MULTIKULTURALISME DALAM WACANA ALQURAN*
A.
Pendahuluan
“Multikulturalisme” menjadi isu yang diperbincangkan
hangat dalam berbagai perspektif keilmuan saat ini—entah dari perspektif
pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, atau pun hukum Islam. Namun,
yang mencoba memperbincangkannya dalam perspektif Alquran mungkin belum begitu
banyak. Artikel ini berupaya membahas bagaimana Alquran berbicara tentang
gagasan multikulturalisme. Untuk itu, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan tafsir dengan berpijak pada fenomenologi, yang menekankan pada
asumsi “membiarkan Alquran berbicara sendiri tentang persoalan ini.”
Dalam menafsirkan Alquran tentang “multikulturalisme”,
ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Alquran
tidak hanya berbicara kepada umat Islam tapi berbicara kepada banyak umat, baik
Nasrani, Yahudi, dan lain-lain.
Dalam Alquran terdapat ungkapan-ungkapan seperti “hai orang-orang beriman” (ya> ayyuha> al-ladhi>na a>manu>) “hai manusia” (ya> ayyuha> al-na>s), “hai orang-orang
kafir” (ya> ayyuha> al-ka>firu>n), dan sebagainya, yang
membuktikan bahwa Alquran pada saat itu memang tidak hanya berbicara pada satu
pihak saja, umat Islam, namun juga berbicara kepada banyak pihak. Kedua, Alquran
berbicara pada hal-hal yang bersifat multikulturalistik. Banyak suara yang
direfleksikan oleh Alquran, berbicara kepada banyak representasi, ada suara
untuk Muhammad, ada suara yang disampaikan Allah sendiri, dan juga ada suara
yang disampaikan kepada umat manusia yang lain.
Intinya, Alquran telah mengenal gagasan
multikulturalisme dalam arti keragaman budaya berbasis agama, etnisitas, dan
lain-lain. Bahkan secara normatif, Alquran mengakui bahwa manusia dijadikan
berbangsa-bangsa (shu‘u>b) dan bersuku-suku
(qaba>’il) agar mereka
saling mengenal dan menghargai satu sama lain (QS al-H{ujura>t [49]: 13). Seandainya Allah menghendaki tentu Ia
akan menjadikan hanya satu umat (QS. al-Shu>ra> [42]: 8).
Lalu, bagaimana Alquran melihat konsep
“multikuluralisme” secara holistik. Tulisan ini mencoba melihat gagasan-gagasan
universal dalam Alquran yang menjadi fondasi bagi pembangunan masyarakat yang
multikulturalis atau masyarakat madani yang mengakui dan menghargai perbedaan,
seperti tertuang dalam Piagam Madinah. Sebelum melihat bagaimana Alquran
berbicara tentang konsep ini, terlebih dahulu
kita perlu memahami konsep multikulturalisme dan akar-akar yang
memperkuat konsep ini.
B.
Multikulturalisme: Akar dan Realitas
Secara sederhana, “multikulturalisme” berarti
“keragaman budaya”.[1]
Ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk melukiskan keragaman baik yang
berbasis pada agama, ras, etnisitas, bahasa, maupun budaya, yaitu pluralitas (plurality),
keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural). Namun
semuanya tidak mempunyai konotasi yang sama. Multikulturalisme dipahami sebagai
“sebuah sistem keyakinan
dan perilaku yang mengenali dan menghormati keberadaan
semua kelompok yang berbeda dalam sebuah organisasi atau masyarakat, mengakui
dan menghargai perbedaan-perbedaan sosial budaya, dan mendorong dan memungkinkan
kontribusi mereka yang berkesinambungan dalam sebuah konteks budaya yang
inklusif yang memberdayakan semua dalam sebuah organisasi atau
masyarakat itu.”[2]
Secara filosofis, multikulturalisme ini berangkat dari
asumsi tentang kemuliaan dan kehormatan manusia (human dignity). Dan prinsip
ini terdapat dalam semua agama besar dunia. Karena manusia itu mempunyai posisi
yang mulia, maka hak-hak yang melekat pada mereka harus dihormati dan dijaga.
Penodaan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersebut adalah penindasan terhadap
kemanusiaan universal. Maka, setiap perbedaan yang terjadi jangan mengantarkan
kepada konflik yang dapat mencederai hak-hak asasi manusia. Untuk itu,
toleransi adalah sebuah keharusan untuk menghargai perbedaan-perbedaan
tersebut, dengan cara berdialog dan menghilangkan diskriminasi dan prasangka
buruk (prejudice, su>’ al-z}ann) dalam pergaulan.
Sebagai sebuah paradigma, multikulturalisme memuat
dalam dirinya nilai-nilai etis, yang menjadi pedoman dasar dalam setiap
perilaku individu. Dalam pedoman tersebut terdapat prinsip-prinsip moral yang
menjamin setiap aktivitas individu dan masyarakat sesuai dengan hak dan
kewajibannya. Prinsip-prinsip moral tersebut mencakup politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, hak asasi manusia,
hak budaya komunitas dan kelompok minoritas, dan lain-lain. Oleh karena itu,
multikulturalisme dapat dikatakan sebagai gerakan etis.
C.
Alquran tentang Multikulturalisme
Keragaman (diversity) adalah sentral bagi pandangan
Alquran tentang masyarakat. Alquran mengakui keragaman ini dengan menyatakan
kepada Nabi Muhammad bahwa jika Allah ingin, tentu Ia akan menjadikan hanya
satu umat (QS. al-Ma>’idah [5]: 48). Namun, manusia dijadikan
‘berbangsa-bangsa dan bersuku-suku’ sehingga mereka saling mengenal (QS. al-H{ujura>t [49]: 13).
Kemudian, Alquran mendorong masing-masing individu untuk saling mengenal, baik
Muslim maupun non-Muslim, yang mempunyai kepercayaan yang berbeda dari mereka,
dan berlomba-lomba melakukan kebaikan (QS. al-Ma>’idah [5]: 48). Etika abadi ini berakar pada gagasan
Alquran tentang kesamaan manusia, yang menekankan bahwa semua manusia, tanpa
melihat persuasi ideologisnya, diciptakan dari ‘jiwa yang sama’ (nafs wa>h}idah) (QS. al-Nisa>’ [4]: 1). Karenanya, tidak menjadi penting apakah ia
seorang Yahudi, Kristen, atau Sabiun, karena siapa pun yang melakukan kebaikan
‘akan mendapatkan ganjarannya dari Allah’ (QS. al-Baqarah [2]: 62). Malah,
‘orang yang paling mulia’, kata Alquran, adalah ‘yang paling bertakwa’ (QS. al-H{ujura>t [49]: 13).
Alquran kemudian menyatakan bahwa penilaian manusia
itu bergantung pada kebajikannya, bukan pada keterikatannya dengan satu
keyakinan tertentu. Kesalehan itu menyebar melalui tindakan sosial—cara terbaik
untuk mengabdi kepada Allah adalah melayani kemanusiaan. Maka, seruan untuk
menegakan keadilan sosial adalah fondasi dari komunitas multikultural yang
inklusif (ummah muqtas}idah), yang terdiri
dari beragam manusia yang berbeda-beda, yang disatukan oleh etika Adamik
tentang tanggung jawab ganda manusia untuk menghormati dan menghargai diri dan
masyarakat.
Pandangan Alquran tentang keragaman ini, yang diikat
oleh pandangan tentang kesamaan manusia, mempengaruhi tindakan dan relasi Nabi
dengan komunitas-komunitas lain. Maka, dapat kita lihat nanti bahwa Nabi, yang
akhlaknya adalah Alquran, memperkuat dan menyebarkan nilai-nilai universal
Alquran, yang menjadi fondasi bagi multikulturalisme, yaitu keadilan (justice),
kesetaraan (equality), hak asasi manusia (human rights),
nilai-nilai demokratis (democratic values), yang kemudian memunculkan
berbagai sikap seperti anti diskriminasi, prasangka (prejudice), dan
toleransi, terhadap kelompok-kelompok yang berbeda baik atas dasar ras,
etnisitas, agama, budaya, dan lain-lain. Lihat bagan berikut ini!
1.
Keadilan dan Kesetaraan buat Semua Orang
‘Adl, yang
diartikan sebagai keadilan, ditemukan empat belas kali dalam Alquran. Ia juga
merupakan sifat Allah, yang mengilustrasikan tindakan Allah sebagai penguasa dan hakim yang adil.[3]
Kata kerja ‘adala, yang mengandung arti “bertindak secara adil”,[4]
pada umumnya berhubungan pula dengan konsep-konsep kesetaraan dan keseimbangan.
Dalam Alquran, konsep ‘adl dikaitkan dengan
Tuhan dan manusia. Pertama menggambarkan tentang keadilan Tuhan (QS. A<li ‘Imra>n [3]: 18; Yu>suf [12]: 80), dan
kedua tentang keadilan manusia, yaitu anjuran agar manusia berlaku adil dalam
setiap aspek, kepada Tuhan, manusia dan lingkungan. Agar dapat dikatakan adil
kepada Tuhan, manusia harus menjadi saleh dan bermoral dan memenuhi tujuan
penciptaannya, yaitu menyembah Tuhan (QS. al-Dha>riya>t [51]: 56). Agar dapat dikatakan adil kepada sesama
manusia, manusia harus memberikan setiap haknya dan bertindak terhadap
makhluk-makhluk tersebut sesuai dengan hak-hak mereka (QS. al-Ma>’idah [5]: 8; al-A‘ra>f [7]: 29;
al-Mumtah}anah [60]: 8).[5]
Tuhan memerintahkan umat manusia tidak hanya untuk berlaku adil, tetapi juga
berkata adil (QS. al-An‘a>m [6]: 152), serta memutuskan perkara dengan adil (QS.
al-Nisa>’ [4]: 58).
Perlawanan terhadap ketidakadilan (z}ulm), ketertindasan dan kejahatan berbasis apa pun—apakah
itu ras, etnisitas, gender, agama, sosial-budaya atau pun ideologi politik—adalah
suatu keadilan dan merupakan cara untuk menegakkan keadilan. Dan orang-orang
yang tidak adil dan melakukan penindasan berarti memutuskan perjanjian dan
ikatan dengan Tuhan (QS. al-Baqarah [2]: 124), dan bahkan Tuhan tidak menyukai
orang-orang tersebut (QS. ‘A<li ‘Imra>n [3]: 57). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut
prinsip Alquran, hidup dan berbuat adil berarti juga memerangi penindasan,
kejahatan dan ketidakadilan.
2. Hak Asasi Manusia
Dalam
pandangan Alquran, manusia mempunyai kemuliaan (dignity, kara>mah). Oleh karena itu, prasyarat bagi kemuliaan manusia itu
diberikan perhatian yang serius dalam berbagai regulasi hukum Islam, dan tidak
ada satu pun aturan yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia tersebut. Hak
untuk hidup, mempunyai kebebasan, beragama dan menikmati manfaat-manfaat sosial
adalah prasyarat bagi kemuliaan manusia dalam pandangan Alquran, dan tidak ada
seorang pun punya hak untuk membahayakan dan mengancam kemuliaan manusia.
a.
Hak untuk hidup
Alquran menjunjung tinggi kemuliaan dan nilai absolut
kehidupan manusia (QS al-An‘a>m (6): 151), dan menjelaskan bahwa, secara esensial,
kehidupan masing-masing individu sama dengan kehidupan semua komunitas dan,
karenanya, harus diperlakukan dengan penuh perhatian (QS. al-Ma>’idah [5]: 32).
b.
Hak untuk mendapatkan penghormatan
Alquran menganggap semua manusia berhak mendapatkan
penghormatan (QS. al-Isra>’ [17]: 70). Manusia dapat mengelola kebebasan
berkehendak karena mereka mempunyai potensi akal, yang membedakan mereka dari
semua makhluk (QS. al-Baqarah [2]: 30-34). Meskipun manusia dapat menjadi yang
paling rendah (asfal al-sa>fili>n), namun Alquran
menyatakan bahwa mereka tercipta dalam “bentuk yang terbaik” (ah}san al-taqwi>m) (QS. al-T{i>n [95] 4-6), karena mempunyai kemampuan untuk
berpikir, mengetahui baik dan buruk, melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Oleh karena itu, berdasarkan janji manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi,
kemanusiaan semua umat manusia harus dihormati dan dianggap sebagai tujuan
dalam dirinya.
c.
Hak terhadap kebebasan
Alquran sangat peduli dengan pembebasan manusia dari
segala bentuk belenggu. Karena mengetahui kecenderungan manusia untuk bersikap
diktator dan tiran, Alquran mengatakan dengan jelas dan penuh penekanan dalam
surat A<li ‘Imra>n [3]: 79 bahwa “Tidak
wajar bagi seorang manusia yang diberikan al-Kita>b oleh Allah, hikmah dan kenabian, kemudian berkata
kepada manusia ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku (‘iba>d) selain Allah …’”
Penghapusan perbudakan manusia, tentu saja, menjadi
sangat penting dalam konteks kebebasan manusia. Perbudakan telah meluas di
Arabia pada saat datangnya Islam, dan perekonomian Arab juga didasari padanya.
Alquran tidak hanya bersikukuh bahwa budak mesti diperlakukan secara adil dan
manusiawi (QS. al-Nisa>’ [4]: 36), namun juga mendorong untuk membebaskan
budak (QS. al-Baqarah [2]: 177; al-Nisa>’ [4]: 92; al-Ma>’idah [5]: 89).
Jaminan terbesar bagi kebebasan pribadi bagi seorang
Muslim terletak pada ketentuan Alquran bahwa hanya Tuhan yang dapat membatasi kebebasan
manusia (QS. al-Shu>ra> [42]: 21) dan pada pernyataan bahwa “penilaian (baik
dan buruk) berada pada Tuhan sendiri” (QS. Yu>suf [12]: 40).
d.
Hak untuk mendapatkan pengetahuan
Alquran menekankan pentingnya perolehan pengetahuan
(QS. al-‘Alaq [95]: 1-5). Setelah bertanya secara retorik apakah mereka yang
tidak berpengetahuan sama dengan yang berilmu (QS al-Zumar [39]: 9), Alquran mendorong
umat beriman untuk menambah ilmu pengetahuan (QS. T{a>ha> [20]: 114). Menurut perspektif Alquran, ilmu
pengetahuan adalah prasyarat untuk menciptakan dunia yang adil yang di dalamnya
perdamaian dapat eksis. Alquran menekankan pentingnya pencarian ilmu bahkan
pada masa perang (QS. al-Tawbah [9]: 122)
3.
Toleransi dan dialog keagamaan
Toleransi merupakan prasyarat penting untuk kehidupan
bersama bagi kelompok-kelompok orang yang berbeda sosial, budaya dan agamanya,
meskipun perbedaan-perbedaan tersebut mungkin tidak disetujui oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Alquran memandang toleransi sebagai titik tolak yang penting
dalam membangun perdamaian yang lebih besar. Alquran mencoba membangun
perdamaian antara komunitas agama yang berbeda dan mengakui perbedaan keyakinan
dan budaya. Ia meletakkan penekanan yang besar pada pemeliharaan hubungan yang
baik antara penganut agama yang berbeda karena, menurut Alquran, kebebasan
agama adalah basis bagi perdamaian yang berkelanjutan. Alquran menyeru semua
orang yang beriman untuk “masuk ke dalam perdamaian dan tidak mengikuti langkah
setan” (QS. al-Baqarah [2]: 208). Aspek ini ditekankan dalam wacana Alquran
tentang toleransi. Keragaman diakui dan sangat dihargai dalam Alquran.
Misalnya, surat al-Ru>m [30]: 22 menegaskan bahwa dalam keragaman tersebut
ada tanda-tanda Allah bagi mereka yang mempunyai pandangan yang jelas dan bijaksana.
Ini menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan tidak hanya diharapkan, namun juga
ditolerir.
Dari pengakuan terhadap adanya perbedaan hingga pengusungan
etos pluralisme, Alquran membuat standar yang kuat bagi semua orang—Muslim dan
non-Muslim, berdasarkan pada nilai-nilai universal keadilan dan persamaan. Bagi
Alquran, perdamaian adalah tujuan yang paling tinggi, dan jika perdamaian
adalah suatu keharusan, maka yang pertama harus ada adalah toleransi, termasuk
terhadap komunitas agama yang berbeda. Fondasi yang kuat bagi toleransi Alquran
dapat dilihat dalam surat al-Isra>’ [17]: 70 yang menegaskan bahwa manusia diberikan posisi
yang mulia di antara makluk ciptaan-Nya. Ini diikuti oleh tanggung jawab untuk
memelihara semua ciptaan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Surat
al-Ma>’idah [5]: 32 dan
al-An‘a>m [6]: 98 berbicara
tentang kesamaan asal muasal manusia yang membuat semua manusia saling
berhubungan. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan-perbedaan, berbagai macam
kelompok etnik dan keagamaan didorong untuk melihat gambaran yang lebih besar
dan melampaui loyalitas-loyalitas ‘kesukuan’ yang memisahkan mereka.
Toleransi berhubungan dengan keadilan dan persamaan.
Nabi diperintahkan oleh Alquran untuk berlaku adil terhadap manusia, dan teladan
ini harus diikuti oleh umat Islam (QS. al-Nisa>’ [4]: 135; al-Ma>’idah [5]: 8; al-Mumtah}anah [60]: 8). Namun demikian, tidak seorang manusia
pun yang mampu dan berada dalam posisi menilai orang lain. Penilaian itu adalah
milik Allah sendiri dan masing-masing akan mendapatkan pahala dari Allah
berdasarkan hasil kerja mereka. Penekanan terhadap keadilan tidak meletakkan
batasan-batasan pada toleransi terhadap yang lain, bahkan mereka yang melanggar
hak-hak orang lain. Toleransi dapat dilihat dari kehidupan Nabi Muhammad, yang
berbagai kebijakannya merefleksikan pandangan toleransi terhadap yang lain.
Contoh dari toleransi ini adalah Piagam Madinah, yang menganggap Muslim, Yahudi
dan kelompok musyrik lainnya sebagai “satu komunitas” yang berbagi tugas untuk
saling melindungi satu sama lain dari serangan musuh, yang masing-masing
memperoleh hak kebebasan beragama. Toleransi dalam Alquran, karenanya, dipandang
hanya sebagai permulaan untuk mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan antara
berbagai komunitas yang berbeda.
Untuk itu, Alquran menyerukan untuk terlibat dalam
dialog dengan yang lain, khususnya ahl al-kita>b. Misalnya, Alquran (surat A<li ‘Imra>n [3]: 64) menginstruksikan kepada umat Islam dan ahl
al-kita>b untuk kembali kepada kalimat yang sama (kalimah
sawa>’), yaitu “tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah
dan tidak menyekutukannya.” Dalam berdialog, Alquran menganjurkan untuk
menggunakan metode hikmah dan nasehat yang baik (QS. al-Nah}l [16]: 125). Berdasarkan
hal ini, pemaksaan terhadap kelompok agama yang lain menjadi tidak dibenarkan (QS.
al-Baqarah [2]: 256).
Dalam sejarah, toleransi terhadap orang-orang yang
berbeda budaya, bahasa dan keyakinan, ditekankan dalam Alquran. Pada tahun-tahun
pertama Islam, popularitas dan kebertahanan Islam bergantung pada kelenturan
yang ditunjukkan Islam kepada penduduk di wilayah-wilayah yang berbeda yang
berada dalam kekuasaan Muslim. Para sejarawan menunjukkan satu contoh tentang
pendekatan tersebut pada abad ke-8 dan 9
ketika mayoritas penduduk non-Muslim berada dalam kekuasaan politik Islam.
Non-Muslim memperoleh hak-hak budaya dan etnik selama beberapa abad tanpa
merasa perlu masuk ke dalam agama para penguasanya. Menurut Jacques
Waardenburg,[6]
selama fase tersebut, yaitu ekspansi dan penaklukan ke luar Arabia, umat Islam
menjumpai berbagai komunitas agama seperti:
a.
Mazdaean di Mesopotamia dan Iran,
b.
Kristen dalam berbagai varitasnya
1)
Nestorian di Mesopotamia dan Iran
2)
Monophysite di Syria, Mesir dan Armenia
3)
Melkite Ortodoks di Syria
4)
Latin Ortodoks di Afrika Utara
5)
Arian di Spanyol
c.
Yahudi di Mesopotamia, Iran, Syria dan Mesir
d.
Samaritan di Palestina
e.
Mandaean di Mesopotamia Selatan
f.
Harranian di Mesopotamia dan Mesir
g.
Budha dan Hindu di Sind
h.
Para pengikut agama-agama suku di Afrika Timur.
D.
Kesimpulan
Dasar
epistemologis bagi multikulturalisme dalam wacana Alquran adalah “kemuliaan
manusia”, yang darinya muncul seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan
dilindungi, yang merupakan fondasi etis bagi multikulturalisme. Sebagai
konsekuensi dari penjagaan terhadap hak-hak ini muncul konsep keadilan dan
kesetaraan. Karena manusia diciptakan mulia (wa laqad karramna>
bani> A<dam
…) dan
mempunyai kesamaan kemanusiaan (min nafs wa>h}idah),
maka pencederaan terhadapnya dan juga hak-haknya merupakan pelanggaran terhadap
kemanusiaan universal tersebut. Karenanya, untuk mencapai perdamaian di antara
mereka, toleransi menjadi sebuah keharusan. Untuk melakukan hal itu, maka
strategi anti-diskriminas dan penghilangan prasangka negatif terhadap setiap
kelompok yang berbeda—etnik, ras, budaya, dan agama—menjadi penting untuk
dibentuk berdasarkan cara yang disesuaikan dengan konteks setempat.
* Disampaikan dalam Lecture
Serries, yang diselenggarakan oleh Program Magister Pendidikan Islam, STAIN
Datokarama Palu, 24 Februari 2012.
[2] Caleb Rosado, “Toward a Definition of Multiculturalism”
(28 October 2006) dalam http://rosado.net/pdf/Def_of_Multiculturalism.pdf. (Akses: 21 Februari 2012).
[4] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed.
J. Milton Cowan, Edisi 3 (New York: Spoken Language Services, 1976), 596.
[5] Seyyed Hossein Nasr, The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: Harper Collins,
2002), 249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar