ISLAM DAN
DEMOKRASI: PERSPEKTIF ISLAM LIBERAL*
Rusli
Dosen STAIN Datokarama Palu
Pendahuluan
Dalam masyarakat
Indonesia yang pluralis dalam hal suku, kelompok etnik, dan agama, tidak dapat
dihindari adanya ketegangan-ketegangan baik yang tersembunyi maupun yang muncul
ke permukaan. Dan ini bisa dilihat pada beberapa kerusuhan baik yang berskala
lokal maupun nasional yang seringkali dimotivasi dan didasari oleh perbedaan
etnik atau agama. Di dalam masyarakat Muslim sendiri, terutama dalam konteks
Indonesia, tarik menarik, konflik dan ketegangan, baik secara konsep maupun
praktik, terjadi antara mereka yang berpegang kepada makna literal ayat dengan
spirit ayat. Kelompok pertama sering diidentikkan dengan kelompok “skripturalis,”[1] “Islam konservatif”,
“Islam radikal”, “Islam militan”,[2] “Islam fundamentalis”,
ataupun “Islam revivalis”.[3]
Sementara yang kedua, sering disebut sebagai kelompok “Islam substansialis” atau “Islam liberal.”[4]
Diantara isu-isu yang
sering menimbulkan konflik dan ketegangan antara kedua kelompok ini adalah bentuk
negara, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim. Misalnya, bentuk
negara yang diinginkan kelompok “fundamentalis” adalah bentuk khilafah[5]
dimana syariat Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh, misalnya hukum potong
tangan, jilbabisasi, dan lain-lain. Kelompok fundamentalis juga beranggapan
bahwa “demokrasi” adalah suatu bentuk sekularisasi atau pemisahan agama dari
kehidupan.[6] Disamping
itu, demokrasi dianggap sebagai suatu bentuk kreasi manusia yang bertentangan
dengan Al-Quran karena demokrasi meniscayakan bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat, dan rakyatlah sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian, rakyatlah yang
menetapkan peraturan dan undang-undang. Padahal, dalam pandangan mereka, Islam
telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syariat, bukan milik rakyat.
Syariatlah yang menjadikan rujukan tertinggi segala sesuatu.[7]
Berkenaan dengan hak-hak
perempuan, kelompok fundamentalis atau konservatif lebih melihat perempuan
sebagai makhluk domestik yang memiliki peran lebih banyak di dalam ruang
domestik daripada ruang publik. Seksualitas perempuan harus dijaga melalui “pemingitan”
(seclusion) dan penutupan aurat
dengan hijab atau jilbab.
Tulisan ini tidak
membahas keseluruhan isu yang menimbulkan konflik dan ketegangan antara
kelompok fundamentalis-konservatif dengan kelompok substansialis-liberal,
tetapi hanya memfokuskan kepada bagaimana pandangan Islam liberal tentang
demokrasi secara konseptual dan teoritis. Disamping itu, akan dilihat bagaimana
prospek penerapan demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini.
Prinsip Dasar
Substansialis atau “Liberal”
Kata “liberal” dalam berbagai
kamus bahasa Inggris diartikan sebagai free
from restrictions (bebas dari pembatasan-pembatasan) atau having policies or views advocating
individual freedom (memiliki kebijakan dan pandangan yang mendukung
kebebasan individual).[8] Tetapi
dalam wacana Islam, liberalisme Islam adalah sebuah trend yang memahami Islam
dengan pendekatan yang lebih menekankan kepada substansi daripada bentuk.
Dalam masyarakat, istilah
ini selalu dipertentangkan dengan istilah “konservatif, “fundamentalis” atau
“radikalisme.” Dalam wacana politik, “liberal” selalu dipertentangkan dengan
“konservatif.” Sementara, dalam wacana pemikiran Islam, istilah “liberal”
selalu dipertentangkan dengan “radikalisme” atau “fundamentalisme.”
Banyak studi yang
dilakukan untuk mengamati perkembangan gerakan fundamentalisme agama di seluruh dunia, termasuk dunia Islam, seperti
tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku Fundamentalism
Observed (tiga jilid). Proyek besar ini meneropong gerakan fundamentalisme
dalam setiap agama, seperti Budha, Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam. Disamping
itu, studi yang sama dengan menekankan analisis terhadap adanya benih-benih
radikalisme atau kekerasan dalam setiap agama dilakukan oleh Mark Jurgensmeyer
(2001) dalam Terror in the Mind of God.
Di sisi lain, studi tentang
liberalisme dalam Islam dilakukan oleh Leonard Binder (1988) dalam bukunya Islamic Liberalism: a Critique of
Development Ideologies. Buku ini merupakan hasil dari proyek riset yang
lama, berskala luas dan hasil kolaboratif di tahun 1970-an yang dilakukan oleh
Binder dan Fazlur Rahman. Buku ini juga merupakan salah satu studi yang
signifikan tentang liberalisme Islam.
Studi lain juga dilakukan
oleh Charles Kurzman (2001) yang memberikan pengantar cukup mendalam mengenai
tipologi masyarakat Islam dengan membaginya ke dalam revivalist Islam, customary
Islam dan liberal Islam. Kemudian,
Kurzman membagi liberal Islam ke dalam liberal
shari’a (syari’ah liberal), silent
shari’a (syari’ah yang diam) dan interpereted
shari’a (syariah yang ditafsirkan). Setelah itu, Kurzman me-list tokoh-tokoh yang masuk ke dalam
kategori Islam liberal disertai dengan ide-idenya. Diantara intelektual Muslim
Indonesia yang dimasukkan oleh Kurzman sebagai liberal adalah Muhammad Natsir
dan Nurcholis Madjid.
Ada beberapa
karakteristik yang membedakan Islam substansial-liberal dari kelompok
konservatif-fundamentalis. Seperti yang dipaparkan oleh Liddle,[9] yang
pertama dan paling mendasar prinsip yang dipegang oleh kelompok substansialis adalah
bahwa substansi dan isi suatu keyakinan adalah lebih penting daripada bentuk. Bertindak
dan berperilaku baik secara moral dan etika dinilai lebih penting daripada
hanya melaksakan ritual-ritual semata. Karena itu, seorang manager yang saleh
dalam hal ibadah murni (ibadah mahdhah)
tetapi memperlakukan bawahannya tidak adil, dalam pandangan ini, kurang
mendapatkan penghargaan daripada manager yang tidak saleh, bahkan non-muslim, tetapi
berlaku adil terhadap bawahannya.
Kedua, pesan universal
Al-Quran dan Hadits, sekalipun eternal dan abadi dalam keberadaan dan pengertiannya,
perlu direinterpretasi kembali oleh masing-masing generasi masyarakat dengan melihat
kepada kondisi sosial yang ada pada saat itu. Karena itu, dalam sejarah pemikiran di
Indonesia, kita mengenal istilah-istilah sebagai bentuk pengejawantahan Islam
sesuai dengan konteks keindonesiaan, seperti “sekularisasi”, “desakralisasi”,
“reaktualisasi” dan “pribumisasi”.
Ketiga, karena sulit dan
tidak mungkin bagi setiap muslim untuk memahami keinginan dan perintah Tuhan
lebih baik daripada yang lainnya, maka umat Islam diharuskan toleran terhadap
sesamanya dan juga di luar golongannya. Kajian ulang terhadap pemikiran Islam
klasik dan tradisi-tradisi Islam di luar modernisme perlu digalakkan, termasuk
juga dialog dengan fihak non-Muslim, seperti Kristen.
Islam dan
Demokrasi
Istilah “demokrasi”
adalah terma Barat yang terambil dari kata Yunani demos (rakyat) dan kratein (memerintah).[10] Secara
etimologis, demokrasi berarti “pemerintahan oleh rakyat” (ruled by the people). Abraham Lincoln, mendefinisikan demokrasi
sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam
definisi yang diberikan Sulaiman,[11]
demokrasi adalah “partisipasi publik dalam keputusan-keputusan yang menyangkut
kehidupan masyarakat banyak baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Bagi Islam liberal,
demokrasi tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam yang universal, bahkan ide
ini mendapatkan dukungan yang kuat dari Al-Quran dan praktik Nabi saw yang
sering berkonsultasi (istisyar)
dengan para sahabatnya. Al-Quran menyebutkan syura sebagai prinsip dasar yang harus dilakukan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berpolitik.[12] Sementara secara konseptual dan prinsip, syura tidak jauh berbeda dengan
demokrasi, bahkan sinonim, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam hal
penerapannya yang disesuaikan dengan adat istiadat dan kebiasaan lokal.[13]
Prinsip lain yang
mendasari proses demokrasi adalah persamaan (equality; musawat). Dalam negara demokrasi, semua orang adalah sama,
memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Diskriminasi dalam bentuk apapun,
apakah itu didasari atas perbedaan gender, status sosial, agama, keturunan, atau
warna kulit, tidak dapat dibenarkan. Persamaan ini didasari oleh sebuah fitrah
manusia yang diciptakan dalam keadaan mulia.[14] Sebagai
sebuah agama, Islam sangat menekankan prinsip egaliter ini. Bahkan ketika
datang pertama kali di Timur Tengah, tepatnya di Saudi Arabia, Islam berupaya
menghilangkan segala bentuk diskriminasi, diantaranya diskriminasi yang dialami
perempuan dan kaum budak.
Prinsip demokrasi lainnya
adalah keadilan (justice; ‘adalah). Keadilan adalah spirit dan
prinsip dasar ajaran Islam. Tanpa keadilan, maka tatanan sosial suatu
masyarakat akan menjadi rapuh. Al-Quran sendiri banyak sekali menegaskan agar
kita dapat berlaku adil terhadap siapa saja, sekalipun ada perbedaan atau
ketidaksamaan prinsip. “Janganlah kebencian kamu terhadap kelompok lain membuat
kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena sikap adil lebih dekat menujuk
kepada takwa” (Al-Maidah: 8). Berkenaan dengan keadilan hukum, Rasulullah saw
sendiri dalam suatu perkataannya yang terkenal mengatakan, “Banyak umat-umat
terdahulu yang binasa, karena apabila orang mulia melakukan tindakan kriminal
tidak dikenakan sangsi hukum. Sebaliknya apabila orang lemah melakukan tindakan
tersebut, ditegakkan hukum kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah mencuri,
tentu akan kupotong tangannya.”
Last
but not least,
kebebasan mengekspresikan aspirasi dan pendapat (freedom of speech) yang merupakan inti dari proses berdemokrasi juga
mendapatkan tempat dalam ajaran Islam dan praktik sosial umat Islam. Bersikap
kritis menyampaikan aspirasi adalah sesuai dengan sabda Nabi saw, “Siapapun
yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya.
Apabila tidak mampu, dengan perkataan. Dan apabila tidak mampu juga, maka
dengan hatinya bahwa ia tidak meyukai kemungkaran tersebut. Yang demikian
itulah iman yang paling lemah.” Prinsip “merubah dengan perkataan” adalah
bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa agar
kebijakan tersebut berpijak kepada kemaslahatan bersama.
Jadi, konsep demokrasi sebenarnya
tidaklah bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang universal. Sekalipun
istilah ini tidak ditemukan secara eksplisit di dalam perbendaharaan kata
Islam, tetapi prinsip-prinsip yang mendasari proses demokrasi mendapatkan
justifikasi dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Prospek
Demokrasi di Indonesia
Menurut laporan dari Freedom House (2001), dari 47 negara
yang mayoritas beragama Islam, hanya 11 (23 persen) yang dapat dianggap
benar-benar mengadopsi demokrasi dan mengalami konsolidasi demokrasi yang
stabil.[15]
Sementara itu, di dunia non-muslim, 110 dari 145 negara (75 persen) memiliki
pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Ini mengindikasikan bahwa di
negara muslim, penerapan demokrasi begitu lemah. Bahkan semakin islami suatu
negara, semakin tidak demokratis. Sementara di negara-negara yang non-muslim,
tingkat demokrasinya begitu tinggi dan kuat.
Tentunya laporan seperti
ini sangat tidak menyenangkan bahkan menyakitkan bagi umat Islam. Mengapa
mengadopsi demokrasi begitu sulit di negara-negara Muslim? Apakah Islam menjadi
penghambat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi?
Azra, seperti dikutip
Darmadi,[16]
mengatakan ada lima alasan kenapa penerapan demokrasi begitu lemah di
negara-negara Muslim. Pertama, kurangnya infrastruktur dan prasyarat yang
penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu negara demokrasi. Apalagi tidak
adanya kelas menengah yang independen yang dapat menopang infrastruktur secara
kokoh dan kondusif.
Kedua, masih ada
kecenderungan di kalangan sebagian umat Islam untuk mempertahankan keyakinan bahwa
tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Dalam konteks Indonesia, keyakinan
seperti ini masih begitu kuat, terutama pada masyarakat Muslim yang berpegang
kepada Islam tradisional. Dan ini termanifestasi dalam berbagai gerakan yang
ingin memasukkan Islam sebagai simbol dan dasar negara, seperti diantaranya,
Hizbut Tahrir, Angkatan Mujahidin Indonesia (AMIN), dan sebagainya.
Ketiga, gagalnya
negara-negara Muslim untuk meng-implementasikan praktik-praktik yang demokratis,
misalnya tentang pemilu demokratis. Dalam masyarakat kita, praktik money politics yang menggoyang
sendi-sendi demokrasi masih tetap
menjamur, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Hal ini dikarenakan etika
dalam berpolitik dan berdemokrasi masih begitu rendah, dan kesadaran untuk
membangun etika tersebut masih begitu lemah.
Keempat, ketiadaan budaya
demokratis (democratic culture) di
negara-negara Muslim. Di Indonesia, misalnya, hambatan kultural yang menghambat
pertumbuhan demokrasi adalah masih adanya dikotomi antara wong gedhe dan wong cilik.[17]
Penguasa masih menganggap rakyat itu bodoh sementara dirinya mengaku sebagai
pengayom, pemurah dan baik hati. Rakyat harus patuh, tunduk dan setia kepada
pemerintah. Dalam kehidupan politik seperti itu, sulit sekali diharapkan
timbulnya kualitas demokrasi yang tinggi karena sikap kritis yang menjadi
“inti” berdemokrasi melemah. Terakhir, tidak berfungsinya kelompok civil society atau organisasi-organisasi
non-governmental, yang melakukan
kritik terhadap kekuasaan.
Apabila kita melihat
prasyarat yang dibutuhkan untuk berkembangnya suatu demokrasi yang stabil dalam
masyarakat kita, prospeknya tidak begitu menggembirakan. Kendati demikian,
seperti dikatakan Gus Dur, umat Islam jangan bersikap pesimis. Dalam
memperjuangkan demokrasi, Islam tak perlu menjadikan dirinya sebagai bendera,
tetapi akidah dan prinsip-prinsip ajaran untuk proses demokratisasi tetap
dipegang teguh. Kedua, perhatian tidak harus langsung diarahkan kepada kata
“demokrasi”, tetapi perjuangan bisa merupakan cangkokan dari demokrasi yaitu
memperjuangkan keadilan, rela berkorban, membantu tanpa pamrih, dan bekerjasama
dengan siapa saja yang memiliki spirit perjuangan yang sama.[18]
Penutup
Kendati prospek penerapan
demokrasi di Indonesia masih memerlukan proses perjuangan yang panjang dan
melelahkan, tetapi usaha-usaha untuk itu tidak boleh dihentikan. Untuk itu,
beberapa hal perlu diperhatikan dan dilakukan. Pertama, perlu diadakan
sosialisasi pemahaman Islam yang lebih menekankan isi daripada bentuk. Perlu
direkonstruksi kembali pemahaman kepada teks-teks keagamaan dengan lebih menekankan
pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, dengan mempertimbangkan
kondisi sosial dan politik masa itu. Kedua, sosialisasi demokrasi tidaklah
harus menampilkan kata dan simbol demokrasi, yang terpenting adalah bagaimana
cangkokan demokrasi tersebut dapat diterapkan, seperti keadilan, membantu orang
lain, dan sebagainya.
Referensi
Bagus,
Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia
Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England:
Harper Collins Publisher, 1995
Darmadi,
Dadi, 2002, “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1
Engineer,
Ashgar Ali, Is Islam Undemocratic? On
Absence of Democracy in the Muslim World, diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm
pada tanggal 25 Oktober 2001
Jansen,
G.H., 1976, Militant Islam, London
dan Sydney: Pan Books
Kurzman,
Charles (ed), 2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Liddle, R.
William, 1996, Leadership and Culture in
Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin
Rahardjo,
Dawam, 1995, “Khalifah” dalam Ulumul
Qur’an, No.1, Vol. VI, Tahun 1995
Sufiyanta,
Mintara, 1997, “Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2
Sulaiman, Sadek
Jawad, 2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, Jakarta: Paramadina
Syabab
Hizbut Tahrir, “Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
Syabab
Hizbut Tahrir, “Trias Politica dalam
Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie,
No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22
*Makalah dipresentasikan pada acara
seminar “Islam dan Demokrasi” pada tanggal 15 Maret 2003 yang diadakan oleh
Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Datokarama Palu.
[1] R. William Liddle, 1996,
Leadership and Culture in Indonesian
Politics, Sydney: Allen and Unwin, hal. 266-289
[2] G.H. Jansen, 1976, Militant Islam, London dan Sydney: Pan
Books
[3] Charles Kurzman (ed),
2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, hal. xvi
[4] Ibid.
[5] Khilafah adalah berasal dari kata khalf yang berarti suksesi, pergantian atau generasi penerus,
wakil, penguasa, yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Quran. Menurut
ensiklopedi Islam, kata khilafah adalah
“istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik
Islam, yang sinonim dengan kata imamah yang
berarti kepemimpinan.” Sementara orang yang melaksanakan fungsi khilafah disebut khalifah. (Dawam Raharjo, “Khalifah” dalam Ulumul Qur’an, No.1, Vol. IV, 1995, hal. 40-47
[6] Syabab Hizbut Tahrir,
“Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
[7] Ibid., “Trias Politica
dalam Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie,
No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22
[8] Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England: Harper Collins
Publisher, 1995, hal. 757
[9] Liddle, op.cit. hal. 268
[10] Lorens Bagus, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, hal.
154
[11] Sadek Jawad Sulaiman,
2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, op.cit.,
hal. 125
[12] Surat Ali Imran: 159,
“…dan berkonsultasilah dengan mereka dalam segala urusan.” Surat al-Syura: 38,
“Dalam berurusan dengan mereka hendaklah dilakukan musyawarah.”
[13] Ibid. hal. 128; Ashgar Ali Engineer, Is Islam Undemocratic? On Absence of Democracy in the Muslim World,
diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm
pada tanggal 25 Oktober 2001
[14] Surat al-Isra: 70, “Kami
telah muliakan anak keturunan Adam… dan Kami lebihkan mereka dari
makhluk-makhluk lainnya.”; Surat al-Tin: 5, “Kami benar-benar telah menciptakan
manusia dengan bentuk yang paling baik.” Dalam sebuah hadts, “Tidak ada
kelebihan orang Arab dengan non-Arab, kecuali dengan kualitas takwanya.”
[15] Mali di Sub-Saharan Afrika
dan Bangladesh di Asia Selatan merupakan contoh negara Muslim yang telah
mengadopsi demokrasi. Meskipun kedua negara tersebut berjuang untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan ekonomi, tetapi mereka mengalami konsolidasi
demokrasi yang begitu stabil. Beberapa negara lain, seperti Turki, Jordania,
Kuwait, Azerbaijan, Malaysia dan Indonesia, telah lama berjuang untuk
mengadopsi demokrasi. Bagaimanapun, diantara negara-negara tersebut, Malaysia
dan Turki-lah yang lama mengalami proses demokratisasi, meskipun mereka
menghadapi gerakan-gerakan anti demokrasi.
[16] Dadi Darmadi, 2002, “The
Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1, hal. 204
[17] Mintara Sufiyanta, 1997,
“Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah
Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2, hal. 39
[18] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar