Selasa, 17 Juli 2012

Islam dan demokrasi: perspektif Islam liberal



ISLAM DAN DEMOKRASI: PERSPEKTIF ISLAM LIBERAL*

Rusli
Dosen STAIN Datokarama Palu
Pendahuluan
Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dalam hal suku, kelompok etnik, dan agama, tidak dapat dihindari adanya ketegangan-ketegangan baik yang tersembunyi maupun yang muncul ke permukaan. Dan ini bisa dilihat pada beberapa kerusuhan baik yang berskala lokal maupun nasional yang seringkali dimotivasi dan didasari oleh perbedaan etnik atau agama. Di dalam masyarakat Muslim sendiri, terutama dalam konteks Indonesia, tarik menarik, konflik dan ketegangan, baik secara konsep maupun praktik, terjadi antara mereka yang berpegang kepada makna literal ayat dengan spirit ayat. Kelompok pertama sering diidentikkan dengan kelompok “skripturalis,”[1] “Islam konservatif”, “Islam radikal”, “Islam militan”,[2] “Islam fundamentalis”, ataupun “Islam revivalis”.[3] Sementara yang kedua, sering disebut sebagai kelompok  “Islam substansialis” atau “Islam liberal.”[4]
Diantara isu-isu yang sering menimbulkan konflik dan ketegangan antara kedua kelompok ini adalah bentuk negara, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim. Misalnya, bentuk negara yang diinginkan kelompok “fundamentalis” adalah bentuk khilafah[5] dimana syariat Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh, misalnya hukum potong tangan, jilbabisasi, dan lain-lain. Kelompok fundamentalis juga beranggapan bahwa “demokrasi” adalah suatu bentuk sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidupan.[6] Disamping itu, demokrasi dianggap sebagai suatu bentuk kreasi manusia yang bertentangan dengan Al-Quran karena demokrasi meniscayakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan rakyatlah sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang. Padahal, dalam pandangan mereka, Islam telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syariat, bukan milik rakyat. Syariatlah yang menjadikan rujukan tertinggi segala sesuatu.[7]
Berkenaan dengan hak-hak perempuan, kelompok fundamentalis atau konservatif lebih melihat perempuan sebagai makhluk domestik yang memiliki peran lebih banyak di dalam ruang domestik daripada ruang publik. Seksualitas perempuan harus dijaga melalui “pemingitan” (seclusion) dan penutupan aurat dengan hijab atau jilbab.
Tulisan ini tidak membahas keseluruhan isu yang menimbulkan konflik dan ketegangan antara kelompok fundamentalis-konservatif dengan kelompok substansialis-liberal, tetapi hanya memfokuskan kepada bagaimana pandangan Islam liberal tentang demokrasi secara konseptual dan teoritis. Disamping itu, akan dilihat bagaimana prospek penerapan demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini.

Prinsip Dasar Substansialis atau “Liberal”
Kata “liberal” dalam berbagai kamus bahasa Inggris diartikan sebagai free from restrictions (bebas dari pembatasan-pembatasan) atau having policies or views advocating individual freedom (memiliki kebijakan dan pandangan yang mendukung kebebasan individual).[8] Tetapi dalam wacana Islam, liberalisme Islam adalah sebuah trend yang memahami Islam dengan pendekatan yang lebih menekankan kepada substansi daripada bentuk.
Dalam masyarakat, istilah ini selalu dipertentangkan dengan istilah “konservatif, “fundamentalis” atau “radikalisme.” Dalam wacana politik, “liberal” selalu dipertentangkan dengan “konservatif.” Sementara, dalam wacana pemikiran Islam, istilah “liberal” selalu dipertentangkan dengan “radikalisme” atau “fundamentalisme.”
Banyak studi yang dilakukan untuk mengamati perkembangan gerakan fundamentalisme agama di  seluruh dunia, termasuk dunia Islam, seperti tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku Fundamentalism Observed (tiga jilid). Proyek besar ini meneropong gerakan fundamentalisme dalam setiap agama, seperti Budha, Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam. Disamping itu, studi yang sama dengan menekankan analisis terhadap adanya benih-benih radikalisme atau kekerasan dalam setiap agama dilakukan oleh Mark Jurgensmeyer (2001) dalam Terror in the Mind of God.
Di sisi lain, studi tentang liberalisme dalam Islam dilakukan oleh Leonard Binder (1988) dalam bukunya Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies. Buku ini merupakan hasil dari proyek riset yang lama, berskala luas dan hasil kolaboratif di tahun 1970-an yang dilakukan oleh Binder dan Fazlur Rahman. Buku ini juga merupakan salah satu studi yang signifikan tentang liberalisme Islam.
Studi lain juga dilakukan oleh Charles Kurzman (2001) yang memberikan pengantar cukup mendalam mengenai tipologi masyarakat Islam dengan membaginya ke dalam revivalist Islam, customary Islam dan liberal Islam. Kemudian, Kurzman membagi liberal Islam ke dalam liberal shari’a (syari’ah liberal), silent shari’a (syari’ah yang diam) dan interpereted shari’a (syariah yang ditafsirkan). Setelah itu, Kurzman me-list tokoh-tokoh yang masuk ke dalam kategori Islam liberal disertai dengan ide-idenya. Diantara intelektual Muslim Indonesia yang dimasukkan oleh Kurzman sebagai liberal adalah Muhammad Natsir dan Nurcholis Madjid.
Ada beberapa karakteristik yang membedakan Islam substansial-liberal dari kelompok konservatif-fundamentalis. Seperti yang dipaparkan oleh Liddle,[9] yang pertama dan paling mendasar prinsip yang dipegang oleh kelompok substansialis adalah bahwa substansi dan isi suatu keyakinan adalah lebih penting daripada bentuk. Bertindak dan berperilaku baik secara moral dan etika dinilai lebih penting daripada hanya melaksakan ritual-ritual semata. Karena itu, seorang manager yang saleh dalam hal ibadah murni (ibadah mahdhah) tetapi memperlakukan bawahannya tidak adil, dalam pandangan ini, kurang mendapatkan penghargaan daripada manager yang tidak saleh, bahkan non-muslim, tetapi berlaku adil terhadap bawahannya.
Kedua, pesan universal Al-Quran dan Hadits, sekalipun eternal dan abadi dalam keberadaan dan pengertiannya, perlu direinterpretasi kembali oleh masing-masing generasi masyarakat dengan melihat kepada kondisi sosial yang ada pada saat itu.  Karena itu, dalam sejarah pemikiran di Indonesia, kita mengenal istilah-istilah sebagai bentuk pengejawantahan Islam sesuai dengan konteks keindonesiaan, seperti “sekularisasi”, “desakralisasi”, “reaktualisasi” dan “pribumisasi”.
Ketiga, karena sulit dan tidak mungkin bagi setiap muslim untuk memahami keinginan dan perintah Tuhan lebih baik daripada yang lainnya, maka umat Islam diharuskan toleran terhadap sesamanya dan juga di luar golongannya. Kajian ulang terhadap pemikiran Islam klasik dan tradisi-tradisi Islam di luar modernisme perlu digalakkan, termasuk juga dialog dengan fihak non-Muslim, seperti Kristen.

Islam dan Demokrasi
Istilah “demokrasi” adalah terma Barat yang terambil dari kata Yunani demos (rakyat) dan kratein (memerintah).[10] Secara etimologis, demokrasi berarti “pemerintahan oleh rakyat” (ruled by the people). Abraham Lincoln, mendefinisikan demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam definisi yang diberikan Sulaiman,[11] demokrasi adalah “partisipasi publik dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Bagi Islam liberal, demokrasi tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam yang universal, bahkan ide ini mendapatkan dukungan yang kuat dari Al-Quran dan praktik Nabi saw yang sering berkonsultasi (istisyar) dengan para sahabatnya. Al-Quran menyebutkan syura sebagai prinsip dasar yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik.[12]  Sementara secara konseptual dan prinsip, syura tidak jauh berbeda dengan demokrasi, bahkan sinonim, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam hal penerapannya yang disesuaikan dengan adat istiadat dan kebiasaan lokal.[13]
Prinsip lain yang mendasari proses demokrasi adalah persamaan (equality; musawat). Dalam negara demokrasi, semua orang adalah sama, memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Diskriminasi dalam bentuk apapun, apakah itu didasari atas perbedaan gender, status sosial, agama, keturunan, atau warna kulit, tidak dapat dibenarkan. Persamaan ini didasari oleh sebuah fitrah manusia yang diciptakan dalam keadaan mulia.[14] Sebagai sebuah agama, Islam sangat menekankan prinsip egaliter ini. Bahkan ketika datang pertama kali di Timur Tengah, tepatnya di Saudi Arabia, Islam berupaya menghilangkan segala bentuk diskriminasi, diantaranya diskriminasi yang dialami perempuan dan kaum budak.
Prinsip demokrasi lainnya adalah keadilan (justice; ‘adalah). Keadilan adalah spirit dan prinsip dasar ajaran Islam. Tanpa keadilan, maka tatanan sosial suatu masyarakat akan menjadi rapuh. Al-Quran sendiri banyak sekali menegaskan agar kita dapat berlaku adil terhadap siapa saja, sekalipun ada perbedaan atau ketidaksamaan prinsip. “Janganlah kebencian kamu terhadap kelompok lain membuat kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena sikap adil lebih dekat menujuk kepada takwa” (Al-Maidah: 8). Berkenaan dengan keadilan hukum, Rasulullah saw sendiri dalam suatu perkataannya yang terkenal mengatakan, “Banyak umat-umat terdahulu yang binasa, karena apabila orang mulia melakukan tindakan kriminal tidak dikenakan sangsi hukum. Sebaliknya apabila orang lemah melakukan tindakan tersebut, ditegakkan hukum kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah mencuri, tentu akan kupotong tangannya.”
Last but not least, kebebasan mengekspresikan aspirasi dan pendapat (freedom of speech) yang merupakan inti dari proses berdemokrasi juga mendapatkan tempat dalam ajaran Islam dan praktik sosial umat Islam. Bersikap kritis menyampaikan aspirasi adalah sesuai dengan sabda Nabi saw, “Siapapun yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya. Apabila tidak mampu, dengan perkataan. Dan apabila tidak mampu juga, maka dengan hatinya bahwa ia tidak meyukai kemungkaran tersebut. Yang demikian itulah iman yang paling lemah.” Prinsip “merubah dengan perkataan” adalah bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa agar kebijakan tersebut berpijak kepada kemaslahatan bersama.
Jadi, konsep demokrasi sebenarnya tidaklah bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang universal. Sekalipun istilah ini tidak ditemukan secara eksplisit di dalam perbendaharaan kata Islam, tetapi prinsip-prinsip yang mendasari proses demokrasi mendapatkan justifikasi dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

Prospek Demokrasi di Indonesia
Menurut laporan dari Freedom House (2001), dari 47 negara yang mayoritas beragama Islam, hanya 11 (23 persen) yang dapat dianggap benar-benar mengadopsi demokrasi dan mengalami konsolidasi demokrasi yang stabil.[15] Sementara itu, di dunia non-muslim, 110 dari 145 negara (75 persen) memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Ini mengindikasikan bahwa di negara muslim, penerapan demokrasi begitu lemah. Bahkan semakin islami suatu negara, semakin tidak demokratis. Sementara di negara-negara yang non-muslim, tingkat demokrasinya begitu tinggi dan kuat.
Tentunya laporan seperti ini sangat tidak menyenangkan bahkan menyakitkan bagi umat Islam. Mengapa mengadopsi demokrasi begitu sulit di negara-negara Muslim? Apakah Islam menjadi penghambat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi?
Azra, seperti dikutip Darmadi,[16] mengatakan ada lima alasan kenapa penerapan demokrasi begitu lemah di negara-negara Muslim. Pertama, kurangnya infrastruktur dan prasyarat yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu negara demokrasi. Apalagi tidak adanya kelas menengah yang independen yang dapat menopang infrastruktur secara kokoh dan kondusif.
Kedua, masih ada kecenderungan di kalangan sebagian umat Islam untuk mempertahankan keyakinan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Dalam konteks Indonesia, keyakinan seperti ini masih begitu kuat, terutama pada masyarakat Muslim yang berpegang kepada Islam tradisional. Dan ini termanifestasi dalam berbagai gerakan yang ingin memasukkan Islam sebagai simbol dan dasar negara, seperti diantaranya, Hizbut Tahrir, Angkatan Mujahidin Indonesia (AMIN), dan sebagainya.
Ketiga, gagalnya negara-negara Muslim untuk meng-implementasikan praktik-praktik yang demokratis, misalnya tentang pemilu demokratis. Dalam masyarakat kita, praktik money politics yang menggoyang sendi-sendi demokrasi masih tetap menjamur, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Hal ini dikarenakan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi masih begitu rendah, dan kesadaran untuk membangun etika tersebut masih begitu lemah.
Keempat, ketiadaan budaya demokratis (democratic culture) di negara-negara Muslim. Di Indonesia, misalnya, hambatan kultural yang menghambat pertumbuhan demokrasi adalah masih adanya dikotomi antara wong gedhe dan wong cilik.[17] Penguasa masih menganggap rakyat itu bodoh sementara dirinya mengaku sebagai pengayom, pemurah dan baik hati. Rakyat harus patuh, tunduk dan setia kepada pemerintah. Dalam kehidupan politik seperti itu, sulit sekali diharapkan timbulnya kualitas demokrasi yang tinggi karena sikap kritis yang menjadi “inti” berdemokrasi melemah. Terakhir, tidak berfungsinya kelompok civil society atau organisasi-organisasi non-governmental, yang melakukan kritik terhadap kekuasaan.
Apabila kita melihat prasyarat yang dibutuhkan untuk berkembangnya suatu demokrasi yang stabil dalam masyarakat kita, prospeknya tidak begitu menggembirakan. Kendati demikian, seperti dikatakan Gus Dur, umat Islam jangan bersikap pesimis. Dalam memperjuangkan demokrasi, Islam tak perlu menjadikan dirinya sebagai bendera, tetapi akidah dan prinsip-prinsip ajaran untuk proses demokratisasi tetap dipegang teguh. Kedua, perhatian tidak harus langsung diarahkan kepada kata “demokrasi”, tetapi perjuangan bisa merupakan cangkokan dari demokrasi yaitu memperjuangkan keadilan, rela berkorban, membantu tanpa pamrih, dan bekerjasama dengan siapa saja yang memiliki spirit perjuangan yang sama.[18]

Penutup
Kendati prospek penerapan demokrasi di Indonesia masih memerlukan proses perjuangan yang panjang dan melelahkan, tetapi usaha-usaha untuk itu tidak boleh dihentikan. Untuk itu, beberapa hal perlu diperhatikan dan dilakukan. Pertama, perlu diadakan sosialisasi pemahaman Islam yang lebih menekankan isi daripada bentuk. Perlu direkonstruksi kembali pemahaman kepada teks-teks keagamaan dengan lebih menekankan pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan politik masa itu. Kedua, sosialisasi demokrasi tidaklah harus menampilkan kata dan simbol demokrasi, yang terpenting adalah bagaimana cangkokan demokrasi tersebut dapat diterapkan, seperti keadilan, membantu orang lain, dan sebagainya.

Referensi
Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England: Harper Collins Publisher, 1995
Darmadi, Dadi, 2002, “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1
Engineer, Ashgar Ali, Is Islam Undemocratic? On Absence of Democracy in the Muslim World, diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm pada tanggal 25 Oktober 2001
Jansen, G.H., 1976, Militant Islam, London dan Sydney: Pan Books
Kurzman, Charles (ed), 2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Liddle, R. William, 1996, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin
Rahardjo, Dawam, 1995, “Khalifah” dalam Ulumul Qur’an, No.1, Vol. VI, Tahun 1995
Sufiyanta, Mintara, 1997, “Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2
Sulaiman, Sadek Jawad, 2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Syabab Hizbut Tahrir, “Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
Syabab Hizbut Tahrir, “Trias Politica dalam Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie, No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22




*Makalah dipresentasikan pada acara seminar “Islam dan Demokrasi” pada tanggal 15 Maret 2003 yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Datokarama Palu.
[1] R. William Liddle, 1996, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin, hal. 266-289
[2] G.H. Jansen, 1976, Militant Islam, London dan Sydney: Pan Books         
[3] Charles Kurzman (ed), 2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, hal. xvi
[4] Ibid.
[5] Khilafah adalah berasal dari kata khalf yang berarti suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, penguasa, yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Quran. Menurut ensiklopedi Islam, kata khilafah adalah “istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang sinonim dengan kata imamah yang berarti kepemimpinan.” Sementara orang yang melaksanakan fungsi khilafah disebut khalifah. (Dawam Raharjo, “Khalifah” dalam Ulumul Qur’an, No.1, Vol. IV, 1995, hal. 40-47
[6] Syabab Hizbut Tahrir, “Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
[7] Ibid., “Trias Politica dalam Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie, No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22
[8] Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England: Harper Collins Publisher, 1995, hal. 757
[9] Liddle, op.cit. hal. 268
[10] Lorens Bagus, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, hal. 154
[11] Sadek Jawad Sulaiman, 2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, op.cit., hal. 125
[12] Surat Ali Imran: 159, “…dan berkonsultasilah dengan mereka dalam segala urusan.” Surat al-Syura: 38, “Dalam berurusan dengan mereka hendaklah dilakukan musyawarah.”
[13] Ibid. hal. 128; Ashgar Ali Engineer, Is Islam Undemocratic? On Absence of Democracy in the Muslim World, diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm pada tanggal 25 Oktober 2001
[14] Surat al-Isra: 70, “Kami telah muliakan anak keturunan Adam… dan Kami lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lainnya.”; Surat al-Tin: 5, “Kami benar-benar telah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling baik.” Dalam sebuah hadts, “Tidak ada kelebihan orang Arab dengan non-Arab, kecuali dengan kualitas takwanya.”
[15] Mali di Sub-Saharan Afrika dan Bangladesh di Asia Selatan merupakan contoh negara Muslim yang telah mengadopsi demokrasi. Meskipun kedua negara tersebut berjuang untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan ekonomi, tetapi mereka mengalami konsolidasi demokrasi yang begitu stabil. Beberapa negara lain, seperti Turki, Jordania, Kuwait, Azerbaijan, Malaysia dan Indonesia, telah lama berjuang untuk mengadopsi demokrasi. Bagaimanapun, diantara negara-negara tersebut, Malaysia dan Turki-lah yang lama mengalami proses demokratisasi, meskipun mereka menghadapi gerakan-gerakan anti demokrasi.
[16] Dadi Darmadi, 2002, “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1, hal. 204
[17] Mintara Sufiyanta, 1997, “Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2, hal. 39
[18] Ibid.

Social construction of identity

SOCIAL CONSTRUCTION OF IDENTITY

Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc
Lecturer of STAIN Datokarama Palu
Jl. Diponegoro No. 23 Palu Sulawesi Tengah

Sociologists argue that identity refers to how individuals and groups define themselves and their relations to others (Kidd, 2002: 24). Many definitions begin with so-called “objective” factors given at birth, such as race, ethnicity and sex. In this view, it is argued that men will always identify as men, as well as women, Aboriginal people will always identify as Aboriginal, and so on. Identity -be it individual or collective, is not natural, permanent and fixed, although people themselves often feel they are. But it is the product of the historical processes and experiences through which individuals and groups come to see themselves, their place in the world, and their relationship with those around them (Castells, 1997: 6). As a social and cultural construct, the creation and construction of identity is influenced by factors such as beliefs, ideas, norms and practices. In addition, modernity, which is characterized by the growth of information technology, plays a powerful role in constructing identities (Kidd, 2002). In particular community, responses to modernity vary according to how traditional and modern people perceive it. For a group of people, modernity is seen as a threat for their identity, therefore, they make any effort to resist it. This may apply to fundamentalism movement in every religious community, as is available in Hindus, Christians, Jewish, Buddhist, and Muslims.

As already known, in the community where religion is one part of identity, we often find the categorization of society into traditionalist-conservative and modernist-liberal. This is particularly due to the fact that every religion has seeds of criticism and resistance. In a Christian community, for instance, there are Catholic and Protestant groups as a social response to the theology of Christianity. Amongst Hindus, we find some groups that have made every effort to maintain the faith and traditions on one hand, and those that modernize their faith as has happened in India and Bali. The same is also true of Islam. There has been a struggle between those wanting to maintain Islamic traditions and those wanting to modernize the Islamic faith. As a result, conflicts and tensions have emerged between the two opposing groups. In this paper, the writer will study how religion; that is, Islam, plays a role in the construction of Islamic identity, be it conservative and liberal. The question, then, is precisely how and why these Islamic identities are formed.

In Indonesia, it can be argued that the Muslim community can be divided into Customary Islam, Revivalist Islam and Liberal Islam. Customary Islam describes Muslims whose religiosity is still mixed with local cultures and traditions (Kurzman: 1998). In the Indonesian context, this community can be traced back to the society that use dupa (special perfumes) at night, which is perceived as “sacral”, and also visit most often shrines and “sacral” tombs on particular days. Within Geertz’s (1976) typology, this group is referred to as Islam Javanists.

Revivalist Islam refers to a group of people who hold that Islam is a comprehensive religion. As a sacred book of Muslims, Al-Quran does not ignore social, economic, and political affairs. This group strongly refuses the practices, which are perceived as contradictory to Islam. Their understanding of Islam is literalist and scripturalist (Platzdasch, 2001). They accept what is stated textually; rarely interpreting the spirit of the religious texts. They wish for the implementation of Islamic sharia totally and comprehensively (kaffah) and they believe it can be achieved if there is an Islamic state. In Indonesia, the Holy War Army or Laskar Jihad, the Defender Front of Islam or FPI (Front Pembela Islam), the Movement of Indonesian Mujahidin or AMIN (Angkatan Mujahidin Indonesia), and the Liberation Party or Hizbut Tahrir can be incorporated into this group. Some scholars refer to this movement as “fundamentalist” (Halliday, 1994). However, there are other scholars refusing the use of this term to describe the dynamics of radical movements. Esposito (1998), for instance, avoided using this term since, he argued, it was misleading because this movement is a cyclical phenomenon throughout history. Many intellectuals prefer to use terms like “Islamism” (Sayid, 1997)  or “political Islam,” (Esposito, 1998) or “militant Islam,” (Jansen, 1976) or “Islamic resurgence” (Nash, 1991) or “Islamic revival” (Piscatori, 1986).

Regarding women, this group limits women sexuality and roles. This group is strongly opposed the lifestyle offered by the West. The West and its way of life are seen as threatening Muslim women’s identiy. Women’s duty is in the private sphere such as childrearing and housework. Women sexuality is controlled by compulsory veiling or “hijab.” Women must wear headscarf or hijab as a symbol of identity, privacy and modesty. However, in some Muslim countries, Islamic veiling has cultural and political connotation as it is in Iran, Algeria, and Turkey (El-Guindi, 1996; Gole, 2000).

Liberal Islam, as Kurzman (1998: 13-18) describes, is divided into three models; the liberal sharia, the silent sharia and the interpreted sharia. The first model assumes that “the sharia itself is liberal if interpreted properly.” The liberal nature of the sharia is inherent in the Al-Quran and has been proven in history. This means that Islam provides some basic, universal principles of solutions to such global problems as democracy, human rights, gender relations, and relations of inter-religious communities, as stipulated by the Medina Charter (Mitsaq al-Madinah) at the period of the Prophet Muhammad. The silent sharia holds that “the sharia is silent on certain topics” meaning that there are certain aspects that are not discussed in detail by the sharia. This makes it possible for Muslims to adopt outside models that have to do with public domains, such as forms of state. The interpreted sharia assumes that the sharia contains divine values, but human interpretations of these values are relative. Therefore, the interpretations, which are perceived as biased and deviant from the basic principle of the Quran such as justice and equality, should be reconstructed in order that justice is achieved, particularly in the interpretation of gender relations.

Each different mainstream creates different identities. Fundamentalists or revivalists argue that to be true Muslim, he or she must behave according to the literal meaning of sharia. This group believes that Islam is the only solution to the socio-religious problems that Muslims deal with. Therefore, this group is known as radical and conservative in its religiosity and its relationship with non-Muslims as well. Liberal Islam tends to focus more on the substance of Islam than its literal meaning. Therefore, this group tends to be more moderate in its relationship with non-Muslims and open to Western knowledge and civilisation.

The reasons behind the emergence of these different identities may refer to two significant factors, internal and external. The internal factor is one that is inherent in the Islamic teaching itself, where Islam is a multi-interpretative religion. The Al-Quran, as a primary source, by nature contains multiple meanings. We can easily find in the Al-Quran references to republicanism, monarchy, democracy and authoritarianism. Human beings are just agents in understanding the purposes of the sacred texts. Since the intellectual capacities and psychological conditions of human beings are different, differences emerge in the interpretation. Some tend to understand and hold the literal meaning of the text; therefore, “literalist” or “scripturalist” groups emerge(Liddle, 1996), while others tend to look at the substance and essence of the text, so, the “liberal” or “substantialist” groups come into being.

The external factors would be, first of all, modernization and modernity. The emergence of Islamic radicalism and liberalism in Indonesia is inseparable from this modernity. They differ in responding to modernity, which comes particularly from the west.  There is no doubt that modernity brought about changes in the social structures of the society –be it negative or positive. “Radical” or “fundamentalist” (the term mostly used by the West) or “revivalist Islam” perceives modernity as destructive of Muslim morality and ethics. This is also regarded as the “Anti-God movement.” Modernity, in this group’s point of view, has led to a crisis of identity and morality among Muslims, which, in turn has caused them to become deprived and alienated. Therefore, they most often regard this era as “Jahiliyah modern” (the Modern Age of Darkness). As a result, the struggle to resist modernity surfaces in a variety of forms and at number of level  -be they personal or political.  At the individual level, there is an increase in “devotion” or santri-isation (literally ‘becoming more devout’) which is manifested in such things as increasing participation in prayer and pilgrimage, greater observance of fasting during the month of Ramadhan and payment of alms tax, growth in mystical order and in the circles of Islamic learning (halaqah) as we could find in the Mosque of Salman in the Institute of Technology Bandung or ITB, the Mosque of Arief Rachman Hakim in the University of Indonesia or UI, and other mosques around Indonesian campuses (Fealy, 2001). This heightened religiosity was also accompanied by an increased use of head covering and modest dress for women, particularly in urban areas. At the political level, there has been a significant increase in awareness of the significance of the implementation of Islamic shari’a in all aspects of life. This has generated a radical and conservative orientation. Some of devout Muslims chose, among others, the Justice Party or PK (Partai Keadilan) as their political basis, while others used radical movements to islamise public policies and establish an Islamic state. However, there are also positive responses to modernity, particularly from Muslims who were educated at western universities. They argued that Islam is not in contradiction with modernity. They were, thus, referred to as followers of Cultural Islam that is more pluralist and open to western knowledge and civilisation.

The other factor would be the increasing number of students who were sent to study not only in Mecca and Medina, but also in Cairo, particularly in the early twentieth century. Cairo with Al-Azhar University has long been known as the centre of Islamic learning. Most graduates returning home brought knowledge that was influenced by Muhammad Abduh, who was considered as a symbol for a reformed Islam (Steenbrink, 1997). These graduates, to some extent, play a role in colouring Islamic thought in Indonesia –be they conservative or moderate. In addition, many students from the Islamic boarding school, such as Gontor, were sent to study in western universities, such as Chicago, McGill, and Leiden University in the Netherlands, which is still continuing as the Netherlands-Indonesian Cooperation in Islamic Studies (INIS) (Steenbrink, 1997). These graduates including, among others, Nurcholis Madjid (Chicago) and Amien Rais (Chicago), are known as the figures who have presented a more humanist and pluralist Islam, and who are concerned with human rights issues and fiercely criticize the government (Aditjondro, 1997). Therefore, in the history of Islamic discourse, they are regarded as Substantialists or Liberal Islam.
Conclusion
Identity, which refers to how individuals or a group of people define themselves in relation with others, is not natural, fixed and eternal. Rather it is a social and cultural product. The creation of identity is inseparable from ideas, beliefs, norms and other factors, such as technology, media, and so on. Religion as a collection of norms and ideas play a role in constructing identity. In Indonesia, Islam as a collection of norms and ideas contributes to the creation of traditional-conservative (radicalism) and moderate-liberal.

The reasons behind the emergence of radicalism and liberalism in Islam may be the Islamic teaching itself that is multi-interpretive. There is no single interpretation in Islam. Therefore, it is inevitable that “scripturalist” and “substantialist” trends emerge. The different responses to modernity and the growth of santri studying in Mecca, Medina and Egypt, on the one hand, and in such western locations as Chicago, Canada and Netherlands, on the other hand, are also other significant factors that have contributed to the emergence of radicalism and liberalism in Indonesian Islam.

Bibliography

Aditjondro, G. A. (1997), “How Muslims will say ‘No,” Inside Indonesia, No. 52, October-December 1997
Castells, M. (1996), The Power of Identity, Oxford: Blackwell
Esposito, J. L. (1988), Islam: the Straight Path, New York and Oxford: Oxford University Press
Fealy, G. (2001), “Islamic Politics: A Rising or Declining Force,” Indonesia: The Uncertain Transition,” Kingsbury, D. and Budiman, A. (eds), Adelaide: Crawford House
Halliday, F. (1994), “The Politics of Islamic Fundamentalism: Iran, Tunisia, and the Challenge to the Secular State,” in Ahmed, A.A. and Donnan, Hastings (eds), Islam, Globalization and Postmodernity, London and New York: Routledge
Jansen, G.H. (1976), Militant Islam, London & Sydney: Pan Books
Kidd, W. (2002), Culture and Identity,
Kurzman, C. (1998), Liberal Islam: A Source Book, New York and Oxford: Oxford University Press
Liddle, R. W. (1996), Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin
Nash, M. (1991), “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia” in Fundamentalism Observed, Marty, M.E. and Appleby, R.S. (eds), Chicago and London: the University of Chicago Press
Piscatori, J. P. (1986), “The Nature of Islamic Revival” in Islam in a World of Nation-States, New York: Cambridge University Press,
Platzdasch, B. (2001), “Radical or Reformist? How Islamic will the new movements make Indonesia,” Inside Indonesia, Oct-Dec 2001
Sayyid, B. S. (1997), A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, London and New York: Zed Books
Steenbrink, K. (1997), “Itinerant Scholars,” Inside Indonesia, No. 52, October-December 1997



Teologi Bumi


MEMBANGUN TEOLOGI BUMI

Rusli
Dosen STAIN Datokarama Palu

Berbagai tragedi terhadap bumi tentunya menuntut perhatian yang serius dari kita semua, tidak hanya dari pihak aktivis lingkungan, namun juga dari kalangan agamawan. Kita mengenal banyak nilai agama dan kearifan tradisional yang bisa menjadi bahan dan kerangka epistemologis bagi pengembangan pemahaman yang bersahabat terhadap bumi. Dan kita juga sadar bahwa tindakan seseorang, entah itu persahabatan atau kekerasan terhadap bumi, salah satunya dimotori dari pemahamannya terhadap bumi. Di sini, tentunya peran agama menemukan momentumnya.
Sebagaimana halnya agama-agama di dunia, Islam, yang berpijak pada kitab suci Alquran dan praktik-praktik kenabian, juga membahas pula isu-isu fundamental tentang tujuan penciptaan bumi dan bagaimana seharusnya manusia berperilaku terhadap bumi. Kata bumi atau (Arab: ardh) disebut berulang kali di dalam Alquran sebanyak 462 kali. Ini menggambarkan betapa vitalnya konsep ini dalam Islam. Dalam Alquran, bumi digambarkan sebagai sebagai mahd (QS. al-Zukhruf [43]: 10), mustaqarr atau qarâr (QS. al-Mu’min [40]: 64), firâsy (QS. al-Baqarah [2]: 22), bisâth (QS. Nuh [71]: 19) dan mihâd (QS. al-Naba’ [78]: 6).
Dari berbagai jumlah ayat ini, dapat ditarik beberapa pernyataan. Pertama, tanah bukanlah objek pemilikan. Tanah dimiliki Tuhan, dan bahwa hanya Ia satu-satunya pemilik tanah, beserta semua yang ada di atasnya. Bumi adalah ciptaan Tuhan yang mesti dikelola secara benar. Tidak satu pun manusia yang berhak mengklaim memiliki bumi sejengkal pun karena bumi ini adalah milik-Nya. Untuk itu, manusia tidak boleh arogan ketika memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam arti berbuat semaunya, seperti mengeksploitasi tanpa memikirkan pelbagai akibatnya, mencemari alam dan lingkungan dengan polusi yang bisa merusak bumi.
Kedua, bumi tampil sebagai substratum kehidupan: tanaman, hewan, burung dan manusia. Tanah yang hijau adalah ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. Gambaran tentang warna hijau adalah gambaran kesuburan, dan segala yang positif, konstruktif dalam hidup manusia. Tanah yang hijau adalah tanah yang indah. Keindahan adalah penjelmaan Tuhan. Tanah hijau nan subur itu terjadi bila air jatuh ke bumi. Setiap produksi baru mustahil tanpa adanya hubungan kedua unsur ini. Air juga muncul dari dalam tanah itu sendiri, yang kemudian menjadi makanan dan penyubur tanaman. Tanaman tidak akan muncul tanpa adanya campuran dari air dan tanah dengan ukuran yang harmonis. Artinya, jika airnya lebih banyak, atau sebaliknya kurang, maka tanah tidak akan menghasilkan tanaman. Di atas tanah yang hidup, terdapat pula berbagai jenis binatang, yang sebagaimana tanaman, diperuntukkan untuk kemaslahatan manusia dengan hubungan saling melestarikan dan menghargai (mutual-respect). Jadi, dapat dikatakan bahwa tanah merupakan medan keanekaragaman ciptaan yang seharusnya hidup atau eksis berdampingan dan saling menghargai dengan dasar ketulusan dan persahabatan.
Berikutnya, bumi dilukiskan sebagai keluasan yang lurus, panjang, empuk, luas, lebar untuk manusia guna berjalan dan tinggal di atasnya. Ibaratnya bumi merupakan ibu pertama kita. Di atasnya kita hidup dan dibesarkan. Dari anugerah yang ditumbuhkan bumi kita makan. Oleh karena itu, bumi mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh kita, lantaran bumi merupakan padang tindakan manusia untuk memenuhi kebaktiannya dan melaksanakan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Di antara hak-hal tersebut adalah untuk tidak membiarkan bumi begitu saja, namun sebaliknya harus dihijaukan dan dijadikan produktif, bukan dibiarkan begitu saja.
Dari pentingnya bumi dan pengelolaan atasnya, maka muncullah berbagai konsep dalam fikih Islam yang memberikan perhatian pada kesucian dan pentingnya penyuburan terhadap bumi, di antaranya, ihya’ al-mawat (menghidupkan lahan yang tidak produktif) dan hima (lahan konservasi). Rasulullah Saw menyatakan bahwa “Siapa pun yang menghidupkan tanah yang tidak produktif, maka ia berhak untuk memilikinya.” Namun, dalam kepemilikan tersebut untuk konteks sekarang ini, tentunya perlu adanya intervensi pemerintah. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menghindarkan terjadinya konflik dan sengketa yang tidak diinginkan. Selain itu, Islam juga mengembangkan konsep yang disebut hima (lahan konservasi), yang sekarang ini mungkin bisa disamakan dengan cagar alam, suaka margasatwa, atau taman nasional. Dalam konsep ini tersirat sebuah tujuan agar ekosistem bisa terpelihara dan terlindungi. Karena, kepunahan dan bahaya yang mengancam ekosistem bisa mengancam eksistensi kehidupan manusia yang lain. Dengan kata lain, tampaknya Islam ingin menggambarkan bahwa kehidupan ini ibarat sebuah tubuh manusia. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengalami gangguan, maka akan mempengaruhi anggota tubuh lainnya secara keseluruhan. Untuk itu, bumi hendaknya dan seharusnya tidak disakiti. Karena, ketika itu terjadi, maka ia akan mempengaruhi secara negatif terhadap kehidupan kita dan juga makhluk yang lainnya secara keseluruhan.

* Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Silo (Yayasan Merah Putih, Sulawesi Tengah), Vol. 20 Edisi 30/Tahun III, 2008: 30.