Salafi-jihadisme, Pesantren
dan Indoktrinasi Pemahaman Keagamaan RADIKAL DI INDONESIA*
Dr. Rusli, S.Ag.,
M.Soc.Sc**
I. Pendahuluan
Tragedi bom yang marak terjadi di Indonesia semenjak
tahun 2000 hingga saat ini mengindikasikan satu fakta bahwa terorisme belum
berakhir. Banyak spekulasi yang mencoba mengaitkan para pelakunya dengan
tradisi keberagamaan pesantren. Ini didasari pada fakta bahwa tokoh-tokoh
seperti Ali Ghufran dan Imam Samudera, yang berada di balik bom Bali, adalah
alumni pesantren. Mungkin kita bertanya, pesantren yang mana? Apakah semua
pesantren mengajarkan materi-materi yang mengantarkan kepada tindakan
terorisme?
Secara umum, kita mengenal ada dua tipologi pesantren:
dependen (terikat) dan independen (terlepas). Yang pertama lebih terkait dengan
pesantren-pesantren yang dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, baik yang berciri salaf (tradisional) maupun
khalaf (modern). Sementara yang kedua dinisbatkan kepada pesantren-pesantren
yang tidak terikat dengan organisasi keagamaan tertentu, namun lebih pada
ideologi salafi yang diimpor dari Timur Tengah.[1] Bagaimana ideologi salafi, masuk ke dalam dunia pesantren
di Indonesia? Bagaimana indoktrinasi ideologi salafi-jihadisme meresap ke dalam
kesadaran para santri, khususnya di Indonesia?
II. Salafi-Jihadisme:
Akar Intelektual
Salafi merupakan sebuah gerakan pemurnian Islam yang
berusaha mengembalikan pemahaman agama menurut paham generasi salafus salih,
yaitu sekelompok umat Islam yang hidup di tiga zaman pada masa awal
perkembangan Islam, yaitu generasi sahabat, tabiʽin dan tabiʽ al-tabiʽin. Mereka ini
adalah tiga generasi terbaik, berdasarkan pemahaman pada sebuah hadis. Sementara
itu, di era modern gerakan salafi dinisbatkan kepada neo-wahhabi, yang
merupakan penyempurnaan terhadap ajaran-ajaran Muhammad Ibn
‘Abd al-Wahhab.
Ciri utama gerakan salafi adalah menolak segala bidah
dalam ajaran Islam. Untuk mengukur suatu perbuatan disebut bidah atau bukan
adalah dengan melihat apakah perbuatan itu bertentangan dengan Alquran atau
hadis sahih atau tidak. Selain itu, ciri khas lainnya adalah pembersihan akidah
dari segala perbuatan syirik, yaitu perbuatan menyamakan Allah dengan
selain-Nya. Salafi-jihadisme ini mempunyai pemahaman teologis yang sama dengan
salafi atau neo-wahhabi. Perbedaannya terletak pada pemahamannya tentang jihad
dan doktrin tawhid hakimiyyah. Doktrin-doktrin tersebut, seperti dipaparkan oleh Solahudin,[2] adalah sebagai berikut:
- Pengertian jihad adalah qital atau perang. Tidak ada makna lain.
- Hukum jihad saat ini adalah fardhu ‘ain atau kewajiban bagi setiap muslim, karena tanah-tanah kaum muslimin dikuasai oleh orang-orang kafir, baik kafir asing (kafir ajnabi) atau kafir tempatan (kafir mahalli).
- Irhabiyyah (terorisme) dibenarkan menurut syariat jihad. Orang-orang yang pada awalnya haram dibunuh, seperti anak-anak, wanita, orang tua dan pendeta, berubah menjadi halal darahnya jika mereka membantu orang-orang kafir memerangi orang-orang muslim.
- Tawhid hakimiyyah, yaitu kedaulatan politik sepenuhnya hanya milik Allah. Aktualisasinya mewujud dalam bentuk penerapan syariat Islam dalam mengatur kehidupan sosial dan politik. Penolakan terhadap syariat sama dengan penolakan terhadap kedaulatan Allah. Konsekuensinya, pelakunya dianggap kafir, meskipun mereka mengucapkan syahadat dan melaksanakan salat.
Gerakan salafi ini didirikan oleh Ibn Taymiyah,
seorang pembela sejati Islam Sunni ortodoks. Untuk memahami Islam yang benar,
ia mengajak untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah berdasarkan pemahaman para
salaf. Tentang jihad, Ibn Taymiyah menegaskan bahwa jihad lebih utama daripada
haji dan umrah, salat dan puasa sunnah.[3] Ibn Taymiyah membantah hadis populer yang menyebut
perang adalah jihad kecil, sedangkan jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu.
Menurutnya, hadis ini palsu.[4]
Tidak hanya itu, bahkan membunuh rakyat sipil, seperti
wanita, orang tua, anak-anak, orang buta, dan pendeta, diperbolehkan, jika
mereka ikut memerangi dengan ucapan dan perbuatan.[5] Memerangi kelompok yang tidak menjalankan syariat
Islam yang mutawatir dan jelas juga wajib hukumnya, meskipun mereka mengucapkan
syahadat.[6]
Tokoh kedua yang mempengaruhi gerakan salafi adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, yang sangat terpesona dengan Ibn
Taymiyyah. Ia mengatakan bahwa syirik dalam beribadah membatalkan keimanan
seseorang. Tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu terhadap kekafiran
mereka, atau membenarkan apa yang mereka lakukan juga dapat mengeluarkan
seseorang dari keislaman. Orang yang mengucapkan kalimat syahadat, namun tidak
mengkafirkan pelaku kemusyrikan, maka ia juga kafir, dan harus diperangi. Gagasan-gagasan
dari Ibn Taymiyyah dan Ibn ‘Abd al-Wahhab ini kemudian dielaborasi oleh
Abdullah Azzam, Osama bin Laden, dan tokoh-tokoh salfi-jihadis lainnya.
III. Ideologi Salafi di
Pesantren: Jaringan dan Penyebarannya
Munculnya madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren
berideologi salafi tidak terlepas dari peran lulusan-lulusan Timur Tengah,
khususnya Saudi Arabia, yang kembali ke Indonesia. Ini terjadi sekitar
pertengahan tahun 1980-an ketika komunitas salafi meluas dan menjadi lebih memperlihatkan
identitasnya. Tanda-tandanya adalah munculnya lelaki berjambang yang memakai
jubah dan turban, sementara para wanitanya memakai cadar (niqab).[7] Perkembangan gerakan salafi di Indonesia, menurut
Hasan,[8] akibat dari ekspansi mendunia dari gerakan dakwah
salafi kontemporer, yang dipengaruhi oleh sekte Islam puritan, Wahhabi.
Gerakan dakwah salafi berkembang di kampus-kampus.
Semenjak tahun 1990-an, gerakan ini memperoleh dorongan baru dengan datangnya
lulusan-lulusan Timur Tengah dan para veteran Afghanistan, termasuk Ja’far Umar
Thalib, Yazid Abdul Qadir Jawwas, Yusuf Usman Baisa, Muhammad Yusuf Harun,
Ahmad Zawawi dan M. Zaitun Rasmin. Upaya mereka untuk mengusung aktivitas
dakwah salafi memunculkan komunitas salafi di berbagai kota di Indonesia.
Menjamurnya komunitas-komunitas ini melahirkan berbagai yayasan salafi, seperti
As-Sunnah, Ihyaut Turats, al-Sofwah, Lajnah al-Khairiyah, Lajnah al-Istiqamah,
dan Wahdah Islamiyyah. Perhatian lembaga-lembaga donor di Saudi Arabi dan
negara-negara Teluk lainnya untuk mendukung aktivitas dakwah salafi setelah perang
Teluk pada tahun 1990 mempermudah perkembangan ini. Sejalan dengan menjamurnya
yayasan-yayasan salafi, bermunculan madrasah salafi di berbagai wilayah di
Indonesia. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan berikut!
Bagan 1: Pesantren bercorak ideologi salafi di Indonesia
No
|
Wilayah
|
Nama Pesantren
|
1.
|
Yogyakarta
|
Ihyaus Sunnah
(1994); Bin Baz; al-Ansar; Difa’ Anis Sunnah
|
2.
|
Solo
|
Al-Madinah dan Imam Bukhari (1995-2000); Ibn Taimiyah
|
3.
|
Magelang
|
Minhajus Sunnah
|
4.
|
Semarang
|
Lu’lu’ wal Marjan
|
5.
|
Cirebon
|
As-Sunnah
|
6.
|
Temenggung
|
Al-Athariyah
|
7.
|
Sukoharjo
|
Ittiba’us Sunnah
|
8.
|
Magetan
|
Ittiba’us Sunnah
|
9.
|
Jember
|
Al-Salafy
|
10.
|
Ngawi
|
Ta’zimus Sunnah
|
11.
|
Gresik
|
Al-Bayyinah
|
12.
|
Cilacap
|
Al-Furqan
|
13.
|
Pekanbaru
|
Al-Furqan
|
14.
|
Makasar
|
As-Sunnah
|
15.
|
Balikpapan
|
Ibn Qayyim
|
Di antara pesantren-pesantren tersebut, yang paling
sejahtera dan besar dalam kaitan dengan gedungnya adalah Pesantren Bin Baz dan
Imam Bukhari. Sementara itu, yang kondisinya paling buruk adalah
Ihyaus Sunnah (Yogyakarta) dan Minhajus Sunnah (Magelang). Pesantren-pesantren ini disebut juga sebagai “Pondok orang berjubah”,
yang tampak seperti desa terpisah yang berada dalam
desa-desa yang sebenarnya, membatasi kontak
dengan pihak luar, dan bahkan cenderung curiga terhadap
orang luar. Selain itu, kehidupannya begitu
monoton, yang aktivitas-aktivitas utama
mereka mencakup salat, membaca dan menghapal Alquran.[9]
Dalam pesantren-pesantren ini, pemahaman terhadap
doktrin Wahhabi menyediakan fondasi yang kuat bagi para santri untuk
mempelajari tafsir Alquran, hadis, fikih, usul al-fiqh, dan metode dakwah. Doktrin Wahhabi
ini adalah materi inti yang dipelajari di madrasah-madrasah ini. Untuk itu, para
santri diharuskan untuk membaca karya-karya seperti al-Qawl al-Mufid fi Adillah al-Tawhid, yang merupakan ringkasan kitab al-Tawhid karya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Di sebagian madrasah, para santri diwajibkan untuk menghapal kitab al-Tawhid dan syarahnya seperti al-Qawl al-Sadid ‘ala Kitab al-Tawhid karya ‘Abd al-Rahman al-Su‘udi. Kemudian, mereka harus mempelajari al-Usul al-Thalathah karya Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab sebelum
membaca al-‘Aqidah al-Wasitiyyah karya Ibn Taymiyyah atau
syarahnya, Sharh al-‘Aqidah al-Wasitiyyah karya Salih ibn Fawzan. Setelah menguasai kitab-kitab ini, mereka dianjurkan untuk membaca
kitab-kitab lain seperti Nubdhah fi al-‘Aqidah karya Muhammad ibn Salih al-‘Uthaymin, dan
seterusnya.[10]
Sebagian madrasah juga menawarkan program-program
khusus buat mahasiswa, yang disebut Tadrib al-Du‘at (latihan buat para dai) dan Tarbiyyah al-Nisa’ (pendidikan buat kaum perempuan). Program-program ini berlangsung dalam
periode waktu dari tiga bulan hingga satu tahun. Tadrib al-Du‘at didisain untuk para dai yang siap melakukan aktivitas dakwah, sedangkan Tarbiyyah
al-Nisa’ ditujukan untuk membentuk kepribadian perempuan sesuai
dengan ajaran-ajaran Wahhabi. Bahan-bahannya diseleksi dari kitab-kitab yang
diwajibkan dalam program-program reguler di atas.
Madrasah-madrasah Salafi di Indonesia ini, menurut
Hasan,[11] mengambil model dari pusat pengajaran Islam yang dinisbatkan kepada
Muqbil ibn Hadi al-Wadi‘i,[12] salah seorang tokoh Salafi yang paling terkenal di
Yaman. Para ustadz di madrasah-madrasah ini adalah lulusan dari pusat
pengajaran tersebut. Jika tidak, mereka adalah lulusan-lulusan dari universitas
Saudi Arabia yang dikontrol oleh tokoh keagamaan Saudi, terutama Muhammad ibn Salih al-‘Uthaymin. Relasi ustadz-ustadz ini dengan mentor dari Timur
Tengah relatif dekat dan terjaga. Mereka mempertahankan hubungan tersebut
melalui korespondensi, telepon, dan mesin faks, khususnya ketika mereka merasa
perlu untuk mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa untuk membahas
masalah-masalah yang sangat pelik.
IV. Tradisi Indoktrinasi
Salafi-Jihadisme di Pesantren
Dalam kasus
Pesantren Al-Mukmin Ngruki (Solo, Jawa Tengah), yang diangap bertanggung jawab dalam
memupuk benih-benih radikalisme di dalam diri para santri, proses indoktrinasi
berlangsung melalui beberapa cara: kurikulum agama, aktivitas sekolah, dan
kurikulum tersembunyi.
Pertama, kurikulum
agama yang diterapkan di Pesantren Al-Mukmin Ngruki mengusung totalisme
ideologi melalui tiga keyakinan kontrol yang saling berkaitan:
1.
Kewajiban menolak agama sekuler untuk membentuk negara
Islam;
2.
Melakukan jihad bersenjata (al-jihad al-musallah). Untuk
tujuan ini, maka diajarkan berbagai kitab seperti Tarbiyyah
Jihadiyyah
karya ‘Abdullah 'Azam dan 'Aqidah
Islamiyyah karya
Abu Bakar Ba’asyir. Selain itu, didiskusikan secara informal
karya-karya dari Ikhwanul Muslimin, seperti Fathi Yakan, Sayyid Qutb, dan Hasan al-Bana.
3.
Bersifat antagonis terhadap non-Muslim. Untuk tujuan
ini, diajarkan salah satu kitab karya Muhammad Saʽid al-Qahtani, yaitu al-Wala' wa al-Bara’ fi al-Islam.
Kedua, aktivitas sekolah mencakup aktivitas
ekstra-kurikuler, seperti hiking, naik gunung, dan berkemah. Tujuannya
adalah agar santri dapat menginternalisasi-kan dan menerapkan apa yang mereka telah
dipelajari melalui latihan fisik dan mental. Dalam aktivitas ini, para pimpinan mendapatkan
kesempatan emas untuk memasukkan keyakinan kontrol dan benteng mereka dari
dunia luar. Dengan kata lain, monitoring dan interaksi dengan santri memperkuat keyakinan kontrol dan
menghilangkan segala keyakinan lain yang tidak konsisten atau sejalan dengan
ideologi Ngruki.
Ketiga, kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum), yang diimplementasikan melalui beberapa wilayah. Pertama, budaya
sekolah, yaitu dalam bentuk penanaman kepatuhan tanpa sikap kritis atau mempertanyakan doktrin-doktrin yang diajarkan, di
mana para santri diajar menjadi robot dan tidak mempertanyakan materi-materi yang diajarkan. Ideologi
Salafi-jihadisme ini ditransmisikan tidak hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Yang kedua, terkait dengan hubungan guru dan murid, dimana
guru (kiayi) tidak hanya sebagai guru agama, namun pembimbing
spiritual dan model seorang Muslim yang ideal buat santri dan masyarakat. Ia
ibarat “raja kecil” di dalam sebuah kerajaan kecil. Selain itu, santri harus
memberikan kepatuhan yang absolut kepada guru dan memberikan penghormatan
kepadanya, dan mesti diekspresikan dalam segala aspek kehidupan--agama, sosial,
dan pribadi.Yang paling berperan besar dalam proses ini adalah kharisma dari
tokoh sentralnya, yaitu Abu Bakar Ba’asyir.
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa masuknya ideologi salafi ke dunia pesantren tidak terlepas
dari para lulusan Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia, dan orang-orang yang
belajar di Pusat Pembelajaran Islam yang dikelola oleh Muqbil ibn Hadi al-Wadi‘i,
tokoh salafi terkemuka di Yaman. Para lulusan
ini menyebarkan dakwah salafi ke berbagai wilayah Indonesia dan mendirikan
berbagai pesantren dan madrasah di sana.
Tidak semua salafi bercorak jihadi. Ideologi salafi-jihadisme
di Indonesia, proses indoktrinasinya berlangsung terutama di Pesantren
Al-Mukmin Ngruki, yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir. Proses ini terjadi
melalui tiga cara: kurikulum agama, aktivitas sekolah, dan kurikulum
tersembunyi.
* Makalah disampaikan dalam Seminar “Salafi-Jihadisme,
Pesantren dan Radikalisasi Agama,” di Auditorium STAIN Datokarama Palu (Sabtu,
6 Oktober 2012).
[1] Lihat Charlene Tan, Islamic Education and
Indoctrination: The Case of Indonesia (New York, London: Routledge, 2011),
92.
[3]
Ahmad
ibn Taymiyyah, Fiqh al-Jihad, Taʻliq:
Zuhayr Shafiq al-Kabi (Beirut:
Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1992), 73. Redaksinya:
ولهذ كان أفضل ما تطوع به الإنسان، وكان
باتفاق العلماء أفضل من الحج والعمرة، ومن الصلاة التطوع، والصوم التطوع
[4] Ahmad Ibn Taymiyyah, Majmu’ah al-Fatawa, Jilid 11 (Saudi Arabia: Maktabah al-Malik Fahd
al-Wataniyyah, 2004), 197.
[7] Noorhaidi Hasan, “Salafi Madrasahs and Islamic
Radicalism in Post-New Order Indonesia,” dalam Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad dan
Patrick Jory (eds), Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary
Southeast Asia (Malaysia: Yayasan Ilmuan, 2011), 95.
[8] Ibid.
[9] Ibid.,
101.
[10] Ibid.,
103.
[11] Ibid.,
105.
[12] Muqbil
mulai menerima pengakuan sebagai tokoh salafi terkemuka pada awal 1980-an karena
pelbagai upayanya menyebarkan gerakan dakwah salafi di Yaman. Pengetahuannya tentang Wahhabi ditempa melalui
pengalamannya belajar di Saudi Arabia hampir selama dua dekade. Pada mulanya ia
belajar di pusat pengajaran Islam di Najran, Mekkah, yang diselenggarakan oleh
Muhammad ibn Salih al-‘Uthaymin, sebelum mendaftar di Universitas Islam Madinah.
Selama studinya, ia mendapatkan kesempatan untuk menghadiri halaqah sebagian
tokoh-tokoh Salafi penting, seperti ‘Abd al-‘Aziz ibn Baz dan Muhammad Nasir al-Din al-Albani. Ia ditahan karena dituduh terlibat dalam
kudeta terhadap Masjid Haram yang dipimpin Juhayman al-‘Utaybi. Setelah lepas dari penjara Saudi selama beberapa
bulan, ia dikembalikan ke tanah airnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar