Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Januari 2010

Media Global


Media Global Dan Internet
Implikasinya terhadap Agama dan Komunitas

Rusli *


Abstract

This paper deals with the global media and its influences for the community formations and identity constructions as well. From sociological point of view, it is argued that the global media or Internet plays a significant role in constructing myriad forms of identity, or even serves as a driving force to perform some virtual movements, either in maintaining symbols of identity, having identities to be publicly accepted, or motivating the solidarity of identity-based community. Nevertheless, in the contexts of Muslim community (ummah), Islamic identities that would be accepted by Muslims in the virtual world, does not occur through mere competitions or contestations, but through consciousness and authority.


Keywords: Internet, konstruksi identitas, komunitas virtual


Computers have changed; times have changed; [we] have changed. But [one] could
also write: Times have changed; [we] have changed; computers have changed. In
fact, there are six possible sequences. We construct our technologies, and our
technologies construct us and our times. Our times make us, we make our
machines, our machines make our times. We become the objects we look upon but
they become what we make of them (Turkle, 1995: 46).

Pendahuluan
Globalisasi merefleksikan sebuah pandangan mendunia bahwa dunia dicairkan ke dalam satu ruang sosial yang sama oleh kekuatan ekonomi dan teknologi, dan bahwa perkembangan dalam satu wilayah di dunia dapat memiliki konsekuensi yang besar bagi kesempatan hidup individu-individu atau komunitas-komunitas di sisi lain dunia ini. Atau seperti ungkapan Albrow,[1] globalisasi menggambarkan “semua proses yang dengannya masyarakat dunia dimasukkan ke dalam masyarakat tunggal dan global”. Dengan kata lain, globalisasi menciptakan apa yang disebut dengan “global village” (Kampung Global).
Kekuatan pendorong yang sangat kuat bagi menguatnya proses globalisasi ini tidak diragukan lagi adalah teknologi informasi. Teknologi informasi ini menjadi suatu kajian yang sangat diminati para mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Salah satu teknologi dalam bidang komunikasi yang patut diperhitungkan adalah media komunikasi yang disebut “Internet”. Sebagai sebuah media, Internet memainkan banyak fungsi, yaitu dapat melayani kebutuhan-kebutuhan baik personal, sosial maupun spiritual. Pada tingkatan personal, misalnya, media komunikasi ini menyediakan suatu hubungan (link) kepada masyarakat yang lebih luas dan, paling tidak, hubungan-hubungan tidak langsung kepada manusia lainnya, dan dalam tingkatan yang bervariasi, sebuah rasa keterhubungan dan solidaritas. Media ini dapat pula memperkuat rasa isolasi masyarakat serta membuat mereka menjadi takut dan khawatir terhadap dunia luar. Media ini juga menyediakan saluran emosional, seperti rasa marah dan rasa simpati, dapat menghibur, memberikan kesenangan, atau bahkan menciptakan kekacauan. Internet menyediakan informasi, mitos, atau disinformasi tentang masa lalu dan masa sekarang yang membantu menciptakan sebuah budaya dan sistem nilai-nilai, tradisi-tradisi dan cara pandang terhadap dunia.
Pada tataran politik, media Internet memainkan peran yang cukup sentral dalam bekerja dan berfungsinya sebuah demokrasi. Secara historis, ciri yang mendasar dari gerakan-gerakan demokrasi adalah penciptaan sebuah ‘ruang publik’, yang berarti semua tempat dan forum dimana isu-isu penting bagi komunitas politik didiskusikan dan diperdebatkan, dan dimana disajikan pula informasi-informasi penting bagi partisipasi warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini penting karena masyarakat demokrasi tergantung kepada masyarakat terpelajar yang well-informed yang dapat membuat pilihan-pilihan secara rasional dan bebas. Singkatnya, peran dan fungsi yang dimainkan media dalam berbagai aspek kehidupan seperti sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama, memberikan pengaruh yang siginifikan bagi proses transformasi masyarakat. Tulisan ini akan memfokuskan pada media Internet dan bagaimana implikasinya bagi kehidupan sosial, budaya dan agama.
Internet dan Perubahan Sosial: Konteks Teoritis
Tradisi-tradisi teoritis utama dalam bidang sosiologi menekankan aspek-aspek yang berbeda dari media elektronik. Bagi Durkheimian, media komunikasi seperti telepon berpotensi memperkuat solidaritas organis, sedangkan media penyiaran seperti radio dan televisi memungkinkan munculnya representasi kolektif yang kuat dan solid.[2] Kelompok Marxis, disisi lain, memfokuskan pada eksploitasi media komunikasi untuk meningkatkan kontrol elit terhadap politik dan produksi melalui proses hegemoni budaya dan pengawasan yang diperketat.[3] Sedangkan kaum Weberian menegaskan bahwa media meningkatkan rasionalisasi dengan mengurangi batas-batas ruang dan waktu, dan media penyiaran menyediakan elemen-elemen dari budaya-budaya status yang berbeda.[4]
Tradisi-tradisi lain juga menawarkan perspektif-perspektif berbeda tentang media digital. Pada tahun 1960-an, misalnya, mahasiswa yang mempelajari perubahan sosial memperkirakan bahwa dalam menghadapi perkembangan-perkembangan baru dalam bidang teknologi komunikasi, masyarakat industri akan takluk dan tunduk kepada suatu masyarakat yang disebut “masyarakat informasi” (information society), dengan konsekuensi-konsekuensi dalam setiap bidang institusinya.[5] Yang lebih belakangan, Manuel Castells berpendapat bahwa dunia sekarang sedang memasuki “era informasi” dimana teknologi informasi digital menyediakan basis material bagi penyebaran apa yang kita sebut dengan “bentuk jaringan organisasi” (networking form of organization) dalam setiap ranah struktur sosial.[6] Menurut Castell,[7] integrasi cetak dan modalitas audiovisional Internet ke dalam satu sistem tunggal menjanjikan sebuah pengaruh kepada masyarakat yang dapat dibandingkan dengan sistem abjad, menciptakan bentuk-bentuk identitas dan ketidaksetaraan baru dan membentuk bentuk-bentuk organisasi sosial baru.
Pandangan-pandangan yang komprehensif dari Castells, seperti juga tradisi-tradisi teoritis lainnya, menyarankan serangkaian pertanyaan empirik yang mesti dijawab oleh seorang peneliti untuk melihat pengaruh Internet terhadap masyarakat. Dari tradisi Marxis dan Weberian muncullah perhatian mengenai kekuasaan dan ketidaksetaraan dalam akses terhadap teknologi baru. Perspektif Durkheimian membuat kita sensitif kepada pengaruh media terhadap komunitas dan modal sosial. Sementara itu, tradisi Weberian mengajukan pertanyaan tentang efek teknologi Internet terhadap birokrasi dan institusi-institusi ekonomi.
Internet: Sebuah Overview
Internet adalah sebuah jaringan komputer yang berskala dunia. Menurut statistik saat ini, ada sekitar 10 juta komputer di dunia yang dihubungkan kepada jaringan dalam 136 negara.[8] Selama dua tahun belakangan ini, jumlah komputer yang dihubungkan tersebut bertambah setiap beberapa bulan, yang membuktikan bahwa penyebaran sistem tersebut berjalan sangat cepat.
Internet, dengan huruf kapital ‘I’, diciptakan pada tahun 1970-an oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan tujuan untuk menjaga pengalihan informasi dalam pelbagai kasus perang, yang jika menggunakan jalur-jalur komunikasi lain menjadi tidak mungkin atau bahkan bisa berbahaya. Sistem pertama yang dibuat adalah jaringan komputer the Advanced Research Project Agency (ARPANET). Sistem tersebut kemudian berkembang pesat dan akhirnya menyebar secara luas, terutama di dunia dan lingkungan akademis.
Jaringan (network) tersebut pertama kali didemonstrasikan secara publik pada Konferensi Internasional tentang Komputer dan Komunikasi yang diselenggarakan pada tahun 1972. Para peneliti dan saintis dari berbagai negara di dunia mendapat kesempatan untuk melihat dan mempelajari network tersebut. Meskipun beberapa negara telah memiliki network sebelumnya, tetapi tidak satu pun dari negara-negara tersebut yang memiliki kapasitas yang sama, dan mereka ingin menghubungkan diri kepada ARPANET. Maka, standar-standar harus dirancang ulang untuk semua sub-network yang berbeda pada pertengahan tahun 1970-an. Sistem segera menyebar melampaui ranah-ranah akademis dan dalam satu dekade, jutaan orang mulai menggunakannya.
Dalam perjalanan waktu, pengguna Internet semakin meningkat. Berkenaan dengan jumlah pengguna saat ini di dunia, ada beragam prakiraan. Tahun lalu, Internet secara keseluruhan mengalami perkembangan yang berlipat-ganda, seperti yang telah terjadi setiap tahun semenjak 1988. Secara umum, jumlah pengguna Internet melonjak dari 16 juta pada tahun 1995 menjadi 360 juta pertengahan tahun 2000-an. Meskipun ada penyebaran yang begitu cepat, tetapi jumlah ini merepresentasikan hanya 5 persen dari keseluruhan jumlah penduduk dunia.[9]
Dalam kasus negara-negara yang mayoritas muslim, akses Internet nampak berkembang pada tingkatan yang bervariasi. Data yang tersedia hanya me-list akses ke Internet melalui langganan (subscription) kepada Internet Server Providers (ISPs). Jumlah aktual pengguna Internet kemungkinan empat kali lebih besar dari angka-angka tersebut.
Di antara yang paling terbesar adalah Malaysia dan Turki, yang masing-masing mencapai 600.000 subscription. Dalam kasus Malaysia, misalnya, jumlah ini mencapai 3 persen dari keseluruhan penduduk Malaysia, dan peningkatan rating akses Internet ini disebabkan oleh kebijakan agresif pemerintah Malaysia untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan dalam kasus Turki, jumlah tersebut hanya mencapai 1 persen dari keseluruhan penduduk. Sementara itu, negara-negara yang paling kecil mengakses Internet adalah negara-negara di Afrika sub-Sahara. Kecuali Senegal dan Nigeria, negara bermayoritas Muslim di wilayah ini tidak memiliki lebih dari 400 pelanggan Internet. Menurut Thapisa, hal itu disebabkan oleh masalah-masalah infrastruktur utama, sistem telepon yang buruk dan ketiadaan perangkat keras (hardware) komputer. Untuk kasus Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar, diperkirakan hanya memiliki 80.000 hubungan jaringan hingga Mei 1998. Keterpurukan ekonomi di Asia Tenggara menyebabkan penurunan yang drastis dalam anggaran teknologi informasi, dan diperkirakan pertumbuhan kepemilikan terhadap komputer personal juga dikurangi.[10]
Sedangkan mengenai aturan hukum, jarang sekali ada peraturan politik dan hukum yang mengatur masalah media Internet ini. Karena Internet mampu melampaui batas-batas sistem budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang sangat berbeda, dan karena fenomena Internet juga terjadi sangat cepat dan spontan, maka tidak ada satu badan pun yang memiliki waktu atau mekanisme yang sistematis untuk mengontrolnya. Berbeda dengan kasus Iran, demi alasan stabilitas negara, para pejabat negara ini tidak segan-segan melakukan pemeriksaan acak untuk memastikan bahwa pengguna Internet tidak menggunakan bahasa-bahasa yang kotor (bad languages) atau menyampaikan pesan-pesan politik yang membahayakan negara. Untuk itu, review pemerintah terhadap Internet adalah mempelajari cara-cara mencegah timbulnya efek-efek berbahaya yang tidak diinginkan.[11] Penyensoran yang terjadi di Jerman terhadap sumber-sumber informasi yang berbasis network, menyebabkan kekacauan yang serius di dalam komunitas Internet internasional. Singkat kata, sekalipun ada upaya-upaya untuk membatasi informasi berbasis network, tetapi karena kompleksitas network, kerapkali sulit untuk benar-benar bisa mengatur sistem tersebut.
Implikasi Sosial Internet
Dibandingkan dengan media informasi dan komunikasi lainnya, Internet dipercaya sebagai sebuah media yang paling cepat dan efektif dalam menyampaikan informasi yang utuh dengan jangkauan yang cukup luas ke seluruh dunia. Mengingat tidak ada aturan hukum untuk menjerat penyebar informasi, maka informasi dalam bentuk apa pun dapat leluasa mengalir di jaringan Internet. Konsekuensi logis, hal ini tentunya memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap kehidupan sosial, budaya dan juga agama.
Menurut Thompson, dengan bantuan media tradisi masyarakat setidaknya akan mengalami berbagai bentuk perubahan, deritualisasi (deritualization), depersonalisasi (depersonalization) dan delokalisasi (delocalization), terutama melalui semakin menurunnya ketergantungan kepada komunikasi langsung (face to face communication).[12] Ketika pemeliharaan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan keagamaan menjadi semakin tergantung kepada isi keagamaan dan kultural yang simbolik yang dihasilkan dari produk-produk media (seperti buku, film, dan sebagainya), maka kebutuhan atas pelaksanaan ritual dalam setting-setting perkumpulan yang bersifat fisik dan face to face akan menurun. Lalu, ketika media menghilangkan kebutuhan untuk mempertahankan ikatan-ikatan melalui interaksi face to face, keberurat-akaran tradisi dalam ruang waktu tertentu akan pula melemah.
Dalam perspektif sosiologis, Internet berpotensi juga membentuk beragam komunitas serta formasi identitas baik yang personal maupun sosial. Secara hipotetis, penulis akan melihat bagaimana implikasi Internet terhadap pembentukan kedua entitas ini, terutama dalam komunitas Islam, dimana Internet menjadi sebuah kekuatan yang dapat menciptakan virtual ummah yang tidak terikat oleh batasan-batasan geografis dan wilayah, serta menyediakan wadah bagi pencarian identitas di kalangan umat Islam.
Pembentukan Komunitas
Dalam pandangan fungsionalis-struktural, masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang saling keterkaitan dan ketergantungan. Perubahan atas satu sistem berakibat pada perubahan sistem yang lain. Internet merupakan bagian dari sistem yang berpotensi melakukan dan mempengaruhi perubahan-perubahan, baik yang diharapkan ataupun tidak. Salah satu implikasinya adalah adanya kesenjangan atau ketidaksamaan akses terhadap Internet, seperti yang diasumsikan kaum Marxis, karena orang kaya (the haves) yang memiliki sumber daya dan modal akan dengan mudah mengakses media Internet, dibandingkan dengan orang miskin (the have-nots). Fakta ini pada gilirannya akan menciptakan kesenjangan-kesenjangan lain dalam pelbagai peluang ekonomi. Diperkirakan pula bahwa keuntungan-keuntungan yang lebih besar hanya akan dapat diperoleh oleh mereka yang menggunakan Internet dengan lebih cepat dan produktif ketimbang mereka yang tidak dapat atau kurang menggunakannya. Sebagai contoh, seseorang dapat melakukan berbagai transaksi ekonomi melalui Internet, tanpa harus bertemu langsung, yang hal ini tentunya dapat menghemat biaya ekonomi dan tenaga. Dengan menggunakan jasa internet pula seseorang dapat melakukan transaksi perbankan (Internet banking) dengan cepat tanpa harus bersusah-payah pergi ke Bank.
Dalam kasus negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, tidak semua orang dapat mengakses Internet dengan mudah. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa untuk mengaksesnya diperlukan biaya yang tidak sedikit dan juga pengetahuan dasar yang cukup. Sedangkan sebagian besar masyarakat Indonesia, secara ekonomis, adalah masyarakat yang hidup di bawah rata-rata penghasilan standar.[13] Bagaimana mungkin berpikir untuk mengakses informasi atau komunikasi melalui media Internet, jika untuk kebutuhan perut yang mendasar saja masih belum mencukupi. Begitupula, tingkat pendidikan dalam masyarakat masih rendah, sedangkan memiliki kemampuan dasar untuk menggunakan Internet adalah suatu hal yang penting, karena itu, akan sulit bagi mereka untuk mengaksesnya. Ini ditambah lagi dengan semakin meningkatnya jumlah siswa yang putus sekolah terutama karena alasan ekonomi, baik pada tingkat dasar maupun tingkat menengah.
Implikasi kultural dari ketidaksamaan ini adalah bahwa mereka yang menggunakan Internet secara reguler akan lebih mudah dipengaruhi oleh budaya-budaya yang terdapat dalam Internet tersebut. Dalam realitas maya, yang lebih dominan mendasari penyampaian pesan dalam media Internet adalah budaya Barat (misalnya, Amerika) yang cenderung konsumeristik, permisif dan bahkan hedonistik.[14] Dalam realitas maya, akses orang-orang Amerika terhadap Internet melebihi eksistensi budaya-budaya lainnya di dunia, dan karenanya norma-norma budaya, ideologi, dan keyakinan Amerika mengalir dengan cepat di jaringan (network) tanpa terbendung. Pengakses Internet di sisi lain dunia ini dapat dengan cepat mendapatkan informasi-informasi yang secara implisit sebenarnya dikemas dengan budaya dan ideologi penyampai pesan. Dan ini kemudian menyebabkan budaya Amerika dengan berbagai atributnya menjadi kuat dan solid melalui proses hegemoni. Atau, dengan bahasa kaum Marxis, Internet tersebut digunakan untuk menyebarkan budaya dan ideologi demi mengeksploitasi atau mengkontrol kelompok lain baik secara politis, ekonomis, maupun ideologis.
Proses dominasi dan hegemoni budaya Amerika ini, dengan menggunakan pendekatan Antonio Gramsci, terjadi melalui mekanisme konsensus atau consent (kesepakatan), tidak melalui penindasan atau paksaan (force). Ada berbagai cara yang digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat, seperti media, yang menentukan secara langsung maupun tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu, hegemoni pada hakikatnya merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.[15]
Dominasi budaya ini setidaknya memiliki dua implikasi. Di satu sisi, gagasan-gagasan budaya Amerika disebarluaskan melebihi budaya-budaya lainnya, sehingga budaya tersebut dapat dikenal dan diketahui secara internasional, dan pada gilirannya berpotensi mempengaruhi pikiran dan keyakinan orang lain. Di sisi lain, keberadaan hanya satu tipe informasi membatasi pengguna-pengguna Internet dari budaya-budaya lain untuk mendapatkan sejumlah informasi yang berharga secara berimbang, karena kendala-kendala yang harus mereka atasi dalam memahami sebagian data yang spesifik dan tersedia dalam satu bahasa, yaitu bahasa Inggris. Mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris (non-english speakers) diharuskan pula untuk menguasai bahasa Inggris, atau boleh jadi tidak akan dapat mengambil lebih banyak keuntungan dari Internet ketimbang mereka yang menguasai bahasa Inggris dengan baik. Bahkan sekalipun mereka berbicara dengan bahasa tersebut, gaya-gaya retoris yang berbeda yang direpresentasikan oleh pengguna-pengguna dari budaya lain boleh jadi akan menghalangi pemahaman terhadap bahan informasi tersebut.
Disamping itu, ketersediaan informasi-informasi tentang isu-isu seksual meningkat secara dramatis dalam Internet. Realitas menunjukkan bahwa penggunaan komputer dan Internet menyebar lebih cepat ketimbang teknologi-teknologi yang ada sebelumnya. Dalam kasus Amerika, misalnya, pada akhir tahun 1999, lebih dari setengah (56%) anak muda di Amerika Serikat mengakses secara online Internet. Diperkirakan pula menjelang tahun 2010 sebagian besar keluarga di Amerika Serikat dengan anak-anaknya akan memiliki akses ke Internet,[16] sedangkan kata sex merupakan istilah pencarian yang paling populer di Internet saat ini.[17] Internet boleh jadi memiliki pengaruh yang positif dan negatif terhadap kesehatan seksual. Aspek positifnya adalah bahwa Internet menyampaikan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi, tentang bagaimana menjauhi perilaku seksual yang menyimpang atau menghindar dari bahaya penyakit AIDS, dan sebagainya. Sejumlah situs Internet, seperti the American Social Health Association's iwannaknow.org, mengangkat isu-isu tersebut, misalnya tentang perilaku seksual yang sehat, dan menyediakan buat anak-anak muda sejumlah informasi tentang metode-metode melindungi diri dari penyakit yang menular secara seksual (sexually transmitted-diseases). Sebaliknya, aspek negatifnya adalah bahwa boleh jadi sebagian anak muda dengan leluasa mengakses pornografi yang tidak sehat, sekaligus pendekatan-pendekatan dan provokasi-provokasi seksual yang menyimpang.
Berkaitan dengan pembentukan komunitas, Internet dipandang berpotensi menciptakan sebuah komunitas virtual (virtual kommunity) atau komunitas online atau cyberspace community. Istilah “komunitas” tidak bisa difahami hanya sebagai kumpulan orang yang terikat oleh ikatan geografis tertentu, tetapi mengandung pengertian lebih luas dari itu. Howard Newby, seperti dikutip Kidd,[18] mengidentifikasikan tiga pendekatan utama tentang bagaimana para sosiolog mecoba mendefinisikan gagasan tentang komunitas. Pertama, komunitas dapat dilihat sebagai dibatasi oleh ikatan-ikatan geografis antara wilayah-wilayah yang berbeda. Kedua, komunitas dapat dilihat sebagai sebuah area yang dilokalisir, sebuah jaringan saling keterhubungan. Terakhir, komunitas dapat dilihat sebagai rasa kebersamaan individu-individu (sense of togetherness).
Kita mungkin sudah mengetahui batasan istilah “masyarakat geografis”, yang merujuk kepada masyarakat yang diikat oleh batasan-batasan wilayah. Sementara itu, “komunitas virtual” atau “komunitas online” merujuk kepada sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) atau masyarakat simbolis (symbolic community) yang tidak diikat oleh batasan-batasan geografis atau wilayah, tetapi diikat dengan sense of togetherness. Ini adalah konteks-konteks dimana hubungan-hubungan yang tidak langsung dan jauh dijaga dan dipelihara melalui komunikasi yang dimediasikan dengan komputer. Para partisipan yang terlibat dalam jenis komunitas ini “terbungkus dalam media” (wrapped in media), yaitu keberadaan fisik seseorang secara signifikan tidak ditekankan. Komunitas seperti ini jelas merupakan produk komunikasi, sebuah proses yang aktif. Maksudnya, Internet memudahkan masyarakat untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan yang lain pada saat yang sama dalam forum-forum, seperti ruang chatting, e-mail, forum diskusi online, dan mailing list. Dengan demikian, Internet menciptakan online communities dalam beragam bentuk dan ukuran, yang terdiri dari komunitas virtual yang menghubungkan orang-orang yang jauh secara geografis dengan kolega-koleganya yang sebelumnya belum mereka kenal, yang tentunya memiliki ketertarikan yang sama.
Komunitas virtual tersebut digerakkan melalui penciptaan wacana berdasarkan atas model-model interpretasi yang umum dan juga diatur menurut tema-tema atau kepentingan-kepentingan tertentu. Tatanan dunia tersebut seringkali berasal dari bahasa-bahasa simbolik dari pertunjukan televisi populer, novel atau film-film. Karena itu, bukanlah hal yang tidak mungkin terutama bagi kalangan Islam untuk menciptakan dan mengembangkan bentuk-bentuk virtual ummah yang norma-norma diskursifnya berasal atau diambil dari kerangka Islam. Dalam virtual ummah ini, identitas-identitas faksional dan sektarianistik disubordinasikan dari kesatuan keagamaan yang lebih besar. Yang lebih ditekankan adalah sisi identitas keberagamaannya. Kata ummah sendiri lebih merujuk kepada satu ikatan komunitas yang tidak terikat pada batasan-batasan geografis, tetapi lebih terikat pada simbol-simbol keimanan dan gagasan-gagasan keagamaan.
Virtual ummah ini, menurut Mandaville,[19] dapat memainkan beberapa peran: pertama, virtual ummah dapat membantu perkembangan jaringan-jaringan sosial yang melaluinya orang-orang Islam yang berada pada tempat yang jauh dapat berkumpul dan berkomunikasi. Kedua, virtual ummah dapat menyediakan ruang bagi dialog dan debat kritis tentang Islam dan pertemuan-pertemuan dengan umat Islam yang lain. Ketiga, virtual ummah juga dapat memungkinkan gerakan-gerakan politik umat Islam untuk menempatkan dan membagi sumber-sumber. Terakhir, virtual ummah secara umum dapat membuka forum-forum dimana umat Islam bisa mendapatkan solidaritas, dukungan, dan orang-orang yang berpikiran sama.
Yang memainkan peran yang signifikan dalam membangun virtual ummah ini adalah umat Islam dan organisasi-organisasi formal di dunia Islam yang memiliki berbagai kecenderungan yang berbeda. Ketika, misalnya, Organisasi Konferensi Islam dan Liga Muslim Dunia online di Internet, mereka mulai mencari dan menanamkan hegemoni mereka di dalam virtual ummah. Dalam dunia virtual ini, Islam diekspresikan secara meluas dan eksplisit oleh partisipan. Sehingga, seorang tidak hanya cukup mengatakan sebagai seorang muslim atau mengikuti praktik-praktik muslim, tetapi juga ia harus merefleksikan tentang Islam dan membela pandangan-pandangannya. Kecenderungan kritis ini memungkinkan setiap Muslim untuk mengambil Islam ke dalam genggamannya, membuka ruang-ruang baru untuk debat dan dialog kritis. Dalam satu kasus, misalnya, ketika pidato dan komunike Osama Bin Laden yang menegaskan bahwa “melawan warganergara Amerika dan kepentingan-kepentingannya dimanapun mereka ada, dan dengan alat apapun, termasuk kekerasan, merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim” disebarkan ke dunia melalui Internet, maka terjadilah counter-wacana oleh umat Islam lain yang keberatan dengan reintelektualisasi Islam-nya Osama bin Laden.
Tarik menarik hal tersebut adalah hal yang biasa, karena memang Internet mengandung potensi untuk itu. Dalam buku Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment, Gary R. Bunt,[20] menegaskan bahwa cyber Islamic environment memiliki potensi untuk mentransformasikan aspek-aspek pemahaman dan ekspresi keagamaan dalam konteks muslim dan memiliki kekuatan untuk memungkinkan elemen-elemen yang ada dalam masyarakat muslim tersebut, baik dalam wilayah-wilayah minoritas maupun mayoritas, didialogkan. Sejumlah ekspresi umat Islam, baik yang radikal, liberal, moderat, militan, sufistik, maupun konservatif, termasuk fatwa-fatwa, dapat dipublikasikan secara online. Untuk itu, beberapa website Islam yang ada mereprsentasikan berbagai kecenderungan-kecenderungan yang berbeda tersebut, baik yang ada dalam komunitas Sunni maupun Syi’ah, atau pun komunitas-komunitas Islam lainnya.
Lalu, bagaimana implikasi virtual ummah terhadap kehidupan sosial masyarakat Islam? Adalah jelas bahwa Internet berperan menciptakan “aktivitas pembentukan modal sosial”. Meskipun pengguna internet menegaskan hubungan-hubungan yang lebih jauh daripada mereka yang tidak menggunakan Internet, mereka mengkomunikasikannya secara intensif dengan tetangga maupun kolega-koleganya. Meskipun internet membantu mempertahankan kontak jarak jauh, namun sebagian besar kontak email adalah antara orang-orang yang juga berinteraksi secara langsung (face to face). Perubahan-perubahan sosial akan mungkin terjadi sangat cepat dengan bantuan Internet, terutama sekali ketika beragam informasi online (maya) tersebut didialogkan dan disosialisasikan secara offline (realitas fisik). Konsekuensinya, akibat interaksi tersebut, kemunculan dan pembentukan identitas-identitas baru menjadi suatu hal yang niscaya. Pembahasan berikut akan memfokuskan kepada peran Internet dalam pembentukan identitas.

Pembentukan Identitas
Internet tentunya tidaklah merevolusi dan menggantikan konsepsi-konsepsi konvensional tentang komunitas atau identitas, tetapi mungkin memfasilitasi atau meningkatkan perubahan-perubahan yang telah berlangsung dalam masyarakat-masyarakat kita. Identitas merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan bagaimana kita memikirkan tentang diri kita sebagai individu, bagaimana kita memikirkan orang lain yang ada di sekitar kita, dan apa yang kita pikirkan tentang pikiran orang lain terhadap kita. Dan identitas ini dapat dinegosiasikan baik melalui bahasa maupun media. Menurut Waren Kidd,[21] terdapat tiga jenis identitas yang merupakan hasil dari negosiasi yang berkesinambungan: (i) identitas individual yang diciptakan melalui interaksi sosial dengan yang lain, dan ia merupakan pengertian yang unik tentang personhood (keberorangan) yang dimiliki oleh masing-masing aktor sosial. (ii) identitas sosial yang merupakan rasa kolektif kepemilikan kepada satu kelompok tertentu, atau individu-individu yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai yang sama dengan atau memiliki kesamaan dengan anggota-anggota kelompok yang lain. (iii) identitas kultural yang merujuk kepada rasa kepemilikan kepada satu kelompok etnik, budaya, atau sub-budaya tertentu.
Yang menjadi pembentuk dan perekat dari identitas-identitas tersebut bisa jadi ikatan etnik, geografis, jenis kelamin, ras atau warna kulit, atau agama. Sebagai salah satu faktor pembentuk identitas, agama biasanya dikemas dengan pertanyaan-pertanyaan tentang identitas, baik pada tingkatan personal maupun sosial.[22] Misalnya, pertanyaan tentang bagaimana menjadi seorang muslim yang ideal, dan bagaimana memperlakukan orang lain yang berada dalam dan bahkan di luar satu ikatan keagamaan. Aktivitas-aktivitas dan gagasan-gagasan keagamaan secara tradisional memainkan peran yang penting dalam proses sosialisasi dan kontrol sosial dalam membentuk dan mempertahankan identitas-identitas tersebut. Penekanannya adalah pada integrasi dan konsolidasi identitas-identitas, dengan menggunakan mitos dan ritual untuk menciptakan, menjaga, dan mengontrol perubahan-perubahan yang penting. Secara dialektik, perubahan dalam cara seorang melihat identitas-identitas mereka memiliki implikasi yang serius bagi kehidupan keagamaan, sedangkan Internet secara sosiologis sarat dengan klaim-klaim atau pernyataan-pernyataan bahwa komunikasi melalui media Internet memberikan pengaruh yang transformatif bagi pembentukan identitas sosial.[23]
Dalam dunia fisik, ada sebuah kesatuan yang inheren kepada entitas diri yang fisikal, karena tubuh menyediakan sebuah definisi yang menyenangkan tentang identitas. Kaidahnya: satu tubuh, satu identitas. Meskipun suatu entitas diri mungkin kompleks dan dapat dipindahkan menurut waktu dan keadaan, tetapi tubuh menyediakan jangkar yang dapat menstabilkan. “I am my body to the extent that I am,” demikian kata Sartre dalam Being and Nothingness. Tetapi, dunia virtual ini berbeda. Ia tersusun dari informasi-informasi ketimbang materi-materi. Informasi menyebar, dan tidak ada aturan hukum yang menjaga dan menyaring informasi. Para penghuni dunia virtual ini juga menyebar, terlepas dari jangkar fisik material. Dalam dunia virtual, identitas memainkan peran yang vital. Dalam komunikasi, yang merupakan aktivitas utama virtual community, mengetahui identitas mereka yang berkomunikasi kepadanya adalah penting untuk memahami dan mengevaluasi sebuah interaksi. Tetapi dalam dunia komunitas virtual yang non-fisik, identitas juga menjadi ambigu, karena sinyal-sinyal identitas menjadi terpencar-pencar, meskipun tetap eksis.
Identitas dikonstruksi, menurut pendekatan interaksionis simbolik, melalui perkataan-perkataan seorang dan juga melalui proses dan interaksi dimana seseorang melekatkan makna-makna sombolik kepada objek, tingkah laku, diri mereka sendiri, dan juga orang lain, dan kemudian mereka mentransmisikan makna-makna tersebut melalui interaksi. Bahasa dan media dalam perspektif interaksionisme simbolik memainkan peran yang vital. Bahkan, bahasa bisa menghubungkan tradisi-tradisi kognitif dan interaktif. Hermans,[24] misalnya mengembangkan konsepsi identitas yang mengintegrasikan tradisi-tradisi ini, sebuah konsepsi yang menunjuk kepada suara-suara kolektif (seperti dialeks sosial dan jargon-jargon profesional) dan mempermudah pengakuan atas dinamika-dinamika dominasi dan kekuatan sosial.
Cyberspace menjadi satu arena dimana pertanyaan-pertanyaan tentang identitas Islam muncul. Di arena ini, umat Islam melakukan interaksi secara online dengan mempublikasikan berbagai gagasan yang berbasis pada identitas dan juga terkadang mengadopsi identitas lain demi kepentingan kelompok identitasnya. Sebuah situs, misalnya, Hezb-e-Mughalstan di India, menganjurkan agar mengadopsi identitas lain, agar dapat meniru atau berpura-pura menjadi anggota kelompok etnik, keagamaan, dan kultural Hindu India.[25] Tujuannya adalah agar dapat menyusup dan menghancurkan fihak lain, dalam hal ini Hindu, melalui komunikasi elektronik. Bunt memandang website ini sebagai “e-jihad”, yang melaluinya teknologi dapat diterapkan dalam berbagai cara yang berbeda untuk mencapai tujuan politik keagamaan.[26]
Dalam konteks Islam di Indonesia, sebagai bentuk penjagaan, resistensi dan solidaritas, Laskar Jihad juga merespons secara online dan offline konflik regional yang berkaitan dengan umat Islam, seperti yang ada di Maluku.[27] Laskar Jihad, yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, secara proaktif menggunakan Internet sebagai alat dan media untuk menyebarluaskan ideologinya, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Situs tersebut diperbaharui secara reguler, dengan berita-berita, artikel-artikel dan foto-foto. Yang menonjol pada halaman depannya adalah perincian tentang rekening banknya, agar bantuan dapat dikirim demi membantu memperjuangkan tujuan-tujuannya. Situs-situs tersebut juga berisi aktivitas-aktivitas paramiliter organisasi tersebut di pulau Maluku melawan penduduk Kristen. Dua ribu jihadis (mujahidin) konon telah tiba sana pada Juni 2000, dengan mengusung suatu interpretasi tentang “perang suci”. Organisasi ini mencoba menjustifikasi aktivitas ini melalui jawaban-jawaban atas beraneka ragam pertanyaan-pertanyaan e-mail, seperti misalnya, “Apakah Laskar Jihad memerangi umat Kristen yang netral?” Galeri foto berisi 40 foto umat Islam yang menjadi korban konflik. Dan pada halaman depan juga berisi frase “Menang atau mati syahid” dan “Jihad di Ambon”, yang kesemuanya ini mengandung pesan-pesan khusus yang bisa menggugah simpati.
Apa yang dilakukan oleh organisasi ini mendapatkan pro dan kontra dari berbagai fihak umat Islam. Dengan menampilkan satu jenis identitas, Laskar Jihad berpotensi mempengaruhi dan menarik simpati dari pendukungnya. Foto-foto yang ditampilkan membangkitkan emosi massa sehingga mereka tergerak untuk berpartisipasi baik dengan finansial maupun jiwanya dengan menjadi laskar sebagai satu bentuk kesadaran akan solidaritas identitas. Dalam hal ini, perspektif Durkheimian benar ketika menekankan fungsi media sebagai pembentuk solidaritas, baik yang organis maupun mekanis.
Disisi lain, kelompok liberal, yang direpresentasikan misalnya oleh Jaringan Islam Liberal (JIL), juga menggunakan Internet dan membuat website untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.[28] Gagasan-gagasannya merupakan ­counter atas wacana dari organisasi-organisasi “fundamentalis” yang berkembang yang lebih cenderung literalistik dan konservatif dan menghilangkan wajah Islam yang damai, pluralis, dan toleran. Dari sini saja sudah tampak adanya ketegangan-ketegangan antara kedua aliran tersebut yang kemudian diglobalisasikan melalui dunia maya (globalizing the local discourse).
Dari perspektif politik keagamaan ini, sebagai implikasi dari informasi-informasi yang beragam, baik yang konservatif-radikal maupun modernis-liberal, yang dibawa oleh media Internet, kemungkinan akan dapat terjadi polarisasi politik, dimana Internet akan memperlemah pusat budaya dan politik yang telah disediakan baik oleh jaringan televisi maupun surat kabar. Individu-individu yang condong kepada ideologi tertentu akan memilih mendatangi media yang memperkuat rasa antipati atau ketidaksukaan mereka (misalnya, kelompok konservatif lebih cenderung akan mengakses website yang berorientasi konservatif, dan seterusnya). Lebih-lebih lagi, kapasitas Internet untuk komunikasi yang sama boleh jadi akan meningkatkan tingkatan pembicaraan yang lebih ekstrim dan penuh dengan kebencian. Disinilah, seperti anggapan Mandaville, Internet dapat menyediakan sebuah ruang dimana umat Islam yang kerapkali mendapatkan diri mereka sebagai kelompok minoritas yang ekstrim dan terpinggirkan, dapat bertualang untuk mendapatkan orang-orang lain seperti mereka. Sebaliknya, sebagai counter-wacana atas isu radikalisme agama, kelompok liberal mencoba menawarkan sisi lain dari agama yang lebih humanis, pluralis, dan toleran, seperti yang sering ditampilkan oleh Jaringan Islam Liberal.
Dari tarik-menarik dan ketegangan-ketegangan yang terjadi kelompok-kelompok ini, yang  mendiskusikan isu-isu publik keagamaan di Internet dalam jangka waktu yang cukup lama serta dengan perasaan yang dibentuk oleh jaringan-jaringan hubungan personal, akan berimplikasi atas munculnya sebuah hasrat publik yang kuat untuk menciptakan sebuah kesinambungan antara pengalaman-pengalaman online (maya) dan relasi-relasi sosial yang off-line (membumi). Maka implikasi-implikasi Internet bagi pembentukan identitas, dan karenanya bagi peran agama dalam membentuk identitas, dan pengaruh formasi-formasi identitas alternatif terhadap praktik agama, menjadi niscaya dan spekulatif.

Catatan Akhir
Masa depan Internet dan sekaligus implikasi-implikasi sosialnya seharusnya memperhatikan masalah ketidaksetaraan akses ke Internet, karena ketidaksetaraan tersebut akan menciptakan marginalisasi masyarakat yang less-educated dan less-sophisticated. Karena itu, menciptakan kesetaraan dalam akses Internet adalah suatu hal yang penting untuk menjamin bahwa mereka yang kurang cakap atau secara teknis tidak sophisticated tidak termarginalisasi dari kesempatan-kesempatan politik, ekonomi, dan sosial yang semakin disediakan oleh Internet. Karena kalau tidak, hal ini akan memperkuat pemilik kapital akan semakin kuat, dan yang lemah akan semakin tidak berdaya, yang pada gilirannya akan menciptakan kesadaran kelas (social consciuoness) di kalangan kelompok terpinggirkan, dan kemudian berpotensi menciptakan revolusi sosial.
Berkenaan dengan identitas, dapat dikatakan bahwa ia dapat menjadi suatu kekuatan pendorong untuk melakukan gerakan virtual, bisa dalam bentuk mempertahankan simbol identitas, memaksakan identitas agar dapat diterima secara publik, dan menggugah solidaritas masyarakat berdasar identitas. Kendati demikian, dalam konteks Muslim, identitas Islami yang bisa diterima oleh muslim dalam dunia virtual tidaklah bisa terjadi melalui persaingan, tetapi melalui kesadaran dan otoritas.

Bibliografi
Alexander, J.C. (ed), Durkheimian Sociology: Cultural Studies, New York: Columbia University Press, 1988
Bunt, Gary R., Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments, London, Virginia: Pluto Press, 2003
Cohen, Robert dan Paul Kennedy, Global Sociology, Houndmills, Basingstoke, London: MacMillan Press, 2000
Collins, R. The Credential Society, New York: Academic, 1979
Davis J., Hirschl T, Stack M. (eds), Cutting Edge: Technology, Information Capitalism, and Social Revolution, New York: Verso, 1997
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, New York: Free Press, 1965
Herman, Edward S. dan Robert W. McChesney, The Global Media: the New Missionaries of Corporate Capitalism, London, Washington: Cassell, 1997
Hezb-e-Mughalstan, “Join the Cyber-Army of Mughalstan”, dapat diakses pada http://www.dalitstan.org/mughalstan/azad/joincybr.html
Karim, Karim H., “Muslim Encounters with New Media: Towards an Inter-civilizational Discourse on Globality” dalam Islam Encountering Globalization, Mohammad Ali (ed), New York: RoutledgeCurzon
Kidd, Warren, Identity and Culture, New York: Palgrave, 2002
Machlup, F., The Production and Distribution of Knowledge in the United States, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1962
Mandaville, Peter G., “Reimagining the Ummah? Information Technology and the Changing Boundaries of Political Islam” dalam Islam Encountering Globalization, Ali Mohammadi (ed), New York: Routledge Curzon, 2002
Mol, H. J., Identity and the Sacred, New York: Free Press, 1976
Patria, Nezar dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Schiller, H., Information Inequality: The Deepening Social Crisis in America, New York: Rotuledge, 1996
Taylor, H., Online Population Growth Surges to 56% of All Adults, (22 Desember 1999). Dapat diakses pada http://www.harrisinteractive.com.
Turkle, S., Life on the Screen: Identity on the Age of the Internet, New York: Simon and Schuster, 1995
Weber, Max, The Sociology of Religion, diterjemahkan oleh Ephraim Fischoff. Boston: Beacon Press, 1963

à Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.


[1] Dikutip dalam Robert Cohen dan Paul Kennedy, Global Sociology, (Houndmills, Basingstoke, London: MacMillan Press, 2000), hal. 24. Redaksinya, “Globalization refers to all processes by which the peoples of the world are incorporated into a single society, global society”
[2] J. C. Alexander (ed), Durkheimian Sociology: Cultural Studies, (New York: Columbia University Press, 1988)
[3] H. Schiller, Information Inequality: The Deepening Social Crisis in America, New York: Routledge, 1996 ; J. Davis et.al., Cutting Edge: Technology, Information Capitalism, and Social Revolution, (New York: Verso, 1997)
[4] R. Collins, The Credential Society, (New York: Academic, 1979)
[5] F. Machlup, The Production and Distribution of Knowledge in the United States, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1962)
[6] M. Castells, The Rise of the Network Society, Jilid I dari buku The Information of Age: Economy, Society and Culture, (Oxford, UK: Blackwell’s), hal. 468
[7] Ibid., hal. 328
[8] Dapat diakses pada http://www.nw.com/zone/WWW/dist-bynum.html
[9] NUA, “How many online?” NUA Internet Surveys. Dokumen online dapat diakses pada http://www.nua.ie/surveys/how_many_online/world.html
[10] Dikutip dalam Karim H. Karim, “Muslim Encounters with New Media: Towards an Inter-civilizational Discourse on Globality” dalam Islam Encountering Globalization, Mohammad Ali (ed), (New York: RoutledgeCurzon, 2002), hal. 47-9
[11] Ibid., hal. 48
[12] Dikutip dalam Karim, Ibid., hal. 39, 51
[13] Dalam sebuah laporan dari International Labour Organization (ILO) disebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berdasarkan standar penghasilan perorang setiap hari diperkirakan 110 juta orang.
[14] Kendati demikian, gagasan-gagasan humanisme, demokrasi, persamaan, kebebasan, dan HAM yang datang dari Barat, terutama Amerika, yang disebarkan secara meluas melalui teknologi informasi, juga berimplikasi positif yaitu mendorong munculnya negara-negara demokratis di negara-negara lain di dunia.
[15] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 120-121
[16] H. Taylor, Online Population Growth Surges to 56% of All Adults, (1999, Dec. 22). Dapat diakses pada http://www.harrisinteractive.com.
[18] Warren Kidd, Identity and Culture, (New York: Palgrave, 2002), hal. 202
[19] Peter G. Mandaville, “Reimagining the Ummah? Information Technology and the Changing Boundaries of Political Islam” dalam Islam Encountering …., hal. 86
[20] Gary R. Bunt, Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments, (London, Virginia: Pluto Press, 2003), hal. 4-5
[21] Kidd, Identity…., hal. 26
[22] Max Weber, The Sociology of Religion, Terj. Ephraim Fischoff, (Boston: Beacon Press, 1963); Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York: Free Press, 1965); H. J. Mol, Identity and the Sacred, (New York: Free Press, 1976)
[23] S. Turkle, Life on the Screen: Identity on the Age of the Internet, (New York: Simon and Schuster, 1995)
[24] Hermans, “Voicing the Self: From Information Proscessing to Dialogical Interchange” dalam Psychological Bulletin, 119, 1996, hal. 31-50
[25] Hezb-e-Mughalstan, “Join the Cyber-Army of Mughalstan”, artikel ini dapat diakses pada http://www.dalitstan.org/mughalstan/azad/joincybr.html. Redaksinya: “It is easy to take on another identity in the Internet. You can pretend that you are a Dalit Sena member, a Tamil separatist, Bengali secessionist, or whatever you want. This is a very powerful weapon. Using this, you  can  split the much-vaunted ‘Hindu Unity’. By pretending to be a militant Tamil separatist, you can disrupt the Hinduvta unity on an entire forum, demolishing Hinduism from inside.”
[26] Bunt, Islam …., hal. 107
[27] Lihat situs organisasi ini pada http://www.laskarjihad.or.id
[28] Lihat alamat situs organisasi ini, http://islamlib.com

Rabu, 23 Desember 2009

Pendidikan Anti-Kekerasan

Pendidikan Anti-Kekerasan
Upaya Mencari Solusi Pencegahan Konflik Sosial Keagamaan


Rusli*

Abstrak
Salah satu upaya pencegahan terjadinya konflik sosial keagamaan adalah melalui pendidikan anti-kekerasan (peace education), yaitu melalui penanaman nilai-nilai anti kekerasan kepada siswa melalui proses pembelajaran berkelanjutan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahan dasar pendidikan ini bisa diambil dari nilai-nilai yang disari dari ajaran-ajaran agama, budaya dan juga hak-hak asasi manusia universal yang mencakup demokrasi, kebebasan, persamaan, toleransi, dan sebagainya. Kemudian nilai-nilai ini dijabarkan ke dalam kurikulum dan disampaikan melalui metode pembelajaran yang transformatif. Ini semua diarahkan pada pencapaian satu sikap empati, rasa hormat, komitmen pada keadilan sosial dan kesetaraan, peduli terhadap lingkungan, dan sebagainya.

Kata Kunci: pendidikan anti-kekerasan, nilai-nilai agama, budaya, hak-hak asasi manusia

Pendahuluan
Fakta menunjukkan bahwa kekerasan menjadi satu kosa kata yang seringkali akrab di telinga kita. Ia adalah sebuah keniscayaan yang secara sadar atau tidak, akan selalu menggerayangi, menghantui umat manusia. Ia ada di sekitar rumah, lingkungan sekitar, bahkan di mana-mana. Ia muncul di tayangan-tayangan telivisi, radio-radio, berita-berita Internet, media massa dan surat kabar, yang tidak bosan-bosannya menampilkan berbagai tayangan atau berita kekerasan, dari masalah pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, kekerasan terhadap perempuan, teror bom, hingga konflik sosial-keagamaan dengan latarbelakang dan alasan yang begitu beragam.
Secara teoritis, kekerasan mencakup kekerasan simbolik, kekerasan psikologis, maupun kekerasan fisik. Kita mungkin tidak sadar bahwa dalam banyak kehidupan, kita seringkali menghadapi dan mengalami kekerasan simbolik baik di rumah, lingkungan sekitar, tempat kerja, dan sebagainya, yang ini pada gilirannya akan mengantarkan kepada kekerasan psikologis, lalu kekerasan fisik. Kekerasan simbolik seperti ini adalah kekerasan yang halus, tidak kasat mata, dan hampir tidak nampak, karena diselubungi oleh ideologi yang membuat kekerasan itu seolah-olah wajar. Ini banyak sekali, misalnya, dilakukan terhadap perempuan yang di dalam masyarakat patriarkal, secara ideologis mereka dianggap lebih rendah, seolah-olah hak mendominasi mereka menjadi hak laki-laki. Dalam agama, seringkali ancaman masuk neraka pun dijadikan alasan agar isteri memberikan kepatuhan yang total kepada suami. Bahwa perempuan tinggal di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga diterima sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Ini adalah bentuk-bentuk kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat mata. Menurut Haryatmoko, kekerasan seperti ini adalah suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui wacana.
Kekerasan fisik adalah yang paling nyata dan kasat mata, bisa antar manusia, antar-komunitas, negara, alam dan lingkungan. Kita mencatat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai konflik yang disebabkan oleh beragam faktor. Agama, misalnya, bisa menjadi salah satu faktor pemicu yang luar biasa dalam menciptakan kekerasan dan konflik berdarah. Marty menulis:

Religion, most of the time for most people, is not an instrument for killing. People are religious … as part of their effort to find peace, shalom, communion, consolation, and integration into system of meaning and belonging … A second look, however, revealed that the same elements that made religion a consoler and healer could be turned into the weaponry of disruption and killing.

[Agama, seringkali bagi kebanyakan orang, bukanlah instrumen untuk membunuh. Orang-orang adalah religius … sebagai bagian dari upaya mereka untuk menemukan kedamaian, keselamatan, kerukunan, pelipur lara, dan integrasi ke dalam sistem makna dan kepemilikan … Pandangan kedua bagaimanapun juga telah mengungkapkan bahwa elemen-elemen yang sama yang membuat agama menjadi sebuah penghibur dan penyembuh dapat berubah menjadi senjata-senjata pembuat kekacauan dan pembunuhan]

Mengapa agama dan keberagamaan bisa meningkatkan intoleransi dan konflik? Keberagamaan seringkali mencakup kepercayaan terhadap misteri-misteri yang sakral. Dengan kata lain, banyak ajaran agama yang mesti diterima dengan keimanan yang mutlak. Meskipun keimanan itu sendiri sebenarnya bisa saja tidak mengantarkan kepada intoleransi, namun keyakinan keagamaan yang tidak dapat dipertanyakan dan fundamentalisme keagamaan sangat berhubungan erat dengan otoritarianisme dan sikap-sikap diskriminatif. Ajaran-ajaran agama juga berkenaan dengan isu-isu fundamental tentang hidup dan mati yang melibatkan perhatian dan emosi yang besar. Berkaitan dengan ini, organisasi-organisasi keagamaan seringkali juga dipolitisasi dan berupaya memberikan pengaruh kepada kebijakan sesuai dengan garis-garis moral atau ajaran-ajaran agama. Politisasi agama dan perluasannya kepada lembaga-lembaga ekonomi, politik dan sosial melibatkan perjuangan untuk mendapatkan sumber daya dan kekuasaan. Jika digabung, maka keyakinan keagamaan yang tidak dapat dipertanyakan dan politisasi agama mungkin bisa mengantarkan kepada konflik dan intoleransi antara orang beriman (believers) dan kafir (non-believers).
Dalam konteks Indonesia, kita dengan mudah memaparkan berbagai kasus intoleransi dan konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan, meskipun ini sebenarnya bukanlah satu-satunya faktor yang determinan. Berbagai kasus di Ambon dan Poso, bisa membuktikan pernyataan di atas. Di Ambon, konflik terjadi dengan melibatkan dua komunitas berlainan agama, yaitu Islam dan Kristen, meskipun faktor penyebabnya belum tentu murni keagamaan. Namun, menurut laporan dari Human Rights Watch, Indonesia: The Violence in Ambon mencatat bahwa hubungan antara orang-orang Ambon Kristen dan Ambon Muslim telah lama memburuk, bersamaan dengan kurang berfungsinya lagi sistem aliansi pela dalam mempertahankan keharmonisan antara mereka. Ini kemudian ditambah lagi keterlibatan provokator dan dominasi pendatang terutama dari etnik Bugis, Buton, Makassar, dalam bidang perdagangan dan transportasi, yang menimbulkan kecemburuan di kalangan mereka.
Dalam kasus Poso, konflik mungkin bisa juga dilihat sebagai berasal dari oposisi pribumi-pendatang dan kebencian Kristen-Muslim. Menurut David Rohde, pengaruhnya tidak hanya karena datangnya orang-orang Jawa dan Bali melalui transmigrasi, tetapi juga karena pengaruh kelompok migran yang pindah secara spontan ketika tersedianya peluang tanah dan ekonomi. Situasi tersebut kemudian memperpanas kompetisi di kalangan kelompok-kelompok tetangga untuk berjuang mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan politik setempat, yang diperparah dengan penjualan tanah kepada kelompok migran ini karena kesulitan-kesulitan yang dialami oleh penduduk lokal semenjak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.
Faktor pemicu lainnya yang penting adalah etnisitas. Etnisitas dapat mempengaruhi harga diri seseorang, dan ia juga bisa sangat berbahaya dan merusak, seperti gagasan tentang "superioritas" ras tertentu (misalnya, mitos Nazi yang mengklaim memiliki ras Arya). Jika identitas etnik ini terusik atau terancam, maka seseorang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melakukan perlawanan atau mempertahankan identitasnya. Atau terkadang konflik dan kekerasan yang mulanya terjadi karena alasan lain yang tidak melibatkan etnisitas, tetapi kemudian karena dilakukan oleh pelaku dari kelompok etnik yang berbeda, maka bisa menjadi konflik etnik, seperti diantaranya yang pernah terjadi di kota Palu dan Sampit, dan banyak wilayah lain di Indonesia.
Tentunya, akibat yang ditimbulkan dari berbagai konflik tersebut di atas menyisakan trauma pahit yang begitu menyakitkan. Dengan banyaknya masalah yang terakumulasi tersebut mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai budaya serta kearifan lokal masyarakat setempat. Bukankah masyarakat Ambon dan Poso sejak dulu telah hidup dengan beraneka ragam suku bangsa dan agama? Karena itu, untuk menghindari terjadinya kembali berbagai konflik tersebut, perlu adanya suatu solusi yang tepat dan berkesinambungan. Perlu ditanamkan kepada masyarakat sejak dini pemahaman tentang multikulturalisme, pluralisme, perdamaian, toleransi, hak-hak asasi manusia dan sebagainya, dengan didasari pada nilai-nilai universal HAM, norma-norma agama, dan kearifan dan budaya lokal.

Pendidikan Anti-Kekerasan: Sebuah Tawaran Solusi

Dalam sebuah kutipan yang menarik dari UNESCO disebutkan bahwa "Disputes maybe inevitable, but violence is not. To prevent continued cycles of conflict, education must seek to promote peace and tolerance, not fuel hatred and suspicion" [perselisihan mungkin tidak dapat dihindari, tetapi kekerasan bisa. Untuk mencegah terjadinya siklus konflik yang berkesinambungan, pendidikan mesti berupaya meningkatkan perdamaian dan toleransi, bukan membakar kebencian dan kecurigaan]. Kutipan ini mengindikasikan bahwa upaya untuk meminimalisir dan bahkan mencegah terjadinya konflik adalah pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan akan tertanam nilai-nilai perdamaian atau anti-kekerasan di dalam diri para peserta didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sehingga pada gilirannya mereka dapat mengedepankan nilai-nilai ini dalam berbagai aspek kehidupan di dalam masyarakat tanpa melihat hambatan-hambatan kultural, agama, ras, kelompok, atau lain-lain.
Dari berbagai kasus kekerasan dan konflik yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia terutama pada akhir tahun tahun 1990-an, dari konflik berdarah di Sambas dan Sampit, Ketapang, Ambon, Poso hingga berbagai wilayah lain di Indonesia, begitu pula dengan radikalisme agama yang seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti teror bom, pembakaran, dan sebagainya, tentunya memerlukan penanganan yang tepat. Dalam kenyataannya, telah banyak upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik ini, dari seminar-seminar tentang pencarian solusi konflik hingga dialog-dialog antara pemuka agama yang berbeda yang sampai ini kekerasan berbasis konflik tetap masih terjadi. Lalu, bagaimana solusi lain yang bisa menangani dan mencegah terjadinya konflik pada masa mendatang?
Jawaban dari pertanyaan ini sederhananya adalah melalui pendidikan. Pertanyaannya kemudian adalah pendidikan seperti apa? Tentu saja, jawaban yang diharapkan adalah pendidikan yang mengangkat perdamaian dan toleransi, bukan yang membakar kemarahan dan kecurigaan, seperti yang dikutip pada awal tulisan ini. Terkait dengan ini, ada sebuah ungkapan menarik dari Maria Montessori yang menyatakan, ”avoiding war is a work of politics, establishing peace is a work of education” [menjauhi perang adalah kerjanya politik, membuat perdamaian adalah tugasnya pendidikan]. Ini lah yang kemudian disebut dengan "pendidikan anti-kekerasan" (non-violence education) atau "pendidikan perdamaian" (peace education). Menurut Harris, pendidikan perdamaian adalah sebuah upaya instruksional yang dapat menyumbangkan dan menciptakan warga negara-warga negara yang baik di dunia ini. Prosesnya bersifat transformasional dan ia merupakan sebuah filsafat yang mendukung dan mengajarkan anti-kekerasan sebagai alat untuk menjaga dan memelihara kehidupan dan lingkungan. Ia menyediakan alternatif-alternatif melalui pengajaran tentang sebab-sebab kekerasan dan memberi kepada peserta didik pengetahuan tentang isu-isu kritis pendidikan perdamaian: pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), penciptaan perdamaian (peacemaking), dan pembentukan perdamaian (peacebuilding).
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun kerangka filosofis ”pendidikan perdamaian" atau "pendidikan anti-kekerasan" ini dalam konteks Indonesia ini? Uraian berikut akan memaparkan satu paradigma pendidikan anti-kekerasan atau pendidikan perdamaian (peace education).

Paradigma Pendidikan Anti Kekerasan

Pendidikan anti kekerasan (non-violence) mengindikasikan sebuah proses pembelajaran dan penanaman sikap-sikap mental yang mengedepankan nilai-nilai positif nir-kekerasan dalam menghadapi setiap permasalahan sosial-keagamaan dalam masyarakat. Pendidikan ini tentunya mengubur dalam-dalam sikap egoistik (anâniyya), tetapi sebaliknya mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat daripada kepentingan individual atau kelompok untuk mencapai suatu kondisi harmonis di kalangan anggota masyarakat.
Pendidikan anti-kekerasan perlu dibangun dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Di antara nilai-nilai yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan dasar (ingredients) adalah nilai-nilai yang diambil dari agama, budaya dan juga hak-hak asasi manusia yang universal. Berkenaan dengan yang pertama, hampir dalam semua agama di dunia, mengajarkan prinsip-prinsip nir-kekerasan. Dalam Islam, prinsip ini begitu jelas sebagaimana disinyalir oleh sebuah hadis yang kemudian dijadikan sebagai kaidah fikih yang sangat vital, yaitu lâ darar wa lâ dirâr (tidak membahayakan dan membalas dengan bahaya yang setimpal). Dalam Hindu, prinsip ini dikenal dengan nama ahimsa, yang berarti "nir-kekerasan". Bahkan ahimsa ini merupakan sifat khusus dalam agama ini. Dalam agama-agama lain, seperti Jainisme dan Budhisme, juga terdapat doktrin tentang “nir-kekerasan”. Dalam tradisi Budhisme, misalnya, prinsip “nir-kekerasan” memproyeksikan sebuah cita-cita perdamaian universal, yang dapat diperluas menjadi mencakup ide hati atau pikiran yang damai. Logika Budhisme kenyataannya menempatkan pertama kali adalah pikiran: upaya keagamaan untuk mencapai tatanan dan keharmonisan kosmik berlangsung dalam pikiran.
Dalam Jainisme, “nir-kekerasan” adalah agama yang paling tinggi (ahimsa parmo dharmah). Ia merupakan sebuah prinsip yang diajarkan dan dipraktikkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh alam. Ajaran "nir-kekerasan" tidak hanya menunjuk kepada perang dan tindakan-tindakan kekerasan nyata yang dilakukan oleh fisik, tetapi juga kekerasan dalam hati dan pikiran manusia, dan juga hilangnya kepedulian terhadap sesama umat manusia dan dunia alam. Teks-teks Jain klasik menjelaskan bahwa kekerasan tidak diartikan sebagai tindakan bahaya yang aktual, yang mungkin saja tidak disengaja. Namun, keinginan untuk membahayakan atau ketiadaan empati atau kasih sayang-lah yang membuat tindakan tersebut menjadi bahaya (violent). Tanpa kekerasan yang dipikirkan, tidak akan ada tindakan kekerasan.
Bahan dasar kedua adalah nilai-nilai budaya (cultural values). Istilah "budaya", dalam konteks ini, merujuk kepada satu praktik dan kebiasaan masyarakat yang baik (`urf sahîh), yang telah diterima oleh masyarakat secara konsensus dan bersifat universal, tidak hanya menguntungkan satu fihak atau kelompok tertentu. Indonesia, dengan beragam kelompok etnik dan budaya ini, adalah sangat kaya dengan nilai-nilai budaya yang khas. Hampir semua kelompok etnik yang ada memiliki budaya tersendiri, yang masing-masing dari mereka mungkin memiliki kesamaan atau perbedaan budaya satu sama lainnya. Nilai "demokrasi", dalam pengertian yang khas, hampir bisa dipastikan ada pada sebagian besar kelompok etnik di Nusantara, seperti di antaranya Bugis-Makassar, Aceh, Madura, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya seperti "gotong royong" terdapat dalam komunitas-komunitas seperti di antaranya, Ambon, yang terkenal dengan sistem pella gandong-nya. Nilai budaya "egalitarianisme" bisa ditemukan pada masyarakat Banjar, dan juga komunitas Betawi yang tidak mengenal adanya strata dan hirarki yang berbelit-belit, baik dari segi bahasa, kesenian, maupun lainnya. Budaya tepo seliro yang menyiratkan sikap toleransi terhadap orang lain bisa kita lihat dalam masyarakat Jawa, dan seterusnya. Nilai-nilai budaya seperti demokrasi, gotong royong, toleransi, egalitarianisme, yang ada dalam komunitas etnik di Nusantara ini adalah nilai-nilai universal yang bisa diolah sebagai bahan dasar dalam pendidikan anti kekerasan.
Bahan dasar yang terakhir adalah hak asasi manusia (human rights), dan hak-hak ini merupakan esensi dari manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Jose Diokono, "Human rights are more than legal concepts; they are the essence of man. They are what makes man human. That is why they are called human rights: deny them you deny man's humanity." [Hak-hak asasi manusia lebih dari sekedar konsep-konsep hukum; ia adalah esensi manusia. Hak-hak ini lah yang membuat seorang menjadi manusia. Itu lah mengapa mereka disebut hak asasi manusia: menolaknya berarti menolak kemanusiaan manusia].
Hak-hak asasi manusia ini mencakup hak untuk hidup, kehormatan, dan mengembangkan diri sendiri. Atau, lebih luas lagi ia mencakup apa yang disebut dengan al-kulliyyât al-khamsah (pemeliharaan atas agama, jiwa, akal, keturunan dan kehormatan). Terkait dengan hak asasi manusia ini adalah hak budaya (cultural rights), dan ia juga merupakan bagian dari hak manusia. Hak untuk hidup bukanlah hidup seperti yang diinginkannya atau semaunya, tetapi hak untuk hidup sebagai seseorang yang berada dalam kultur komunitas tertentu, dalam satu cara hidup yang dianggap baik dan diterima oleh kultur itu. Dengan demikian, sikap empati terhadap kultur komunitas lain menjadi tumbuh, sehingga ketegangan dan konflik sosial berbasis perbedaan kultur bisa dicegah.
Kesemua nilai tersebut perlu disosialisasikan dalam bentuk pembelajaran di institusi-institusi pendidikan, dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, atau bahkan pada institusi-institusi pendidikan non-formal di masyarakat seperti pengajian, halaqah dan majelis taklim. Ini tidak lah berarti bahwa harus dimasukkan satu mata pelajaran atau mata kuliah tentang "pendidikan anti-kekerasan" secara khusus, tetapi bagaimana nilai-nilai nir-kekerasan atau perdamaian, yang terambil dari ajaran agama, budaya, dan hak asasi manusia, bisa masuk ke seluruh mata pelajaran yang ada. Disamping itu, perlu juga dirancang metode pembelajaran yang transformatif, yang lebih mengedepankan pencarian titik persamaan atau titik temu pada masing-masing agama atau budaya lain. (Untuk lebih jelasnya, lihat bagan 1)

Bagan 1: Rancangan Pembelajaran Pendidikan Anti Kekerasan

INPUT
1.Nilai-nilai agama
2.Nilai-nilai budaya
3.HAM (demokrasi, persamaan, pembebasan, dst.)

PROSES PEMBELAJARAN
1.Seluruh sekolah
2.Kurikulum
3.Metodologi pembelajaran transformatif

OUTPUT(KELUARAN)
1.Rasa hormat kepada orang lain tanpa melihat kepada perbedaan ras, keyakinan keagamaan, dan lain-lain.
2.Sikap empati, yaitu satu keinginan untuk memahami pandangan-pandangan orang lain dari sudut pandang mereka.
3.Rasa percaya diri (self-esteem)—menerima kebermaknaan diri sendiri.
4.Komitmen kepada keadilan sosial, persamaan dan perdamaian (anti kekerasan)
5.Sikap penuh perhatian pada lingkungan dan ekosistem.
6.Komitmen pada kesetaraan dan pembebasan.

Metode pembelajaran yang transformatif mencakup diantaranya: pertama, metode dialog. Dialog tidak lagi diarahkan kepada persoalan-persoalan teologis yang cenderung menimbulkan ketegangan, tetapi lebih pada satu pemahaman bahwa pemutlakan pandangan atau monopoli kebenaran merupakan satu bentuk kekerasan yang malah bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri sebagai sumber kedamaian, terbuka terhadap penalaran dan untuk semua orang. Selanjutnya, dalam dialog, langkah awal yang penting yang perlu diambil adalah menggarisbawahi asumsi-asumsi mendasar, yang oleh Harold Coward, diuraikan ke dalam tujuh asumsi utama, yaitu:
1) dalam semua agama ada satu pengalaman tentang satu realitas yang melampaui konsepsi manusia; 2) realitas itu dipahami dalam ragam cara dalam masing-masing agama dan di kalangan semua agama, dan pengakuan tentang pluralitas adalah penting untuk menjaga kebebasan agama dan menghargai keterbatasan-keterbatasan manusia; 3) bentuk-bentuk pluralistik dari agama fungsinya adalah instrumental; 4) apa yang absolut dan pasti dalam agama manapun adalah komitmen seseorang kepada kebenaran, namun demikian pemahaman seseorang terhadap kebenaran tetap lah terbatas; 5) ajaran Budha tentang toleransi kritis dan pesona moral selalu mesti dijalankan; 6) melalui dialog yang kritis-diri (self-critical dialogue) kita selanjutnya mesti masuk ke dalam pengalaman khusus kita tentang realitas yang transenden (dan mungkin ke dalam realitas transenden orang lain); dan 7) dalam kemajemukan pertemuan antar-iman, fokus pada "orang lain yang menderita" dan "bumi yang menderita" dapat menyediakan satu titik tolak dialog bersama menuju saling kerjasama dan pengertian.
Kedua, metode pelibatan peserta didik dalam kegiatan-kegiatan sosial yang terkait dengan pemahaman atas pluralitas budaya, kelompok etnis dan agama. Di samping itu, mereka juga dilibatkan ke dalam kegiatan pemeliharaan lingkungan demi menghindari bentuk-bentuk kekerasan terhadap ekosistem. Ini semua dimaksudkan agar dalam diri peserta didik nantinya akan tertanam sikap empati dan bisa memahami dari sudut pandang orang lain yang berbeda dalam hal ras, suku, kultur dan agama, dan juga menumbuhkembangkan sikap peduli dan bersahabat terhadap lingkungan dan ekosistem sebagai partner yang perlu dilindungi. Tidak kalah pentingnya juga mengajak peserta didik ke wilayah-wilayah yang terkena konflik melihat apa akibat-akibat kerusakan fisik dan non-fisik yang terjadi. Mereka juga bisa ditempatkan di rumah-rumah korban konflik untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan membantu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Pengalaman belajar langsung (direct learning) ini bisa menumbuhkan rasa simpati dan empati di kalangan siswa sehingga tertanam dalam kesadaran mereka sikap ini dalam kehidupan-kehidupan mereka selanjutnya.

Catatan Penutup
Keberadaan pendidikan anti-kekerasan memang sudah seharusnya direalisasikan dalam konteks masyarakat Indonesia. Di negara-negara lain hal ini telah berjalan seperti di antaranya, Jepang. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang potensial bagi munculnya ketegangan, konflik dan kekerasan karena banyaknya ragam bahasa, kelompok etnik, agama dan budaya. Tentunya pendidikan anti-kekerasan harus dimasukkan ke dalam institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun non-formal, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahan-bahan dasar bagi jenis pendidikan ini bisa diambil dan disari dari nilai-nilai universal agama-agama yang ada, budaya, dan juga prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Kesemuanya itu diolah dan diramu ke dalam satu kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tujuan akhir dari semua proses pembelajaran ini adalah mewujudkan peserta didik yang memiliki sikap mental dan perilaku seperti rasa hormat dan toleran, empati, komitmen pada keadilan sosial, persamaan, kebebasan, demokrasi, peduli terhadap lingkungan, dan sebagainya. Lebih dari itu, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran ini adalah yang bersifat transformatif dengan melibatkan metode dialog dan pelibatan peserta didik dalam momen-momen yang memunculkan sikap metal dan perilaku yang dituju.
Untuk itu, partisipasi dari seluruh segmen masyarakat tanpa melihat perbedaan-perbedaan fisik dan non-fisik adalah sangat dibutuhkan, demikian juga dengan partisipasi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal penyediaan fasilitas-fasilitas yang bisa mempermudah jalannya pendidikan ini. Dengan terwujudnya pola pembelajaran dan penanaman nilai-nilai anti-kekerasan atau perdamaian kepada peserta didik semenjak dini melalui pranata-pranata pendidikan, potensi konflik pada masa mendatang setidaknya akan bisa diredam.

Daftar Pustaka

Acciaioli, Greg. "Grounds of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and Nationalism in Violence Avoidance at the Lindu Plain, Central Sulawesi" dalam Indonesia, 72 (October 2001) Cornell Southeast Asia Program,
Aragon, Lorraine V. "Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People" dalam Indonesia, 72 (October 2001), Cornell Southeast Asia Program
Coward, Harold. Pluralism in World Religions: A Short Introduction, Oxford: Oneworld, 2000
Faruk HT, "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Banjar", dalam Mohammad Najib et al (ed). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Fernandez, Doreen G. "Cultural Rights are Human Rigths" dalam Values in Philippine Culture and Education, Manuel B. Dy Jr (ed), The Council for Research in Values and Philosophy, Series III, Asia, Vol. 7, 1994
Gandhi, Mahatma. The Gospel of Non-violence, dapat diakses pada http://www. mkgandhi.org/momgbook/index.htm
Gómez, Luis O. Nonviolence and the Self in Early Buddhism, diakses pada http://www.algonet.se/~jviklund/gandhi/ENG.NV.ahimsa.html
Harris. Peace Education in a Postmodern World, Mahway, NJ: Lawrence Erlbaum, 1996
Haryatmoko. "Dominasi Laki-laki Melalui Wacana" dalam Nur Imam Subono (Ed), Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
al-Hasanî, Ismâ`îl. Nazariyyat al-Maqâsid 'Inda al-Imâm Muhammad Tâhir bin 'Âshûr, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995
Human Rights Watch, Indonesia: The Violence in Ambon, Human Rights Watch Reports, Vol. 11, No.1 [C], New York: Human Rights Watch, 1999
Marty, Martin E. "The Role of Religion in Cultural Foundations of Ethnonationalism" dalam Martin E. Matty dan R. Scott Applebi (ed), Religion, Ethnicity, and Self Identity: Nations in Turmoil, New England: Universtiy Press of New England, 1997
Mattulada. "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar (Mangale' Pasang, Massolompa wo)", dalam Mohammad Najib et al (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Najib, Mohammad et.al (eds). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Satu dan Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Rohde, David. "Indonesia Unravelling?" Foreign Affairs, 80, 4, (2001)
Saidi, Ridwan. "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Betawi" dalam Mohammad Najib (ed), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Satu, Yogyakarta: LKPSM, 1996

* Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Datokarama Palu Sulawesi Tengah. Sudah diterbitkan dalam Jurnal Religi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. V, No. 1, Januari 2006.