Sabtu, 25 Februari 2012

Multikulturalisme dalam Wacana Alquran


MULTIKULTURALISME DALAM WACANA ALQURAN*
Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc**
A.   Pendahuluan
“Multikulturalisme” menjadi isu yang diperbincangkan hangat dalam berbagai perspektif keilmuan saat ini—entah dari perspektif pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, atau pun hukum Islam. Namun, yang mencoba memperbincangkannya dalam perspektif Alquran mungkin belum begitu banyak. Artikel ini berupaya membahas bagaimana Alquran berbicara tentang gagasan multikulturalisme. Untuk itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tafsir dengan berpijak pada fenomenologi, yang menekankan pada asumsi “membiarkan Alquran berbicara sendiri tentang persoalan ini.”
Dalam menafsirkan Alquran tentang “multikulturalisme”, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Alquran tidak hanya berbicara kepada umat Islam tapi berbicara kepada banyak umat, baik Nasrani, Yahudi, dan lain-lain. Dalam Alquran terdapat ungkapan-ungkapan seperti “hai orang-orang beriman” (ya> ayyuha> al-ladhi>na a>manu>) “hai manusia” (ya> ayyuha> al-na>s), “hai orang-orang kafir” (ya> ayyuha> al-ka>firu>n), dan sebagainya, yang membuktikan bahwa Alquran pada saat itu memang tidak hanya berbicara pada satu pihak saja, umat Islam, namun juga berbicara kepada banyak pihak. Kedua, Alquran berbicara pada hal-hal yang bersifat multikulturalistik. Banyak suara yang direfleksikan oleh Alquran, berbicara kepada banyak representasi, ada suara untuk Muhammad, ada suara yang disampaikan Allah sendiri, dan juga ada suara yang disampaikan kepada umat manusia yang lain.
Intinya, Alquran telah mengenal gagasan multikulturalisme dalam arti keragaman budaya berbasis agama, etnisitas, dan lain-lain. Bahkan secara normatif, Alquran mengakui bahwa manusia dijadikan berbangsa-bangsa (shuu>b) dan bersuku-suku (qaba>’il) agar mereka saling mengenal dan menghargai satu sama lain (QS al-H{ujura>t [49]: 13). Seandainya Allah menghendaki tentu Ia akan menjadikan hanya satu umat (QS. al-Shu>ra> [42]: 8).
Lalu, bagaimana Alquran melihat konsep “multikuluralisme” secara holistik. Tulisan ini mencoba melihat gagasan-gagasan universal dalam Alquran yang menjadi fondasi bagi pembangunan masyarakat yang multikulturalis atau masyarakat madani yang mengakui dan menghargai perbedaan, seperti tertuang dalam Piagam Madinah. Sebelum melihat bagaimana Alquran berbicara tentang konsep ini, terlebih dahulu  kita perlu memahami konsep multikulturalisme dan akar-akar yang memperkuat konsep ini.

B.    Multikulturalisme: Akar dan Realitas
Secara sederhana, “multikulturalisme” berarti “keragaman budaya”.[1] Ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk melukiskan keragaman baik yang berbasis pada agama, ras, etnisitas, bahasa, maupun budaya, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural). Namun semuanya tidak mempunyai konotasi yang sama. Multikulturalisme dipahami sebagai
“sebuah sistem keyakinan dan perilaku yang mengenali dan menghormati keberadaan semua kelompok yang berbeda dalam sebuah organisasi atau masyarakat, mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan sosial budaya, dan mendorong dan memungkinkan kontribusi mereka yang berkesinambungan dalam sebuah konteks budaya yang inklusif yang memberdayakan semua dalam sebuah organisasi atau masyarakat itu.”[2]
Secara filosofis, multikulturalisme ini berangkat dari asumsi tentang kemuliaan dan kehormatan manusia (human dignity). Dan prinsip ini terdapat dalam semua agama besar dunia. Karena manusia itu mempunyai posisi yang mulia, maka hak-hak yang melekat pada mereka harus dihormati dan dijaga. Penodaan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersebut adalah penindasan terhadap kemanusiaan universal. Maka, setiap perbedaan yang terjadi jangan mengantarkan kepada konflik yang dapat mencederai hak-hak asasi manusia. Untuk itu, toleransi adalah sebuah keharusan untuk menghargai perbedaan-perbedaan tersebut, dengan cara berdialog dan menghilangkan diskriminasi dan prasangka buruk (prejudice, su>’ al-z}ann) dalam pergaulan.
Sebagai sebuah paradigma, multikulturalisme memuat dalam dirinya nilai-nilai etis, yang menjadi pedoman dasar dalam setiap perilaku individu. Dalam pedoman tersebut terdapat prinsip-prinsip moral yang menjamin setiap aktivitas individu dan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya. Prinsip-prinsip moral tersebut mencakup politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, hak asasi manusia, hak budaya komunitas dan kelompok minoritas, dan lain-lain. Oleh karena itu, multikulturalisme dapat dikatakan sebagai gerakan etis.
  
C.    Alquran tentang Multikulturalisme
Keragaman (diversity) adalah sentral bagi pandangan Alquran tentang masyarakat. Alquran mengakui keragaman ini dengan menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa jika Allah ingin, tentu Ia akan menjadikan hanya satu umat (QS. al-Ma>’idah [5]: 48). Namun, manusia dijadikan ‘berbangsa-bangsa dan bersuku-suku’ sehingga mereka saling mengenal (QS. al-H{ujura>t [49]: 13). Kemudian, Alquran mendorong masing-masing individu untuk saling mengenal, baik Muslim maupun non-Muslim, yang mempunyai kepercayaan yang berbeda dari mereka, dan berlomba-lomba melakukan kebaikan (QS. al-Ma>’idah [5]: 48). Etika abadi ini berakar pada gagasan Alquran tentang kesamaan manusia, yang menekankan bahwa semua manusia, tanpa melihat persuasi ideologisnya, diciptakan dari ‘jiwa yang sama’ (nafs wa>h}idah) (QS. al-Nisa>’ [4]: 1). Karenanya, tidak menjadi penting apakah ia seorang Yahudi, Kristen, atau Sabiun, karena siapa pun yang melakukan kebaikan ‘akan mendapatkan ganjarannya dari Allah’ (QS. al-Baqarah [2]: 62). Malah, ‘orang yang paling mulia’, kata Alquran, adalah ‘yang paling bertakwa’ (QS. al-H{ujura>t [49]: 13).
Alquran kemudian menyatakan bahwa penilaian manusia itu bergantung pada kebajikannya, bukan pada keterikatannya dengan satu keyakinan tertentu. Kesalehan itu menyebar melalui tindakan sosial—cara terbaik untuk mengabdi kepada Allah adalah melayani kemanusiaan. Maka, seruan untuk menegakan keadilan sosial adalah fondasi dari komunitas multikultural yang inklusif (ummah muqtas}idah), yang terdiri dari beragam manusia yang berbeda-beda, yang disatukan oleh etika Adamik tentang tanggung jawab ganda manusia untuk menghormati dan menghargai diri dan masyarakat.
Pandangan Alquran tentang keragaman ini, yang diikat oleh pandangan tentang kesamaan manusia, mempengaruhi tindakan dan relasi Nabi dengan komunitas-komunitas lain. Maka, dapat kita lihat nanti bahwa Nabi, yang akhlaknya adalah Alquran, memperkuat dan menyebarkan nilai-nilai universal Alquran, yang menjadi fondasi bagi multikulturalisme, yaitu keadilan (justice), kesetaraan (equality), hak asasi manusia (human rights), nilai-nilai demokratis (democratic values), yang kemudian memunculkan berbagai sikap seperti anti diskriminasi, prasangka (prejudice), dan toleransi, terhadap kelompok-kelompok yang berbeda baik atas dasar ras, etnisitas, agama, budaya, dan lain-lain. Lihat bagan berikut ini!
 

1.     Keadilan dan Kesetaraan buat Semua Orang
‘Adl, yang diartikan sebagai keadilan, ditemukan empat belas kali dalam Alquran. Ia juga merupakan sifat Allah, yang mengilustrasikan tindakan Allah sebagai   penguasa dan hakim yang adil.[3] Kata kerja ‘adala, yang mengandung arti “bertindak secara adil”,[4] pada umumnya berhubungan pula dengan konsep-konsep kesetaraan dan keseimbangan.
Dalam Alquran, konsep ‘adl dikaitkan dengan Tuhan dan manusia. Pertama menggambarkan tentang keadilan Tuhan (QS. A<li ‘Imra>n [3]: 18; Yu>suf [12]: 80), dan kedua tentang keadilan manusia, yaitu anjuran agar manusia berlaku adil dalam setiap aspek, kepada Tuhan, manusia dan lingkungan. Agar dapat dikatakan adil kepada Tuhan, manusia harus menjadi saleh dan bermoral dan memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu menyembah Tuhan (QS. al-Dha>riya>t [51]: 56). Agar dapat dikatakan adil kepada sesama manusia, manusia harus memberikan setiap haknya dan bertindak terhadap makhluk-makhluk tersebut sesuai dengan hak-hak mereka (QS. al-Ma>’idah [5]: 8; al-Ara>f [7]: 29; al-Mumtah}anah [60]: 8).[5] Tuhan memerintahkan umat manusia tidak hanya untuk berlaku adil, tetapi juga berkata adil (QS. al-Ana>m [6]: 152), serta memutuskan perkara dengan adil (QS. al-Nisa>’ [4]: 58).
Perlawanan terhadap ketidakadilan (z}ulm), ketertindasan dan kejahatan berbasis apa pun—apakah itu ras, etnisitas, gender, agama, sosial-budaya atau pun ideologi politik—adalah suatu keadilan dan merupakan cara untuk menegakkan keadilan. Dan orang-orang yang tidak adil dan melakukan penindasan berarti memutuskan perjanjian dan ikatan dengan Tuhan (QS. al-Baqarah [2]: 124), dan bahkan Tuhan tidak menyukai orang-orang tersebut (QS. ‘A<li ‘Imra>n [3]: 57). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut prinsip Alquran, hidup dan berbuat adil berarti juga memerangi penindasan, kejahatan dan ketidakadilan.
2.    Hak Asasi Manusia
Dalam pandangan Alquran, manusia mempunyai kemuliaan (dignity, kara>mah). Oleh karena itu, prasyarat bagi kemuliaan manusia itu diberikan perhatian yang serius dalam berbagai regulasi hukum Islam, dan tidak ada satu pun aturan yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia tersebut. Hak untuk hidup, mempunyai kebebasan, beragama dan menikmati manfaat-manfaat sosial adalah prasyarat bagi kemuliaan manusia dalam pandangan Alquran, dan tidak ada seorang pun punya hak untuk membahayakan dan mengancam kemuliaan manusia.
a.    Hak untuk hidup
Alquran menjunjung tinggi kemuliaan dan nilai absolut kehidupan manusia (QS al-Ana>m (6): 151), dan menjelaskan bahwa, secara esensial, kehidupan masing-masing individu sama dengan kehidupan semua komunitas dan, karenanya, harus diperlakukan dengan penuh perhatian (QS. al-Ma>’idah [5]: 32).

b.    Hak untuk mendapatkan penghormatan
Alquran menganggap semua manusia berhak mendapatkan penghormatan (QS. al-Isra>’ [17]: 70). Manusia dapat mengelola kebebasan berkehendak karena mereka mempunyai potensi akal, yang membedakan mereka dari semua makhluk (QS. al-Baqarah [2]: 30-34). Meskipun manusia dapat menjadi yang paling rendah (asfal al-sa>fili>n), namun Alquran menyatakan bahwa mereka tercipta dalam “bentuk yang terbaik” (ah}san al-taqwi>m) (QS. al-T{i>n [95] 4-6), karena mempunyai kemampuan untuk berpikir, mengetahui baik dan buruk, melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Oleh karena itu, berdasarkan janji manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, kemanusiaan semua umat manusia harus dihormati dan dianggap sebagai tujuan dalam dirinya.
c.     Hak terhadap kebebasan
Alquran sangat peduli dengan pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu. Karena mengetahui kecenderungan manusia untuk bersikap diktator dan tiran, Alquran mengatakan dengan jelas dan penuh penekanan dalam surat A<li ‘Imra>n [3]: 79 bahwa “Tidak wajar bagi seorang manusia yang diberikan al-Kita>b oleh Allah, hikmah dan kenabian, kemudian berkata kepada manusia ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku (‘iba>d) selain Allah …’”
Penghapusan perbudakan manusia, tentu saja, menjadi sangat penting dalam konteks kebebasan manusia. Perbudakan telah meluas di Arabia pada saat datangnya Islam, dan perekonomian Arab juga didasari padanya. Alquran tidak hanya bersikukuh bahwa budak mesti diperlakukan secara adil dan manusiawi (QS. al-Nisa>’ [4]: 36), namun juga mendorong untuk membebaskan budak (QS. al-Baqarah [2]: 177; al-Nisa>’ [4]: 92; al-Ma>’idah [5]: 89).
Jaminan terbesar bagi kebebasan pribadi bagi seorang Muslim terletak pada ketentuan Alquran bahwa hanya Tuhan yang dapat membatasi kebebasan manusia (QS. al-Shu>ra> [42]: 21) dan pada pernyataan bahwa “penilaian (baik dan buruk) berada pada Tuhan sendiri” (QS. Yu>suf [12]: 40).

d.    Hak untuk mendapatkan pengetahuan
Alquran menekankan pentingnya perolehan pengetahuan (QS. al-‘Alaq [95]: 1-5). Setelah bertanya secara retorik apakah mereka yang tidak berpengetahuan sama dengan yang berilmu (QS al-Zumar [39]: 9), Alquran mendorong umat beriman untuk menambah ilmu pengetahuan (QS. T{a>ha> [20]: 114). Menurut perspektif Alquran, ilmu pengetahuan adalah prasyarat untuk menciptakan dunia yang adil yang di dalamnya perdamaian dapat eksis. Alquran menekankan pentingnya pencarian ilmu bahkan pada masa perang (QS. al-Tawbah [9]: 122)

3.    Toleransi dan dialog keagamaan
Toleransi merupakan prasyarat penting untuk kehidupan bersama bagi kelompok-kelompok orang yang berbeda sosial, budaya dan agamanya, meskipun perbedaan-perbedaan tersebut mungkin tidak disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Alquran memandang toleransi sebagai titik tolak yang penting dalam membangun perdamaian yang lebih besar. Alquran mencoba membangun perdamaian antara komunitas agama yang berbeda dan mengakui perbedaan keyakinan dan budaya. Ia meletakkan penekanan yang besar pada pemeliharaan hubungan yang baik antara penganut agama yang berbeda karena, menurut Alquran, kebebasan agama adalah basis bagi perdamaian yang berkelanjutan. Alquran menyeru semua orang yang beriman untuk “masuk ke dalam perdamaian dan tidak mengikuti langkah setan” (QS. al-Baqarah [2]: 208). Aspek ini ditekankan dalam wacana Alquran tentang toleransi. Keragaman diakui dan sangat dihargai dalam Alquran. Misalnya, surat al-Ru>m [30]: 22 menegaskan bahwa dalam keragaman tersebut ada tanda-tanda Allah bagi mereka yang mempunyai pandangan yang jelas dan bijaksana. Ini menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan tidak hanya diharapkan, namun juga ditolerir.
Dari pengakuan terhadap adanya perbedaan hingga pengusungan etos pluralisme, Alquran membuat standar yang kuat bagi semua orang—Muslim dan non-Muslim, berdasarkan pada nilai-nilai universal keadilan dan persamaan. Bagi Alquran, perdamaian adalah tujuan yang paling tinggi, dan jika perdamaian adalah suatu keharusan, maka yang pertama harus ada adalah toleransi, termasuk terhadap komunitas agama yang berbeda. Fondasi yang kuat bagi toleransi Alquran dapat dilihat dalam surat al-Isra>’ [17]: 70 yang menegaskan bahwa manusia diberikan posisi yang mulia di antara makluk ciptaan-Nya. Ini diikuti oleh tanggung jawab untuk memelihara semua ciptaan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Surat al-Ma>’idah [5]: 32 dan al-Ana>m [6]: 98 berbicara tentang kesamaan asal muasal manusia yang membuat semua manusia saling berhubungan. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan-perbedaan, berbagai macam kelompok etnik dan keagamaan didorong untuk melihat gambaran yang lebih besar dan melampaui loyalitas-loyalitas ‘kesukuan’ yang memisahkan mereka.
Toleransi berhubungan dengan keadilan dan persamaan. Nabi diperintahkan oleh Alquran untuk berlaku adil terhadap manusia, dan teladan ini harus diikuti oleh umat Islam (QS. al-Nisa>’ [4]: 135; al-Ma>’idah [5]: 8; al-Mumtah}anah [60]: 8). Namun demikian, tidak seorang manusia pun yang mampu dan berada dalam posisi menilai orang lain. Penilaian itu adalah milik Allah sendiri dan masing-masing akan mendapatkan pahala dari Allah berdasarkan hasil kerja mereka. Penekanan terhadap keadilan tidak meletakkan batasan-batasan pada toleransi terhadap yang lain, bahkan mereka yang melanggar hak-hak orang lain. Toleransi dapat dilihat dari kehidupan Nabi Muhammad, yang berbagai kebijakannya merefleksikan pandangan toleransi terhadap yang lain. Contoh dari toleransi ini adalah Piagam Madinah, yang menganggap Muslim, Yahudi dan kelompok musyrik lainnya sebagai “satu komunitas” yang berbagi tugas untuk saling melindungi satu sama lain dari serangan musuh, yang masing-masing memperoleh hak kebebasan beragama. Toleransi dalam Alquran, karenanya, dipandang hanya sebagai permulaan untuk mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan antara berbagai komunitas yang berbeda.
Untuk itu, Alquran menyerukan untuk terlibat dalam dialog dengan yang lain, khususnya ahl al-kita>b. Misalnya, Alquran (surat A<li ‘Imra>n [3]: 64) menginstruksikan kepada umat Islam dan ahl al-kita>b untuk kembali kepada kalimat yang sama (kalimah sawa>), yaitu “tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan tidak menyekutukannya.” Dalam berdialog, Alquran menganjurkan untuk menggunakan metode hikmah dan nasehat yang baik (QS. al-Nah}l [16]: 125). Berdasarkan hal ini, pemaksaan terhadap kelompok agama yang lain menjadi tidak dibenarkan (QS. al-Baqarah [2]: 256).
Dalam sejarah, toleransi terhadap orang-orang yang berbeda budaya, bahasa dan keyakinan, ditekankan dalam Alquran. Pada tahun-tahun pertama Islam, popularitas dan kebertahanan Islam bergantung pada kelenturan yang ditunjukkan Islam kepada penduduk di wilayah-wilayah yang berbeda yang berada dalam kekuasaan Muslim. Para sejarawan menunjukkan satu contoh tentang pendekatan tersebut  pada abad ke-8 dan 9 ketika mayoritas penduduk non-Muslim berada dalam kekuasaan politik Islam. Non-Muslim memperoleh hak-hak budaya dan etnik selama beberapa abad tanpa merasa perlu masuk ke dalam agama para penguasanya. Menurut Jacques Waardenburg,[6] selama fase tersebut, yaitu ekspansi dan penaklukan ke luar Arabia, umat Islam menjumpai berbagai komunitas agama seperti:
a.         Mazdaean di Mesopotamia dan Iran,
b.        Kristen dalam berbagai varitasnya
1)     Nestorian di Mesopotamia dan Iran
2)    Monophysite di Syria, Mesir dan Armenia
3)    Melkite Ortodoks di Syria
4)   Latin Ortodoks di Afrika Utara
5)    Arian di Spanyol
c.         Yahudi di Mesopotamia, Iran, Syria dan Mesir
d.        Samaritan di Palestina
e.         Mandaean di Mesopotamia Selatan
f.          Harranian di Mesopotamia dan Mesir
g.        Budha dan Hindu di Sind
h.        Para pengikut agama-agama suku di Afrika Timur.
D.   Kesimpulan
           Dasar epistemologis bagi multikulturalisme dalam wacana Alquran adalah “kemuliaan manusia”, yang darinya muncul seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi, yang merupakan fondasi etis bagi multikulturalisme. Sebagai konsekuensi dari penjagaan terhadap hak-hak ini muncul konsep keadilan dan kesetaraan. Karena manusia diciptakan mulia (wa laqad karramna> bani> A<dam …) dan mempunyai kesamaan kemanusiaan (min nafs wa>h}idah), maka pencederaan terhadapnya dan juga hak-haknya merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan universal tersebut. Karenanya, untuk mencapai perdamaian di antara mereka, toleransi menjadi sebuah keharusan. Untuk melakukan hal itu, maka strategi anti-diskriminas dan penghilangan prasangka negatif terhadap setiap kelompok yang berbeda—etnik, ras, budaya, dan agama—menjadi penting untuk dibentuk berdasarkan cara yang disesuaikan dengan konteks setempat.


* Disampaikan dalam Lecture Serries, yang diselenggarakan oleh Program Magister Pendidikan Islam, STAIN Datokarama Palu, 24 Februari 2012.
** Dosen STAIN Datokarama Palu
[1] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 980.
[2] Caleb Rosado, “Toward a Definition of Multiculturalism” (28 October 2006) dalam http://rosado.net/pdf/Def_of_Multiculturalism.pdf. (Akses: 21 Februari 2012).
[3] Oliver Leaman (ed), The Qur’an: An Encyclopedia (London and New York: Routledge, 2006), 13.
[4] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan, Edisi 3 (New York: Spoken Language Services, 1976), 596.
[5] Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: Harper Collins, 2002), 249
[6] Dikutip dalam Harold Coward, Pluralism in the World Religions (Oxford: Oneworld, 2000), 62-63.

Tidak ada komentar: