kata ini. Itulah mengapa batasan-batasan aurat itu menjadi perhatian para ulama.

4.3.  Nilai keindahan

Ada ungkapan masyhur dari Nabi, “Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Dalam Alquran juga dengan jelas disebutkan, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki mesjid …” (QS. al-Aʻraf (7): 31), dan juga Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rejeki-rejeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. al-Aʻraf (7): 32). Artinya, keindahan dengan Islam tidaklah dapat dipisahkan, bahkan keindahan (beauty) itu menjadi spirit dan prinsip dasar Islam.

5.   Catatan Penutup

Apakah boleh perempuan muslimah tampil modis, mengikuti perkembangan tren dunia? Tentu saja boleh selama tetap menjaga prinsip dasar dalam Islam, yaitu menjaga aurat. Dalam prinsip maqasid al-shari’ah disebutkan bahwa tujuan diturunkan syariat Islam dan ditetapkan aturan-aturan hukum dalam Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemaslahatan ini kemudian dibagi ke dalam tiga hal secara berurutan: daruriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Yang pertama terkait dengan hal-hal yang bersifat primer, yang jika tidak ada atau terganggu, akan menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia. Yang termasuk ke dalam prinsip daruriyyah ini adalah pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan kehormatan. Persoalan menutup aurat adalah prinsip penting

Prinsip kedua, hajiyyah, adalah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia, namun tidak sampai kepada kekacauan atau hilangnya kehidupan manusia, jika tidak terpenuhi. Namun, kehidupan manusia akan menjadi sulit jika kebutuhan ini tidak terpenuhi. Sementara itu, prinsip yang terakhir, tahsiniyyah, bersifat komplementer (mukammilat), sebagai asesoris, yang jika tidak ada, tidak akan menyebabkan seorang ke dalam kekacauan hidup dan kesulitan. Ia lebih sebagai asesoris, yang berfungsi untuk memperindah dan membuat kehidupan menjadi lebih berwarna.

Setiap aturan dan hukum yang digariskan oleh Allah tentu saja mengandung maksud dan tujuan. Apa sebenarnya maksud dan tujuan disyariatkannya pakaian? Tujuan mendasar dari berpakaian ini adalah “menutup aurat menurut cara yang disyariatkan.”[19] Dalam wacana fikih klasik, terdapat berbagai perbedaan terkait dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Ada yang mengatakan seluruh tubuh perempuan itu aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Yang lain mengatakan seluruh tubuh perempuan itu aurat.

Terlepas dari perbedaan tersebut, yang pasti menutup aurat pada hakikatnya bermuara kepada salah satu prinsip maqasid al-shari‘ah, yaitu “memelihara kehormatan” (حفظ العرض). Prinsip ini menjadi paradigma bagi setiap persoalan busana. Dan, menutup aurat adalah salah satu media (wasilah) dari pemeliharaan terhadap kehormatan ini. Subtansinya adalah “menutup aurat,” sementara teknis penutupan aurat tersebut ditentukan oleh masing-masing adat setempat atau kearifan lokal (local wisdom). Kata Ibn H{ajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari,

فأما هيئة اللباس فتختلف باختلاف عادة كل بلد، فرب قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم فى اللبس، لكن يمتاز النساء بالاحتجاب والاستتار ...

“bentuk pakaian tersebut berbeda-beda karena perbedaan kebiasaan masing-masing negeri. Boleh jadi, ada suatu kaum yang tidak membedakan pakaian perempuan dan laki-lakinya. Akan tetapi, perempuan tersebut dibedakan dengan ber-hijab dan menutup aurat.”[20]

Itu berarti bahwa persoalan adat kebiasaan setempat memainkan peran dalam menentukan model pakaiannya, namun tujuannya (maqsid) tetap terjaga, yaitu “menjaga kehormatan”, melalui cara (wasilah) “menutup aurat”. Dalam sebuah kaidah disebutkan: للوسائل حكم المقاصد  (media sama kedudukannya dengan tujuan). Atau, ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب (sesuatu yang wajib tidak akan dapat dilakukan tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib). Untuk jelasnya lihat bagan berikut:

Dari penjelasan ini, menampilkan asesoris pada pakaian, baik itu terkait dengan model, warna, bentuk, selama itu menutup aurat, tidak memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh, dan tidak untuk kesombongan, maka itu dibenarkan oleh syariat Islam. Wallahu ‘alam bi al-sawab.




* Disampaikan dalam Dialog Interaktif: Trendy with Shariah, di Auditorium STAIN Datokarama Palu (Kamis,15 Nopember 2012).
** Dosen STAIN Datokarama Palu.
[1] Yuniya Kawamura, Fashion-ology: An Introduction to Fashion Studies (Oxford: Berg, 2005), 3.
[2] Dikutip dalam Heather Marie Akou, “Building A New ‘World Fashion’: Islamic Dress in the Twenty-first Century,” Fashion Theory, Vol. 11, Issue 4 (2007), 404.
[3] Ibid.
[4] Cahrlotte Perkins Gilman, The Dress of Women: A Critical Introduction to the Symbolism and Sociology of Clothing (London: Greenwood Press, 2002), 7.
[5] Kim K. Johnson, Susan J. Torntore dan Joanne B. Eicher (eds), Fashion Foundations: Early Writings on Fashion and Dress (New York, Oxford: Berg, 2003), 8.
[6] Gilman, The Dress of Women, 9.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 10.
[9] Ibid., 11.
[10] Ibid., 11-12.
[11] Dikutip dalam Johnson et.al, Fashion Foundations, 9-10.
[12] Dikutip dalam Ibid., 8.
[13] Patrizia Calefato, The Clothed Body (Oxford, New York: Berg, 2004), 3. Redaksinya: Clothes  as  conveyors  of  meaning  and  value,  that  give  shape  to  a system of objects in which the body finds the space for innumerable and complex sensorial identities.
[14] “Kebaya Simbol Politik” dalam http://hazratunnaziroh.wordpress.com/about/kebaya-simbol-politik/ (Rabu, 14 Nopember 2012).
[15] Henry Krips, “The Hijab, The Veil, and Sexuation,” Psychoanalysis, Culture and Society, vol. 13 (2008), 35-36.
[16] Emi Goto, “Qur’an and the Veil: Contexts and Interpretations of the Revelation,” International Journal of Asian Studies, vol. 1, no. 2 (2004), 281.
[17] Al-Majma‘ al-Lughawi, al-Mu‘jam al-Wasit, Cet. ke-4 (Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004), 636; Lihat juga Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif, tt), 3166-7.
[18] Alquran, surat al-Nur (23) 31,
[19] Ahmad ibn Muhammad al-Mahdi, al-Libas fi al-Islam (Mekkah: Rabitah al-‘Aam al-Islami, 1991), 12; ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah, Jilid 3 (Beirut: Mu’sassah al-Risalah, 1993), 326.
[20] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, Jilid 10 (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001), 345.