AL-JUWAYNĪ DAN KONSEP MAQASID AL-SHARĪ‘AH
TELAAH KITAB AL-BURHAN FĪ USŪL AL-FIQH
Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc
Abstract:
This paper deals with the brief description of al-Burhan fi Usul al-Fiqh, a book of islamic legal theories written by Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī, a par excellent Shafi‘ī jurist. The article proves that details of principles of Islamic jurisprudence covered within this book, references of usūl used proimembuktikan bahwa beberapa uraian pemaparannya tentang teori hukum, rujukan kitab yang digunakannya, dan juga tokoh-tokoh penting yang dikutipnya memasukkan buku ini ke dalam kategori tarīqat al-mutakallimīn, yang bersifat teoritis murni, tidak fanatik terhadap mazhabnya, dan juga kaidah-kaidah usūl tidak digunakan untuk menjustifikasi furū‘. Besides, it also deals with his idea of maqasid al-sharī‘ah (the purposes of law), which is pioneer in yang teori ini menjadi awal bagi elaborasi teori maqasid berikutnya.
Key words: al-Burhan, corak mutakallimīn, maqasid al-sharī‘ah
I. Pendahuluan
Mazhab Shafi‘ī abad kelima telah melahirkan dari rahimnya anak-anak yang luar biasa, yang salah satu dari mereka adalah Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī, seorang faqīh berkaliber tinggi yang terkenal dengan sebutan “Imam al-Haramayn” [Iman dua Masjid Suci di Mekkah dan Madinah]. Kemunculannya menghembuskan angin segar dalam tradisi intelektual Islam dan juga dalam percaturan wacana usūl al-fiqh, karena ia menghadirkan sebuah karya usūl al-fiqh orisinil yang berbeda dari corak penulisan kitab-kitab usūl al-fiqh sebelumnya.
Bagaimana tokoh fenomenal ini sampai kepada tingkat keilmuan yang matang, sehingga bisa mencapai satu prestasi gemilang dalam berbagai bidang keilmuan dalam Islam, terutama dalam bidang usūl al-fiqh, yang tercermin pada salah satu karyanya yang orisinil, yaitu al-Burhan fī Usūl al-Fiqh. Tulisan ini tidak berpretensi membahas pikiran utuh tokoh ini dalam bidang usūl al-fiqh, namun hanya mengulas secara sederhana sekelumit bagian yang dianggap “penting” dalam buku itu, yaitu konsep maqasid al-sharī‘ah. Namun sebelumnya, akan diulas secara singkat biografi tokoh ini.
II. Al-Juwaynī: Tokoh Shafi‘ī Par excellence
A. Sketsa biografis
Nama lengkap tokoh Shafi‘iyah yang fenomenal ini adalah Imam Abū al-Ma‘alī ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd Allah ibn Yūsuf Ibn Muhammad al-Juwaynī al-Nīsabūrī, seorang keturunan Arab dari Bani Ta‘i al-Sanbasi. Ia dilahirkan pada tahun 419/999, di Persia, tepatnya di Busytanikan, yaitu sebuah desa yang merupakan tempat rekreasi yang berhawa sejuk.
Pendidikan awalnya dimulai di lingkungan rumahnya sendiri dengan belajar kepada ayahnya sendiri berbagai disiplin ilmu keislaman seperti Alquran, bahasa Arab, hadis, fiqih, usūl, dan ilmu perbedaan pendapat (‘ilm al-khilaf). Dalam usia yang relatif muda, ia telah hapal Alquran dan menguasai beberapa ilmu keislaman lain. Kecerdasan dan sikap kritisnya memang sudah muncul ketika ia masih muda.
Ketika ayah al-Juwaynī wafat pada tahun 438 H, ia menggantikannya mengajar di majelis ilmu milik ayahnya, dan kala itu usianya belum genap 20 tahun. Meskipun sudah menjadi pengajar, ia masih tetap haus mencari ilmu. Ia belajar fikih Shafi‘ī dan teologi Ash‘arī dari Abū al-Qasim al-Iskaf al-Isfarayinī. Ia belajar ilmu Alquran kepada Abū ‘Abd Allah al-Khabbazī. Ia belajar hadis pertama-tama dari bapaknya, kemudian dari Abū Hassan Muhammad ibn Ahmad al-Muzakkī, Abū Sa‘d ‘Abd al-Rahman ibn Hamdan al-Nasrawī, Abū ‘Abd Allah Muhammad ibn Ibrahīm ibn Yahya al-Muzakki, Abū Sa‘d ‘Abd al-Rahman ibn al-Hasan ibn ‘Aliyyak, Abū ‘Abd al-Rahman Muhammad ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Nīlī, Abū Nu‘aym al-Asbahanī, dan lainnya.
Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (sekitar tahun 443 H dan 447 H), al-Juwaynī pergi meninggalkan Nisabur menuju Mu‘askar, Isfahan, Baghdad, Hijaz, dan yang terakhir Mekkah. Di Baghdad ia belajar kepada Muhammad al-Jawharī, dan di sana pula ia menelaah buku-buku al-Baqilanī tentang teologi. Di Isfahan, ia belajar kepada Abū al-Nu‘aym al-Isfahanī. Ketika berusia duapuluh tahun, kira-kira pada tahun 450 H, ia pergi ke Hijaz. Ia menetap di Mekkah dan Madinah selama empat tahun, yang di kedua wilayah ini ia sibuk mengajar, memberikan fatwa dan mengarang. Karena aktivitasnya itu, ia diberi julukan “Imam al-Haramayn” (Imam dua tempat suci, yaitu di Masjid al-Haram dan al-Masjid al-Nabawī).
Setelah itu, pada tahun 455/1063, Abū al-Ma‘alī kembali ke tanah airnya di Nisabur, dan mengajar selama kira-kira tigapuluh tahun di Madrasah al-Nizamiyyah, sekolah terbesar di Nisabur di wilayah Persia Utara yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazīr yang bermazhab Ash‘arī dan Shafi‘ī. Di sini ia menjadi anak emasnya Nizam al-Mulk, dan mempunyai pengaruh yang luar biasa kepada banyak orang, dan selalu berpidato menyentuh dan menyayat hati. Ia telah memperkaya budaya Islam dan penelitian dengan sejumlah besar buku berjilid-jilid tebalnya yang ia kumpulkan dan karang sendiri, dan karya-karyanya itu meliputi beberapa bidang keilmuan dalam Islam. Berikut ini akan dipaparkan beberapa karya ilmiahnya tersebut:
Usūl al-Fiqh:
1. Al-Burhan fī Usūl al-Fiqh
2. Al-Irshad fī Usūl al-Fiqh
3. Al-Waraqat
4. Al-Mujtahidūn
Kalam:
1. Al-Irshad fī Qawati‘ al-Adillah wa Usūl al-I‘tiqad
2. Shifa‘ al-‘Alīl fī Bayan ma Waqa‘a fī al-Tawrat wa al-Injīl min al-Tabdīl
3. Luma‘ al-Adillah fī Qawati‘ ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah.
4. Masa’il al-Imam ‘Abd al-Haqq al-Siqalī wa Ajwibatuha li al-Imam Abū al-Ma‘alī.
5. Al-Talkhīs fī al-Usūl
6. Al-Shamil fī Usūl al-Dīn
7. Al-‘Aqīdah al-Nizamiyyah fī al-Arkan al-Islamiyyah
8. Mukhtasar al-Irshad li al-Baqilanī Ikhtasarahu Imam al-Haramayn
9. Ghiyath al-Umam fī Iltiyath al-Zulam (tentang politik).
Fiqh
1. Nihayat al-Matlab fī Dirayat al-Madhhab
2. Munazarah fī al-Ijtihad fī al-Qiblah
3. Zawaj al-Bikr
4. Al-Silsilah fī Ma‘rifat al-Qawlayn wa al-Wajhayn ‘ala Madhhab al-Shafi‘ī
5. Risalah fī al-Fiqh
6. Risalah fī al-Taqlīd wa al-Ijtihad
Ilmu perbedaan mazhab (‘ilm al-khilaf)
1. Al-Durrah al-Mudī’ah fī ma Waqa‘a min Khilaf Bayn al-Shafi‘iyyah wa al-Hanafiyyah
2. Ghunyat al-Mustarshidīn fī al-Khilaf
Ilmu perdebatan (‘ilm al-jadal): Kitab al-Kafiyah fī al-Jadal
Psikologi: Kitab al-Nafs
Retorika: Dīwan Khutabihi al-Minbariyyah
Nasihat: Qasīdah yang berisi wasiat buat anak-anaknya.
Karena pengetahuannya yang komprehensif dalam bidang keilmuan serta kemuliaan karakter dan kepribadiannya, maka banyak orang yang ingin belajar darinya. Jumlah murid-muridnya melebihi 400 orang, termasuk nama-nama brilian dan terkenal di dunia Islam, seperti al-Gazzalī, al-Farawī, al-Suhamī dan al-Masjidī. Imam al-Haramayn al-Juwaynī meninggal pada hari Selasa, malam Rabu, tanggal 25 Rabī‘ul Akhīr 478 H, atau bertepatan dengan tanggal 20 Agustus 1085.
B. Kedudukan keilmuan dan posisi ideologis
Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī adalah seorang ulama ensikplodis. Ia menguasai hampir semua bangunan keilmuan Islam. Dalam bidang teologi spekulatif atau kalam, ia dimasukkan sebagai seorang pembela aliran kalam Ash‘arī yang tangguh dan setia, meskipun dalam sebagian hal ia kerapkali berbeda dari al-Ash‘arī. Meskipun demikian, sebagian dari pikiran kalamnya membuktikan bahwa ia adalah seorang penganut teologi Ash‘arī yang setia.
Misalnya, pernyataannya bahwa ada sebagian bentuk pengetahuan yang ada pada manusia seperti kita ini, namun pengetahuan itu sendiri sangat bergantung dan harus dibedakan dari jenis pengetahuan yang dimiliki Tuhan. Meskipun Tuhan bukanlah fisik dan bukan pula sesuatu yang berada dalam ruang dan waktu, namun ia mungkin bisa dilihat nanti pada hari akhir. Tuhan sepenuhnya bebas, bertindak tanpa alasan selain yang Ia sendiri berikan. Tidak penting hubungan sebab-akibat, dan kemungkinan terjadinya mukjizat didasari pada fakta bahwa tidak ada yang pasti tentang alam. Tuhan bukan hanya pencipta alam ini, dalam pengertian ia merupakan penyebab pertama, namun juga merupakan agen yang menjadi sebab bagi keberadaannya yang terus berkelanjutan. Keberadaan dunia dalam setiap keadaan bergantung pada kehendak Tuhan. Tuhan satu-satunya pencipta, dan bahkan tindakan-tindakan kita sesungguhnya bukan berasal dari kita, namun diperoleh dari Tuhan.
Bagi al-Juwaynī, rute menuju pemahaman Alquran adalah melalui pendasaran yang mendalam pada bahasa Arab. Al-Juwaynī membedakan antara jenis-jenis teks yang berbeda. Sebagian ayat bersifat jelas, sebagiannya bersifat akurat, sebagian yang lain tersembunyi, dan sebagian yang lain bersifat samar. Ayat-ayat yang jelas tersebut tidak mengubah maknanya, apa pun konteksnya. Ayat-ayat yang akurat memiliki makna yang jelas-jelas berhubungan dengan keadaan-keadaan khusus yang dideskripsikan ayat itu dan tidak ada kesulitan memahaminya. Ayat-ayat yang tersembunyi memiliki dua jenis makna, satu yang membutuhkan penafsiran oleh Nabi dan para pengikutnya, atau yang bisa dijelaskan oleh sekumpulan pembaca yang benar-benar memahami kesulitan-kesulitan yang ada di hadapannya. Ayat-ayat yang sama membutuhkan takwil atau penafsiran analogis, yang berdasarkan itu makna yang benar akan keluar dengan saksama dari bentuk-bentuk aktual kata-kata yang digunakan. Bentuk penafsiran ini seharusnya hanya digunakan sebagai jalan terakhir, dan itu penuh bahaya dalam arti ia bisa mengantarkan kepada pendekatan yang longgar dan tidak ketat kepada pemahaman makna kitab suci. Al-Juwaynī menyajikan karyanya dalam sistem tafsiran yang sangat teratur yang didisain untuk membuat kitab suci bisa diakses, namun dibatasi dalam batasan-batasan teologis tertentu.
Selain itu, al-Juwainī merupakan pembela setia pandangan Ash‘arī tentang dasar penilaian nilai, yang sepenuhnya skriptural. Apa yang baik adalah apa yang dikatakan baik dalam kitab suci, dan apa yang buruk adalah apa yang dicela kitab suci. Dan tidak ada dasar lain bagi penilaian tersebut. Upaya apa pun untuk menemukan dasar yang rasional adalah cacat, dapat diasumsikan bahwa yang ada dalam benak al-Juwaynī saat itu adalah kelompok Mu‘tazilah. Ia menyatakan bahwa kelompok ini dalam pandangannya bahwa ada kebenaran-kebenaran moral rasional yang mendasar, maka jika ini seperti itu maka tidak akan ada kemungkinan ketidaksepakatan moral yang meluas, sesuatu yang sangat jelas muncul. Begitu pula, gagasan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang partikular itu benar atau salah adalah sulit untuk dibangun, mengingat kita sering mendasari penilaian kita di sini pada konteks-konteks yang melingkupi tindakan-tindakan tersebut dan watak pelaku yang tepat. Misalnya, seorang dewasa dan anak-anak mungkin melakukan tindakan yang sama; tindakan dari yang pertama mungkin disebut jahat, namun ini tidak tepat bagi pendeskripsian tindakan anak-anak.
Dalam bidang fiqih, ia menganut paham Shafi‘ī, meskipun dalam tulisan-tulisan tentang usūl al-fiqh, terutama dalam kitab yang akan diulas ini, ia tampak berbeda dari doktrin usūl al-fiqh Shafi‘ī dan memasukkan gagasan-gagasan baru yang membangkitkan oposisi beberapa abad kemudian. ‘Abd al-Azīm al-Dīb mengumpulkan ada 25 perbedaan pendapat antara al-Juwaynī dengan Imam al-Shafi‘ī, seperti di antaranya tentang tingkatan bayan (mujmal dan mubayyan), makna lafal wawu al-‘atf (“dan” sebagai kata penghubung), lafal amr (perintah) dan konsekuensi-konsekuensinya, mafhūm, shara‘ man qablana (syariat sebelum Islam), hukum beramal dengan hadis mursal, ijma‘ dan kehujahannya, hukuman mati terhadap orang yang meninggalkan shalat, hukum tentang orang yang dipaksa untuk membunuh, hubungan naskh antara ayat dan hadis, serta hukuman bagi orang yang makan dan minum dengan sengaja di siang hari pada bulan Ramadan.
Al-Subkī, seperti dikutip Hallaq, memasukkan al-Juwaynī ke dalam tingkatan mujtahid fī al-madhhab dan mengedepankan beliau daripada pendahulu-pendahulunya dalam penguasaan usūl dan furū‘. Al-Subkī menjelaskan kesulitan khusus dan keunikan kitab al-Burhan sebagai kitab teori hukum yang, tidak seperti yang lainnya dalam bidang itu, tidak didiktasi oleh doktrin-doktrin dari otoritas sebelumnya, dan ia juga tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dari doktrin Shafi‘ī, namun sebaliknya oleh penalaran dan ijtihadnya sendiri. Pernyataan terakhir ini, menurut Hallaq, seharusnya menjadikan al-Juwaynī sebagai seorang mujtahid mutlaq (mujtahid independen) karena ia menyusun suatu sistem hukum independen yang tampak berbeda dari mazhab Shafi‘ī, setidaknya seperti yang dilakukan al-Tabarī. Oleh karena itu, pernyataan al-Subkī bahwa al-Juwaynī adalah seorang faqīh yang orisinil dan pernyataannya bahwa ia telah mencapai status mujtahid fī al-madhhab adalah saling bertentangan, karena sering dikatakan bahwa mujtahid fī al-madhhab mesti tidak melampaui batasan-batasan mazhabnya. Namun kata Abū al-Fida’, al-Juwaynī memang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlaq karena dirinya memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan itu, namun akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan posisi itu dan mengikuti al-Shafi‘ī.
Jadi, dari bukti-bukti di atas, tampak jelas bahwa kedua aliran yang dijadikan anutan oleh al-Juwaynī adalah Ash‘arī dalam bidang kalam dan Shafi‘ī dalam bidang fiqih, meskipun dalam kedua bidang itu, ia banyak berbeda dengan pandangan-pandangan para pendirinya. Dan kedua aliran ini dalam realitas sejarahnya berhutang banyak kepada al-Juwaynī yang dengan kapasitas intelektualnya yang par excellence menjadi pembela dan mercusuar bagi aliran Ash‘arī-Shafi‘ī.
III. Al-Burhan fī Usūl al-Fiqh: Kombinasi Kalam dan Usūl
Dalam tradisi intelektual usūl al-fiqh, kitab al-Burhan menempati posisi yang signifikan, karena ia merupakan kitab orisinil tentang teori hukum yang disusun oleh al-Juwaynī tanpa didiktasi oleh otoritas-otoritas sebelumnya, dan juga tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dari doktrin Shafi‘ī, mazhab yang dianutnya.
Menurut Ibn Khaldūn, “Di antara kitab terbaik yang disusun oleh mutakallimūn adalah kitab al-Burhan karya al-Juwaynī dan al-Mustasfa karya al-Ghazzalī, dan keduanya dari aliran kalam Ash‘ariyyah, serta kitab al-‘Ahd karya ‘Abd al-Jabbar dan syarah-nya al-Mu‘tamad karya Abū al-Husayn al-Bisrī, dan keduanya dari aliran kalam Mu‘tazilah. Empat buku ini merupakan fondasi dan dasar bagi ilmu ini …”
Seorang penyusun biografi ulama-ulama al-Shafi‘iyyah, Taj al-Dīn al-Subkī, mengatakan bahwa kitab al-Burhan yang disusun oleh al-Juwaynī ini berada pada metode dan gaya yang unik yang belum diikuti dan dicontoh oleh seorang pun. Dan kitab ini merupakan salah satu kebanggaan mazhab Shafi‘ī.
A. Garis besar isi kitab
Kitab al-Burhan terdiri dari delapan pembahasan yang berbeda jumlah halamannya: (1) al-bayan; (2) al-ijma‘; (3) al-qiyas; (4) al-istidlal; (5) al-tarjīhat; (6) al-naskh; (7) ijtihad (lampiran kitab al-Burhan); (8) al-fatwa. Untuk lebih lengkapnya, akan dipapakan keterangannya sebagai berikut:
Kitab pertama: al-Bayan: Alquran dan Sunnah
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling panjang yang dicurahkan oleh al-Juwaynī dalam kitab ini. Dan pembahasan ini dipengaruhi oleh bayang-bayang kitab al-Risalah karya Imam al-Shafi‘ī. Pembicaraan tentang bayan dibagi ke dalam tiga bahasan:
Esensi bayan dan perbedaannya.
Tingkatan-tingkatan bayan.
Penangguhan bayan dari tempat asal-mula lafaz kepada waktu dibutuhkan.
Istilah bayan oleh al-Juwaynī dipahami sebagai dalīl. Kata al-Juwaynī:
Pendapat saya adalah bahwa bayan adalah dalīl, dan ia terbagi ke dalam ‘aqlī dan sam‘ī. Dalil ‘aqlī tepatnya tidak ada hirarki di dalamnya dalam kaitan dengan kejelasan dan ketidakjelasannya. Ia hanya berbeda dari dua aspek yang diberikannya dalam varitasnya (jumlah) dan dalam kebutuhannya pada tambahan pemikiran dan refleksi. Sedangkan dalil sam‘ī sandarannya adalah mukjizat dan adanya pengetahuan tentang perkataan yang benar dari Allah Swt. Karenanya, segala sesuatu yang lebih dekat kepada mukjizat, maka lebih utama untuk didahulukan, dan sesuatu yang jauh dari tingkatan itu dibelakangkan ..”
Bayan, yang dirujukkan kepada Alquran dan Sunnah dengan alasan karena keduanya menurut al-Juwaynī mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sama-sama dari sisi Allah Swt, terbagi ke dalam pembahasan berikut:
1. Al-Awamir (perintah)
2. Al-Nawahī (larangan)
3. Al-‘Umūm wa al-khusūs
4. Af‘al al-rasūl (perbuatan rasul)
5. Al-Ta‘alluq bi-shara’i‘ al-madiyyīn (keterkaitan dengan syariat-syariat agama yang lalu).
Kitab kedua: Ijma‘
Dalam bagian ini, al-Juwaynī membagi isu ijma‘ ke dalam tiga permasalahan:
Gambaran terjadinya ijma‘.
Ijma‘ keadaannya sebagai hujjah dan perbedaan di dalamnya.
Metode-metode yang menunjuk kepada keadaan ijma‘ sebagai hujjah.
Tema-tema dalam pembahasan ini dibagi ke dalam empat bidang:
1. Karakteristik orang-orang yang melakukan ijma‘ dan jumlahnya.
2. Waktu yang dianggap terjadinya ijma‘.
3. Aspek terjadinya ijma‘.
4. Hal yang menjadi sasaran terjadinya ijma‘.
Masalah-masalah yang terpisah-pisah dalam ijma‘:
1. Ijma‘ pada umat-umat sebelumnya.
2. Pendapat Malik tentang praktik penduduk Madinah.
3. Ijma‘ al-tabi‘īn.
4. Jumlah yang dianggap bilangan ahli ijma‘.
5. Tentang hal yang seandainya para penduduk suatu kota ber-ijma‘, kemudian datang suatu kejadian dan mereka menyalahinya.
Kitab ketiga: Qiyas
Dalam bagian ini, pembahasan mencakup tema-tema pembahasan sebagai berikut:
Esensi qiyas dan perbedaan dalam masalah itu.
Pembagian-pembagain pandangan shar‘ī (nass)
Pembagian-pembagian ‘illat dan asl
Pengecualian-pengecualian dan pembagiannya
Kitab keempat: Istidlal (pencarian dalil)
Dalam bab ini dibahas tentang
Pengertian istidlal dan perbedaannya tentang isu itu.
Kaidah tentang sesuatu yang bisa diterapkan istidlal padanya.
Pengecualian-pengecualian terhadap istidlal.
Keberlanjutan suatu keadaan sebelumnya (Istishab al-hal)
Kitab kelima: Tarjīh
Dalam bab ini dibahas tentang makna tarjīh dan ta‘arud, pertentangan antara yang zahir, pen-tarjīh-an qiyas, dan naskh (penghapusan)
Kitab keenam: Ijtihad
Dimulai dengan pembahasan tentang pembenaran bagi dua orang yang berijtihad (taswīb al-mujtahidayn). Kemudian diikuti dengan dua permasalahan:
Hakikat apa yang diinginkan buat mujtahid
Mujtahid dalam kasus jika ia berijtihad dan mengamalkannya, kemudian jelas baginya bahwa ia salah berdasarkan ketentuan nass.
Kitab ketujuh: Fatwa
Dalam bagian ini dibahas tema-tema sebagai berikut:
Karakateristik seorang mufti
Hakikat taklid
Lemahnya syariat-syariat sebelum Islam,
Ijtihad Sahabah
Terjadinya ijtihad Nabi
Hukum berpegang pada perkataan Sahabah
B. Karakteristik Kitab
Menurut ‘Abd al-Azīm al-Dīb, kitab al-Burhan termasuk salah satu kitab terpenting dalam sejarah perkembangan usūl al-fiqh, bahkan dalam sejarah pemikiran Islam pada umumnya. Keistimimewaannya adalah bahwa buku ini mengungkapkan berbagai pendapat ulama usūl al-fiqh yang hidup sebelum al-Juwaynī. Banyak karya usūl al-fiqh dari ulama sebelumnya yang tidak dijumpai lagi, tetapi sebagian pendapat mereka diungkapkan al-Juwaynī dalam kitabnya tersebut. Misalnya, pokok-pokok pikiran Abū Bakr al-Baqilanī (w. 403/1013), Ibn Fawruk, al-Qadī ‘Abd al-Jabbar, dan Abū ‘Alī al-Juba‘ī.
Jika kitab al-Waraqat karya al-Juwaynī mengamati aspek-aspek kesesuaian antara aliran-aliran kalam dan mazhab-mazhab fiqih di seputar kaidah-kaidah dan usūl dalam bentuk yang kuat, maka kitab al-Burhan melakukan hal sebaliknya. Ia mengelaborasi secara rinci dan panjang aspek-aspek perbedaan lebih banyak ketimbang aspek kesesuaiannya. Ia menggunakan dalil untuk mengurai perbedaan antara aliran-aliran kalam dan mazhab-mazhab fiqih, karena dalil adalah media perbedaan, dan bukan perbedaan sebagai media untuk menghilangkan dalil. Tampak adanya keterkaitan yang kuat antara ilmu usūl al-fiqh dan ilmu usūl al-dīn.
Kitab ini mempunyai prinsip-prinsip tertulisnya. Ia tidak hanya merujuk kepada kitab itu sendiri, namun juga merujuk kepada karya-karya al-Juwaynī yang lainnya, yang ini menunjukkan kesatuan proyeknya. Bahkan, ia juga menyebut dan merujuk kepada kitab-kitab usūl al-fiqh dan kalam sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan 1.
Bagan 1. Kitab-kitab yang dirujuk al-Juwaynī
No Pengarang Nama kitab
1. Al-Juwaynī Al-Asalīb; al-Istiqsa’; al-Takfīr wa al-Tabarru’; al-‘Imad; al-Ghiyathī, al-Nazar fī al-Kalam.
2. Al-Baqilanī al-Intisar fī ‘Ulūm al-Qur’an; al-Ta’wilat; al-Taqrīb
3. Al-Qadī ‘Abd al-Jabbar Sharh al-‘Amad; al-Mughnī
4. Al-Ash‘arī Jawab al-Masa’il al-Basriyyah
5. Al-Shafi‘ī Al-Risalah
6. Ibn Janī Sirr Sana‘at al-A‘rab
7. Ibn Fawruk Majmū‘at Ibn Fawruk
8. Al-Juba’ī al-Hadhaliyyīn Dawawīn al-Hadhaliyyīn, al-Abwab
Sumber: Hasan Hanafī, Min al-Nass ila al-Waqi‘, 124
Dan yang menunjukkan keterkaitan antara kedua disiplin ilmu ini secara bersama-sama adalah nama-nama dari kalangan mutakallimīn dan fuqaha'. Untuk lebih jelasnya lihat daftar berikut:
Bagan 2. Daftar nama-nama yang muncul dalam kitab al-Burhan menurut urutan frekuensinya
No. Nama Kutipan No Nama Kutipan
1. Al-Baqilanī 159 30. Al-Sayrafī 3
2. Abū Hanīfah 52 31. ‘Abd al-Rahman b. ‘Awf 3
3. Al-Isfirayinī 35 32. ‘Īsa ‘alayhis salam 3
4. Malik b. Anas 32 33. Ghaylan 3
5. ‘Umar b. al-Khattab 18 34. Ahmad b. Hanbal 3
6. Al-Ash‘arī 17 35. Usamah b. Zayd 2
7. Abū al-Hashim al-Juba’ī 16 36. Al-Asma‘ī 2
8. Sibawayhi 13 37. Anas 2
9. Abū Bakr al-Siddīq 13 38. Abū Burdah 2
10. ‘Alī b. Abī Talib 13 39. Bilal 2
11. Mu‘adh b. Jabal 10 40. Jabir 2
12. Ibn ‘Abbas 9 41. Al-Juba’ī 2
13. Al-Ka‘bī 9 42. Khalid b. al-Walīd 2
14. Ibn Mas‘ūd 9 43. Ibn Dawud al-Zahirī 2
15. Al-Nazzam 9 44. Al-Zujaj 2
16. Ibn Fawrak 8 45. Zayd b. Thabit 2
17. Ibn Surayj 7 46. Zayd b. Harithah 2
18. ‘Abd Allah b. ‘Umar 7 47. Sa‘ad b. Abī Waqqas 2
19. Al-Daqqaq 6 48. Talhah b. ‘Ubayd Allah 2
20. Mūsa ‘alayhis salam 6 49. ‘Ubadah b. Samit 2
21. Ibrahīm‘alayhis salam 5 50. ‘Amr b. al-Ass 2
22. ‘A’ishah 5 51. Al-Qasanī 2
23. ‘Uthman 5 52. Al-Tabarī 2
24. Al-Hulaimī 4 53. Al-Qalanisī 2
25. Ibn Fawat 4 54. Ma‘iz 2
26. Zufar 4 55. Al-Mughīrah b. Shu‘bah 2
27. Al-Qadī ‘Abd al-Jabbar 4 56. Al-Nahrawanī 2
28. Abū Hurayrah 4 57. Ya‘la b. Umayyah 2
29. Al-Bukharī 3 58. 31 nama-nama lain 1
Sumber: Hasan Hanafī, Min al-Nass ila al-Waqi‘, 124
Karena keterkaitan yang erat antara kalam dan usūl dan orientasi teoritis-murninya, maka kitab al-Burhan dimasukkan ke dalam kategori kitab usūl yang mengikuti kecenderungan tarīqat al-mutakallimīn, yaitu satu aliran usūl al-fiqh yang mempunyai karateristik sebagai berikut: (i) berorientasi teoritis murni (ittijah nazrī khalis), karena perhatian mereka hanya terbatas pada verifikasi dan pengujian kaidah-kaidah tanpa menghiraukan pendekatan mazhab. Mereka ingin menghasilkan suatu kaidah yang kuat tidak peduli apakah kaidah tersebut mendukung mazhabnya atau tidak; (ii) Tidak fanatik terhadap mazhabnya; (iii) Kaidah-kaidah usūl tidak digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap masalah-masalah furū‘. Tetapi kaidah-kaidah usūl yang mereka pelajari digunakan sebagai penentu atau pengatur masalah-masalah furū‘.
B. Konsep maqasid al-sharī‘ah perspektif al-Juwaynī
Dalam hirarki dalil pembentukan hukum, al-Juwaynī menempatkan Alquran pada posisi teratas, yang kemudian diiringi oleh Sunnah, baru kemudian ijma‘ dan qiyas. Posisi seperti ini adalah hal yang biasa dalam kitab-kitab usūl al-fiqh, seperti yang pernah dirumuskan pula oleh master arsiteknya yaitu, Imam al-Shafi‘ī dalam kitab al-Risalah.
Dalam kaitan dengan dalil hukum keempat, yaitu qiyas, salah satu sub bahasan yang dielaborasi oleh al-Juwaynī adalah konsep maqasid yang diulas secara detail dalam bahasan ketiga tentang taqasīm al-‘ilal wa al-usūl. Dari fakta ini, al-Hasanī menegaskan bahwa al-Juwaynī-lah yang dianggap sebagai tokoh terdepan yang memunculkan gagasan tentang maqasid al-sharī‘ah sebelum al-Gazzalī dan al-Shatibī. Salah satu perkataannya yang terkenal yang merupakan bantahan atas pendapat al-Ka‘bī, “Siapa pun yang tidak memahami adanya maqasid pada perintah dan larangan, maka ia tidak memiliki pandangan tentang perumusan syariah.” Kemudian, ia membagi prinsip-prinsip syariah ke dalam lima bagian:
1. Prinsip-prinsip yang pengertian rasionalnya diinterpretasikan kepada hal penting yang menjadi fondasi kehidupan, seperti prinsip perlindungan terhadap jiwa dan larangan penyerangan terhadapnya. Ini menjadi dasar ‘illat wajibnya qisas dalam syariat.
2. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang umum, namun tidak sampai kepada batasan darurat. Prinsip ini menjadi ‘illat bagi transaksi yang legal.
3. Prinsip-prinsip yang tidak sampai kepada kategori primer (darūriyyat) atau kebutuhan (hajiyyat, sekunder), namun ia masuk ke dalam spesifikasi makrūmat dan penjauhan dari kekurangan-kekurangan.
4. Prinsip-prinsip yang tidak berhubungan dengan yang primer (darūriyyat) dan sekunder (hajiyyat), namun masuk ke dalam kategori mandūb (yang direkomendasikan).
5. Prinsip yang maknanya tidak kelihatan dan jarang ilustrasinya. Maksudnya adalah bahwa yang mendasar dari hukum-hukum syariat adalah rasionalitas maknanya, entah itu yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, adat kebiasaan, atau mu‘amalah.
Metode yang digunakan al-Juwaynī dalam merumuskan lima prinsip di atas adalah melalui cara istiqra’ (metode induktif), yaitu meneliti hukum-hukum syari‘at dalam masalah-masalah ibadah dan mu‘amalah, lalu menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip ini tidak melebihi dari lima. Tujuan dari pembagian lima prinsip ini adalah untuk menjelaskan mana yang boleh diberlakukan qiyas di dalamnya, dan mana yang tidak. Lima prinsip ini merepresentasikan maqasid al-sharī‘ah yang tidak tertulis. Menurut al-Juwaynī, maqasid al-sharī‘ah dibedakan ke dalam “maqasid yang tidak tertulis” (ghayr al-mansūs ‘alayha), yaitu lima prinsip yang telah disebutkan sebelumnya yang cara penetapannya melalui istiqra’, dan “maqasid yang tertulis” (al-mansūs ‘alayha), yang cara penetapannya melalui qarīnah (koherensi). Qarīnah ini dibagi oleh al-Juwaynī ke dalam qarīnah haliyyah (koherensi kontekstual), misalnya, merahnya wajah berhubungan secara kontekstual dengan rasa malu, namun demikian ia tetap tidak berlaku umum, karena boleh jadi muka merah tidak berhubungan dengan rasa malu; dan qarīnah maqaliyyah (koherensi verbal), yang bisa dibedakan ke dalam dua macam, yaitu pengecualian (istithsna’) dan pengkhususan (takhsīs).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa maqasid al-sharī‘ah dalam pandangan al-Juwaynī dapat dibagi ke dalam dua macam, maqasid al-sharī‘ah yang tidak tertulis yang dapat ditemukan melalui istiqra’ dan maqasid al-sharī‘ah yang terambil dari qarīnah yang melekat dalam teks-teks agama.
III. Penutup
Status kemujtahidan al-Juwaynī, meskipun tetap dalam kerangka fī al-madhhab, tidak usah diragukan lagi. Ini dibuktikan dengan kepiawaiannya dalam membangun dan menalar isu-isu fiqih beserta seprangkat metodologi hukumnya. Uraian-uraiannya tetang metodologi hukum, terutama yang terdapat dalam karyanya al-Burhan fī Usūl al-Fiqh, merupakan temuan orisinil berharga yang membedakannya dari para penulis kitab usūl lainnya.
Salah satu gagasan orisinilnya yang merupakan terobosan pertama dalam bidang usūl al-fiqh adalah konsep maqasid al-sharī‘ah, dimana ia membaginya ke dalam dua bagian: “maqasid yang tidak tertulis” yang dicapai melalui cara istiqra’ dan “maqasid yang tertulis” yang dicapai melalui koherensi (qarīnah) yang dibagi ke dalam koherensi kontekstual (qarīnah haliyyah) dan koherensi verbal (qarīnah maqaliyyah) melalui cara pengecualian (istithna’) dan pengkhususan (takhsīs).
IV. Daftar Pustaka
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, Cet. ke-1, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
Hallaq, Wael B., “Was the Gate of Ijtihad Closed?” dalam Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam, Aldershot: Ashgate, 1994
Hanafī, Hasan, Min al-Nass ila al-Waqi‘, Cet. ke-1, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nashr, 2004
al-Hasanī, Isma‘īl, Nazariyyat al-Maqasid ‘Inda al-Imam Muhammad Tahir bin ‘Ashūr, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995
Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, Mesir: Matba‘ah Mustafa Muhammad, tt
Isma‘īl, Sha‘ban Muhammad, Usūl al-Fiqh: Tarīkhuhu wa Rijaluhu, Cet ke-2, Makkah al-Mukarramah: Dar al-Salam, 1998
al-Juwaynī, Abū al-Ma‘alī, al-Burhan fī Usūl al-Fiqh, Jilid 1, Tahqīq: Salah b. Muhammad b. ‘Uwaydah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Kiswati, Tsuroya, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta: Erlangga, 2005
al-Subkī, Taj al-Dīn ‘Abd al-Wahhab b. ‘Alī b. b. ‘Abd al-Kafī, Tabaqat al-Shafi‘iyyah al-Kubra, Tahqīq: Mahmūd Muhammad al-Tanahī dan ‘Abd al-Fattah Muhammad, Jilid 3 & 5, Cet. ke-1, Mesir: Matba‘ah ‘Īsa al-Babī al-Halabī, 1964
Sulayman, ‘Abd al-Wahhab Ibrahīm Abū, al-Fikr al-Usūlī: Dirasah Tahlīliyyah Naqdiyyah, Jeddah: Dar al-Shurūq, 1983
TELAAH KITAB AL-BURHAN FĪ USŪL AL-FIQH
Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc
Abstract:
This paper deals with the brief description of al-Burhan fi Usul al-Fiqh, a book of islamic legal theories written by Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī, a par excellent Shafi‘ī jurist. The article proves that details of principles of Islamic jurisprudence covered within this book, references of usūl used proimembuktikan bahwa beberapa uraian pemaparannya tentang teori hukum, rujukan kitab yang digunakannya, dan juga tokoh-tokoh penting yang dikutipnya memasukkan buku ini ke dalam kategori tarīqat al-mutakallimīn, yang bersifat teoritis murni, tidak fanatik terhadap mazhabnya, dan juga kaidah-kaidah usūl tidak digunakan untuk menjustifikasi furū‘. Besides, it also deals with his idea of maqasid al-sharī‘ah (the purposes of law), which is pioneer in yang teori ini menjadi awal bagi elaborasi teori maqasid berikutnya.
Key words: al-Burhan, corak mutakallimīn, maqasid al-sharī‘ah
I. Pendahuluan
Mazhab Shafi‘ī abad kelima telah melahirkan dari rahimnya anak-anak yang luar biasa, yang salah satu dari mereka adalah Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī, seorang faqīh berkaliber tinggi yang terkenal dengan sebutan “Imam al-Haramayn” [Iman dua Masjid Suci di Mekkah dan Madinah]. Kemunculannya menghembuskan angin segar dalam tradisi intelektual Islam dan juga dalam percaturan wacana usūl al-fiqh, karena ia menghadirkan sebuah karya usūl al-fiqh orisinil yang berbeda dari corak penulisan kitab-kitab usūl al-fiqh sebelumnya.
Bagaimana tokoh fenomenal ini sampai kepada tingkat keilmuan yang matang, sehingga bisa mencapai satu prestasi gemilang dalam berbagai bidang keilmuan dalam Islam, terutama dalam bidang usūl al-fiqh, yang tercermin pada salah satu karyanya yang orisinil, yaitu al-Burhan fī Usūl al-Fiqh. Tulisan ini tidak berpretensi membahas pikiran utuh tokoh ini dalam bidang usūl al-fiqh, namun hanya mengulas secara sederhana sekelumit bagian yang dianggap “penting” dalam buku itu, yaitu konsep maqasid al-sharī‘ah. Namun sebelumnya, akan diulas secara singkat biografi tokoh ini.
II. Al-Juwaynī: Tokoh Shafi‘ī Par excellence
A. Sketsa biografis
Nama lengkap tokoh Shafi‘iyah yang fenomenal ini adalah Imam Abū al-Ma‘alī ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd Allah ibn Yūsuf Ibn Muhammad al-Juwaynī al-Nīsabūrī, seorang keturunan Arab dari Bani Ta‘i al-Sanbasi. Ia dilahirkan pada tahun 419/999, di Persia, tepatnya di Busytanikan, yaitu sebuah desa yang merupakan tempat rekreasi yang berhawa sejuk.
Pendidikan awalnya dimulai di lingkungan rumahnya sendiri dengan belajar kepada ayahnya sendiri berbagai disiplin ilmu keislaman seperti Alquran, bahasa Arab, hadis, fiqih, usūl, dan ilmu perbedaan pendapat (‘ilm al-khilaf). Dalam usia yang relatif muda, ia telah hapal Alquran dan menguasai beberapa ilmu keislaman lain. Kecerdasan dan sikap kritisnya memang sudah muncul ketika ia masih muda.
Ketika ayah al-Juwaynī wafat pada tahun 438 H, ia menggantikannya mengajar di majelis ilmu milik ayahnya, dan kala itu usianya belum genap 20 tahun. Meskipun sudah menjadi pengajar, ia masih tetap haus mencari ilmu. Ia belajar fikih Shafi‘ī dan teologi Ash‘arī dari Abū al-Qasim al-Iskaf al-Isfarayinī. Ia belajar ilmu Alquran kepada Abū ‘Abd Allah al-Khabbazī. Ia belajar hadis pertama-tama dari bapaknya, kemudian dari Abū Hassan Muhammad ibn Ahmad al-Muzakkī, Abū Sa‘d ‘Abd al-Rahman ibn Hamdan al-Nasrawī, Abū ‘Abd Allah Muhammad ibn Ibrahīm ibn Yahya al-Muzakki, Abū Sa‘d ‘Abd al-Rahman ibn al-Hasan ibn ‘Aliyyak, Abū ‘Abd al-Rahman Muhammad ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Nīlī, Abū Nu‘aym al-Asbahanī, dan lainnya.
Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (sekitar tahun 443 H dan 447 H), al-Juwaynī pergi meninggalkan Nisabur menuju Mu‘askar, Isfahan, Baghdad, Hijaz, dan yang terakhir Mekkah. Di Baghdad ia belajar kepada Muhammad al-Jawharī, dan di sana pula ia menelaah buku-buku al-Baqilanī tentang teologi. Di Isfahan, ia belajar kepada Abū al-Nu‘aym al-Isfahanī. Ketika berusia duapuluh tahun, kira-kira pada tahun 450 H, ia pergi ke Hijaz. Ia menetap di Mekkah dan Madinah selama empat tahun, yang di kedua wilayah ini ia sibuk mengajar, memberikan fatwa dan mengarang. Karena aktivitasnya itu, ia diberi julukan “Imam al-Haramayn” (Imam dua tempat suci, yaitu di Masjid al-Haram dan al-Masjid al-Nabawī).
Setelah itu, pada tahun 455/1063, Abū al-Ma‘alī kembali ke tanah airnya di Nisabur, dan mengajar selama kira-kira tigapuluh tahun di Madrasah al-Nizamiyyah, sekolah terbesar di Nisabur di wilayah Persia Utara yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazīr yang bermazhab Ash‘arī dan Shafi‘ī. Di sini ia menjadi anak emasnya Nizam al-Mulk, dan mempunyai pengaruh yang luar biasa kepada banyak orang, dan selalu berpidato menyentuh dan menyayat hati. Ia telah memperkaya budaya Islam dan penelitian dengan sejumlah besar buku berjilid-jilid tebalnya yang ia kumpulkan dan karang sendiri, dan karya-karyanya itu meliputi beberapa bidang keilmuan dalam Islam. Berikut ini akan dipaparkan beberapa karya ilmiahnya tersebut:
Usūl al-Fiqh:
1. Al-Burhan fī Usūl al-Fiqh
2. Al-Irshad fī Usūl al-Fiqh
3. Al-Waraqat
4. Al-Mujtahidūn
Kalam:
1. Al-Irshad fī Qawati‘ al-Adillah wa Usūl al-I‘tiqad
2. Shifa‘ al-‘Alīl fī Bayan ma Waqa‘a fī al-Tawrat wa al-Injīl min al-Tabdīl
3. Luma‘ al-Adillah fī Qawati‘ ‘Aqa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah.
4. Masa’il al-Imam ‘Abd al-Haqq al-Siqalī wa Ajwibatuha li al-Imam Abū al-Ma‘alī.
5. Al-Talkhīs fī al-Usūl
6. Al-Shamil fī Usūl al-Dīn
7. Al-‘Aqīdah al-Nizamiyyah fī al-Arkan al-Islamiyyah
8. Mukhtasar al-Irshad li al-Baqilanī Ikhtasarahu Imam al-Haramayn
9. Ghiyath al-Umam fī Iltiyath al-Zulam (tentang politik).
Fiqh
1. Nihayat al-Matlab fī Dirayat al-Madhhab
2. Munazarah fī al-Ijtihad fī al-Qiblah
3. Zawaj al-Bikr
4. Al-Silsilah fī Ma‘rifat al-Qawlayn wa al-Wajhayn ‘ala Madhhab al-Shafi‘ī
5. Risalah fī al-Fiqh
6. Risalah fī al-Taqlīd wa al-Ijtihad
Ilmu perbedaan mazhab (‘ilm al-khilaf)
1. Al-Durrah al-Mudī’ah fī ma Waqa‘a min Khilaf Bayn al-Shafi‘iyyah wa al-Hanafiyyah
2. Ghunyat al-Mustarshidīn fī al-Khilaf
Ilmu perdebatan (‘ilm al-jadal): Kitab al-Kafiyah fī al-Jadal
Psikologi: Kitab al-Nafs
Retorika: Dīwan Khutabihi al-Minbariyyah
Nasihat: Qasīdah yang berisi wasiat buat anak-anaknya.
Karena pengetahuannya yang komprehensif dalam bidang keilmuan serta kemuliaan karakter dan kepribadiannya, maka banyak orang yang ingin belajar darinya. Jumlah murid-muridnya melebihi 400 orang, termasuk nama-nama brilian dan terkenal di dunia Islam, seperti al-Gazzalī, al-Farawī, al-Suhamī dan al-Masjidī. Imam al-Haramayn al-Juwaynī meninggal pada hari Selasa, malam Rabu, tanggal 25 Rabī‘ul Akhīr 478 H, atau bertepatan dengan tanggal 20 Agustus 1085.
B. Kedudukan keilmuan dan posisi ideologis
Abū al-Ma‘alī al-Juwaynī adalah seorang ulama ensikplodis. Ia menguasai hampir semua bangunan keilmuan Islam. Dalam bidang teologi spekulatif atau kalam, ia dimasukkan sebagai seorang pembela aliran kalam Ash‘arī yang tangguh dan setia, meskipun dalam sebagian hal ia kerapkali berbeda dari al-Ash‘arī. Meskipun demikian, sebagian dari pikiran kalamnya membuktikan bahwa ia adalah seorang penganut teologi Ash‘arī yang setia.
Misalnya, pernyataannya bahwa ada sebagian bentuk pengetahuan yang ada pada manusia seperti kita ini, namun pengetahuan itu sendiri sangat bergantung dan harus dibedakan dari jenis pengetahuan yang dimiliki Tuhan. Meskipun Tuhan bukanlah fisik dan bukan pula sesuatu yang berada dalam ruang dan waktu, namun ia mungkin bisa dilihat nanti pada hari akhir. Tuhan sepenuhnya bebas, bertindak tanpa alasan selain yang Ia sendiri berikan. Tidak penting hubungan sebab-akibat, dan kemungkinan terjadinya mukjizat didasari pada fakta bahwa tidak ada yang pasti tentang alam. Tuhan bukan hanya pencipta alam ini, dalam pengertian ia merupakan penyebab pertama, namun juga merupakan agen yang menjadi sebab bagi keberadaannya yang terus berkelanjutan. Keberadaan dunia dalam setiap keadaan bergantung pada kehendak Tuhan. Tuhan satu-satunya pencipta, dan bahkan tindakan-tindakan kita sesungguhnya bukan berasal dari kita, namun diperoleh dari Tuhan.
Bagi al-Juwaynī, rute menuju pemahaman Alquran adalah melalui pendasaran yang mendalam pada bahasa Arab. Al-Juwaynī membedakan antara jenis-jenis teks yang berbeda. Sebagian ayat bersifat jelas, sebagiannya bersifat akurat, sebagian yang lain tersembunyi, dan sebagian yang lain bersifat samar. Ayat-ayat yang jelas tersebut tidak mengubah maknanya, apa pun konteksnya. Ayat-ayat yang akurat memiliki makna yang jelas-jelas berhubungan dengan keadaan-keadaan khusus yang dideskripsikan ayat itu dan tidak ada kesulitan memahaminya. Ayat-ayat yang tersembunyi memiliki dua jenis makna, satu yang membutuhkan penafsiran oleh Nabi dan para pengikutnya, atau yang bisa dijelaskan oleh sekumpulan pembaca yang benar-benar memahami kesulitan-kesulitan yang ada di hadapannya. Ayat-ayat yang sama membutuhkan takwil atau penafsiran analogis, yang berdasarkan itu makna yang benar akan keluar dengan saksama dari bentuk-bentuk aktual kata-kata yang digunakan. Bentuk penafsiran ini seharusnya hanya digunakan sebagai jalan terakhir, dan itu penuh bahaya dalam arti ia bisa mengantarkan kepada pendekatan yang longgar dan tidak ketat kepada pemahaman makna kitab suci. Al-Juwaynī menyajikan karyanya dalam sistem tafsiran yang sangat teratur yang didisain untuk membuat kitab suci bisa diakses, namun dibatasi dalam batasan-batasan teologis tertentu.
Selain itu, al-Juwainī merupakan pembela setia pandangan Ash‘arī tentang dasar penilaian nilai, yang sepenuhnya skriptural. Apa yang baik adalah apa yang dikatakan baik dalam kitab suci, dan apa yang buruk adalah apa yang dicela kitab suci. Dan tidak ada dasar lain bagi penilaian tersebut. Upaya apa pun untuk menemukan dasar yang rasional adalah cacat, dapat diasumsikan bahwa yang ada dalam benak al-Juwaynī saat itu adalah kelompok Mu‘tazilah. Ia menyatakan bahwa kelompok ini dalam pandangannya bahwa ada kebenaran-kebenaran moral rasional yang mendasar, maka jika ini seperti itu maka tidak akan ada kemungkinan ketidaksepakatan moral yang meluas, sesuatu yang sangat jelas muncul. Begitu pula, gagasan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang partikular itu benar atau salah adalah sulit untuk dibangun, mengingat kita sering mendasari penilaian kita di sini pada konteks-konteks yang melingkupi tindakan-tindakan tersebut dan watak pelaku yang tepat. Misalnya, seorang dewasa dan anak-anak mungkin melakukan tindakan yang sama; tindakan dari yang pertama mungkin disebut jahat, namun ini tidak tepat bagi pendeskripsian tindakan anak-anak.
Dalam bidang fiqih, ia menganut paham Shafi‘ī, meskipun dalam tulisan-tulisan tentang usūl al-fiqh, terutama dalam kitab yang akan diulas ini, ia tampak berbeda dari doktrin usūl al-fiqh Shafi‘ī dan memasukkan gagasan-gagasan baru yang membangkitkan oposisi beberapa abad kemudian. ‘Abd al-Azīm al-Dīb mengumpulkan ada 25 perbedaan pendapat antara al-Juwaynī dengan Imam al-Shafi‘ī, seperti di antaranya tentang tingkatan bayan (mujmal dan mubayyan), makna lafal wawu al-‘atf (“dan” sebagai kata penghubung), lafal amr (perintah) dan konsekuensi-konsekuensinya, mafhūm, shara‘ man qablana (syariat sebelum Islam), hukum beramal dengan hadis mursal, ijma‘ dan kehujahannya, hukuman mati terhadap orang yang meninggalkan shalat, hukum tentang orang yang dipaksa untuk membunuh, hubungan naskh antara ayat dan hadis, serta hukuman bagi orang yang makan dan minum dengan sengaja di siang hari pada bulan Ramadan.
Al-Subkī, seperti dikutip Hallaq, memasukkan al-Juwaynī ke dalam tingkatan mujtahid fī al-madhhab dan mengedepankan beliau daripada pendahulu-pendahulunya dalam penguasaan usūl dan furū‘. Al-Subkī menjelaskan kesulitan khusus dan keunikan kitab al-Burhan sebagai kitab teori hukum yang, tidak seperti yang lainnya dalam bidang itu, tidak didiktasi oleh doktrin-doktrin dari otoritas sebelumnya, dan ia juga tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dari doktrin Shafi‘ī, namun sebaliknya oleh penalaran dan ijtihadnya sendiri. Pernyataan terakhir ini, menurut Hallaq, seharusnya menjadikan al-Juwaynī sebagai seorang mujtahid mutlaq (mujtahid independen) karena ia menyusun suatu sistem hukum independen yang tampak berbeda dari mazhab Shafi‘ī, setidaknya seperti yang dilakukan al-Tabarī. Oleh karena itu, pernyataan al-Subkī bahwa al-Juwaynī adalah seorang faqīh yang orisinil dan pernyataannya bahwa ia telah mencapai status mujtahid fī al-madhhab adalah saling bertentangan, karena sering dikatakan bahwa mujtahid fī al-madhhab mesti tidak melampaui batasan-batasan mazhabnya. Namun kata Abū al-Fida’, al-Juwaynī memang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlaq karena dirinya memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan itu, namun akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan posisi itu dan mengikuti al-Shafi‘ī.
Jadi, dari bukti-bukti di atas, tampak jelas bahwa kedua aliran yang dijadikan anutan oleh al-Juwaynī adalah Ash‘arī dalam bidang kalam dan Shafi‘ī dalam bidang fiqih, meskipun dalam kedua bidang itu, ia banyak berbeda dengan pandangan-pandangan para pendirinya. Dan kedua aliran ini dalam realitas sejarahnya berhutang banyak kepada al-Juwaynī yang dengan kapasitas intelektualnya yang par excellence menjadi pembela dan mercusuar bagi aliran Ash‘arī-Shafi‘ī.
III. Al-Burhan fī Usūl al-Fiqh: Kombinasi Kalam dan Usūl
Dalam tradisi intelektual usūl al-fiqh, kitab al-Burhan menempati posisi yang signifikan, karena ia merupakan kitab orisinil tentang teori hukum yang disusun oleh al-Juwaynī tanpa didiktasi oleh otoritas-otoritas sebelumnya, dan juga tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dari doktrin Shafi‘ī, mazhab yang dianutnya.
Menurut Ibn Khaldūn, “Di antara kitab terbaik yang disusun oleh mutakallimūn adalah kitab al-Burhan karya al-Juwaynī dan al-Mustasfa karya al-Ghazzalī, dan keduanya dari aliran kalam Ash‘ariyyah, serta kitab al-‘Ahd karya ‘Abd al-Jabbar dan syarah-nya al-Mu‘tamad karya Abū al-Husayn al-Bisrī, dan keduanya dari aliran kalam Mu‘tazilah. Empat buku ini merupakan fondasi dan dasar bagi ilmu ini …”
Seorang penyusun biografi ulama-ulama al-Shafi‘iyyah, Taj al-Dīn al-Subkī, mengatakan bahwa kitab al-Burhan yang disusun oleh al-Juwaynī ini berada pada metode dan gaya yang unik yang belum diikuti dan dicontoh oleh seorang pun. Dan kitab ini merupakan salah satu kebanggaan mazhab Shafi‘ī.
A. Garis besar isi kitab
Kitab al-Burhan terdiri dari delapan pembahasan yang berbeda jumlah halamannya: (1) al-bayan; (2) al-ijma‘; (3) al-qiyas; (4) al-istidlal; (5) al-tarjīhat; (6) al-naskh; (7) ijtihad (lampiran kitab al-Burhan); (8) al-fatwa. Untuk lebih lengkapnya, akan dipapakan keterangannya sebagai berikut:
Kitab pertama: al-Bayan: Alquran dan Sunnah
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling panjang yang dicurahkan oleh al-Juwaynī dalam kitab ini. Dan pembahasan ini dipengaruhi oleh bayang-bayang kitab al-Risalah karya Imam al-Shafi‘ī. Pembicaraan tentang bayan dibagi ke dalam tiga bahasan:
Esensi bayan dan perbedaannya.
Tingkatan-tingkatan bayan.
Penangguhan bayan dari tempat asal-mula lafaz kepada waktu dibutuhkan.
Istilah bayan oleh al-Juwaynī dipahami sebagai dalīl. Kata al-Juwaynī:
Pendapat saya adalah bahwa bayan adalah dalīl, dan ia terbagi ke dalam ‘aqlī dan sam‘ī. Dalil ‘aqlī tepatnya tidak ada hirarki di dalamnya dalam kaitan dengan kejelasan dan ketidakjelasannya. Ia hanya berbeda dari dua aspek yang diberikannya dalam varitasnya (jumlah) dan dalam kebutuhannya pada tambahan pemikiran dan refleksi. Sedangkan dalil sam‘ī sandarannya adalah mukjizat dan adanya pengetahuan tentang perkataan yang benar dari Allah Swt. Karenanya, segala sesuatu yang lebih dekat kepada mukjizat, maka lebih utama untuk didahulukan, dan sesuatu yang jauh dari tingkatan itu dibelakangkan ..”
Bayan, yang dirujukkan kepada Alquran dan Sunnah dengan alasan karena keduanya menurut al-Juwaynī mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sama-sama dari sisi Allah Swt, terbagi ke dalam pembahasan berikut:
1. Al-Awamir (perintah)
2. Al-Nawahī (larangan)
3. Al-‘Umūm wa al-khusūs
4. Af‘al al-rasūl (perbuatan rasul)
5. Al-Ta‘alluq bi-shara’i‘ al-madiyyīn (keterkaitan dengan syariat-syariat agama yang lalu).
Kitab kedua: Ijma‘
Dalam bagian ini, al-Juwaynī membagi isu ijma‘ ke dalam tiga permasalahan:
Gambaran terjadinya ijma‘.
Ijma‘ keadaannya sebagai hujjah dan perbedaan di dalamnya.
Metode-metode yang menunjuk kepada keadaan ijma‘ sebagai hujjah.
Tema-tema dalam pembahasan ini dibagi ke dalam empat bidang:
1. Karakteristik orang-orang yang melakukan ijma‘ dan jumlahnya.
2. Waktu yang dianggap terjadinya ijma‘.
3. Aspek terjadinya ijma‘.
4. Hal yang menjadi sasaran terjadinya ijma‘.
Masalah-masalah yang terpisah-pisah dalam ijma‘:
1. Ijma‘ pada umat-umat sebelumnya.
2. Pendapat Malik tentang praktik penduduk Madinah.
3. Ijma‘ al-tabi‘īn.
4. Jumlah yang dianggap bilangan ahli ijma‘.
5. Tentang hal yang seandainya para penduduk suatu kota ber-ijma‘, kemudian datang suatu kejadian dan mereka menyalahinya.
Kitab ketiga: Qiyas
Dalam bagian ini, pembahasan mencakup tema-tema pembahasan sebagai berikut:
Esensi qiyas dan perbedaan dalam masalah itu.
Pembagian-pembagain pandangan shar‘ī (nass)
Pembagian-pembagian ‘illat dan asl
Pengecualian-pengecualian dan pembagiannya
Kitab keempat: Istidlal (pencarian dalil)
Dalam bab ini dibahas tentang
Pengertian istidlal dan perbedaannya tentang isu itu.
Kaidah tentang sesuatu yang bisa diterapkan istidlal padanya.
Pengecualian-pengecualian terhadap istidlal.
Keberlanjutan suatu keadaan sebelumnya (Istishab al-hal)
Kitab kelima: Tarjīh
Dalam bab ini dibahas tentang makna tarjīh dan ta‘arud, pertentangan antara yang zahir, pen-tarjīh-an qiyas, dan naskh (penghapusan)
Kitab keenam: Ijtihad
Dimulai dengan pembahasan tentang pembenaran bagi dua orang yang berijtihad (taswīb al-mujtahidayn). Kemudian diikuti dengan dua permasalahan:
Hakikat apa yang diinginkan buat mujtahid
Mujtahid dalam kasus jika ia berijtihad dan mengamalkannya, kemudian jelas baginya bahwa ia salah berdasarkan ketentuan nass.
Kitab ketujuh: Fatwa
Dalam bagian ini dibahas tema-tema sebagai berikut:
Karakateristik seorang mufti
Hakikat taklid
Lemahnya syariat-syariat sebelum Islam,
Ijtihad Sahabah
Terjadinya ijtihad Nabi
Hukum berpegang pada perkataan Sahabah
B. Karakteristik Kitab
Menurut ‘Abd al-Azīm al-Dīb, kitab al-Burhan termasuk salah satu kitab terpenting dalam sejarah perkembangan usūl al-fiqh, bahkan dalam sejarah pemikiran Islam pada umumnya. Keistimimewaannya adalah bahwa buku ini mengungkapkan berbagai pendapat ulama usūl al-fiqh yang hidup sebelum al-Juwaynī. Banyak karya usūl al-fiqh dari ulama sebelumnya yang tidak dijumpai lagi, tetapi sebagian pendapat mereka diungkapkan al-Juwaynī dalam kitabnya tersebut. Misalnya, pokok-pokok pikiran Abū Bakr al-Baqilanī (w. 403/1013), Ibn Fawruk, al-Qadī ‘Abd al-Jabbar, dan Abū ‘Alī al-Juba‘ī.
Jika kitab al-Waraqat karya al-Juwaynī mengamati aspek-aspek kesesuaian antara aliran-aliran kalam dan mazhab-mazhab fiqih di seputar kaidah-kaidah dan usūl dalam bentuk yang kuat, maka kitab al-Burhan melakukan hal sebaliknya. Ia mengelaborasi secara rinci dan panjang aspek-aspek perbedaan lebih banyak ketimbang aspek kesesuaiannya. Ia menggunakan dalil untuk mengurai perbedaan antara aliran-aliran kalam dan mazhab-mazhab fiqih, karena dalil adalah media perbedaan, dan bukan perbedaan sebagai media untuk menghilangkan dalil. Tampak adanya keterkaitan yang kuat antara ilmu usūl al-fiqh dan ilmu usūl al-dīn.
Kitab ini mempunyai prinsip-prinsip tertulisnya. Ia tidak hanya merujuk kepada kitab itu sendiri, namun juga merujuk kepada karya-karya al-Juwaynī yang lainnya, yang ini menunjukkan kesatuan proyeknya. Bahkan, ia juga menyebut dan merujuk kepada kitab-kitab usūl al-fiqh dan kalam sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan 1.
Bagan 1. Kitab-kitab yang dirujuk al-Juwaynī
No Pengarang Nama kitab
1. Al-Juwaynī Al-Asalīb; al-Istiqsa’; al-Takfīr wa al-Tabarru’; al-‘Imad; al-Ghiyathī, al-Nazar fī al-Kalam.
2. Al-Baqilanī al-Intisar fī ‘Ulūm al-Qur’an; al-Ta’wilat; al-Taqrīb
3. Al-Qadī ‘Abd al-Jabbar Sharh al-‘Amad; al-Mughnī
4. Al-Ash‘arī Jawab al-Masa’il al-Basriyyah
5. Al-Shafi‘ī Al-Risalah
6. Ibn Janī Sirr Sana‘at al-A‘rab
7. Ibn Fawruk Majmū‘at Ibn Fawruk
8. Al-Juba’ī al-Hadhaliyyīn Dawawīn al-Hadhaliyyīn, al-Abwab
Sumber: Hasan Hanafī, Min al-Nass ila al-Waqi‘, 124
Dan yang menunjukkan keterkaitan antara kedua disiplin ilmu ini secara bersama-sama adalah nama-nama dari kalangan mutakallimīn dan fuqaha'. Untuk lebih jelasnya lihat daftar berikut:
Bagan 2. Daftar nama-nama yang muncul dalam kitab al-Burhan menurut urutan frekuensinya
No. Nama Kutipan No Nama Kutipan
1. Al-Baqilanī 159 30. Al-Sayrafī 3
2. Abū Hanīfah 52 31. ‘Abd al-Rahman b. ‘Awf 3
3. Al-Isfirayinī 35 32. ‘Īsa ‘alayhis salam 3
4. Malik b. Anas 32 33. Ghaylan 3
5. ‘Umar b. al-Khattab 18 34. Ahmad b. Hanbal 3
6. Al-Ash‘arī 17 35. Usamah b. Zayd 2
7. Abū al-Hashim al-Juba’ī 16 36. Al-Asma‘ī 2
8. Sibawayhi 13 37. Anas 2
9. Abū Bakr al-Siddīq 13 38. Abū Burdah 2
10. ‘Alī b. Abī Talib 13 39. Bilal 2
11. Mu‘adh b. Jabal 10 40. Jabir 2
12. Ibn ‘Abbas 9 41. Al-Juba’ī 2
13. Al-Ka‘bī 9 42. Khalid b. al-Walīd 2
14. Ibn Mas‘ūd 9 43. Ibn Dawud al-Zahirī 2
15. Al-Nazzam 9 44. Al-Zujaj 2
16. Ibn Fawrak 8 45. Zayd b. Thabit 2
17. Ibn Surayj 7 46. Zayd b. Harithah 2
18. ‘Abd Allah b. ‘Umar 7 47. Sa‘ad b. Abī Waqqas 2
19. Al-Daqqaq 6 48. Talhah b. ‘Ubayd Allah 2
20. Mūsa ‘alayhis salam 6 49. ‘Ubadah b. Samit 2
21. Ibrahīm‘alayhis salam 5 50. ‘Amr b. al-Ass 2
22. ‘A’ishah 5 51. Al-Qasanī 2
23. ‘Uthman 5 52. Al-Tabarī 2
24. Al-Hulaimī 4 53. Al-Qalanisī 2
25. Ibn Fawat 4 54. Ma‘iz 2
26. Zufar 4 55. Al-Mughīrah b. Shu‘bah 2
27. Al-Qadī ‘Abd al-Jabbar 4 56. Al-Nahrawanī 2
28. Abū Hurayrah 4 57. Ya‘la b. Umayyah 2
29. Al-Bukharī 3 58. 31 nama-nama lain 1
Sumber: Hasan Hanafī, Min al-Nass ila al-Waqi‘, 124
Karena keterkaitan yang erat antara kalam dan usūl dan orientasi teoritis-murninya, maka kitab al-Burhan dimasukkan ke dalam kategori kitab usūl yang mengikuti kecenderungan tarīqat al-mutakallimīn, yaitu satu aliran usūl al-fiqh yang mempunyai karateristik sebagai berikut: (i) berorientasi teoritis murni (ittijah nazrī khalis), karena perhatian mereka hanya terbatas pada verifikasi dan pengujian kaidah-kaidah tanpa menghiraukan pendekatan mazhab. Mereka ingin menghasilkan suatu kaidah yang kuat tidak peduli apakah kaidah tersebut mendukung mazhabnya atau tidak; (ii) Tidak fanatik terhadap mazhabnya; (iii) Kaidah-kaidah usūl tidak digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap masalah-masalah furū‘. Tetapi kaidah-kaidah usūl yang mereka pelajari digunakan sebagai penentu atau pengatur masalah-masalah furū‘.
B. Konsep maqasid al-sharī‘ah perspektif al-Juwaynī
Dalam hirarki dalil pembentukan hukum, al-Juwaynī menempatkan Alquran pada posisi teratas, yang kemudian diiringi oleh Sunnah, baru kemudian ijma‘ dan qiyas. Posisi seperti ini adalah hal yang biasa dalam kitab-kitab usūl al-fiqh, seperti yang pernah dirumuskan pula oleh master arsiteknya yaitu, Imam al-Shafi‘ī dalam kitab al-Risalah.
Dalam kaitan dengan dalil hukum keempat, yaitu qiyas, salah satu sub bahasan yang dielaborasi oleh al-Juwaynī adalah konsep maqasid yang diulas secara detail dalam bahasan ketiga tentang taqasīm al-‘ilal wa al-usūl. Dari fakta ini, al-Hasanī menegaskan bahwa al-Juwaynī-lah yang dianggap sebagai tokoh terdepan yang memunculkan gagasan tentang maqasid al-sharī‘ah sebelum al-Gazzalī dan al-Shatibī. Salah satu perkataannya yang terkenal yang merupakan bantahan atas pendapat al-Ka‘bī, “Siapa pun yang tidak memahami adanya maqasid pada perintah dan larangan, maka ia tidak memiliki pandangan tentang perumusan syariah.” Kemudian, ia membagi prinsip-prinsip syariah ke dalam lima bagian:
1. Prinsip-prinsip yang pengertian rasionalnya diinterpretasikan kepada hal penting yang menjadi fondasi kehidupan, seperti prinsip perlindungan terhadap jiwa dan larangan penyerangan terhadapnya. Ini menjadi dasar ‘illat wajibnya qisas dalam syariat.
2. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang umum, namun tidak sampai kepada batasan darurat. Prinsip ini menjadi ‘illat bagi transaksi yang legal.
3. Prinsip-prinsip yang tidak sampai kepada kategori primer (darūriyyat) atau kebutuhan (hajiyyat, sekunder), namun ia masuk ke dalam spesifikasi makrūmat dan penjauhan dari kekurangan-kekurangan.
4. Prinsip-prinsip yang tidak berhubungan dengan yang primer (darūriyyat) dan sekunder (hajiyyat), namun masuk ke dalam kategori mandūb (yang direkomendasikan).
5. Prinsip yang maknanya tidak kelihatan dan jarang ilustrasinya. Maksudnya adalah bahwa yang mendasar dari hukum-hukum syariat adalah rasionalitas maknanya, entah itu yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, adat kebiasaan, atau mu‘amalah.
Metode yang digunakan al-Juwaynī dalam merumuskan lima prinsip di atas adalah melalui cara istiqra’ (metode induktif), yaitu meneliti hukum-hukum syari‘at dalam masalah-masalah ibadah dan mu‘amalah, lalu menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip ini tidak melebihi dari lima. Tujuan dari pembagian lima prinsip ini adalah untuk menjelaskan mana yang boleh diberlakukan qiyas di dalamnya, dan mana yang tidak. Lima prinsip ini merepresentasikan maqasid al-sharī‘ah yang tidak tertulis. Menurut al-Juwaynī, maqasid al-sharī‘ah dibedakan ke dalam “maqasid yang tidak tertulis” (ghayr al-mansūs ‘alayha), yaitu lima prinsip yang telah disebutkan sebelumnya yang cara penetapannya melalui istiqra’, dan “maqasid yang tertulis” (al-mansūs ‘alayha), yang cara penetapannya melalui qarīnah (koherensi). Qarīnah ini dibagi oleh al-Juwaynī ke dalam qarīnah haliyyah (koherensi kontekstual), misalnya, merahnya wajah berhubungan secara kontekstual dengan rasa malu, namun demikian ia tetap tidak berlaku umum, karena boleh jadi muka merah tidak berhubungan dengan rasa malu; dan qarīnah maqaliyyah (koherensi verbal), yang bisa dibedakan ke dalam dua macam, yaitu pengecualian (istithsna’) dan pengkhususan (takhsīs).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa maqasid al-sharī‘ah dalam pandangan al-Juwaynī dapat dibagi ke dalam dua macam, maqasid al-sharī‘ah yang tidak tertulis yang dapat ditemukan melalui istiqra’ dan maqasid al-sharī‘ah yang terambil dari qarīnah yang melekat dalam teks-teks agama.
III. Penutup
Status kemujtahidan al-Juwaynī, meskipun tetap dalam kerangka fī al-madhhab, tidak usah diragukan lagi. Ini dibuktikan dengan kepiawaiannya dalam membangun dan menalar isu-isu fiqih beserta seprangkat metodologi hukumnya. Uraian-uraiannya tetang metodologi hukum, terutama yang terdapat dalam karyanya al-Burhan fī Usūl al-Fiqh, merupakan temuan orisinil berharga yang membedakannya dari para penulis kitab usūl lainnya.
Salah satu gagasan orisinilnya yang merupakan terobosan pertama dalam bidang usūl al-fiqh adalah konsep maqasid al-sharī‘ah, dimana ia membaginya ke dalam dua bagian: “maqasid yang tidak tertulis” yang dicapai melalui cara istiqra’ dan “maqasid yang tertulis” yang dicapai melalui koherensi (qarīnah) yang dibagi ke dalam koherensi kontekstual (qarīnah haliyyah) dan koherensi verbal (qarīnah maqaliyyah) melalui cara pengecualian (istithna’) dan pengkhususan (takhsīs).
IV. Daftar Pustaka
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, Cet. ke-1, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
Hallaq, Wael B., “Was the Gate of Ijtihad Closed?” dalam Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam, Aldershot: Ashgate, 1994
Hanafī, Hasan, Min al-Nass ila al-Waqi‘, Cet. ke-1, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nashr, 2004
al-Hasanī, Isma‘īl, Nazariyyat al-Maqasid ‘Inda al-Imam Muhammad Tahir bin ‘Ashūr, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995
Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, Mesir: Matba‘ah Mustafa Muhammad, tt
Isma‘īl, Sha‘ban Muhammad, Usūl al-Fiqh: Tarīkhuhu wa Rijaluhu, Cet ke-2, Makkah al-Mukarramah: Dar al-Salam, 1998
al-Juwaynī, Abū al-Ma‘alī, al-Burhan fī Usūl al-Fiqh, Jilid 1, Tahqīq: Salah b. Muhammad b. ‘Uwaydah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Kiswati, Tsuroya, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, Jakarta: Erlangga, 2005
al-Subkī, Taj al-Dīn ‘Abd al-Wahhab b. ‘Alī b. b. ‘Abd al-Kafī, Tabaqat al-Shafi‘iyyah al-Kubra, Tahqīq: Mahmūd Muhammad al-Tanahī dan ‘Abd al-Fattah Muhammad, Jilid 3 & 5, Cet. ke-1, Mesir: Matba‘ah ‘Īsa al-Babī al-Halabī, 1964
Sulayman, ‘Abd al-Wahhab Ibrahīm Abū, al-Fikr al-Usūlī: Dirasah Tahlīliyyah Naqdiyyah, Jeddah: Dar al-Shurūq, 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar