Rabu, 23 Desember 2009

Fenomenologi Agama

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI AGAMA
KONSEP, KRITIK DAN APLIKASI

Rusli

Abstract: Phenomenological approach in the study of religion has played such a significant role in unraveling mysteries of religious experiences. By bracketing-out (epoché), the researcher must suspend all of his or her judgments to the phenomenon under study ini order to gain the real knowledge of the religious phenomena and experiences and their essences as well. However, critiques from scholars to this approach still exist, which are summarized into three points: the continued philosophical viability of the phenomenology of religion, the surreptitious theological assumptions or motives behind this approach, and the public role of scholar in social communities under study.

Kata Kunci: fenomenologi, epoché, agama, motif teologis

I. Pendahuluan
Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial. Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty, “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu kepada penyelidikan manusia”. Pendekatan positivis mengikuti metode-metode ilmu alam dan, melalui observasi terpisah dan diduga bebas nilai, mencoba mengidentifikasi ciri-ciri universal dari kemanusiaan, masyarakat, dan sejarah yang menawarkan penjelasan dan karenanya, kontrol dan kemampuan dapat diprediksi. Pendekatan interpretivis, sebaliknya, mencari interpretasi-interpretasi yang dikeluarkan secara kultural dan disituasikan secara historis tentang dunia kehidupan sosial.
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,” yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul.” Atau sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves). Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof Jerman, Edmund Husserl. Namun, menurut Kockelmas, istilah fenomenologi digunakan pertama kali pada tahun 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant, namun hanya melalui Hegel makna teknis yang didefinisikan dengan baik tersebut dibangun.
Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut tentang Yang Absolut”. Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi agama nantinya. Dalam bukunya, The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (Wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan-perwujudan. Maksud Hegel adalah ingin memperlihatkan bagaimana ini mengantarkan kepada suatu pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan yang mendasar (Geist atau Spirit). Permainan tentang hubungan antara esensi dan manifestasi ini memberikan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat dipahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada pentingnya agama sebagai sebuah objek studi karena kontribusi yang bisa diberikan kepada pengetahuan “saintifik”.
Sedangkan, menurut formulasi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dengan mengesampingkan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologis.” Karena pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil, maka Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak mengganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan.
Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.
  1. Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
  2. Antireduksionisme. Pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.
  3. Intensionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
  4. Pengurungan (epoché). Diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
  5. Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripiskan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.

II. Fenomenologi Agama

A. Konteks Kemunculan
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disipli-disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari kelimuan tersebut pada masa-masa awal adalah untuk memberikan deskripsi yang objektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat, tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya untuk membuat perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya dan agama Barat ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.
Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan objektif yang akurat.
Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi, praduga-praduga, dan penilaian-penilaian apologetis, religius, politis dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap agama lebih memaparkan superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan mengkajinya dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang agama-agama “animistik”, yang dilakukan oleh “antropolog belakang meja”, seperti E. B. Taylor, mencoba menentukan perkembangan evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk memaparkan watak “primitif” dari ritus-ritus dan keyakinan-keyakinan mereka.
Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama yang digunakan mengadopsi pandangan positivistik tentang “fakta-fakta” empiris dan pengetahuan “objektif” yang bisa diamati. Para ilmuan agama mengadopsi gagasan evolusi-nya Darwin dan menerapkannya pada bahasa, agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara tipikal, mereka mengorganisir data agama dalam suatu kerangka yang telah ditentukan sebelumnya, unilinear, yang dimulai dari tingkatan agama-agama primitif yang terendah, tidak berkembang dan berevolusi pada puncak monoteisme Barat khususnya Kristenitas. Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi melampaui semua agama hingga tahap perkembangan yang lebih tinggi yang ilmiah dan rasional. Pendekatannya bersifat sangat normatif, dengan menerapkan standar-standar mereka untuk membuat penilaian-penilaian ilmiah. Contoh, manusia berulang kali mengklaim bahwa mereka mempunyai “pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para psikolog agama berupaya menganalisa dan menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena religius dengan penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam terma-terma kebutuhan, fungsi dan struktur sosial. Para filosof mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis normatif.
Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan-pendekatan sempit, etnosentris dan normatif ini. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain.
B. Pengertian Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenologi agama dalam wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas Allen.
Pertama, fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati. Kedua, fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda. Pengertian ini berkembang di kalangan ilmuan Belanda, dari P. D. Chantepie de la Saussaye hingga sejarawan agama Skandinavia Geo Widengren dan Ake Hultkrantz). Ketiga, fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Pengertian ini diajukan oleh W. Brede Kristensen, Gerardus van der Leeuw, Joachim Wach, C. Jouco Bleeker, Mircea Eliade, Jacques Waardenburg. Keempat, ada ilmuan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat. Beberarapa ilmuan, seperti Max Scheler dan Paul Ricoer, mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat. Yang lainnya, seperti Rudolf Otto, Gerardus van der Leeuw dan Mircea Eliade, menggunakan metode filsafat dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Ada juga pendekatan-pendekatan teologis berpengaruh yang menggunakan fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi, seperti Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean-Luc Marion.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat umum, karena tidak memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Definisi yang paling tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama, menurut penulis, adalah pengertian yang diberikan oleh James L. Cox. Dengan menggunakan konsep-konsep Husserl, Cox mendefinisikan fenomenologi agama dengan pengertian sebagai berikut:
A method adapting the procedures of epoché (suspension of previous judgments) and eidetic intuition (seeing into the meaning of religion) to the study of the varied of symbollic expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted value for them.
[Sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoché (penundaan penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka].
Dari pengertian ini, ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi, yaitu epoché, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic intuition yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamaannya dapat diketahui struktur-struktur mendasarnya.

C. Kritik Terhadap Fenomenologi Agama
Dalam bahasan ini, perdebatan atau kritik diringkas dari Bab 7 buku James L. Cox. Perdebatan ini akan dibagi ke dalam tiga tema, yaitu (1) keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis; (2) motif teologis; (3) dan keterlibatan ilmuan agama secara sosial dalam masyarakat.

1. Kritik Gavin Flood tentang Keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Sebuah Tradisi Filosofis
Yang pertama adalah kritik yang dilakukan Gavin Flood tentang keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut Flood, metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai kecenderungan-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengasumsikan pengalaman universal manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subjek yang terpisah”, para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuan agama secara paradoksal tetap mengkontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturan-aturan untuk menafsirkan fenomena keagamaan. Ini membuat fenomenologi, setidaknya, rentan terhadap tuduhan bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap objek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran seorang praktisi keagamaan. Klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak terdapat pada ilmuan lainnya, sangat kuat menyiratkan “agenda teologis” di balik fenomenologi agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang agama-agama.

2. Kritik Donald Wiebe terhadap Motif Teologis van der Leeuw, Elliade dan Smart
Wiebe menuduh ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis tentang agama-agama. Van der Leeuw, misalnya, bersikukuh bahwa setiap ilmuan mesti berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-kultural” ilmuan itu sendiri. Menurut Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-kanakan dan menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa van der Leuuw, yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la Saussaye dan C. P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. Kata Wiebe, “Dengan van der Leeuw … kajian agama tidak hanya tidak bergerak melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin keilmuan itu di Belanda, namun lebih tepatnya kembali kepada pendekatan teologis awal—sebuah pendekatan yang sama saja dengan subversi terhadap kajian ilmiah agama.”
Singkatnya, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw, seperti dijelaskan Allen, didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah penilaian dan asumsi teologis dan metafisis; seringkali bersifat subjektif dan begitu spekulatif; mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi riset yang berbasis empiris.
Terhadap Elliade, Wiebe menyerang metode hermeneutikanya yang disebutnya sebagai “sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu.” Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap “situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern.” Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini “akan mengharuskan distorsi reduksionistik terhadap kebenaran agama dan karenanya, distorsi kebenaran tentang agama.” Wiebe beranggapan bahwa posisi anti-reduksionistik-nya Elliade menyembunyikan “agenda teologis yang terselubung”. Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuan memberikan kontribusi kepada “penyelamatan” “manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi “pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.”
Baik van der Leeuw maupun Elliade menegaskan bahwa seorang yang religius mengakui adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan mereka melampuai pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuan mesti mengalaminya secara personal jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan. Dengan begitu, van der Leeuw dan Elliade rentan pada tuduhan bahwa fenomenologi mereka serupa dengan teologi agama.
Begitu pula, gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara hati-hati, memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan.” Malah kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul.” Wiebe menyelidiki apa yang ia anggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmiah, meskipun Smart mengatakan bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. Dengan mengangkat isu tentang kebenaran agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatan-ikatan awal antara kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe, ditegaskan oleh caranya menghadapi epoché (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan “pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan ke dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Pada titik inilah, kata Wiebe, ambiguitas posisi Smart muncul. Jika ilmuan agama bertujuan tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, namun juga mengungkapkan keyakinannya tentang nilai-nilai dan sentimen-sentimen keagamaan, maka sesuatu yang lebih dari pengetahuan agama akan terkandung, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.

3. Peran Publik Ilmuan Agama
McCutcheon berpandangan ada dua masalah yang dilakukan oleh ilmuan agama. Pertama, mereka bersikukuh pada otonomi disiplin keilmuan mereka, dan ini mempengaruhi tindakan pemisahan kajian-kajian agama secara kelembagaan dari disiplin-disiplin ilmu lainnya di universitas. Dengan menentukan fokus agama sebagai yang tidak bisa diketahui, non-historis, suci-transenden, Eliade dan para fenomenolog lain telah melepaskan hak-haknya untuk membuat komentar-komentar tentang isu-isu sosial dan politik. Ini muncul tidak hanya dari teologisasi studi agama, namun dari asumsi yang dinyatakan secara jelas oleh Eliade, bahwa apa yang religius itu baik, sehat, positif dan menyelamatkan. Ilmuan yang beranggapan seperti itu berarti telah kehilangan kapasitas kritis untuk mengomentari realitas sosial dari agama sebagai faktor yang berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, baik positif maupun negatif, termasuk hubungan antara agama dan kekerasan. Kedua, deskripsi data agama dan tawaran interpretasi hanya dalam cara-cara yang bisa diafirmasi oleh orang beriman saja. McCutcheon menyamakan metode ini dengan “otobiografi refleksif” yang mereduksi peran ilmuan hanya sebagai reporter yang mengulang klaim-klaim insider yang kurang penting.
Teori bahwa jantung agama adalah “keimanan personal”, “supranatural”, “suci” atau “transenden” membawa kepada tafsiran agama yang sangat individualistis yang, menurut McCutcheon, terletak pada akar pembedaan problematis antara agama dan dunia (sekular). Dikotomi agama-sekular ini didasari pada asumsi bahwa agama milik ruang privat. Agama, menurut McCutcheon, dijelaskan sebagai variabel bebas yang menempati ruang bersih bagi pandangan moral yang pribadi dan murni, yang menentang dan menyelamatkan dunia publik politik dan ekonomi yang berantakan.
Tantangan ilmuan agama sekarang ini apakah mereka akan menerima peran publik atau tidak? Peran publik di sini bukanlah keterlibatan praktis dengan isu-isu sosial dan politik, namun sebagai seorang kritik yang membuka tabir “mekanisme kekuasaan dan kontrol”. Ini diterapkan pertama kali pada cara dimana agama-agama dipelajari, dan merujuk kepada pengujian-diri yang kritis terhadap metode dan teori dan studi agama. Di ruang publik, ilmuan mempertanyakan “bukti-bukti diri”, mengangkat “kebebasan intelektual” dan, dengan bekerjasama dalam cara lintas-disiplin dengan ilmuan-ilmuan lain yang menggunakan metode yang diambil dari bidang studi mereka, mengidentifikasi strategi-strategi ideologis yang menghomogenisasi dan yang begitu penting bagi pembentukan dan pengaturan komunitas manusia. McCutcheon menyebut peran ini dengan “kritik budaya” (cultural criticism).
Sedangkan di sisi lain, David Chidester, yang tidak mengkonfrontasi secara langsung masalah ilmuan agama yang terlibat secara sosial, memaparkan bahwa konteks-konteks sosial, historis dan politik dalam kajian agama mempengaruhi tafsiran ilmiah dan menetapkan kategori-kategori yang melaluinya tafsiran-tafsiran tersebut disaring. Ia menggarisbawahi fakta bahwa kajian agama kelihatan sangat berbeda ketika dilihat dari perspektif kelompok terpinggirkan ketimbang dari dalam struktur kekuasaan akademis yang berlaku di universitas-universitas Barat.
Ia memperlihatkan bahwa temuan-temuan dari “ahli agama perbandingan” menjadi alat yang berpengaruh bagi kolonialisme untuk memapankan dan melakukan “kontrol lokal” dengan membentuk wacana tentang orang lain yang memperkuat kebijakan kolonial. Sikap-sikap terhadap penduduk asli berubah, dari tidak memiliki agama, menganut agama kuno, hingga kepada agama yang tidak bisa disamakan dengan agama Barat. Dalam masing-masing kasus, interpretasi-interpretasi ini adalah untuk melayani kepentingan kolonial.
Untuk itu, menurut Chidester, kita tidak bisa memahami penciptaan kategori “agama” di luar konteks kolonial di mana relasi kekuasaan dipasang dan diperkuat oleh konstruksi ideologis tentang “the other”. Berdasarkan alur penalaran ini, agama sebagai temuan Kristen-Barat seharusnya dipahami bukan sebagai kesalahan fenomenologis dalam formasi kategori, namun sebagai hasil dari kategori-kategori kekuasaan yang nyata-historis dan terinspirasikan secara kolonial: tinggi dan rendah, beradab dan primitif, pusat dan pinggiran.

D. Respons James L. Cox Terhadap Perdebatan
Menurut Cox, debat tentang kesinambungan filosofis dari fenomenologi agama seharusnya diletakkan dalam istilah subjek-objek, atau apakah mereka harus dipahami secara naratif atau dialogis. Dalam hal ini, kontribusi Flood berasal dari penekanan pada pemasukkan perspektif komunitas beriman ke dalam tafsiran yang diberikan ilmuan tentang komunitas beriman itu. Flood berupaya melampaui ini dengan menegaskan bahwa empati sebenarnya mengabadikan perbedaan antara subjek dan objek. Dalam pandangan Cox, selama aturan-aturan yang digunakan oleh riset akademis diterapkan, hal terbaik yang bisa dicapai oleh ilmuan adalah sejenis empati radikal, yang berakar pada refleksi-diri, namun yang mengakui pembedaan fundamental antara “diri” (peneliti) dan “yang lain” (objek penelitian). Fakta ini tidak menghalangi dialog karena ilmuan mesti berjalan menurut komitmen yang jelas terhadap rasionalitas ilmiah, yang berjalan berdampingan dengan komitmen keagamaan dari komunitas yang diteliti oleh ilmuan.
Cox mengikuti pemakaian epoché yang diterapkan secara longgar, dengan mengadopsi posisi refleksi-diri, dan komitmen pada pelibatan komunitas dalam setiap tafsiran yang diberikan, sehingga fenomena dapat dimungkinkan untuk berbicara buat dirinya. Dengan cara ini, tugas interpretasi berasal dari kombinasi antara refleksi-diri yang ilmiah dan empati.
Berkenaan dengan debat yang kedua, Cox mengatakan bahwa studi agama mencakup teologi sebagai bagian dari wilayah kajiannya. Teolog, setidaknya dalam satu definisi, merupakan praktisi. Mereka mempelajari, menganalisa, menafsirkan, secara umum dalam satu tradisi, makna dari apa yang dipertahankan tradisi. Ilmuan agama menganggap teologi sebagai cara-cara di mana sebagian komunitas merefleksikan realitas alternatifnya. Dengan kata lain, teologi, seperti ritual, moralitas, mitos, kitab suci, komunitas, hukum dan seni, membentuk bagian dari data yang dijadikan sandaran bagi aktivitas kajian agama. Ini bukanlah menegaskan satu posisi superioritas, namun hanya menentukan peran-peran yang cukup berbeda bagi kajian agama dan teologi.
Untuk alasan ini lah, Cox menentang upaya-upaya untuk mendorong kajian agama masuk ke dalam teologi secara definisi atau menempatkannya dalam kajian budaya. Cox tetap tidak yakin dengan argumen-argumen yang diberikan Wiebe dan Fitzgerald dan menangkal bahwa apa yang kita lakukan dalam kajian fenomenologis tentang agama, sebagai analisis dan interpretasi terhadap komunitas yang melembagakan perilaku di seputar realitas alternatif yang dipercaya, berkaitan erat dengan apa yang dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial, dan tidak sama dengan ilmu sosial lainnya. Kajian agama, dalam pandangannya, hidup bersandingan dengan teologi di departemen universitas sebagai sebuah peristiwa sejarah, dan bukan, seperti yang dikatakan anti-agama gelombang baru, sebagai bagian dari komitmen ideologis yang mendalam kepada satu rujukan transenden. Berdasarkan alur pemikiran ini, adalah mungkin setia terhadap posisi fenomenologi klasik bahwa kajian agama bisa non-teologis dan non-reduktif kepada ilmu sosial apa pun.
Berkenaan dengan isu keterlibatan ilmuan agama terhadap masalah sosial, Cox setuju dengan McCutcheon bahwa seorang ilmuan agama perlu memainkan peran publik, dalam arti “sebagai kritik, bukan pengurus”. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk menganalisa konteks-konteks agama, ilmuan mesti memikul tanggung jawab untuk menerapkan ini kepada isu-isu penting yang mempengaruhi masyarakat. Ini berarti bahwa peran ilmuan sebagai kritik publik tidak pernah terjadi dalam satu cara yang terlepas dari konteks sosial. Di sini peran ilmuan selain mendeskripsikan proses-proses sosial yang berasal dari lembaga-lembaga kekuasaan, baik agama maupun sekuler, dan mengidentifikasi pengaruh-pengaruh apa yang diberikan proses-proses ini kepada agama dan pengalaman spiritual dalam konteks kontemporer, juga menghapus praktik-praktik berbahaya di dalam komunitas itu. Dengan cara ini, ilmuan mungkin mengungkap struktur-struktur kekuasaan yang menghancurkan agama melalui proses radikalisasi individual, dan pada saat yang sama mungkin menemukan jenis otoritas yang berbeda berdasarkan pada kepentingan-kepentingan politik da ekonomi yang kuat. Dengan menafsirkan agama sebagai transmisi otoritatif terhadap tradisi dalam konteks-konteks sosial, ilmuan agama diberikan metode analisis yang penting yang melaluinya mereka bisa menawarkan satu komentar publik tercerahkan dan memberikan kritik sosial yang tajam.

E. Aplikasi Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Agama
Bagaimana mengaplikasikan pendekatan fenomenologis dalam penelitian agama? Untuk menjawab ini, penulis akan memaparkan beberapa prosedur penelitian fenomenologis yang disusun oleh Cresswell:
  1. Peneliti perlu memahami perspektif filosofis di balik pendekatan itu, khususnya konsep tentang mempelajari bagaimana orang mengalami fenomena. Konsep epoché adalah penting, dimana peneliti mengurung gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena untuk memahaminya melalui suara-suara informan.
  2. Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu pengalaman bagi individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
  3. Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang sedang diteliti. Khususnya, informasi ini dikumpulkan melalui wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-diri dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya artistik) dengan informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.
  4. Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan prosedur dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan atau horisonalisasi. Kemudian unit-unit ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis. Terakhir, transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat deskripsi umum tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi struktural tentang bagaimana ia dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi dari pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal, dengan menggunakan analisis subjek-tunggal sebelum analisis antar-subjek, dan dengan menganalisa peran konteks dalam prosesnya.
  5. Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis. Misalnya, ini berarti bahwa semua pengalaman mempunyai struktur “mendasar” (kesedihan itu sama entah yang dicintai itu seekor anjing peliharaan, burung beo, atau seorang anak kecil). Seorang pembaca laporan tersebut akan datang dengan perasaan “Saya memahami lebih baik tentang seperti apa bagi seorang untuk mengalami itu.”

III. Penutup
Sebagai penutup, penulis akan mengutip pandangan Cox dalam tulisannya Religion Without God: Methodological Agnoticism and the Future of Religious Studies, bahwa agama mesti dipelajari sebagai sebuah ekspresi sosial dan kultural dengan konteks-konteks hisotris, geografis, politik dan ekonomi. Dimensi-dimensi Smart dapat digunakan, namun tanpa membawa gagasan esensialisnya tentang agama sebagai sesuatu yang difokuskan secara transendental. Kita bisa juga mendukung pendekatan polimetodis dengan menggunakan semua ilmu pengetahuan manusia untuk memahami bagaimana tradisi-tradisi ditransmisikan secara otoritatif dalam berbagai macam masyarakat dan bagaimana ini diperkuat dalam mitos, ritual, doktrin, pranata hukum, ekspresi artistik, dan testimoni kaum beriman, termasuk keadaan seperti kemasukan ruh dan keluar dari pengalaman fisik.
Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagian bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada kita satu jalan untuk mempelajari agama tampa memasukkan agenda teologis, sembari memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh, termasuk kritik-kritik posmodern atau poskolonial.
Selain itu, pendekatan-pendekatan baru dalam kajian agama mesti memisahkan agama dan the sacred, Tuhan, kekuatan-kekuatan yang transenden, besar atau kuat. Ini akan membebaskan agama dari teologi dan memungkinkan pemisahan yang jelas antara analisis-analisis akademis dan konfessional. Ini juga mendefinisikan secara tajam agama dalam istilah-istilah sosial dan institusional.

IV. Bibliografi
Allen, Douglas, “Phenomenology of Religion” dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005
Cox, James L., A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, New York: T & T Clark International, 2006
--------, Expressing the Sacred: An Introduction to the Phenomenology of Religion, Harare: University of Zimbabwe, 1992
----------, “Religion without God: Methodological Agnoticism and the Future of Religious Studies”, The Hibbert Lecture, Herriot-Watt University, 13 April 2003
Cresswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, London: Sage Publications, 1998
Crotty, Michael, Foundations of Social Research: Meaning and Perspective in the Research Process, Australia: Allen & Unwin, 1998
Erricker, Clive, “Phenomenological Approaches” dalam Peter Connolly (ed), Approaches to the Study of Religion, New York: Cassel, 1999
Moustakas, Clark, Phenomenological Research Methods, London: Sage Publication, 1994
Wallis, W. Allen (eds), International Encylopedia of Social Sciences, Vol. 11 dan 12, New York: Macmillan, 1972

* Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah. Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Theologia, IAIN Walisanga, Vol. 19, No.1, Januari 2008.

Tidak ada komentar: