TIPOLOGI FATWA DI ERA MODERN:DARI OFFLINE KE ONLINE
Rusli
Abstract
This paper deals with the typology of fatwa (Islamic
legal opinion) in a contemporary era. It is assumed that change of paradigm
will give an impact to changes in knowledge and its media of transmission. This
also applies to fatwa. Due to this change of paradigm, fatwa has also
undergone changes either in content or media of transmission. In this
globalization era, which is characterized with the advance of information
technology, fatwa can be divided into such categories as state,
personal, individual, collective, and online fatwas. These fatwa models
have their own unique characteristics in terms of ideologies, interests and
scope of transmission.
Keywords: Internet,
fatwa online, mufti negara, mufti personal
I.
Pendahuluan
Dalam tradisi Islam, hukum Islam menempati posisi teratas dalam
kaitannya dengan dinamika
perkembangannya. Dengan seperangkat metodologinya yang begitu kuat, ia
dapat merespons berbagai perkembangan yang terjadi di dunia kontemporer saat ini.
Diasumsikan bahwa hukum Islam dapat berubah karena adanya perubahan
faktor-faktor seperti kondisi geografis, waktu, adat kebiasaan, politik,
sosial-budaya, dan paradigma pengetahuan.
Di antara pranata hukum
Islam yang ikut mengalami perkembangan karena adanya perkembangan-perkembangan
ini adalah fatwa. Perubahan-perubahan tersebut dalam realitasnya menyebabkan terjadinya
perubahan dalam model pemberian fatwa, materi dan juga media transmisinya.
Artikel ini berupaya menelusuri proses perubahan fatwa dari yang bersifat offline
hingga muncul fatwa online yang sekarang menjadi fenomena di dunia modern
saat ini karena pesatnya perkembangan teknologi informasi.
II. Epistemologi Fatwa
Fatwa (fatwa,
futya) merupakan “jawaban terhadap masalah-masalah yang ditanyakan”
(al-jawab ‘amma yus’alu ‘anhu min al-masa’il).[1]
Secara lebih luas, futya adalah menjelaskan
permasalahan-permasalahan hukum (tabyin al-mashakil min al-ahkam). Di
kalangan ulama mazhab, fatwa diberikan pengertian yang beragam, namun
tetap mempunyai kesamaan sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang
ditanyakan. Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum
terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan
ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum syariat
dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).[2]
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat
tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya,
baik yang jelas maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya
jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).[3]
Dalam
penelusuran kebahasaan dan praktiknya, fatwa pada dasarnya telah diungkap
banyak dalam Alquran, dengan dua istilah yang menunjukkan keberadaannya, yaitu yas’alunaka
(mereka bertanya kepada kamu)[4] dan yastaftunaka (mereka meminta pendapatmu).[5] Dalam beberapa kasus, kata-kata jadian lainnya dari akar kata yang
sama dapat ditemukan dalam Alquran, seperti kata aftina (berikan kepada
kami atau berikan pemecahan kepada kami tentang masalah ini dan itu). Istilah yas’alunaka atau variasi lainnya terdapat di dalam Alquran tidak kurang dari
126 kali, dalam surat-surat Makkiyyah dan Madaniyyah.[6]
Menurut
Hallaq,[7]
di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan untuk
memecahkan satu
persoalan yang pelik. Dalam surat Yusuf (12): 43,
raja meminta kepada rakyat untuk menafsirkan (aftuni fi) mimpi serius yang dialaminya.[8] Ratu Balqis pun meminta pendapat (aftuni fi) dari para
pejabatnya ketika Nabi Sulayman mengajaknya untuk masuk ke dalam Islam.[9] Dalam surat Yusuf (12) ayat 16, misalnya, Yusuf diminta untuk
menafsirkan (aftina fi) sebuah mimpi yang rumit dan kompleks yang dirasa
membingungkan para penafsir mimpi yang lain.[10] Konotasi yang sama juga dapat ditemukan dalam
ayat-ayat hukum, yang berkisar di seputar hak-hak perempuan dan kasus warisan
yang begitu pelik.[11] Jadi, dari perspektif
Alquran, keberadaan fatwa dan ifta’ secara kebahasaan mendapatkan
justifikasinya dalam Alquran dengan beragam ungkapan yang berbeda yang
mempunyai konotasi yang sama.
Dalam
kaitan dengan format, fatwa terdiri dari tiga unsur: pertanyaan (su’al,
istifta’), pemberi fatwa (mufti),[12]
dan jawaban (jawab). Seseorang (mustafti) mengajukan suatu
pertanyaan kepada seorang mufti, yang kemudian mufti tersebut menyediakan
jawabannya. Ketika pertanyaan tersebut disusun atau ditulis pada sehelai
kertas, maka kertas tersebut kemudian dikenal sebagai ruq’ah al-istifta’ atau kitab
al-istifta’.[13] Pertanyaan (istifta’)
dan jawabannya (fatwa) ini dikeluarkan sebagai respons
terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik
secara individual maupun kolektif. Ini dapat dilihat dengan melihat pada proses
pengeluaran fatwa di sebagian wilayah Muslim, yang di dalamnya fatwa memainkan
peran penting dalam keberagamaan umat
Islam. Seperti dikatakan
oleh Cecerio,[14] fatwa merupakan titik
temu (meeting point) antara teori hukum dan praktik sosial. Dalam kaitan
ini, fatwa dapat memainkan fungsi yang beragam seperti sebagai media hukum,
instrumen sosial, wacana politik, dan juga alat untuk melakukan reformasi
doktrinal. Bahkan,
fatwa dapat berperan menciptakan kestabilan sosial dalam berbagai komunitas
Muslim dengan menyediakan dan
mempersiapkan “pengaturan administrasi formal dan jaringan-jaringan
informal untuk menjalankan urusan-urusan masyarakat.”[15]
Selanjutnya, secara historis fatwa dalam
beragam waktu, tempat, dan keadaan, merupakan model khusus bagi
perkembangan hukum Islam, yang memasukkan praktik-praktik sosial (seperti adat
kebiasaan), ekonomi dan teknologi yang baru dan lama ke dalam fikih. Sebagai bentuk pengetahuan yang sentral bagi komunitas Muslim,
fatwa juga menciptakan kekuasaan dan kontrol, yang meresap ke
dalam relasi-relasi sosial dalam berbagai tingkatannya, dan mengartikulasikan perjuangan-perjuangan politik
dan doktrinal antara faksi-faksi yang bersaing dan berseteru melalui berbagai “perang
fatwa”. Dalam suasana ini sebuah pendapat hukum menciptakan
sebuah ruang bagi fatwa tandingan untuk berjuang mendapatkan legitimasi. Fatwa,
dalam sebagian hal, ikut serta pula dalam berbagai proses politik. Sebagai
contoh, fatwa digunakan untuk menghukum atau menyatakan seorang Muslim
heterodoks sebagai murtad,[16] dan
kumpulan fatwa yang dikeluarkan beberapa minggu setelah serangan 11 September
2001 terhadap Amerika, yang menegaskan
kebolehan bagi tentara Muslim Amerika untuk ikut serta dalam upaya militer
Amerika melawan para pelaku serangan, bahkan sekalipun itu mencakup deklarasi
perang terhadap negara Muslim.[17] Dari fakta tersebut dapat
disimpulkan bahwa fatwa
pada dasarnya adalah hasil konstruksi dari realitas sosial yang kongkret dan
khusus.
Selanjutnya,
ciri lain yang dominan yang menandai watak sosial dari praktik pemberian fatwa
(ifta’) adalah sebuah diktum bahwa fatwa seharusnya tidak dikeluarkan
dalam masalah yang belum terjadi di dunia nyata. Profesi hukum perlu mengekang
dirinya dari praktik pengajuan pertanyaan tentang kasus-kasus hipotetis.
Menurut Hallaq,[18] setidaknya ada tiga alasan mengapa ini tidak dapat dibolehkan.
Pertama, konsekuensi religius dan etis dari melakukan spekulasi terhadap
kasus-kasus hipotetis adalah begitu serius sehingga pelanggaran terhadap diktum
ini mungkin tidak bersifat normatif atau pun sering terjadi. Diktum ini
diabadikan tidak hanya sebagai postulat hukum yang sentral, namun juga sebagai
prinsip keagamaan. Kedua, sebagian besar fatwa ditujukan untuk pengadilan, yang
dalam tempat tersebut renungan-renungan hipotetis tidak mendapatkan tempat.
Ketiga, dalam semua koleksi primary fatwas, sebagian besar fatwa dikumpulkan oleh hakim dan mufti. Fatwa-fatwa yang
dikumpulkan oleh hakim jelasnya mengarah kepada proses pengadilan sebagai
sumber mereka, sedangkan yang dikumpulkan oleh mufti biasanya mencakup
pertanyaan-pertanyaan sulit tentang hukum yang muncul dalam kebanyakan kasus
sebagai perkara-perkara pengadilan, dan yang akan disampaikan oleh mufti kepada
mufti lain yang berkaliber lebih tinggi.
Ketika
fatwa, yang memuat suatu hukum yang berbasis pada realitas sosial yang
kongkret, dikeluarkan, kerapkali ia dimasukkan ke dalam kitab-kitab fikih (furu‘). Secara teknis, kitab-kitab
ini membentuk satu otoritas tertinggi sebagai kompilasi hukum. Meskipun memuat
satu hirarki otoritas doktrinal, namun secara keseluruhan mereka
merepresentasikan doktrin hukum standar dari mazhab-mazhab fikih. Fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkan oleh mufti dimasukkan ke dalam karya-karya fikih melalui
dua saluran: langsung dan tidak langsung. Dua contoh dari saluran
langsung adalah fatwa-fatwa Ibn Rushd yang dimasukkan ke dalam karya-karya
fikih yang berjudul Mawahib al-Jalil dan Tahrir al-Kalam yang
keduanya disusun oleh al-Hattab, dan fatwa-fatwa dari ayahnya al-Ramli yang
dimasukkan oleh al-Ramli ke dalam kitabnya yang merupakan komentar atau ulasan
(sharh) terhadap kitab al-Minhaj karya al-Nawawi.
Saluran
yang tidak langsung melibatkan berbagai proses yang panjang seperti
mengumpulkan, menyunting, dan mengikhtisar fatwa-fatwa primer untuk dimasukkan
ke dalam koleksi-koleksi yang tidak terkait dengan fatwa dari para mufti
tertentu, namun hanya mengumpulkan bahan-bahan fatwa untuk membentuk sebuah
karya fikih. Fatwa-fatwa ini disebut modified fatwas (fatwa yang telah
dimodifikasi). Abu al-Layth al-Samarqandi dan al-Natifi, misalnya, konon
mengumpulkan di dalam karya-karya mereka, Kitab al-Nawazil dan Majmu‘at al-Nawazil wa al-Waqi‘at, fatwa-fatwa dari para imam mazhab dan juga fatwa-fatwa dari para
mufti seperti Muhammad ibn Shuja‘ al-Thalji, Muhammad ibn Muqatil al-Razi dan Ja‘far ibn ‘Ali al-Hinduwani.
Sebagaimana
mengalami transformasi ketika diasimilasi ke dalam karya-karya fikih,
fatwa-fatwa primer juga mengalami transformasi yang sama dalam perjalanannya
dari primary fatwa kepada modified fatwa. Untuk sampai kepada modified
fatwa ini, proses tersebut melibatkan dua cara: tajrid dan talkhis.[19] Tajrid adalah suatu proses penghilangan rincian-rincian
seperti alur penalaran yang mengantarkan kepada pendapat yang diekspresikan
dalam fatwa, nama-nama nyata atau hipotetis yang kebetulan disebutkan. Ia juga
mencakup penghilangan semua kata dan frase yang tidak relevan dengan hukum,
seperti formula-formula keagamaan, dan frase-frase “Dia ditanya ... “ dan “Dia
menjawab ... “ dan kalimat-kalimat pengantar yang mengindikasikan bahwa para mufti
telah membaca secara saksama dan mempelajari fatwa tersebut. Dan karena
sebagian fatwa memuat dokumen-dokumen hukum, khususnya yang terkait dengan
kontrak, maka fungsi tajrid-lah yang menghilangkan dokumen-dokumen ini
juga. Namun, karena penghilangan total terhadap dokumen mungkin dapat
mendistorsi fakta-fakta dan hukum dalam sebuah fatwa (surah al-fatwa),
maka praktik yang kedua adalah melalui proses talkhis (ikhtisar).
Namun
demikian, tidak semua fatwa dimasukkan ke dalam karya-karya furu‘ atau kitab-kitab fikih. Jenis-jenis fatwa yang dimasukkan ke dalam
kitab-kitab fikih adalah yang terkait dengan kasus-kasus yang dianggap relevan
dan sangat penting bagi periode kehidupan kala itu, yaitu ketika mereka menulis
karya-karya fikih ini. Ini dibuktikan tidak hanya dengan pemasukkan fatwa-fatwa
terbaru ke dalam karya-karya fikih mereka, namun juga keteguhan mereka untuk
memasukkan kasus-kasus yang dianggap relevan bagi kebutuhan-kebutuhan
kontemporer dan yang terjadi secara meluas (ma ta‘umm bihi al-balwa), dan menyisihkan kasus-kasus yang kurang relevan dengan komunitas
dan pelbagai kebutuhannya.[20] Perlu ditekankan pula bahwa proses pengasimilasian fatwa bersifat
selektif, dan hanya fatwa-fatwa yang menambah bahan baru bagi kumpulan doktrin
hukum saja yang dimasukkan. Fatwa-fatwa yang memuat pandangan-pandangan yang
lemah atau didasari pada doktrin-doktrin hukum yang tidak otoritatif akan
disisihkan atau tidak dimasukkan ke dalam kitab-kitab fikih.[21]
Pemasukkan
fatwa ke dalam kitab-kitab fikih tidaklah berangkat dari ruang kosong, namun
ada alasan-alasan sosiologis yang mendasarinya. Menurut Hallaq,[22] di antaranya adalah alasan yang bertitik tolak dari asumsi bahwa
fungsi terpenting dari pelbagai karya fikih pada dasarnya adalah menyediakan
berbagai muatan hukum-hukum fikih yang komprehensif, terutama yang berstatus
otoritatif. Karya-karya fikih ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi
setiap kasus yang dapat direnungkan dan dianalisis, sehingga para mufti mungkin
dapat menggunakannya demi mencari doktrin-doktrin yang otoritatif, dan
memasukkan kasus-kasus hukum yang lebih terbaru dan terlama ke dalam mazhabnya.
Ini menjelaskan mengapa fatwa dimasukkan ke dalam karya-karya fikih ini, karena
ia merepresentasikan bahan yang paling lama dan terbaru yang relevan bagi
pelbagai kebutuhan masyarakat dan responsif terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi sepanjang waktu. Bahan-bahan ini juga pada gilirannya digunakan oleh
hakim pada saat memutuskan satu persoalan hukum.
Uraian
di atas telah menjelaskan bagaimana fatwa mengalami perubahan dalam format dan
strukturnya. Dalam substansi dan muatannya, fatwa sangat tergantung pula pada
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, baik kondisi waktu dan geografis
maupun adat istiadat. Sebuah adagium yang mungkin
populer di kalangan para mufti adalah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Qayyim: “Perubahan fatwa terjadi karena
adanya perbedaan masa, tempat, kondisi dan keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”[23]
Berdasarkan pernyataan Ibn al-Qayyim ini,
seorang mufti yang cermat harus memperhatikan kondisi-kondisi ini dan
memilah-milahnya. Ia tidak boleh kaku terhadap satu pandangan hukum saja, namun
mesti membuka diri kepada berbagai pandangan yang berbeda jika keadaannya
memang menuntutnya untuk berubah. Rasulullah Saw sendiri, berdasarkan
keterangan sebuah hadis, melarang para Sahabat di Mekkah membawa senjata untuk
berperang demi membela diri mereka. Mereka datang kepada Nabi dalam keadaan
memar dan terluka, namun Rasulullah Saw menyuruh mereka untuk tetap sabar dan
menahan kendali. Hingga ketika Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, dan mereka
mempunyai sebuah negara, maka Allah mengizinkan mereka untuk
berperang.[24] Singkatnya,
memperhatikan perubahan-perubahan ini bagi seorang mufti yang ingin mengeluarkan fatwa adalah
sangat
penting karena tingkat kebenaran dan efektivitas sebuah fatwa
mempunyai korelasi yang kuat dengan pemahaman terhadap perubahan-perubahan
kondisi, masa, tempat, dan juga adat kebiasaan. Semakin cermat seorang mufti
mempertimbangkan dan menganalisis kondisi-kondisi ini, maka fatwa yang dikeluarkannya
akan semakin efektif dan mendekati tingkat akurasi yang tinggi.
III. Tipologi Fatwa
1.
Mufti negara vs
mufti pribadi
Secara teoritis, mufti harus terlepas dari negara demi menghindari bias dan penyimpangan dalam pemberian fatwa. Namun, dalam realitasnya peran negara dalam menciptakan
otoritas hukum begitu besar. Negara tentunya mempunyai kepentingan dalam peran ini,
baik dalam perspektif
keagamaan, sosial, maupun politik. Sebagian
besar masyarakat
di negara Muslim saat ini tidak terlepas dari pengaruh
dan intervensi negara dalam kehidupan agamanya. Salah satu yang dimasuki oleh
negara adalah persoalan pemberian fatwa. Sehingga dalam realitas sosial dan
politik keagamaan dikenal istilah “mufti negara”, yang merupakan “lawan” dari mufti personal.
Mufti negara adalah “pejabat negara, birokrat, dan tokoh penting
dalam administrasi keagamaan.”[25] Mereka lebih cenderung melihat dirinya sebagai instrumen negara,
yaitu sebagai jurubicara bagi sektor keagamaan masyarakat, pembela syariah dan
norma-norma keislaman dalam sebuah masyarakat. Mereka justru mengklaim
menggunakan negara sebagai instrumen untuk memunculkan kebijakan-kebijakan
keagamaan, sebuah klaim yang mengandung kebenaran, dalam arti bahwa mufti
negara sering mempunyai anggaran dan kewenangan untuk menyelenggarakan berbagai
konferensi, menerbitkan informasi, membuat berbagai kebijakan, untuk mempengaruhi
publik tentang isu-isu dirasa mengancam norma-norma, nilai-nilai, dan
aturan-aturan keagamaan. Ada juga satu kondisi yang seorang mufti negara menentang
pemerintah dan menuntut mereka untuk mengubah kebijakan-kebijakannya tentang
satu persoalan khusus.
Peran mufti negara mungkin berbeda antara satu negara dengan negara
yang lain. Dalam sebagian hal, ia berada dalam kontrol yang ketat dan
aktif dari negara. Fungsi mufti negara dalam konteks ini adalah menjadi
pelegitimasi terhadap kekuasaan negara dengan mengeluarkan fatwa-fatwa berkala
atas permohonannya. Misalnya, di era kekuasaan
Mamluk, sultan (negara) mendirikan satu dewan khusus yang terdiri dari para
mufti, dan memberikan nama al-Ifta’ Dar al-‘Adl. Para
penguasa Mamluk mengangkat mufti dari empat mazhab untuk masuk ke dalam dewan
baru tersebut, seraya menempatkan
mereka dalam posisi yang sama.[26] Di era
kekuasaan Uthmani, negara malah mengembangkan sebuah
administrasi keagamaan hirarkis dengan dikepalai oleh seorang mufti, Seyhülislam.
Mufti agung ini mempunyai kekuasaan yang begitu luas dan biasanya berhubungan
dengan sultan dan para wazir-nya. Ia diangkat oleh negara dan memegang
jabatan tersebut seumur hidup. Setidaknya hingga abad ke-19, fatwa-fatwanya
berpengaruh di pengadilan, lantaran sering
dirujuk sebagai putusan-putusan hukum yang dikeluarkan oleh
hakim. Oleh karena itu, sudah menjadi praktik yang mapan kala itu jika para
pihak yang berperkara, untuk memperkuat kasus mereka, meminta fatwa dari Seyhülislam
terlebih dahulu. Sebagian dari fatwa-fatwanya dikumpulkan dalam kitab dan
disirkulasikan, kemudian menjadi preseden hukum untuk dipertimbangkan oleh
hakim berikutnya ketika memutuskan kasus-kasus yang sama.
Di Saudi Arabia, para mufti yang terkumpul dalam al-Lajnah al-Da’imah
li al-Buhuth al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ diangkat oleh negara. Namun para
mufti ini berada dalam kontrol dan pengaruh yang sangat kuat dari negara
(kerajaan). Segala fatwa yang dikeluarkan tidak akan keluar dari mazhab
resmi negara dan juga dari kebijakan dan stabilitas politik kerajaan. Figur
penting yang mewarnai lembaga fatwa ini adalah ‘Abd al-‘Aziz ibn Baz, yang
keterikatannya pada mazhab Hanbali dan ajaran-ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab
begitu kuat, dan perannya dalam melegitimasi berbagai kebijakan kerajaan tidak
diragukan lagi.
Sedangkan dalam kondisi lain, mufti negara dapat mengambil
inisiatif sendiri. Contoh
yang mungkin representatif terhadap masalah ini adalah jabatan mufti negara Dar
al-Ifta’ di Mesir, yang dibentuk pada tahun 1895 dan diperluas sehingga
menjadi satu lembaga yang besar. Tugasnya
adalah merespons setiap pertanyaan yang diajukan oleh setiap individu,
lembaga-lembaga publik, dan juga negara. Menurut Skovgaard-Petersen,[27] dari abad ke-19, mufti menjadi pelayan publik yang diangkat
langsung oleh kepala negara, dan mendapat julukan Mufti al-Diyar al-Misriyyah
(Mufti Wilayah Mesir), kemudian diganti menjadi Mufti al-Jumhuriyyah
(Mufti Republik). Seluruh hirarki mufti dibentuk, dan ditempatkan di berbagai pengadilan dan departemen pemerintahan, sehingga
kodifikasi dan rasionalisasi proses hukum membuat jumlah mereka menjadi terlalu
berlebihan di pengadilan. Fungsi ifta’ semakin diketahui oleh publik,
yang dipermudah melalui peran percetakan dan media massa. Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan tersebut disimpan dan diklasifikasikan secara sistematis, kemudian
dicetak dalam berbagai koleksi.
Media massa memperluas penyebaran fatwa tentang isu-isu sosial dan politik yang diorientasikan kepada publik ini. Sebagai contoh, dalam perannya
sebagai mufti, Muhammad ‘Abduh begitu ekstensif menggunakan media massa,
termasuk propagandanya dalam bidang reformasi dan pendidikan.[28]
Dalam kondisi yang lain, mufti negara mungkin merupakan seorang
yang agak marjinal, kurang tertarik pada negara atau publik secara umum. Di
Syria, misalnya, negara melakukan upaya besar untuk mengontrol pengangkatan dan
aktivitas mufti negara. Sebagian tugas mufti wilayah Uthmani yang signifikan secara bertahap dihilangkan. Dengan terbentuknya Kementerian
Wakaf, rejim kekuasaan mengontrol masjid-masjid, termasuk administrasi
keuangannya. Saat ini, mufti adalah pegawai keagamaan di Kementerian tersebut
dengan sejumlah kecil kekuasaan administrasi dan sedikit kemandirian. Namun
demikian, ia tetap menjadi tokoh penting sebagai pewujudan resmi dari hukum
Islam dan moralitas. Khususnya pada era Partai Baath, ada berbagai upaya yang
dilakukan untuk menginstrumentalkan jabatan tersebut demi melegitimasi rejim
dan pelbagai kebijakannya. Syaikh Ahmad Koftaro, mufti negara Syria, juga mengambil
bagian dalam hal ini. Namun ia mengundurkan diri
atau melakukan privatisasi terhadap tugas-tugas
keagamaan, dan mengutamakan pengajaran. Ini kemudian membuka jalan dan
mempercepat kemunculan kebangkitan Islam di Syria.[29] Pada masanya pula, seiring dengan kebangkitan Islamisme pada tahun
1970-an, terjadi oposisi dan resistansi yang menentang
dirinya dari gerakan Islamis.
Sebelumnya, mufti negara Syria, Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin
(1890-1981), yang dipilih pada tahun 1954, dimarjinalkan dan
bahkan dipecat oleh negara.
Hal ini adalah karena resistansi dan
oposisinya yang keras terhadap negara karena tindakan negara yang semena-mena
mengambil alih dan menyita hak-hak kepemilikan pribadi.[30] Di Syria tampak jelas bahwa kekuatan negara vis a vis mufti
negara begitu besar, sehingga ruang kemandirian mufti tidak dibuka lebar.
Negara dengan mudah mencopot posisi mufti negara jika mufti tersebut dianggap
dapat membahayakan kekuasaannya. Begitu pula, marjinalisasi mufti terbukti
dengan intensitasnya keterlibatan mufti dalam tugas-tugas pendidikan dan
pengajaran, dan tidak dibebani dengan tugas ifta’.
Singkatnya, jika dilihat dari berbagai fakta di atas, peran mufti
negara, seperti dikatakan Vikør, bergantung
pada faktor-faktor seperti watak pemerintah, ideologi negara, komposisi ulama,
dan tingkat otonomi sektor keagamaan. Namun ia juga dipengaruhi oleh peran dan
pentingnya agama dalam masing-masing masyarakat, termasuk fenomena munculnya
Islamisme (ideologi ketiadaan pemisahan antara negara dan agama) dan watak
dasar hukum Islam.[31] Semakin kuat pemerintahan tersebut dan ideologinya, maka tingkat
independensi mufti tersebut menjadi semakin kecil, dan ketergantungan pada
negara menjadi semakin besar. Ini pada gilirannya menjadikan mufti sebagai
instrumen negara yang hanya bertindak sebagai pelegitimasi. Namun jika ideologi
ulamanya kuat, maka tingkat kemandirian dalam memberikan fatwa menjadi kuat.
2.
Lembaga fatwa: dari fatwa
Individual ke fatwa kolektif
Sebelum
muncul ijtihad jama’i, fatwa dikeluarkan oleh ulama secara perorangan.
Tradisi ini berlangsung lama semenjak awal Islam, karena persoalan ifta’
dalam Islam adalah sebuah tanggung jawab, bukan seremonial semata. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika ditemukan berbagai kumpulan fatwa yang disusun dan
ditulis oleh ulama secara perorangan yang mempunyai kualitas yang mumpuni.
Seperti halnya di belahan dunia Islam, di Indonesia praktik pemberian fatwa
secara individual telah berlangsung cukup lama. Sirajuddin Abbas, misalnya,
membahas dalam koleksi fatwanya tiga pertanyaan yang berkaitan dengan isu-isu
kontemporer seperti bunga bank, lotere, dan seni, sedangkan sisanya menjawab
berbagai persoalan tauhid, ibadah, dan mu’amalah.
Tokoh
lainnya adalah Ahmad Hasan, yang isu-isu pembahasannya begitu kompleks, karena
selain isu-isu serupa yang dibahas dalam koleksi fatwa Sirajudin, ia juga
membahas isu-isu seperti konsumsi obat pada saat berpuasa, rasisme,
keterlibatan dalam perdagangan kulit ular, kemungkinan identifikasi zakat
dengan pajak, masalah pajak yang dibebani pada uang yang disimpan di dalam
bank, penjualan anjing, pembelian dengan angsuran, dan berdakwah di film. Dalam
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, Hasan biasanya
menyediakan penjelasan yang panjang, seraya mengutip sumber-sumber dari Alquran
dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan pokok persoalan tersebut. Dalam kasus
jika ada dua pandangan yang berbeda, yang masing-masing dengan dasar yang
berbeda baik dalam Alquran maupun Sunnah, Hasan mencoba menjelaskan ayat
Alquran (dan terkadang dengan asbab
al-nuzul-nya) dan tingkat keterpercayaan sanad dan
matan dari masing-masing Sunnah. Namun demikian, Hasan enggan menggunakan
metode qiyas,[32] namun menerima ijma’ dan membatasinya hanya pada ijma’
al-Sahabah.[33] Jika tidak ada aturan hukum di dalam Alquran dan Sunnah Nabi, yang
melarang sebuah tindakan tertentu, maka ia bersandar pada prinsip al-asl fi
al-ashya’ al-ibahah (fondasi bagi segala sesuatu adalah kebolehan).
Namun
saat ini, karena perubahan kondisi dan paradigma pengetahuan (al-nuzum al-ma‘rifiyyah),
ijtihad kolektif (ijtihad jama‘i) menjadi sesuatu yang
dipertimbangkan secara serius. Dunia senantiasa berada dalam perubahan yang
terus menerus. Pada periode sebelum ijtihad jama’i berkembang,
persoalan-persoalan global belumlah kompleks seperti ini. Namun ketika ditemukan
sains dan teknologi, persoalan menjadi lebih rumit dan kompleks, baik yang
terkait dengan persoalan lingkungan, medis, hak asasi manusia, ekonomi,
politik, dan lainnya. Dan dalam perspektif fikih Islam, persoalan ini tidak
cukup dipecahkan secara individual oleh para ulama, namun mesti melibatkan
banyak pakar dalam perspektif yang berbeda. Mengingat wataknya, jenis ijtihad
ini, karenanya, adalah satu perkembangan baru dalam hukum Islam, tidak hanya di
Indonesia, namun juga di seluruh dunia.
Asumsi
bahwa ijtihad jama‘i adalah fenomena baru, jika ditelusuri secara historis, dapat
dipatahkan oleh fakta bahwa praktik ijtihad kolektif sebenarnya sudah ada pada
masa Rasulullah Saw, yaitu dalam bentuk praktik shura yang kerap
dilakukan oleh Nabi dan Sahabat untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang
dihadapi umat.[34] Misalnya, dalam persoalan tawanan perang Badar, Rasulullah Saw pernah bermusyawarah dengan para Sahabatnya. Di
antara Sahabat yang mengutarakan pendapatnya adalah Abu Bakr al-Siddiq, ‘Umar
ibn al-Khattab, ‘Abd Allah ibn Rawahah dan Sa‘d ibn Mu‘adh. Dalam
pergumulan pendapat tersebut, Rasulullah Saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakr yang berpandangan untuk
mengambil
tebusan dari para tawanan tersebut. Namun, ternyata Allah Swt lebih mendukung
pandangan ‘Umar yang bersikukuh untuk membunuh mereka, dengan turunnya ayat:
Tidak patut
bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki
(pahala) akhirat (untukmu). Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[35]
Berdasarkan ayat itu, Sa‘id Ramadan
al-Buti menyatakan bahwa ijtihad sebenarnya dilakukan pula oleh Rasulullah Saw.
Dan ijtihad Rasulullah Saw dapat salah, namun tidak berlangsung lama karena
akan datang wahyu dari Allah Swt yang mengoreksinya. Kekeliruan itu bukan
berarti melanggar sifat keterjagaan Rasulullah dari kesalahan (‘ismah)
karena kekeliruan bukanlah keburukan, namun hanya merupakan kekurangsempurnaan
dalam versi ilmu Allah Swt.[36]
Pada masa kontemporer, ijtihad kolektif dianggap sebagai solusi terhadap
krisis pemikiran dalam dunia Muslim karena dengan ijtihad tersebut masalah-masalah
modern dan kontemporer yang kompleks dapat dipecahkan, dan fanatisme mazhab
dapat diperkecil.[37] Salah satu alasannya adalah bahwa sejumlah ulama dari berbagai mazhab dan
disiplin keilmuan yang berbeda dapat duduk bersama untuk melakukan ijtihad
secara kolektif. Prosedur ini diikuti karena para ulama mengapresiasi dan
memahami bahwa masalah-masalah pada era modern jauh lebih kompleks daripada
masa Nabi limabelas abad yang lalu. Selain itu, umat Islam saat ini berharap
agar ulama menyediakan jawaban-jawaban yang lebih luas dan komprehensif
terhadap masalah-masalah mereka, tidak hanya dari perspektif hukum Islam, namun
juga dari berbagai perspektif lainnya. Inilah yang disebut sebagai al-ijtihad
al-jama’i.
Ijtihad kolektif di berbagai belahan dunia Muslim termanifestasikan dalam
berbagai bentuk lembaga ijtihad seperti Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah al-Azhar
dan Dar al-Ifta’ al-Misriyyah, yang keduanya berada di Mesir, Majma’
al-Fiqh al-Islami (Lembaga Fikih
Islam) yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih
banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga
ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang, kompetensi
dan kualifikasi dalam memutuskan hukum. Sedangkan di
Indonesia, ijtihad kolektif yang menghasilkan fatwa kolektif umumnya dilakukan
oleh organisasi-organisasi keagamaan besar seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Meskipun istilah ijtihad jama’i digunakan sekitar tahun 1950-an,
namun ia telah dilakukan oleh umat Islam ini semenjak tahun 1926 melalui
organisasi Nahdlatul Ulama (NU).[38] Pada praktiknya, sebelum mengeluarkan fatwa, para ulama dari NU melakukan
sebuah pertemuan terlebih dahulu, yang dihadiri juga oleh para ilmuan lain dari
latar belakang yang berbeda. Mereka mendiskusikan persoalan tersebut, dan pada
akhir pertemuan, sebuah fatwa dikeluarkan oleh organisasi tersebut melalui
metode yang disebut Bahtsul Masail. Fatwa-fatwa tersebut kemudian dikumpulkan
dalam koleksi yang diberi judul Ahkam al-Fuqaha’. Dengan melakukan
ijtihad secara kolektif, NU dapat mengundang berbagai opini dari, atau
berkonsultasi dengan, para ilmuan sekuler. Misalnya, sebelum melakukan ijtihad
tentang persoalan-persoalan seperti keluarga berencana atau perbankan, mereka
cenderung mendiskusikan aspek-aspek medis dengan para dokter atau praktisi
kesehatan dan ilmuan medis, dan aspek-aspek ekonomi dengan para pakar ekonomi.
Karena ada situasi-situasi yang mungkin tidak disebutkan di dalam Alquran dan
Sunnah, khususnya yang terkait dengan persoalan-persoalan sosial, para ulama
mengakui bahwa mereka harus bekerja sama dengan para ulama dan ilmuan. Ini
sebenarnya merupakan spirit ijtihad kolektif.
Sebelum Kongres pada tahun 1922 di Lampung, metode yang digunakan oleh NU
adalah sebagai berikut:
(1) Setiap
pendapat harus didasarkan pada pandangan atau kesepakatan antara al-Nawawi dan
al-Rafi’i secara bersama-sama. Pandangan ini disebut kesepakatan al-shaykhayn.
Jika jawabannya tidak tersedia, maka, (2) hanya pandangan al-Nawawi yang
dicari; kemudian, (3) pandangan al-Rafi’i; kemudian (4) pandangan yang didukung
oleh mayoritas ulama Shafi’i, kemudian, (5) pandangan yang ulama yang paling
alim, dan terakhir (6) pandangan ulama yang alim dan wara’.[39]
Kemudian, terobosan metodologi dilakukan pada saat Kongres di
Lampung pada tanggal 21-25 Januari. Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Bahtsul
Masail dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
(1)
mencari pandangan-pandangan para ulama awal, (2) jika pandangan-pandangan
berbeda yang ditemukan, maka pandangan yang dominanlah yang dipilih atau
kompromi dilakukan jika dimungkinkan. Jika kompromi tidak dapat dicapai, sebuah
pendapat mesti dipilih secara kolektif. Nahdiyyin (para pengikut NU)
menyebut metode ini taqrir jama‘i. Namun harus dicatat bahwa
pandangan-pandangan dari al-Nawawi dan al-Rafi’i harus diprioritaskan,
kemudian, (3) jika jawaban tidak ditemukan, maka qiyas mesti digunakan,
dengan membuat sebuah analogi antara kasus yang dibahas dan materi yang sama
yang telah dinyatakan oleh Alquran atau Sunnah, (4) jika qiyas tidak
dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka istinbat jama‘i harus dilakukan. Dalam
melakukan hal tersebut, para pakar dari ilmu-ilmu “sekuler” seperti ekonomi,
hukum, dan teknik harus diminta pendapatnya.[40]
Selain NU, Muhammadiyah juga memainkan peran yang penting dalam
pembentukan ijtihad atau ifta’ kolektif. Organisasi ini mempunyai satu
divisi yang dibebani tugas meneliti berbagai persoalan agama secara umum.
Divisi ini, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, yang biasanya
disebut Majelis Tarjih, mengeluarkan berbagai fatwa setiap dua mingguan tentang
berbagai masalah dan menerbitkannya dalam Suara Muhammadiyah. Selain itu, badan
ini juga mengeluarkan berbagai putusan hukum Islam yang merepresentasikan
posisi formal organisasi yang dianggap mengikat bagi para anggotanya. Dalam
kaitan ini, Majelis Tarjih juga mengeluarkan dua jenis pernyataan hukum Islam
yang berbeda nilainya.[41] Pertama, keputusan tarjih, yang dihasilkan melalui Konferensi
Tarjih Nasional. Konferensi ini dihadiri oleh para ulama dan intelektual, baik
laki-laki maupun perempuan, yang terbukti mempunyai kapasitas untuk melakukan tarjih,
dalam pengertian bahwa pengetahuan dan sumber daya mereka memungkinkannya untuk
melakukan ijtihad. Konferensi ini juga dihadiri oleh para ulama dan ilmuan dari
luar Muhammadiyah. Keputusan dari konferensi nasional tersebut menjadi posisi
formal organisasi secara keseluruhan. Atau, dengan kata lain,
keputusan-keputusan tersebut mengikat buat Muhammadiyah sebagai institusi dan
para anggotanya.
Kedua, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih. Tidak
seperti keputusan tarjih, fatwa tidak dihasilkan melalui mekanisme formal
organisasi seperti Konferensi Tarjih. Lebih tepatnya, ia dikeluarkan oleh
Majelis Tarjih sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh anggota masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin dikirim kepada
redaksi Suara Muhammadiyah atau langsung kepada Majelis. Anggota Majelis
kemudian membuat salinan dari pertanyaan tersebut, mengarsipkannya dan kemudian
memberikan satu pertanyaan atau lebih kepada para anggota agar mempersiapkan
draf-draf fatwa yang akan didiskusikan pada waktu yang telah dijadwalkan.
Biasanya pertemuan-pertemuan informal untuk mendiskusikan draf-draf fatwa
tersebut diselenggarakan secara bergiliran di rumah-rumah para anggota atau di
restoran. Pada saat yang telah dijadwalkan tersebut, para peserta mendiskusikan
fatwa-fatwa yang relevan, seraya membuat perubahan-perubahan yang berarti
sebelum mengirim fatwa yang sudah final tersebut kepada redaksi atau editor
Suara Muhamadiyah. Fatwa tersebut mungkin pula disampaikan secara langsung
kepada penanya (mustafti) jika diperlukan. Tidak seperti keputusan
tarjih, fatwa tidak mungikat kepada Muhamadiyah sebagai organisasi dan juga
kepada penanya atau anggota-anggota Muhamadiyah lainnya. Namun demikian, dalam
praktiknya ia berfungsi sebagai petunjuk bagi para anggota Muhammadiyah,
sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa koleksi-koleksi fatwa tersebut masih
terus dicetak ulang.
Nilai otoritatif dari fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh Majelis
Tarjih ditentukan oleh argumen-argumen dan dalil-dalil syariah yang menjadi
landasan fatwa tersebut dan oleh kepatuhan terhadap hukum Islam yang dihasilkan
melalui prosedur-prosedur metodologis yang diikuti. Semakin fatwa tersebut
didasari paa Alquran dan Hadis, semakin kuat nilai otoritatifnya. Sebaliknya,
fatwa yang tidak mempunyai landasan pada dua sumber ini, dan yang hanya
didasari pada perkataan ulama saja, akan dianggap kehilangan otoritas. Ini
merefleksikan prinsip dasar Muhammadiyah, “kembali kepada Alquran dan Sunnah”.
Para ulama dan mufti hanya mempunyai otoritas derivatif. Artinya, ijtihad dan
fatwa mereka menjadi otoritatif hanya jika didasari pada Alquran dan Sunnah
Nabi.[42]
Lembaga lain yang melibatkan para mufti secara kolektif dalam
memformulasikan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada
1975. Semenjak pembentukannya, MUI telah mengeluarkan banyak fatwa tentang
berbagai macam aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Peran yang
dimainkan oleh pemerintah dalam pembentukan dan pengembangan MUI tidak
menunjukkan bahwa MUI selalu mendukung pemerintah. Mudzhar menyatakan bahwa
“meskipun proporsi fatwa yang besar tersebut memaparkan pengaruh pemerintah
yang kuat, namun mayoritas fatwa bersifat netral; dalam sebagian kasus bahkan
bertentangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.”[43] Dari dua puluh fatwa yang dikeluarkan dari 1975 hingga 1988,
sebelas bersifat “netral”, delapan mendukung, dan
tiga bertentangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Satu fatwa yang
bertentangan dengan kebijakan tersebut adalah persoalan menghadiri perayaan
Natal. Pada saat pemerintah mendorong perayaan Natal bersama oleh orang-orang
Kristen dan Muslim, MUI malah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa umat
Islam dilarang menghadiri perayaan tersebut.
MUI mempunyai komite khusus (Komisi Fatwa dan Hukum) yang
mendiskusikan berbagai persoalan yang ditanyakan sebelum mengeluarkan fatwanya.
Komisi ini menggunakan keahlian dari duapuluh lima orang. Namun prinsip yang
mesti dipatuhi adalah bahwa fatwa yang akan dikeluarkan mesti sejalan dengan
petunjuk-petunjuk MUI dalam berfatwa, yaitu harus didasari pada Alquran dan
Hadis, dan tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan publik. Jika persoalan
tersebut tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber tersebut, maka fatwa harus
sejalan dengan ijma’, penalaran yang sahih melalui qiyas, dan
prinsip-prinsip hukum lainnya. Selanjutnya, sebelum fatwa dikeluarkan, Komisi
tersebut harus mempertimbangkan pandangan-pandangan dari berbagai mazhab fikih
dan pendapat para pakar dalam persoalan tersebut.[44]
Selain
Komisi Fatwa dan Hukum, salah satu bagian dari MUI yang juga memberikan
perhatian pada pengeluaran fatwa secara kolektif adalah Dewan Syariah Nasional
(DSN), yang didirikan pada tahun 1999. DSN dibentuk dengan pertimbangan dan alasan semakin berkembangnya
lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia, yang tentunya membutuhkan
berbagai pandangan dari hukum Islam tentang produk-produk perbankan. Tugas dari
badan ini pada dasarnya adalah: (1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai
syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; (2)
Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; (3) Mengeluarkan fatwa
atas produk dan jasa keuangan syariah; (4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah
dikeluarkan.[45] Dan
semenjak berdirinya, DSN telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi
syariah.[46]
3.
Fatwa online
Fatwa
online adalah fenomena dari peradaban global. Salah satu ciri yang mendukung
peradaban global adalah teknologi informasi, yang salah satunya dalam bentuk
Internet. Pada era modern saat ini, Internet menjadi alat yang berpengaruh
untuk menyebarkan informasi. Internet menyediakan akses buat umat Islam kepada
alat-alat untuk berijtihad. Segalanya tersedia, dari bacaan-bacaan Alquran
hingga kemampuan untuk mencari tafsiran-tafsiran dari berbagai ulama yang
berlokasi di seluruh dunia, hanya dengan memasukkan kata kunci (keyword)
ke dalam mesin pencarian (search engine). Internet membuka pintu ijtihad
cyber. Seperti yang direfleksikan John Anderson,
[... bentuk-bentuk komunikasi
elektronik memindahkan wacana Islam melampaui bahasa teks klasik ke dalam
bahasa kontemporer dan melibatkan aktor-aktor baru, situs-situs produksi, dan
konsumsi . . .] [47]
Selain
itu, Internet juga berperan membentuk ruang publik lintas bangsa. Dalam ruang
tersebut, semua isu fatwa dapat ditelusuri dan didiskusikan secara terbuka oleh
publik dalam berbagai blog dan chatroom. Ini berbeda sekali dengan fatwa
konvensional yang, meskipun dipublikasikan dalam media massa, tidak
dipertentangkan secara publik. Otoritas tradisional dalam pemberian fatwa
memang agak terancam dengan keberadaan mufti online, yang kerapkali tidak
diketahui identitas, kualitas dan kualifikasinya. Fakta ini mungkin mendukung
pernyataan Muqtedar Khan bahwa “semua orang dapat menjadi mufti di Internet”,
dan otoritas tradisional menjadi tertantang dan terkadang malah
“terpinggirkan”. “Marginalisasi” ini dapat dilihat pada kecenderungan sebagian
orang untuk tidak lagi mencari pengetahuan agama kepada ulama secara langsung,
tapi mereka cukup dengan mengakses Internet dan mengetik kata kunci pada mesin
pencarian (search engine), seperti yang terdapat dalam google atau
yahoo. Dalam waktu yang tidak lama, puluhan bahkan ratusan artikel akan muncul
dengan berbagai karakteristik dan kecenderungannya. Para users secara
leluasa dan bebas dapat memilih pandangan-pandangan yang mereka sukai atau yang
sesuai dengan kenyamanan keberagamaan mereka. Begitu pula, dengan mudah seorang
user dapat masuk ke dalam situs tertentu yang menyediakan layanan fatwa
online, dan dengan mengklik database atau bank fatwa, mereka dapat mendapatkan
jawaban-jawaban terhadap persoalan yang mereka ingin ketahui.
Internet
sebagai media komunikasi impersonal memang memberikan kemungkinan yang luas
bagi para pengguna untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih jelas
tentang norma-norma agama dan sosial yang berlangsung dalam negara-negara
mereka. Dalam beberapa menit, para pengguna Internet dapat menerima jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan agama dengan sedikit usaha dan biaya,
dibandingkan dengan menerima fatwa melalui surat atau telepon. Para pengguna
juga dapat menelusuri bank-bank fatwa untuk mencari sebuah hukum yang tepat,
baik berdasarkan topik atau nama muftinya.
Tetapi
apakah terbukti bahwa otoritas tradisional terpinggirkan? Keberadaan mufti
online tidak mungkin dapat meruntuhkan otoritas tradisional, karena
masing-masing otoritas tersebut dibangun oleh episteme yang berbeda. Otoritas
tradisional dibangun oleh para ulama atau fukaha
yang membawa otoritas tersebut. Otoritas tersebut diperkuat oleh legitimasi
keagamaan dan kharisma. Legitimasi tradisional bersandar pada keyakinan
terhadap kesucian tradisi yang sudah lama sekali dan legitimasi orang-orang
yang memegang otoritas dalam bidang itu. Sementara itu, otoritas kharismatik
bersandar pada ketaatan pada kesucian tradisi yang luar biasa, heroisme atau
karakter teladan dari seorang individu, dan pola-pola normatif yang ditentukan
oleh seseorang.[48]
Selain
itu, tidak ada bukti yang kuat pula yang mempertegas hapusnya otoritas
tradisional oleh Internet, dan juga ritual-ritual keagamaan yang dibentuk
melalui otoritas tradisional ini. Ritual-ritual keagamaan seperti salat, puasa,
zakat, haji, pemberian sedekah, silaturahmi, dan lainnya, tetap eksis di dalam
masyarakat Muslim, meskipun Internet telah mengekspansi hampir seluruh aspek
kehidupan manusia. Ini membuktikan bahwa asumsi tentang “runtuhnya” otoritas
tradisional oleh invasi Internet dapat dengan mudah diruntuhkan.
Kendati
demikian, ada perlawanan dari kalangan tradisional terhadap mufti online (mufti
elektronik) ini. Perlawanan pertama dalam bentuk pembentukan diskursus mengenai
tidak layaknya seorang mufti elektronik menyampaikan fatwa, seperti yang digerakkan oleh ulama al-Azhar. Universitas al-Azhar, misalnya,
berpandangan keras bahwa mufti elektronik tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan memberikan
fatwa (mufti) seperti yang ditunjukkan dalam kitab-kitab fikih. Misalnya,
seorang mufti harus hapal Alquran, mengamalkan Sunnah Nabi, mengetahui bahasa
Arab dan pandangan al-salaf al-salih dan imam mujtahid, serta bertakwa
dan bersikap wara’. Seorang mufti dalam berfatwa juga harus mengetahui
psikologi mustafti. Ini adalah hal yang wajib dilakukan seorang mufti
ketika akan mengeluarkan fatwanya lantaran sebuah fatwa terkadang cocok untuk
seseorang dan terkadang pula tidak cocok buat yang lain. Persyaratan ini memang
tidak ditemukan pada diri mufti elektronik.[49]
Begitu
pula, menurut Mujahid,[50] seorang mufti harus berdiskusi dengan mustafti tentang
persoalan-persoalan yang terkait dengan peristiwa yang ditanyakan, khususnya
tentang perkara talak. Misalnya, jika niat seorang yang mentalak tersebut hanya
untuk mengancam saja, maka seorang mufti membawa masalah tersebut kepada
persoalan ancaman, dan orang tersebut harus membayar kafarat sumpah. Jika ia
bermaksud benar-benar untuk bercerai, maka perlu diantarkan kepada perceraian
tersebut. Ini tidak pula ditemukan pada kasus mufti elektronik. Bahkan
ditegaskan pula bahwa mufti elektronik sering memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang terkadang dibuat-buat atau dipalsukan oleh mustafti,
dan terkadang jawaban yang diberikannya pun begitu singkat. Ini terjadi mungkin
karena seorang mufti elektronik tidak mungkin meminta penjelasan terhadap
kondisi peristiwa. Begitu pula, kerapkali ia juga tidak mengetahui hakikat
persoalan yang ditanyakan. Untuk itu, keberadaan mufti elektronik dalam
diskursus hukum Islam, menurut pandangan tradisional ini, tidak dapat diterima
karena pemberian ifta’ adalah satu tanggung jawab moral, bukan
seremonial belaka. Oleh karena itu, tidak heran jika para Sahabat Nabi merasa
khawatir untuk melakukannya karena mufti mempunyai kedudukan sebagai mandataris
atau penandatangan tugas yang diberikan Allah Swt.
Sebagai
kontra-hegemoni terhadap persoalan terancamnya posisi otoritas tradisional ini,
sekarang otoritas tradisional mulai menginvasi cyberspace dan berjuang
untuk mendapatkan otoritasnya kembali yang hampir hilang. Misalnya,
perpustakaan Al-Azhar sekarang online dengan database fatwa yang sangat besar
dan teks-teks keagamaan lainnya.[51] Tidak hanya itu, bermunculan pula berbagai situs yang memudahkan
para user untuk mengakses berbagai kitab tradisional yang melimpah,
berkisar dari bidang akidah, tafsir, ilmu Alquran, fikih, ushul fikih, hadis,
ilmu hadis, sejarah, kamus, ensiklopedi (mawsu’ah), hingga lainnya.[52] Ini memperkuat otoritas epistemik tradisional, yang sudah
terbangun ratusan tahun yang lalu.
Keberadaan
Internet sekali lagi tidak memperlemah otoritas tersebut, namun sebaliknya
malah memperkuat proses transmisi pengetahuan tradisional, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Memang transmisi pengetahuan secara langsung dan
berhadapan (offline) mencair, namun melalui media ini para ulama malah
dapat meraih audiensi yang lebih luas melampaui batas-batas negara dan bangsa.
Proses ini pada gilirannya akan mendorong dan mempercepat gerakan-gerakan, baik
radikalisme maupun reformasi, di dalam masyarakat-masyarakat mereka. Bahkan,
solidaritas keislaman di belahan dunia Muslim semakin menguat melalui peran
Internet ini. Pernyataan “keberadaan di Internet dapat mengantarkan kepada
gerakan sosial” ini dipertegas oleh David Resnik di dalam tulisannya.[53]
Secara
historis, fatwa online sebagai sebuah fenomena global dapat dikatakan mulai
menjamur di dunia virtual semenjak tahun 1990-an, tentunya seiring dengan
perkembangan teknologi informasi dan kesadaran dari sebagian umat Islam tentang
pentingnya penggunaan media Internet dalam penyebaran pesan keislaman dan
gagasan-gagasan tentang Islam. Pada saat ini tercatat ada ribuan website Islam
yang beroperasi dalam berbagai macam bahasa. Di antara situs-situs ini, hanya
segelintir yang menawarkan fatwa online. Sebagian situs fatwa tersebut
digerakkan oleh berbagai aktor yang mempunyai kecenderungan dan ideologi yang
berbeda. Misalnya, kumpulan mufti semi-resmi yang berhubungan erat dengan the
European Council for Fatwa and Research (ECFR) menggerakan situs fatwa
Islamonline.net, dan sebagian yang lain digerakkan oleh mufti individual yang
mencari audiensi global, seperti Askimam.com, sebuah website dari seorang mufti
Afrika Selatan, Ibrahim
Desai. Sebagian yang lain digerakkan oleh
komite fatwa dari negara-negara Islam seperti Fatwa-online.com, yang
berhubungan dengan al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuth al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
di Saudi Arabia, yang mempunyai kecenderungan tradisionalis yang begitu
ketat dan puritan. Dan masih banyak situs fatwa online lainnya yang digerakkan,
baik di belahan dunia Islam lainnya maupun di Indonesia.
Munculnya
situs-situs yang melayani jasa fatwa online ini tidak dapat dilepaskan dari
konteks baik pada tingkatan global maupun lokal. Pada tingkatan global, terjadi
suatu diaspora umat Islam ke dunia-dunia Barat. Penyebaran mereka ke
tempat-tempat tersebut adalah karena berbagai alasan, seperti pekerjaan
(ekonomi), suaka politik, pendidikan, dan alasan-alasan lain. Praktik-praktik
ritual keagamaan yang menjadi simbol identitas keislaman menjadi persoalan
ketika dihadapkan pada aturan-aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
di negara tersebut. Muncul persoalan tentang validitas menggunakan
aturan-aturan tersebut dan hakim wilayah tersebut pada persoalan-persoalan yang
terkait dengan hukum keluarga Islam seperti nikah, talak, dan lainnya. Untuk
menjawab persoalan-persoalan dalam diaspora tersebut, mereka menanyakannya
kepada mufti online melalui situs-situs yang memberikan layanan fatwa, seperti
fatwa-online.com atau islamonline.net, dan masih banyak yang lainnya.
Begitu
pula, pada tingkatan lokal dalam diaspora Muslim di negara-negara Barat, muncul
perbedaan dalam menyikapi isu tersebut. Ada yang bersikap adaptif karena mereka
menyadari dirinya sebagai minoritas dan untuk menghindari terjadinya berbagai
konflik kepentingan yang akan merugikan eksistensi mereka di wilayah tersebut.
Namun mereka melakukan tersebut, asalkan tidak menyalahi prinsi-prinsip dasar
Islam.
Bahkan, ada juga yang berpandangan bahwa banyak tradisi dan cara berpikir Barat
yang dianggap Islami, namun hanya saja minus syahadat. Dengan demikian, dalam
konteks ini, Barat merupakan lahan subur bagi munculnya masyarakat Islam baru.
Sebaliknya,
ada sikap yang lebih ekstrem dalam
menyikapi budaya dan aturan-aturan hukum yang berlaku di wilayah Barat yang
mereka huni. Mereka
bersikap radikal dan tidak mau berkompromi dan beradaptasi dengan budaya
setempat, dengan alasan bahwa Islam dan budaya Barat tidak mungkin bersatu dan
dapat dipertemukan, karena perbedaan epistemologi. Menurut mereka, Islam tidak
sepantasnya mengalami proses westernisasi, melainkan sebaliknya, Barat yang
malah mesti diislamisasi. Sikap, yang kemudian menjadi gerakan radikal ini,
diduga memperoleh dukungan dana dan aktor intelektual dari negara-negara Arab.
Selanjutnya, pada tingkatan global,
berlangsung secara intensif penyebaran nilai-nilai melalui berbagai media, baik
cetak maupun Internet. Nilai-nilai tersebut seperti demokrasi, hak asasi
manusia, kesetaraan gender, pluralisme agama, lingkungan global, dianggap
sebagai konstruksi Barat yang perlu disikapi secara kritis. Dalam dunia Islam,
respons terhadap nilai-nilai ini dapat dibagi ke dalam dua kubu yang bertolak
belakang: pertama, menerimanya dengan baik dengan tetap bersikap kritis
terhadapnya; kedua, bersikap curiga dan anti terhadap segala sesuatu yang datang
dari Barat. Kedua bentuk respons mewujudkan dirinya dalam situs, baik yang
bermuatan Salafi-wahabi dan jihadis yang anti terhadap Barat, maupun
Salafi-reformis yang memandang positif seraya kritis terhadap nilai-nilai
tersebut.
Persoalan-persoalan minoritas Muslim
seperti yang disebutkan di atas serta persoalan-persoalan radikalisme yang
memuncak pada terorisme dan serangan bom bunuh diri ini memicu perbincangan di
kalangan masyarakat lokal. Persoalan-persoalan lokal tersebut kemudian
diperbincangkan secara global melalui dunia virtual baik dalam website Islam
yang bersifat umum maupun situs-situs fatwa online. Fenomena ini mungkin dapat
disebut sebagai “globalisasi terhadap peristiwa-peristiwa lokal”. Kemudian,
hal-hal yang menjadi diskursus global mempengaruhi masyarakat-masyarakat lokal,
baik dalam sikap, perilaku maupun cara pikir, dalam ukuran yang relatif.
Fenomena ini mungkin dapat disebut sebagai “lokalisasi peristiwa-peristiwa yang
bersifat global.” Keduanya berada dalam satu lingkaran yang saling ketemu dan
tidak berujung.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan
fatwa online dapat berkembang dengan baik, selain konteks-konteks di atas,
adalah kesadaran tentang pentingnya penyebaran gagasan atau transmisi
pengetahuan melalui media yang jangkauannya jauh lebih luas ketimbang media
biasa, dan dengan biaya dan energi yang tidak begitu besar, serta pentingnya
membuka ruang baru untuk komunikasi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi
umat Islam dan sekaligus jawabannya (fatwa) di dunia virtual. Ini pada dasarnya
menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat Muslim, terutama mereka yang sulit
mendapatkan akses langsung secara tatap muka kepada guru, ulama atau mufti.
Seorang Muslim tanpa bersusah payah dapat membuat pertanyaan (istifta’)
dan mengirimnya melalui email ke situs yang dituju, kemudian dalam dalam waktu singkat dapat mendapatkan jawaban (fatwa)
tersebut secara langsung.
Selain pertimbangan aspek edukasi,
pengukuhan identitas keislaman dengan beragam karakteristik dan
kecenderungannya juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu yang memicu
munculnya fatwa online. Melalui fatwa yang disebarkan secara online, ada
kepentingan politik terselubung, bagaimana identitas yang melekat pada
orientasi fatwa tersebut dapat disebarluaskan. Penyebarluasan tersebut memungkinkan
diketahuinya kecenderungan keagamaan dan kemudian pada gilirannya
disebarluaskan oleh penerima. Dari sini, diharapkan ia dapat mentransfer
pengetahuan tersebut kepada orang lain dan mempengaruhinya, sehingga dapat
menjadi simpatisan, yang kemudian dapat menciptakan the politic of numbers.
Dalam perspektif ilmu sosial,
tindakan adalah perilaku yang bertujuan, langkah-langkah yang diambil untuk
mencapai tujuan.[54] Manusia
melakukan tindakan karena didasari oleh kepentingan-kepentingannya. Gagasan,
dalam konteks ini, dapat menjustifikasi dan mempengaruhi setiap tindakan dengan
memperkuat ketimbang menghapus kepentingan. Setelah itu, mengantarkan seseorang
untuk bertindak lebih kuat mencari apa yang ingin ia lakukan dengan cara dan
dalam situasi apa pun. Tidak hanya itu, pengetahuan bahkan dapat menciptakan kepentingan.
Ia mendasari berbagai tindakan yang terjadi seperti gerakan-gerakan radikal
keagamaan dan juga gerakan-gerakan sosial dan politik kemasyarakatan. Fatwa
yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga fatwa tidak terlepas dari gagasan yang
kemudian berujung menciptakan kepentingan, kemudian pada gilirannya menciptakan
gerakan-gerakan sosial keagamaan, baik yang radikal maupun reformis.
Fatwa online yang ada dalam
diskursus menggunakan format yang tidak sama dengan yang ada pada fatwa offline. Formatnya sederhana, karena
memang ditujukan kepada audiensi yang cukup mendapatkan jawaban atau informasi
yang dibutuhkan untuk kepentingannya. Sehingga struktur kalimat menjadi
singkat, padat, dan langsung kepada pokok persoalana. Selain itu, pemaparan
dalil tidak sekuat dengan fatwa yang dirumuskan pada tataran offline. Namun
demikian, fatwa tersebut tetap berpijak pada metode-metode penalaran hukum (istinbat al-ahkam) yang dipedomani, yang masing-masing
kecenderungan mempunyai metode yang berbeda. Ini nanti akan terlihat pada saat
penulis membahas karakteristik dari situs Fatwa-Online dan Islam-Online,
pada bab-bab berikutnya.
Secara
umum, fatwa online yang terdapat dalam situs-situs
Internet dapat ditipologikan ke dalam dua aliran arus utama, yaitu Sunni dan Shi’ah.
Kedua aliran ini secara lebih rinci lagi dipetakan ke dalam beberapa
karakteristik, yaitu radikal-puritan dan reformis-moderat.[55] Dalam kalangan Shi’ah kelompok konservatif-puritan
direpresentasikan oleh Shi‘ah Imamiyyah
sekte Akhbariyyah, sementara yang berkecenderungan moderat dan rasional
diwakili oleh sekte Usuliyyah. Dalam pertarungan intelektual di antara dua
sekte ini, Usuliyyah dapat dikatakan lebih mendominasi permainan dan menguasai
pentas politik ketimbang Akhbariyyah. Negara Republik Iran saat ini buktinya
didominasi dan dikuasai oleh sekte ini. Sebagai contoh, konsep wilayah
al-faqih dan marja‘
al-taqlid adalah murni produk pemikiran dari tokoh-tokoh
dari sekte Usuliyyah.
Di
kalangan Sunni, terjadi polarisasi kecenderungan yang juga dapat dibuat ke
dalam tiga tipologi, seperti tradisional, puritan, dan reformis. Dalam kategori
yang pertama, terutama dalam konteks mayoritas Muslim, ditemukan situs-situs
seperti Islam Q&A, AskImam.org, dan lainnya. Kategori yang kedua
direpresentasikan, di antaranya, oleh salafi.com dan fatwa-online.com.
Sedangkan yang reformis diwakili, di antaranya, oleh islamonline.net.
Pada beberapa
tahun terakhir ini, fatwa online menyebar begitu meluas sehingga menjadi begitu
kontroversial, karena ketika fatwa-fatwa individual yang dikeluarkan untuk
merespons kondisi-kondisi khusus digeneralisasikan dan diterapkan pada
tingkatan yang jauh lebih luas, maka penggunaannya menjadi dipertentangkan
secara hangat. Bertindak sebagai suara website, fatwa menyebarkan ideologi
perorangan dari masing-masing situs dan, bahkan menjadi instrumen untuk
mengukuhkan politik identitas keislaman.
IV.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
fatwa sebagai salah satu pranata dalam hukum Islam bukanlah sesuatu yang
bersifat stagnan, namun ia dapat mengalami perkembangan baik dari sudut pandang
muatan dan substansi fatwa maupun dalam kaitannya dengan media penyebaran
fatwa. Dalam kaitan yang pertama, ditemukan berbagai model fatwa, baik
individual maupun kolektif, yang masing-masing menampilkan model dan
kecenderungan yang berbeda. Sedangkan yang kedua, dapat dilihat dari penyebaran
fatwa melalui media radio, televisi dan Internet. Perubahan ini adalah karena
adanya perubahan dalam paradigma epistemologi pengetahuan (al-nuzum
al-ma‘rifiyyah) dan teknologi informasi. Tentunya sebagai sebuah konstruksi
sosial, setiap fatwa yang dikeluarkan terkandung dalam dirinya ideologi dan
berbagai kepentingan.
Daftar Pustaka
‘Ali ibn Muhammad
al-Amidi dalam al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid 4. Riyad: Dar al-Sumay‘i, 2003.
Abdullah Saeed, “Trends in Contemporary Islam: A
Preliminary Attempt at a Classification,” The Muslim World,vol. 97, no.
3 (July 2007), pp. 395-404.
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction. London & New
York: Routledge, 2006.
Abu ‘Abd al-Hakim
al-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihayn. Jilid 2. Kairo: Dar al-Haramayn, 1997.
Abu ‘Abd al-Rahman
Ahmad ibn Shu’ayb ibn ‘Ali al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i. Riyad: Maktabah
al-Ma’arif, tt.
Abu Zakariya Yahya
ibn Sharaf al-Nawawi. Adab al-Fatwa wa
al-Mufti wa al-Mustafti. Damaskus: Dar
al-Fikr, 1988.
Ahmad Hasan, Soal
Jawab: Tentang Masalah Agama. Jilid. 3. Bandung:
CV Diponegoro, 1983.
Alexandre Caeiro, “The Shifting Moral Universes of the Islamic
Tradition of Ifta’: A Diachronic Study of Four Adab al-Fatwa Manuals,” The
Muslim World, vol. 96, no. 4 (October 2006), pp. 661-685.
Basheer M. Nafi,
“Fatwa and War: On the Allegiance of the American Muslim Soldiers in the
Aftermath of September 11,” Islamic Law and Society, vol. 11, no. 1
(2004), pp. 78-116.
Charles Kurzman
(ed), Liberal Islam: A Source Book. New
York and Oxford: Oxford University Press, 1998.
David Resnik,
“Politics on the Internet: The Normalization of Cyberspace,” dalam The
Politics of Cyberspace: A New Political Science Reader, ed. Chris Toulouse
dan Timothy W. Luke. New York:
Routledge, 1998.
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in
‘an Rabb al-‘Alamin, Tahqiq:
Abu ‘Ubaydah Mashhur ibn Hasan Al Sulayman. Jilid 1. Riyad:
Dar Ibn al-Jawzi, 1423 H.
Jacob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for the Egyptian State: Muftis
and Fatwas of the Dar al-Ifta. Leiden: Brill, 1997.
Jakob
Skovgaard-Petersen, “A Typology of State Muftis” dalam Islamic Law
and the Challenge of Modernity, ed. Iyvonne Y. Haddad dan Barbara F.
Stowasser. Oxford: Oxford University Press, 2004.
Jennifer L.
Hochschild, “How Ideas Affect Actions” dalam The Oxford Hanbook of
Contextual Political Analysis, ed. Robert E. Goodin dan Charles Tilly. Oxford: Oxford University Press, 2006.
Jon Anderson, “New
Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam”, Social
Research, vol. 70, no. 3, (Fall 2003), pp. 887-906.
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling
Islam from the Extremists. San Fransisco: Harper Collins, 2005.
Khoiruddin
Nasution, “Maslahah and Its Application in Indonesian Fatwa,” Studia
Islamika, vol. 3, no. 4 (1996), pp.
113-136.
Knut S. Vikør, Between
God and the Sultan: A History of Islamic Law. Oxford:
Oxford University Press, 2005.
M. Atho Mudzhar, Fatwas
of the Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in
Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS,
1993.
Majelis Ulama
Indonesia, “Tentang Dewan Syariah Nasional,” dalam http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:tentang-dewan-syariah-nasional&catid=39:dewan-syariah-nasional&Itemid=58
(19 Mei 2010).
Max Weber, Economy
and Society. Berkeley:
University of California Press, 1978.
Moch. Nur Ichwan, “Ulama’,
State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Soeharto,” Islamic Law and
Society, vol. 12, no. 1 (2005), pp. 45-72.
Muhammad ‘Abd
al-Rahman ‘Abd al-Mun‘im, Mu‘jam al-Mustalahat
wa al-Alfaz al-Fiqhiyyah, Juz 3. Kairo: Dar al-Fadilah, tt.
Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfaz al-Qur’an al-Karim.
Kairo:
Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1364 H.
Muhammad ibn ‘Ali
al-Shawkani, Irshad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul. Tahqiq:
Abu Hafs Sami ibn al-‘Arabi al-Ash‘ari. Jilid 2. Riyad:
Dar al-Fadilah, 2000.
Nadirsyah Hosen,
“Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad,” New Zealand Journal of Asian
Studies, vol. 6, no. 1 (June 2004), pp. 5-26.
Qutb Mustafa Sanu, Mu‘jam
Mustalahat Usul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr, 2000.
Subhi Mujahid,
“Al-Azhar Yarfud ‘al-Mufti al-Iliktruni’” dalam http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=ArticleA_C&cid=1199279506315&pagename=Zone-Arabic-Shariah%2FSRALayout
(7 Mei 2010).
Sa‘di
Abu Jayb, al-Qamus al-Fiqhi. Pakistan: Idarah
al-Qur’an wa al-‘Ulum al-Islamiyyah, tth.
Sa’id Ramadan al-Buti,
Fiqh al-Sirah: Dirasah Manhajiyyah ‘Ilmiyyah li Sirah al-Mustafa ‘alayh
al-Salam wa Ma Tantawi ‘alayhmin Izat wa Mabadi’ wa Ahkam. Damaskus: Dar
al-Fikr, 1990.
Shaykh al-Nizam, al-Fatawa
al-Hindiyyah. Jilid 3. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Syamsul Anwar, “Fatwa,
Purification and Dynamization: A Study of Tarjih in Muhammadiyah,” Islamic
Law and Society, vol. 12, no. 1 (2005), pp.
27-44.
Wahbah al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islami.
Jilid 2. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
Wael B. Hallaq, “From Fatwas
to Furu’: Growth and Change in Islamic Substantive Law.” Islamic Law and Society. vol. 1, no. 1 (1994), pp. 29-65.
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa
Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub. Kairo: Dar Sahwah
li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988.
[1] Muhammad ‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Mun‘im,
Mu‘jam
al-Mustalahat wa al-Alfaz al-Fiqhiyyah, Juz 3 (Kairo: Dar al-Fadilah, tt), 33; Qutb Mustafa Sanu,
Mu‘jam
Mustalahat Usul al-Fiqh
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 312.
[2] Sa‘di Abu Jayb, al-Qamus al-Fiqhi
(Pakistan: Idarah al-Qur’an wa al-‘Ulum al-Islamiyyah, tt), 281.
[3] Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn
al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), 11.
[4] Misalnya, Alquran, 2 (al-Baqarah):
189, 219
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (189) يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع
للناس و إثمهما أكبر. من
نفعهما ..... ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو
كذلك يبين الله لكم الأيات لعلكم تتفكرون
[6] Wael B. Hallaq,
“From Fatwas to Furu’: Growth and Change in Islamic Substantive
Law.” Islamic
Law and Society. vol. 1,
no. 1 (1994), 64; Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfaz al-Qur’an
al-Karim (Kairo: Dar
al-Kutub al-Misriyyah, 1364 H), 336-7.
[7] Ibid.
و يستفتونك فى النساء ... (127) ... و يستفتونك قل الله يفتيكم فى الكلالة ...
(176)
[12] Menurut para ulama usul, seperti
Ibn ‘Abidin, mufti adalah mujtahid. Pandangan ini juga didukung oleh Muhammad
ibn ‘Ali al-Shawkani, Irshad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul, Tahqiq:
Abu Hafs Sami ibn al-‘Arabi al-Ash‘ari,
Jilid 2 (Riyad: Dar al-Fadilah, 2000), 1082; ‘Ali ibn Muhammad
al-Amidi dalam al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid 4 (Riyad: Dar al-Sumay‘i, 2003), 270. Al-Zuhayli membedakan
antara ijtihad dan ifta’. Ifta’ lebih khusus daripada ijtihad
karena ijtihad adalah mengeluarkan hukum baik dalam persoalan yang telah
terjadi maupun yang belum, sedangkan ifta’ lebih terkait dengan satu
peristiwa yang terjadi dan seorang ahli fikih berupaya mengetahui dan
memberikan solusi hukumnya (Wahbah al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islami,
Jilid 2 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 1156).
[13] Hallaq, From Fatwas, 31. Lihat
pula Shaykh al-Nizam, al-Fatawa al-Hindiyyah, Jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 297; Abu Zakariya Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Adab
al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), 45.
[14] Alexandre Caeiro,
“The Shifting Moral Universes of the Islamic Tradition of Ifta’: A Diachronic
Study of Four Adab al-Fatwa Manuals,” The Muslim World, vol. 96,
no. 4 (October 2006), 661.
[17] Untuk lebih jelasnya lihat Basheer
M. Nafi, “Fatwa and War: On the Allegiance of the American Muslim Soldiers in
the Aftermath of September 11,” Islamic Law and Society, vol. 11, no. 1
(2004), 78-116.
[18] Hallaq, Authority, 179-180.
[19] Ibid., 185.
[20] Ibid., 188.
[21] Ibid., 190.
[22] Ibid.
[23]
Redaksi: تغير الفتوى بحسب
تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات
والعوائد
. Lihat Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, Tahqiq: Abu ‘Ubaydah Mashhur ibn Hasan
Al Sulayman, Jilid 1 (Riyad: Dar Ibn al-Jawzi, 1423 H), 41.
[24] Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn
Shu’ayb ibn ‘Ali al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, “Kitab al-Jihad,” hadis
3086 (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, tt), 475; Abu ‘Abd al-Hakim al-Nisaburi, al-Mustadrak
‘ala al-Sahihayn, Kitab al-Jihad, hadis 2432, Jilid 2 (Kairo: Dar al-Haramayn,
1997), 84.
[25]
Jakob
Skovgaard-Petersen, “A Typology of State Muftis” dalam Islamic Law
and the Challenge of Modernity, ed. Iyvonne Y. Haddad dan Barbara F.
Stowasser (Oxford: Oxford University Press, 2004), 81.
[26] Knut S. Vikør, Between God and
the Sultan: A History of Islamic Law (Oxford: Oxford University Press,
2005), 146.
[27] Jacob Skovgaard-Petersen,
Defining Islam for the
Egyptian State: Muftis and Fatwas of the Dar al-Ifta (Leiden: Brill, 1997), 101-103.
[28] Ibid., 126-27.
[29] Vikør, Between God and the Sultan,
87-8.
[30] Ibid., 86.
[31] Ibid., 82.
[33] Ibid., vol. 1, 93.
[35] Alquran, 8 (al-Anfal): 67.
[36] Sa’id Ramadan al-Buti, Fiqh
al-Sirah: Dirasah Manhajiyyah ‘Ilmiyyah li Sirah al-Mustafa ‘alayh al-Salam wa
Ma Tantawi ‘alayhmin Izat wa Mabadi’ wa Ahkam (Damaskus: Dar al-Fikr,
1990), 225.
[37] Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama
and Collective Ijtihad,” New Zealand Journal of Asian Studies, vol. 6,
no. 1 (June 2004), 6.
[38] Hosen, Nahdlatul Ulama, 8.
[39] Dikutip dalam Khoiruddin Nasution,
“Maslahah and Its Application in Indonesian Fatwa,” Studia
Islamika, vol. 3, no. 4 (1996), 127-28.
[40] Ibid., 128.
[41] Syamsul Anwar, “Fatwa,
Purification and Dynamization: A Study of Tarjih
in Muhammadiyah,” Islamic
Law and Society, vol. 12, no. 1 (2005), 35-6.
[42] Ibid., 37.
[43] M. Atho Mudzhar, Fatwas of the
Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia
1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), 122.
[44] Moch. Nur Ichwan, “Ulama’,
State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Soeharto,” Islamic Law and
Society, vol. 12, no. 1 (2005), 52.
[45] Majelis Ulama Indonesia, “Tentang
Dewan Syariah Nasional,” dalam http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:tentang-dewan-syariah-nasional&catid=39:dewan-syariah-nasional&Itemid=58
(19 Mei 2010).
[46] Fatwa-fatwa tersebut mencakup fatwa
tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah,
musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah,
sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari'ah, diskon dalam
murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan
penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah,
pedoman umum asuransi syariah, jual beli istishna’ paralel, potongan pelunasan
dalam murabahah, safe deposit box, rahan (gadai), rahan emas, ijarah
muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS,
pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah,
obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk
export, sertifikat wadiah Bank Indonesia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat
investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip
syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dan sebagainya.
[47] Jon Anderson, “New Media, New
Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam”, Social Research,
vol. 70, no. 3, (Fall 2003), 889.
[48] Lihat Max Weber, Economy and
Society (Berkeley: University of California Press, 1978), 213-214.
[49] Dikutip dalam Subhi Mujahid,
“Al-Azhar Yarfud ‘al-Mufti al-Iliktruni’” dalam http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=ArticleA_C&cid=1199279506315&pagename=Zone-Arabic-Shariah%2FSRALayout
(7 Mei 2010).
[50] Ibid.
[51] Situs yang menyediakan database ini
adalah www.alazharonline.org.
[52] Misalnya, situs waqfeya.com dan
al-mostafa.com menyediakan berbagai literatur keislaman yang sangat melimpah.
Kedua situs ini sangat representatif dalam kaitan dengan pencarian bahan-bahan
dan literatur-literatur keislaman dalam berbahasa Arab, baik yang klasik maupun
kontemporer.
[53] Lihat David Resnik, “Politics on
the Internet: The Normalization of Cyberspace,” dalam The Politics of
Cyberspace: A New Political Science Reader, ed. Chris Toulouse dan Timothy
W. Luke (New York: Routledge, 1998).
[54] Jennifer L. Hochschild, “How Ideas
Affect Actions” dalam The Oxford Hanbook of Contextual Political Analysis,
ed. Robert E. Goodin dan Charles Tilly (Oxford: Oxford University Press, 2006),
285.
[55] Dalam
pemikiran Islam, terdapat ragam tipologi yang dibuat untuk melihat tren
perkembangan pemikiran Islam. Charles Kurzman misalnya membagi pemikiran Islam
ke dalam tiga tipologi: customary Islam, revivalist Islam dan liberal
Islam (intepreted shari’a dan silent shari’a). Lihat Charles Kurzman (ed), Liberal
Islam: A Source Book (New York and Oxford: Oxford University Press, 1998),
1-30.
Abdullah Saeed membagi pemikiran Islam ke dalam legalist
traditionalist, theological puritans, millitant extremists, political
islamists, secular liberals, cultural nominalist,
classical modernists, progressif ijtihads. Lihat Abdullah Saeed, Islamic
Thought: An Introduction (London
& New York: Routledge, 2006), 142-154; “Trends in Contemporary Islam: A
Preliminary Attempt at a Classification,” The Muslim World,vol. 97, no.
3 (July 2007), 395-404. Namun, dalam tulisan ini, pembuatan tipologi ini secara
implisit mengikuti pada pembagian yang diberikan Khaled Abou El Fadl dalam
bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San
Fransisco: Harper Collins, 2005).