DAKWAH DI TANAH KAILI
PETA DAKWAH DAN PROBLEMATIKANYA
Rusli
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi Sulawesi Tengah
1.
PENDAHULUAN
Dakwah adalah bagian dari kewajiban
individual setiap Muslim untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, dengan berpijak
pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Secara kebahasaan, kata dakwah
terambil dari bahasa Arab, daʻwah, yang berarti “ajakan, seruan.” Dalam terminologi
Islam, dakwah mengandung pengertian:
Mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan
petunjuk, dan memerintahkan mereka untuk amar ma’ruf nahi munkar, agar
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[1]
Secara kebahasaan, ada beberapa kata yang mempunyai
makna yang sama dengan dakwah, yaitu tabligh, tabshir, tawsiyyah, tadhkir, dan tawjih.
Dalam aktivitasnya, dakwah dapat dibedakan
ke dalam dakwah kolektif (da’wah ‘ammah) dan dakwah individual
(da’wah fardiyyah). Dakwah kolektif adalah dakwah yang dijalankan oleh
sekelompok orang atau lembaga, sedangkan dakwah individual ditujukan untuk
mengajak manusia ke jalan Allah dengan pendekatan pribadi. Model dakwah ini
dalam sejarah awal Islam dilakukan oleh Nabi, yang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi, dari rumah ke rumah.
Dalam realitas masyarakat kontemporer saat
ini, dakwah menghadapi banyak persoalan, baik dari aspek objek dakwah, materi
dakwah, pelaku dakwah, maupun manajemen dakwah. Persolan-persoalan ini juga
dihadapi oleh aktivitas dakwah di Tanah Kaili, Sulawesi Tengah. Bagaimana
sebenarnya peta dakwah di Tanah Kaili? Dan persoalan-persoalan apa yang
dihadapinya?
2.
PETA DAKWAH
2.1.
Jumlah Penduduk
Propinsi Sulawesi Tengah dibentuk dan
disahkan pada tahun 1964 berdasarkan pada UU No. 13 tahun 1964 dengan ibukota
Palu. Wilayahnya kala itu mencakup Kabupaten Poso (dengan ibukota Poso),
Kabupaten Donggala (dengan ibukota Palu), Kabupaten Luwuk (dengan ibukota
Banggai), dan Kabupaten Buol (dengan ibukota Toli-toli). Dengan perkembangan
sistem pemerintahan dan tuntutan masyarakat dalam era Reformasi, Pemerintah
Pusat mengeluarkan kebijakan pemekaran menjadi 11 kabupaten, yaitu Palu,
Donggala, Poso, Toli-toli, Buol, Banggai, Bungku, Banggai Kepulauan, Parigi
Moutong, Tojo Una-una, dan Sigi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2010, jumlah penduduk di Propinsi Sulawesi
Tengah adalah 2.633.420 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak
1.349.225 jiwa dan perempuan sebanyak 1.284.195 jiwa, dengan laju pertumbuhan
penduduk (2000-2010) sebesar 1,46 persen dan tingkat kepadatan penduduk
mencapai 36 jiwa per kilometer persegi.[2] Dari jumlah penduduk tersebut, sebagian
besar beragama Islam. Berdasarkan data dari Kemenag Sulawesi Tengah tahun 2012
berjumlah sekitar 1.981.966. Dan yang paling kecil jumlahnya adalah yang
beragama Budha dan Hindu, yang sebagian besar berasal dari kelompok
transmigrasi dari Bali.
Sumber: Kemenag Sulawesi Tengah
Berdasarkan pada jumlah penduduk berdasarkan agama
yang semakin meningkat, pertumbuhan tempat ibadah dapat dikatakan pula cukup
signifikan. Pada tahun 2009, misalnya, jumlah rumah ibadah adalah sekitar 5.042,
dan kemudian meningkat menjadi 34.924 pada tahun 2012 (Lihat Tabel berikut ini).
Sumber: Kemenag Provinsi Sulawesi Tengah
Namun, secara lebih spesifik lagi, rumah tempat ibadah
umat Islam, yang terdiri dari masjid, musholla dan langgar dapat dikatakan
cukup signifikan, yaitu berjumlah sekitar 3.868 buah. Untuk lebih jelasnya
lihat tabel berikut:
Sumber: Kemenag Provinsi Sulawesi Tengah
2.2.
Adat Istiadat
Di antara ke 15 bahasa daerah di Sulawesi Tengah, bahasa Kaililah yang paling banyak pendukungnya, yaitu sekitar 45% dari jumlah penduduk Sulawesi Tengah. Bahasa Kaili ini dipakai oleh penduduk di lembah Palu dan sekitarnya sehingga sering pula disebut bahasa Palu. Bahasa Kaili mempunyai kurang-lebih 12 dialek, seperti Ledo, Rai, Unde, Ndepu, Ija, Ado, Lindu, Moma, Uma, Tara, Ta’a, Tawaeli. Dialek Palu (Ledo) dianggap sebagai standar bagi dialek-dialek lainnya, sehingga pendukung dialek dan sub-dialek dapat menggunakan dialek Palu (Ledo) sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi.
Ragam kelompok etnik ini tentu memperlihatkan
aneka macam adat istiadat dan ritual adat yang berbeda. Ritual adat ini kerap
bertentangan dengan pemahaman tauhid umat Islam, seperti ritual adat
penyembuhan balia. Tradisi ini berangkat dari keyakinan masyarakat adat
tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib (karampua) yang ada di langit dan
bumi dan segala isinya. Jika benda-benda ini dilanggar oleh manusia, maka akan
menyebabkan marahnya pemilik kekuatan gaib (anitu) itu, sehingga sangsi diberikan
kepadanya baik dalam bentuk musibah atau pun penyakit. Untuk menyembuhkan
penyakit tersebut, perlu bertobat dan memohon kepada Penguasa alam agar
dijauhkan dari bencana dan disembuhkan dari penyakit yang diderita. Manifestasi
pertobatan ini dilakukan melalui ritual Balia dengan memberikan sesajian
sebagai persembahan untuk memohon kesembuhan dan keselamatan buat manusia.
2.3.
Aliran keagamaan
Di Sulawesi Tengah, ada beberapa organisasi keislaman mainstream,
seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Alkhairaat dan Dar al-Da’wah waI Irsyad
(DDI). Selain itu, terdapat pula beberapa aliran keagamaan yang berkembang
dalam masyarakat Sulawesi Tengah, yang jika dipetakan, mempunyai kecenderungan yang
berbeda, yaitu tradisional-konservatif dan moderat. Di antara aliran-aliran
tersebut adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII),[3]
Wahdah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Naqsyabandi-Khalidi, Aliran Dzikir Al-Haqq, Aliran
Zikrullah Ali Taitan, dan sebagainya.
3. Problematika
Dakwah di Tanah Kaili
3.1.
Kerukunan yang terkoyak
Masyarakat Sulawesi Tengah adalah
masyarakat yang multikultural. Disebutkan bahwa ada banyak agama dan komunitas etnik
yang hidup dan tumbuh di wilayah ini. Akibat dari keragaman dan perbedaan berbasis
agama dan kelompok etnik, potensi konflik jelas terlihat. Fakta menunjukkan
bahwa perbedaan-perbedaan ini malah memunculkan konflik di sebagian wilayah di
Sulawesi Tengah. Sebagai contoh, sejarah tidak melupakan konflik sosial
berbasis agama yang memakan banyak korban yang terjadi di Kabupaten Poso dari
semenjak tahun 1998. Di wilayah lain, seperti di Kabupaten Morowali, terjadi
konflik serupa. Baru-baru ini, di sekitar tahun 2011 terjadi konflik di wilayah
Nunu-Tavanjuka, yang melibatkan dua komunitas dalam kelompok etnik yang sama.
Di Kabupaten Sigi, terjadi arisan konflik, karena kejadian tersebut terjadi
secara bergiliran antara satu desa dengan desa yang lain. Dan baru-baru ini, di
tahun 2013, terjadi konflik antar masyarakat di daerah Pengawu, Palu.
Secara sosiologis, pasca konflik masyarakat biasanya mengalami
pergeseran nilai, baik yang terkait dengan sikap, perilaku, dan sistem norma
dalam masyarakat. Masyarakat pasca konflik berperilaku cenderung anarkis dan beringas.
Mereka sering emosional dan cepat marah. Hal-hal kecil kerapkali ditanggapi
dengan sikap emosional, sehingga membesar menjadi kerusuhan massal. Sikap
masyarakat pasca konflik dapat terlihat pada fanatisme kesukuan mereka yang
berlebihan. Solidaritas antara kelompok semakin menguat, dan penjagaan diri
terhadap masing-masing kelompok Selain itu, masyarakat sering bersikap saling
curiga antara masing-masing pihak yang pernah berkonflik. Lebih dari itu,
sistem norma dalam masyarakat memperlihatkan relasi yang terlihat kurang begitu
harmonis.
Maka, orientasi dakwah diarahkan kepada
penguatan pengetahuan dan penanaman kesadaran tentang bahaya konflik sosial dan
akibat yang ditimbulkannya. Selain itu, dakwah diorientasikan kepada penanaman
nilai-nilai toleransi kepada masyarakat dan mengajarkan kepada mereka bagaimana
mengelola sikap, perilaku, dan cara berkomunikasi dengan komunitas yang lain
sehingga terhindar dari terjadinya ketegangan dan konflik.
3.2.
Radikalisasi paham keagamaan
Radikalisasi paham keagamaan adalah suatu
proses, cara atau perbuatan untuk meradikalkan suatu pandangan keagamaan
tertentu. Makna awal kata ini sebenarnya baik, bahwa kita sebagai seorang yang
beragama harus memahami secara radikal atau mnedalam tentang paham keagamaan
kita. Namun, kata ini dalam realitas sekarang sering dikaitkan dengan kekerasan
dibalik kedok atau dalih agama. Jika radikalisasi agama dipahami seperti ini,
maka ini dapat membahayakan kesatuan dan keharmonisan masyarakat. Oleh karena
itu, dakwah diarahkan untuk memberikan pemahaman Islam yang humanis,
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul dan para Sahabatnya.
4.
KESIMPULAN
Jika dilihat dari peta dakwah yang ada di
wilayah Sulawesi Tengah, maka dapat dikatakan bahwa medan yang dihadapi oleh
para dai/mubaligh adalah begitu berat. Untuk itu, perlu adanya langkah-langkah
kongkrit, baik dari sudut manajemen dakwah dan persiapan dai dengan memberikan
kepada meerka materi-materi keagamaan yang cukup kepada dai/mubalig agar mereka
dapat menyebarkan pesan-pesan dakwah yang humanis dan penuh toleransi. Untuk
mencapai tujuan ini, pertama, diperlukan adanya semacam workshop; dan kedua,
perlu adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak.
[1] Shaykh ‘Ali Mahfuz, Hidayah al-Murshidin ila Turuq al-Waʻz wa al-Khitabah, Cet. ke-9 (Kairo: Dar al-I’tisam, 1979), 2. Redaksi:
حث الناس على الخير والهدى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا
بسعادة العاجل والآجل
[2] Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, “Kondisi
Demografi Provinsi Sulawesi Tengah,” dalam http://sulteng.go.id/pub3/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=56 (Akses: 19 Juni 2013).
[3] Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) kota Palu berlokasi di Jalan Zebra No. 50 Tatura Utara, Palu Selatan,
dan dipimpin oleh Drs. H. Zaenal Abidin Syam, M.Si. Menurut hasil Munas Ulama
2005 VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, aliran ini dianggap sebagai aliran sesat.