ShariaH-Fashion: MENELUSURI
SEJARAH DAN NILAI IDEOLOGIS PAKAIAN DALAM TRADISI ISLAM *
Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc **
1.
Pendahuluan: Makna Fesyen dan Faktor Pemengaruh
Istilah “fesyen” (fashion) dan “pakaian” (clothing) cenderung digunakan secara sinonim. Namun secara
sosiologis, keduanya berbeda. Fesyen menyampaikan sejumlah makna sosial yang
berbeda, sedangkan pakaian (clothing) adalah bahan-bahan dasar generik dari sesuatu yang
dipakai seseorang (the generic raw
materials of what a person
wears).[1] Dari pengertian ini dapat dikatakan
bahwa istilah fashion, secara sosiologis-politis, mengandung
muatan-muatan ideologis yang kental, ketimbang kata clothing. Yang
pertama ini nantinya akan mengemas dan mewarnai yang kedua, terutama dalam
kaitannya dengan bentuk, model, dan mungkin jenis pakaian.
Sebagaimana telah diketahui bahwa semua realitas yang
ada dalam kehidupan kita ini pada dasarnya dikonstruksi secara sosial, termasuk
fesyen. Dalam proses pembentukan tersebut, ada beberapa hal yang mungkin mempengaruhinya.
Pertama adalah kultur atau etnisitas. Pada masa-masa awal, terutama sebelum
globalisasi muncul, bentuk pakaian dipengaruhi oleh kultur masyarakat setempat.
Pakaian-pakaian tersebut disebut ethnic dress atau folk costume.[2] Menurut Akou,[3] dari namanya tersirat bahwa pakaian-pakaian tersebut
tidak meluas secara global atau sampai kepada komunitas lain di belahan dunia
lain, namun hanya terbatas kepada kelompok orang tertentu dalam kaitan dengan
produksi dan penggunaannya. Dalam hal ini, iklim, cuaca, pandangan hidup dan
keyakinan lokal setempat tentu saja sangat mempengaruhi.
Kedua adalah agama. Istilah agama secara umum dipahami
sebagai nilai-nilai yang mengatur sikap dan perilaku seseorang. Berpakaian
adalah salah satu perilaku dan perbuatan, dan menurut agama, baik buruknya
seorang berpakaian ditentukan oleh nilai-nilai yang dibuat oleh Tuhan. Agama tentu
saja mengatur persoalan tubuh dan bagian-bagian darinya yang harus ditutupi.
Sehingga tidak heran jika dalam sebuah komunitas agama terdapat berbagai model
dan corak busana yang dianjurkan untuk menutupi bagian-bagian tersebut, yang
dalam Islam, disebut ‘aurah, yang dalam bahasa Arab artinya “sesuatu
memalukan yang harus ditutupi.”
Faktor pemengaruh yang terakhir adalah globalisasi.
Istilah ini mengarah kepada pemahaman “memudarnya batasan-batasan geografis” dalam
pembentukan suatu praktik atau pengetahuan. Artinya, apa yang terjadi di
belahan dunia lain akan dapat diakses dan bahkan mempengaruhi belahan dunia
lainnya, dalam kaitan dengan pembentukan praktik dan pengetahuan. Pakaian etnik
(micro-culture) atau pakaian nasional (culture) akan mudah
dipengaruhi oleh apa yang menjadi tren dunia atau global (macro-culture).
Sebagai contoh, celana jeans, yang menjadi world fashion, dipakai oleh
perempuan muslim di mana pun, meskipun mereka tetap tidak menghilangkan
identitas keislamannya sebagai wanita muslimah, yaitu dengan tetap memakai jilbab atau
kerudung.
Perumusan ketiga faktor ini tentu saja tidak bersifat mutlak
atau eksklusif, namun ini dapat dikatakan merupakan fakta umum yang
keberadaannya saling berkaitkelindan. Artinya, pakaian etnik mungkin tetap
dalam kekhasan dan keunikannya, namun secara estetika mungkin memakai apa-apa
yang sudah menjadi tren global atau dunia.
2.
Motif Manusia Berbusana
Mengenai motif yang mendasari berbagai variasi busana
manusia dapat direduksi ke dalam lima hal yang, tidak bersifat ekslusif atau
absolut, namun menjadi fenomena umum alasan orang berpakaian, yaitu protection
(perlindungan), warmth (kehangatan), decoration (dekorasi), modesty
(kesopanan), dan symbolism (simbol).[4] Alasan-alasan ini mungkin saling tumpang tindih, dan
mereka disusun sesuai dengan urutan tampilannya. Motif pertama dan kedua
mungkin mempunyai keserupaan, yaitu perlindungan dari kondisi-kondisi
lingkungan luar. Pandangan ini dikritik oleh Michel de Montaigne. Menurutnya, seperti
dikutip oleh Johnson et.al,[5] “keadaan telanjang” adalah kondisi alami, dan
manusia-manusia tanpa busana, seperti halnya makhluk hidup lainnya, tidak
membutuhkan perlindungan artifisial dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Tetapi,
manusia juga tidak mendapatkan perlindungan apa pun dari pengaruh-pengaruh
tersebut ketika mereka mulai berbusana. Jadi, bukan motif perlindungan yang
membuat seorang berpakaian, menurut Montaigne, namun kebiasaan (custom).
Sementara itu, motif yang ketiga, dekorasi,
mengikuti dua alur yang berbeda; pertama, motif untuk menarik secara seksual (sex
attraction).[6] Menurut teori ini, berpakaian muncul terutama “dari
keinginan pria dan perempuan untuk membuat diri mereka saling tertarik.”
Pandangan ini didukung oleh Havelock Ellis, Grosser, dan lain-lain. Kedua,
untuk tujuan kecantikan dan keindahan yang lebih tinggi, yang menyenangkan
dalam hal warna, bentuk, disain, dan untuk tujuan kesenangan estetika, yang
tidak berhubungan dengan motif yang pertama.[7]
Motif yang keempat adalah modesty, yaitu satu
bentuk kesadaran terhadap jenis kelamin, khususnya buat perempuan.[8] Maka, modesty dalam pakaian, seperti yang
diterapkan kepada perempuan, adalah memberikan satu ciri feminitas yang dapat
dilihat orang bahwa dirinya adalah perempuan. Oleh karena itu, kostum perempuan
dan laki-laki berbeda berdasarkan pandangan ini. Pakaian laki-laki kebanyakan
dimodifikasi oleh kondisi-kondisi fisiknya, sedangkan busana perempuan oleh
keadaan-keadaan kejiwaannya.[9]
Motif yang terakhir adalah symbolism.
Simbolisme ini sangat berpengaruh dalam memodifikasi pakaian kita. Bahkan dalam
pakaian-pakaian praktis pria, unsur-unsur simbolisnya lebih kelihatan, meskipun
tidak disadari. Simbolisme ini terlihat jelas pada pakaian-pakaian seragam. Misalnya,
pakaian militer lebih kental terlihat simbolisnya ketimbang kegunaannya. Dan, semakin
tingginya simbol terlihat ketika seorang mempunyai posisi-posisi yang tinggi.[10]
Selanjutnya, Alfred E. Crawley dalam sebuah esainya
yang diterbitkan dalam buku Dress, Drinks and Drums juga membahas
tentang motif dan asal mula manusia berpakaian. Crawley[11] mengkategorikan apa yang ia lihat sebagai hipotesis
ke dalam tiga kelompok yang berbeda: unsur dekoratif, gagasan penyembunyian
terkait dengan kesopanan dan ketertarikan seksual, dan kebutuhan terhadap
perlindungan. Ia percaya bahwa karena kita tidak mempunyai bukti langsung
tentang asal mula pakaian, maka alasan untuk asal mula kemunculannya hanya
sekedar spekulasi. Crawley melihat pakaian sebagai ekspresi dan perluasan dari
keperibadian, dan dalam pengertian ini, karenanya, menjelaskan bagaimana
pakaian memperluas kapabilitas tubuh. Pakaian menandai tingkatan biologis dan
sosial dalam kehidupan seperti usia, gender dan status. Pakaian, sebagai bentuk
sosial, adalah sebuah kebiasaan sosial dan menjadi afirmasi langsung terhadap
keperibadian dan negara, mengekspresikan keluarga, gerakan sosial dan peran
sosial yang senantiasa berubah, dan pemerintah. Pakaian juga merupakan
pelindung baik fisik maupun psikologis, yang digunakan sebagai jimat. Pakaian
juga merupakan bentuk komunikasi, pertunjukan sosial, dan mata uang sosial.
Selain itu, Sylvia Hortnese Bliss menjelaskan alasan
manusia berpakaian melalui pendekatan antropologi dan psikoanalisis. Bliss[12] memperkenalkan gagasan manusia sebagai makhluk yang
“belum sempurna” dan “belum selesai” dibandingkan dengan alam yang lainnya. Ia menjelaskan
bahwa pakaian (dress) mengekspresikan dan merefleksikan cita-cita dan
gagasan-gagasan tidak sadar atau separuh sadar. Berbeda dengan Montaigne, Bliss
berpendapat bahwa sejarah pakaian itu adalah proses usaha manusia untuk mencari
“kostum manusia” yang sempurna. Ini lebih pas, alami, khas sebagai eksterior bulu
bagi binatang. Perubahan pakaian, karenanya, menyiratkan perubahan dalam
wawasan mental kolektif manusia.
3.
Pesan Ideologis Pakaian: Perspektif Sosiologis
Seperti dikatakan Calefato,[13] pakaian adalah “penyampai makna dan nilai, yang
memberikan bentuk kepada objek, yang kepadanya tubuh menemukan ruang bagi
identitas inderawi yang kompleks dan tidak terhitung.” Pakaian adalah bahasa
komunikasi bagi tubuh. Sebagai contoh, pakaian berwarna hitam menyampaikan
pesan “berduka” dalam masyarakat-masyarakat tertentu, dan mempunyai fungsi
ritual. Terkait fungsi magisnya, penggunaan pakaian hitam malah dilarang bagi
bayi-bayi yang baru dilahirkan, agar bayi terhindar dari gambaran-gambaran
tentang malam, kematian, dan hantu. Hitam, karenanya, dalam konteks konsep
simbolik-tradisional tentang pakaian, selalu berhubungan dengan fungsi-fungsi
khusus.
Pesan-pesan yang disampaikan oleh pakaian mungkin
dapat direduksi kepada beberapa hal berikut ini:
3.1.
Simbol Identitas
Pakaian menjadi satu ekspresi penting bagi identitas
seseorang, termasuk identitas keagamaan. Ia merefleksikan satu pemahaman
seorang pemakai terhadap prasyarat-prasyarat yang diatur dalam tradisi atau
keyakinan mereka bahwa memakai bentuk pakaian ini sebagai tanda komitment
keagamaan membantuk meningkatkan kehidupan spiritual mereka. Ia mungkin juga
merefleksikan satu hasrat untuk mengafirmasi identitas yang mereka dihubungkan
kepadanya. Di Inggris, ekspresi keimanan dalam cara-cara yang berbeda—dalam
keyakinan, tindakan, dan pakaian—adalah bagian dari komitmen terhadap kebebasan
agama. Pakaian yang dihubungkan dengan agama adalah tanda yang jelas tentang
perbedaan dalam masyarakat. Mereka merefleksikan ajaran-ajaran dan
tradisi-tradisi berbeda dari komunitas agama utama yang para pengikutnya adalah
warga negara Kerajaan Inggris.
3.2.
Simbol perlawanan politik
Pakaian dapat juga dijadikan sebagai simbol perlawanan
politik. Sebagai contoh, kasus gerakan perempuan yang berhijab dalam Revolusi
Iran tahun 1979. Para perempuan memakai hijab sebagai lawan terhadap rezim Shah
Pahlevi yang tunduk dalam ketiak Barat yang sekular. Begitu pula dengan gerakan
hijab di Turki. Di Indonesia, kebaya, seperti dikatakan Henk Schulte Nordholt,[14] dalam bukunya Outward Appearances, menulis
betapa kebaya pernah menjadi simbol politik perempuan Indonesia. Selama periode
pendudukan Jepang (1942-1945), para perempuan Indonesia yang kala itu menjadi
tahanan perang memilih mengenakan kain kebaya ketimbang mengenakan baju tahanan
ala Barat. Sikap ini menunjukkan posisi politik untuk membedakan mereka dengan
para perempuan tahanan perang asal Belanda.
4.
Nilai Ideologis Busana Islam
Dalam tradisi masyarakat Islam, istilah yang digunakan
untuk pakaian dan pelbagai asesorisnya adalah libas, hijab, khimar, niqab,burqa, litham, jilbab, dan lain-lain. Secara historis, kita akan
mendapati bahwa kebutuhan untuk berpakaian adalah pada saat ketika Adam dan
isterinya memakan buah terlarang sehingga tersingkap aurat-aurat mereka. Ketika
mereka tersadar, mereka pun lalu menutupinya dengan dedaunan surga (QS. al-A’raf (7): 22). Sehingga, dapat dikatakan bahwa berpakaian
adalah fitrah manusia, yang mereka malu jika aurat-auratnya terlihat.
Dalam perkembangannya, pakaian mengalami modifikasi
karena beberapa hal yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, dalam konteks
masyarakat muslim, nilai agama Islam begitu jelas mewarnai pakaian. Alquran
memang tidak menjelaskan bentuk pakaian khusus, namun Alquran membuat satu
catatan penting bahwa diturunkannya pakaian adalah untuk menutupi aurat manusia
(QS. al-A’raf (7): 26). Artinya, tujuan mendasar dari berpakaian itu
adalah untuk “menutup aurat”.
4.1.
Nilai identitas keislaman
Dalam Islam, istilah hijab tidak mengarah kepada bentuk pakaian khusus tertentu,
apakah itu khimar atau burqa, namun lebih tepatnya kepada kondisi
kesopanan yang sesuai, yang membedakan dengan komunitas lainnya.[15] Ini ditegaskan dengan terang benderang dalam Alquran
surat al-Ahzab (33): 59.
Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin agar
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih
mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak di ganggu. Allah adalah maha pengampun
dan penyayang.
Sebab dan alasan diturunkannya ayat ini terkait dengan
cerita tentang isteri-isteri Nabi yang pergi keluar pada suatu malam untuk suatu
kepentingan yang mendesak, lalu sebagian orang munafik yang berperilaku
menghalang-halangi dan melecehkan mereka karena kebiasaan mereka yang selalu
menganggu perempuan di jalan-jalan. Mereka mengeluh kepada Nabi tentang hal
itu. Namun, ketika ditegur, orang-orang munafik tersebut berkata bahwa mereka
hanya melakukan kepada perempuan-perempuan budak saja. Lalu turunlah ayat ini.
Ayat ini, karenanya, memerintahkan perempuan beriman untuk
memakai sejenis pakaian yang disebut jilbab, untuk membedakan mereka dari perempuan-perempuan
budak. Artinya, jilbab menjadi simbol identitas yang membedakan perempuan
muslim dengan lainnya. Lalu, tafsiran tentang jilbab berbeda-beda.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa ia lebih besar daripada khimar, atau
sebagai pakaian luar (rida’) yang menutupi kepala hingga kaki, atau pakaian yang
besar (yang disebut mila’,milfafah, izar).[16]
4.2.
Nilai kehormatan
Tubuh perempuan menjadi fitnah kepada orang lain, oleh
karena itu keindahan tubuh perempuan tersebut harus ditutupi. Artinya, tubuh
perempuan dapat menarik orang lain dan membangkitkan hasrat seksualnya. Oleh
karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ditegaskan dalam Alquran
surat al-Nur (24): 30-31 diharuskan untuk menjaga pandangan
mereka.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya. Hal itu adalah lebih suci bagi
mereka. Allah sungguh maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. al-Nur (24): 30).
Bagian tubuh yang harus ditutupi disebut aurat. Apa
itu aurat? Secara kebahasaan, kata aurat berasal dari bahasa Arab عورة, yang berarti “celah,
kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari
anggota tubuh manusia dan yang membuat malu kalau dipandang” (الخلل والعيب فى الشيء dan كل ما يستره الإنسان استنكافا أو حياء).[17] Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai
“bagian-bagian pribadi” atau “genital”. Dalam Alquran, kata ‘awrah muncul
empat kali.[18] Namun, tidak terlihat rujukan yang jelas dalam
Alquran atau hadis terkait dengan definisi kata ini. Itulah mengapa
batasan-batasan aurat itu menjadi perhatian para ulama.
4.3.
Nilai keindahan
Ada ungkapan masyhur dari Nabi, “Allah itu indah dan
menyukai keindahan”. Dalam Alquran juga dengan jelas disebutkan, “Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki mesjid …” (QS. al-Aʻraf (7): 31), dan juga “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan
rejeki-rejeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat.” (QS. al-Aʻraf (7): 32). Artinya,
keindahan dengan Islam tidaklah dapat dipisahkan, bahkan keindahan (beauty)
itu menjadi spirit dan prinsip dasar Islam.
5.
Catatan Penutup
Apakah boleh perempuan muslimah tampil modis,
mengikuti perkembangan tren dunia? Tentu saja boleh selama tetap menjaga
prinsip dasar dalam Islam, yaitu menjaga aurat. Dalam prinsip maqasid al-shari’ah disebutkan
bahwa tujuan diturunkan syariat Islam dan ditetapkan aturan-aturan hukum dalam
Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemaslahatan ini kemudian dibagi ke
dalam tiga hal secara berurutan: daruriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Yang pertama terkait dengan hal-hal yang bersifat primer, yang jika
tidak ada atau terganggu, akan menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia.
Yang termasuk ke dalam prinsip daruriyyah ini adalah pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan
kehormatan. Persoalan menutup aurat adalah prinsip penting
Prinsip kedua, hajiyyah, adalah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia, namun tidak sampai
kepada kekacauan atau hilangnya kehidupan manusia, jika tidak terpenuhi. Namun,
kehidupan manusia akan menjadi sulit jika kebutuhan ini tidak terpenuhi.
Sementara itu, prinsip yang terakhir, tahsiniyyah, bersifat komplementer (mukammilat), sebagai asesoris, yang jika tidak ada,
tidak akan menyebabkan seorang ke dalam kekacauan hidup dan kesulitan. Ia lebih
sebagai asesoris, yang berfungsi untuk memperindah dan membuat kehidupan
menjadi lebih berwarna.
Setiap aturan dan hukum yang digariskan oleh Allah
tentu saja mengandung maksud dan tujuan. Apa sebenarnya maksud dan tujuan
disyariatkannya pakaian? Tujuan mendasar dari berpakaian ini adalah “menutup
aurat menurut cara yang disyariatkan.”[19]
Dalam wacana
fikih klasik, terdapat berbagai perbedaan terkait dengan persoalan batas aurat
bagi perempuan. Ada yang mengatakan seluruh tubuh perempuan itu aurat kecuali
wajah dan telapak tangan. Yang lain mengatakan seluruh tubuh perempuan itu
aurat.
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang
pasti menutup aurat pada hakikatnya bermuara kepada salah satu prinsip maqasid al-shari‘ah, yaitu “memelihara kehormatan” (حفظ العرض). Prinsip ini menjadi paradigma bagi setiap persoalan busana. Dan, menutup
aurat adalah salah satu media (wasilah) dari pemeliharaan terhadap kehormatan
ini. Subtansinya adalah “menutup aurat,” sementara teknis penutupan aurat
tersebut ditentukan oleh masing-masing adat setempat atau kearifan lokal (local
wisdom). Kata Ibn H{ajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari,
فأما هيئة اللباس فتختلف باختلاف عادة كل بلد، فرب
قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم فى اللبس، لكن يمتاز النساء بالاحتجاب والاستتار
...
“bentuk pakaian tersebut berbeda-beda
karena perbedaan kebiasaan masing-masing negeri. Boleh jadi, ada suatu kaum
yang tidak membedakan pakaian perempuan dan laki-lakinya. Akan tetapi,
perempuan tersebut dibedakan dengan ber-hijab dan menutup aurat.”[20]
Itu berarti bahwa persoalan adat kebiasaan setempat
memainkan peran dalam menentukan model pakaiannya, namun tujuannya (maqsid) tetap
terjaga, yaitu “menjaga kehormatan”, melalui cara (wasilah) “menutup
aurat”. Dalam sebuah kaidah disebutkan: للوسائل حكم المقاصد (media sama kedudukannya dengan tujuan). Atau, ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب (sesuatu yang wajib tidak akan dapat dilakukan tanpa
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib). Untuk jelasnya lihat bagan
berikut:
Dari penjelasan ini, menampilkan asesoris pada
pakaian, baik itu terkait dengan model, warna, bentuk, selama itu menutup
aurat, tidak memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh, dan tidak untuk kesombongan,
maka itu dibenarkan oleh syariat Islam. Wallahu ‘alam bi al-sawab.
* Disampaikan dalam Dialog Interaktif: Trendy with
Shariah, di Auditorium STAIN Datokarama Palu (Kamis,15 Nopember 2012).
** Dosen STAIN Datokarama Palu.
[1] Yuniya Kawamura, Fashion-ology: An Introduction to
Fashion Studies (Oxford: Berg, 2005), 3.
[2] Dikutip dalam Heather Marie Akou, “Building A New
‘World Fashion’: Islamic Dress in the Twenty-first Century,” Fashion Theory,
Vol. 11, Issue 4 (2007), 404.
[3] Ibid.
[4] Cahrlotte Perkins Gilman, The Dress of Women: A
Critical Introduction to the Symbolism and Sociology of Clothing (London:
Greenwood Press, 2002), 7.
[5] Kim K. Johnson, Susan J. Torntore dan Joanne B. Eicher
(eds), Fashion Foundations: Early Writings on Fashion and Dress (New
York, Oxford: Berg, 2003), 8.
[6] Gilman, The Dress of Women, 9.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 10.
[9] Ibid., 11.
[10] Ibid., 11-12.
[11] Dikutip dalam Johnson et.al, Fashion Foundations,
9-10.
[12] Dikutip dalam Ibid., 8.
[13] Patrizia Calefato, The Clothed Body (Oxford,
New York: Berg, 2004), 3. Redaksinya: Clothes as
conveyors of meaning
and value, that
give shape to a
system of objects in which the body finds the space for innumerable and complex
sensorial identities.
[14] “Kebaya Simbol Politik” dalam http://hazratunnaziroh.wordpress.com/about/kebaya-simbol-politik/ (Rabu, 14 Nopember 2012).
[15] Henry Krips, “The Hijab, The Veil, and Sexuation,” Psychoanalysis,
Culture and Society, vol. 13 (2008), 35-36.
[16] Emi Goto, “Qur’an and the
Veil: Contexts and Interpretations of the Revelation,” International Journal
of Asian Studies, vol. 1, no. 2 (2004), 281.
[17]
Al-Majma‘ al-Lughawi, al-Mu‘jam al-Wasit, Cet.
ke-4 (Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004), 636; Lihat
juga Ibn Manzur, Lisan
al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif,
tt), 3166-7.
[18] Alquran, surat al-Nur (23) 31,
[19] Ahmad
ibn Muhammad al-Mahdi, al-Libas fi
al-Islam (Mekkah: Rabitah
al-‘Aam al-Islami,
1991), 12; ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Mufassal
fi Ahkam
al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi
al-Shari‘ah al-Islamiyyah,
Jilid 3 (Beirut: Mu’sassah al-Risalah,
1993), 326.
[20] Ahmad
ibn ‘Ali ibn Hajar
al-‘Asqalani, Fath
al-Bari bi
Sharh Sahih
al-Bukhari, Jilid
10 (Riyad:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001), 345.