Jumat, 05 Juli 2013

Dakwah di Tanah Kaili




DAKWAH DI TANAH KAILI
PETA DAKWAH DAN PROBLEMATIKANYA

Rusli
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi Sulawesi Tengah

1.   PENDAHULUAN
Dakwah adalah bagian dari kewajiban individual setiap Muslim untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, dengan berpijak pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Secara kebahasaan, kata dakwah terambil dari bahasa Arab, daʻwah, yang berarti “ajakan, seruan.” Dalam terminologi Islam, dakwah mengandung pengertian:
Mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan petunjuk, dan memerintahkan mereka untuk amar ma’ruf nahi munkar, agar mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[1]
Secara kebahasaan, ada beberapa kata yang mempunyai makna yang sama dengan dakwah, yaitu tabligh, tabshir, tawsiyyah, tadhkir, dan tawjih.
Dalam aktivitasnya, dakwah dapat dibedakan ke dalam dakwah kolektif (da’wah ‘ammah) dan dakwah individual (da’wah fardiyyah). Dakwah kolektif adalah dakwah yang dijalankan oleh sekelompok orang atau lembaga, sedangkan dakwah individual ditujukan untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan pendekatan pribadi. Model dakwah ini dalam sejarah awal Islam dilakukan oleh Nabi, yang berdakwah secara sembunyi-sembunyi, dari rumah ke rumah.
Dalam realitas masyarakat kontemporer saat ini, dakwah menghadapi banyak persoalan, baik dari aspek objek dakwah, materi dakwah, pelaku dakwah, maupun manajemen dakwah. Persolan-persoalan ini juga dihadapi oleh aktivitas dakwah di Tanah Kaili, Sulawesi Tengah. Bagaimana sebenarnya peta dakwah di Tanah Kaili? Dan persoalan-persoalan apa yang dihadapinya? 

2.   PETA DAKWAH
2.1.     Jumlah Penduduk
Propinsi Sulawesi Tengah dibentuk dan disahkan pada tahun 1964 berdasarkan pada UU No. 13 tahun 1964 dengan ibukota Palu. Wilayahnya kala itu mencakup Kabupaten Poso (dengan ibukota Poso), Kabupaten Donggala (dengan ibukota Palu), Kabupaten Luwuk (dengan ibukota Banggai), dan Kabupaten Buol (dengan ibukota Toli-toli). Dengan perkembangan sistem pemerintahan dan tuntutan masyarakat dalam era Reformasi, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan pemekaran menjadi 11 kabupaten, yaitu Palu, Donggala, Poso, Toli-toli, Buol, Banggai, Bungku, Banggai Kepulauan, Parigi Moutong, Tojo Una-una, dan Sigi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk di Propinsi Sulawesi Tengah adalah 2.633.420 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.349.225 jiwa dan perempuan sebanyak 1.284.195 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,46 persen dan tingkat kepadatan penduduk mencapai 36 jiwa per kilometer persegi.[2] Dari jumlah penduduk tersebut, sebagian besar beragama Islam. Berdasarkan data dari Kemenag Sulawesi Tengah tahun 2012 berjumlah sekitar 1.981.966. Dan yang paling kecil jumlahnya adalah yang beragama Budha dan Hindu, yang sebagian besar berasal dari kelompok transmigrasi dari Bali.
 
 

Sumber: Kemenag Sulawesi Tengah
Berdasarkan pada jumlah penduduk berdasarkan agama yang semakin meningkat, pertumbuhan tempat ibadah dapat dikatakan pula cukup signifikan. Pada tahun 2009, misalnya, jumlah rumah ibadah adalah sekitar 5.042, dan kemudian meningkat menjadi 34.924 pada tahun 2012 (Lihat Tabel berikut ini).


 Sumber: Kemenag Provinsi Sulawesi Tengah
Namun, secara lebih spesifik lagi, rumah tempat ibadah umat Islam, yang terdiri dari masjid, musholla dan langgar dapat dikatakan cukup signifikan, yaitu berjumlah sekitar 3.868 buah. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut:

  Sumber: Kemenag Provinsi Sulawesi Tengah

2.2.     Adat Istiadat

Dalam masyarakat asli Sulawesi Tengah terdapat bermacam-macam bahasa, seperti bahasa Kaili, Dampelas, Balaesang, Tomini, Pipikoro, Pamona, Mori, Bungku, Bada Besoa, Napu, Toli-Toli, Buol, Balantak, Banggai, dan Saluan. Bahasa-bahasa tersebut ada yang mempunyai persamaan. Misalnya, ada persamaan antara bahasa Kaili dengan bahasa Dampelas, Balaesang dan bahasa Pamona di Kabupaten Poso. Demikian pula, antara bahasa Toli-Toli dan bahasa Buol. Persamaan ini disebabkan oleh letak geografis yang berdekatan atau karena perpindahan penduduk dan asimilasi suku bangsa melalui perkawinan.

Di antara ke 15 bahasa daerah di Sulawesi Tengah, bahasa Kaililah yang paling banyak pendukungnya, yaitu sekitar 45% dari jumlah penduduk Sulawesi Tengah. Bahasa Kaili ini dipakai oleh penduduk di lembah Palu dan sekitarnya sehingga sering pula disebut bahasa Palu. Bahasa Kaili mempunyai kurang-lebih 12 dialek, seperti Ledo, Rai, Unde, Ndepu, Ija, Ado, Lindu, Moma, Uma, Tara, Ta’a, Tawaeli. Dialek Palu (Ledo) dianggap sebagai standar bagi dialek-dialek lainnya, sehingga pendukung dialek dan sub-dialek dapat menggunakan dialek Palu (Ledo) sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi.
Ragam kelompok etnik ini tentu memperlihatkan aneka macam adat istiadat dan ritual adat yang berbeda. Ritual adat ini kerap bertentangan dengan pemahaman tauhid umat Islam, seperti ritual adat penyembuhan balia. Tradisi ini berangkat dari keyakinan masyarakat adat tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib (karampua) yang ada di langit dan bumi dan segala isinya. Jika benda-benda ini dilanggar oleh manusia, maka akan menyebabkan marahnya pemilik kekuatan gaib (anitu) itu, sehingga sangsi diberikan kepadanya baik dalam bentuk musibah atau pun penyakit. Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, perlu bertobat dan memohon kepada Penguasa alam agar dijauhkan dari bencana dan disembuhkan dari penyakit yang diderita. Manifestasi pertobatan ini dilakukan melalui ritual Balia dengan memberikan sesajian sebagai persembahan untuk memohon kesembuhan dan keselamatan buat manusia.

2.3.     Aliran keagamaan
Di Sulawesi Tengah, ada beberapa organisasi keislaman mainstream, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Alkhairaat dan Dar al-Da’wah waI Irsyad (DDI). Selain itu, terdapat pula beberapa aliran keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Sulawesi Tengah, yang jika dipetakan, mempunyai kecenderungan yang berbeda, yaitu tradisional-konservatif dan moderat. Di antara aliran-aliran tersebut adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII),[3] Wahdah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Naqsyabandi-Khalidi, Aliran Dzikir Al-Haqq, Aliran Zikrullah Ali Taitan, dan sebagainya.

3.      Problematika Dakwah di Tanah Kaili
3.1.  Kerukunan yang terkoyak
Masyarakat Sulawesi Tengah adalah masyarakat yang multikultural. Disebutkan bahwa ada banyak agama dan komunitas etnik yang hidup dan tumbuh di wilayah ini. Akibat dari keragaman dan perbedaan berbasis agama dan kelompok etnik, potensi konflik jelas terlihat. Fakta menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan ini malah memunculkan konflik di sebagian wilayah di Sulawesi Tengah. Sebagai contoh, sejarah tidak melupakan konflik sosial berbasis agama yang memakan banyak korban yang terjadi di Kabupaten Poso dari semenjak tahun 1998. Di wilayah lain, seperti di Kabupaten Morowali, terjadi konflik serupa. Baru-baru ini, di sekitar tahun 2011 terjadi konflik di wilayah Nunu-Tavanjuka, yang melibatkan dua komunitas dalam kelompok etnik yang sama. Di Kabupaten Sigi, terjadi arisan konflik, karena kejadian tersebut terjadi secara bergiliran antara satu desa dengan desa yang lain. Dan baru-baru ini, di tahun 2013, terjadi konflik antar masyarakat di daerah Pengawu, Palu.
Secara sosiologis, pasca konflik masyarakat biasanya mengalami pergeseran nilai, baik yang terkait dengan sikap, perilaku, dan sistem norma dalam masyarakat. Masyarakat pasca konflik berperilaku cenderung anarkis dan beringas. Mereka sering emosional dan cepat marah. Hal-hal kecil kerapkali ditanggapi dengan sikap emosional, sehingga membesar menjadi kerusuhan massal. Sikap masyarakat pasca konflik dapat terlihat pada fanatisme kesukuan mereka yang berlebihan. Solidaritas antara kelompok semakin menguat, dan penjagaan diri terhadap masing-masing kelompok Selain itu, masyarakat sering bersikap saling curiga antara masing-masing pihak yang pernah berkonflik. Lebih dari itu, sistem norma dalam masyarakat memperlihatkan relasi yang terlihat kurang begitu harmonis.
Maka, orientasi dakwah diarahkan kepada penguatan pengetahuan dan penanaman kesadaran tentang bahaya konflik sosial dan akibat yang ditimbulkannya. Selain itu, dakwah diorientasikan kepada penanaman nilai-nilai toleransi kepada masyarakat dan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengelola sikap, perilaku, dan cara berkomunikasi dengan komunitas yang lain sehingga terhindar dari terjadinya ketegangan dan konflik.

3.2.  Radikalisasi paham keagamaan
Radikalisasi paham keagamaan adalah suatu proses, cara atau perbuatan untuk meradikalkan suatu pandangan keagamaan tertentu. Makna awal kata ini sebenarnya baik, bahwa kita sebagai seorang yang beragama harus memahami secara radikal atau mnedalam tentang paham keagamaan kita. Namun, kata ini dalam realitas sekarang sering dikaitkan dengan kekerasan dibalik kedok atau dalih agama. Jika radikalisasi agama dipahami seperti ini, maka ini dapat membahayakan kesatuan dan keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu, dakwah diarahkan untuk memberikan pemahaman Islam yang humanis, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul dan para Sahabatnya.

4.   KESIMPULAN
Jika dilihat dari peta dakwah yang ada di wilayah Sulawesi Tengah, maka dapat dikatakan bahwa medan yang dihadapi oleh para dai/mubaligh adalah begitu berat. Untuk itu, perlu adanya langkah-langkah kongkrit, baik dari sudut manajemen dakwah dan persiapan dai dengan memberikan kepada meerka materi-materi keagamaan yang cukup kepada dai/mubalig agar mereka dapat menyebarkan pesan-pesan dakwah yang humanis dan penuh toleransi. Untuk mencapai tujuan ini, pertama, diperlukan adanya semacam workshop; dan kedua, perlu adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak.





[1] Shaykh ‘Ali Mahfuz, Hidayah al-Murshidin ila Turuq al-Waʻz wa al-Khitabah, Cet. ke-9 (Kairo: Dar al-I’tisam, 1979), 2. Redaksi:
حث الناس على الخير والهدى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل والآجل
[2] Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, “Kondisi Demografi Provinsi Sulawesi Tengah,” dalam http://sulteng.go.id/pub3/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=56 (Akses: 19 Juni 2013).
[3] Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) kota Palu berlokasi di Jalan Zebra No. 50 Tatura Utara, Palu Selatan, dan dipimpin oleh Drs. H. Zaenal Abidin Syam, M.Si. Menurut hasil Munas Ulama 2005 VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, aliran ini dianggap sebagai aliran sesat.