Rabu, 23 Desember 2009

Pendidikan Anti-Kekerasan

Pendidikan Anti-Kekerasan
Upaya Mencari Solusi Pencegahan Konflik Sosial Keagamaan


Rusli*

Abstrak
Salah satu upaya pencegahan terjadinya konflik sosial keagamaan adalah melalui pendidikan anti-kekerasan (peace education), yaitu melalui penanaman nilai-nilai anti kekerasan kepada siswa melalui proses pembelajaran berkelanjutan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahan dasar pendidikan ini bisa diambil dari nilai-nilai yang disari dari ajaran-ajaran agama, budaya dan juga hak-hak asasi manusia universal yang mencakup demokrasi, kebebasan, persamaan, toleransi, dan sebagainya. Kemudian nilai-nilai ini dijabarkan ke dalam kurikulum dan disampaikan melalui metode pembelajaran yang transformatif. Ini semua diarahkan pada pencapaian satu sikap empati, rasa hormat, komitmen pada keadilan sosial dan kesetaraan, peduli terhadap lingkungan, dan sebagainya.

Kata Kunci: pendidikan anti-kekerasan, nilai-nilai agama, budaya, hak-hak asasi manusia

Pendahuluan
Fakta menunjukkan bahwa kekerasan menjadi satu kosa kata yang seringkali akrab di telinga kita. Ia adalah sebuah keniscayaan yang secara sadar atau tidak, akan selalu menggerayangi, menghantui umat manusia. Ia ada di sekitar rumah, lingkungan sekitar, bahkan di mana-mana. Ia muncul di tayangan-tayangan telivisi, radio-radio, berita-berita Internet, media massa dan surat kabar, yang tidak bosan-bosannya menampilkan berbagai tayangan atau berita kekerasan, dari masalah pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, kekerasan terhadap perempuan, teror bom, hingga konflik sosial-keagamaan dengan latarbelakang dan alasan yang begitu beragam.
Secara teoritis, kekerasan mencakup kekerasan simbolik, kekerasan psikologis, maupun kekerasan fisik. Kita mungkin tidak sadar bahwa dalam banyak kehidupan, kita seringkali menghadapi dan mengalami kekerasan simbolik baik di rumah, lingkungan sekitar, tempat kerja, dan sebagainya, yang ini pada gilirannya akan mengantarkan kepada kekerasan psikologis, lalu kekerasan fisik. Kekerasan simbolik seperti ini adalah kekerasan yang halus, tidak kasat mata, dan hampir tidak nampak, karena diselubungi oleh ideologi yang membuat kekerasan itu seolah-olah wajar. Ini banyak sekali, misalnya, dilakukan terhadap perempuan yang di dalam masyarakat patriarkal, secara ideologis mereka dianggap lebih rendah, seolah-olah hak mendominasi mereka menjadi hak laki-laki. Dalam agama, seringkali ancaman masuk neraka pun dijadikan alasan agar isteri memberikan kepatuhan yang total kepada suami. Bahwa perempuan tinggal di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga diterima sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Ini adalah bentuk-bentuk kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat mata. Menurut Haryatmoko, kekerasan seperti ini adalah suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui wacana.
Kekerasan fisik adalah yang paling nyata dan kasat mata, bisa antar manusia, antar-komunitas, negara, alam dan lingkungan. Kita mencatat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai konflik yang disebabkan oleh beragam faktor. Agama, misalnya, bisa menjadi salah satu faktor pemicu yang luar biasa dalam menciptakan kekerasan dan konflik berdarah. Marty menulis:

Religion, most of the time for most people, is not an instrument for killing. People are religious … as part of their effort to find peace, shalom, communion, consolation, and integration into system of meaning and belonging … A second look, however, revealed that the same elements that made religion a consoler and healer could be turned into the weaponry of disruption and killing.

[Agama, seringkali bagi kebanyakan orang, bukanlah instrumen untuk membunuh. Orang-orang adalah religius … sebagai bagian dari upaya mereka untuk menemukan kedamaian, keselamatan, kerukunan, pelipur lara, dan integrasi ke dalam sistem makna dan kepemilikan … Pandangan kedua bagaimanapun juga telah mengungkapkan bahwa elemen-elemen yang sama yang membuat agama menjadi sebuah penghibur dan penyembuh dapat berubah menjadi senjata-senjata pembuat kekacauan dan pembunuhan]

Mengapa agama dan keberagamaan bisa meningkatkan intoleransi dan konflik? Keberagamaan seringkali mencakup kepercayaan terhadap misteri-misteri yang sakral. Dengan kata lain, banyak ajaran agama yang mesti diterima dengan keimanan yang mutlak. Meskipun keimanan itu sendiri sebenarnya bisa saja tidak mengantarkan kepada intoleransi, namun keyakinan keagamaan yang tidak dapat dipertanyakan dan fundamentalisme keagamaan sangat berhubungan erat dengan otoritarianisme dan sikap-sikap diskriminatif. Ajaran-ajaran agama juga berkenaan dengan isu-isu fundamental tentang hidup dan mati yang melibatkan perhatian dan emosi yang besar. Berkaitan dengan ini, organisasi-organisasi keagamaan seringkali juga dipolitisasi dan berupaya memberikan pengaruh kepada kebijakan sesuai dengan garis-garis moral atau ajaran-ajaran agama. Politisasi agama dan perluasannya kepada lembaga-lembaga ekonomi, politik dan sosial melibatkan perjuangan untuk mendapatkan sumber daya dan kekuasaan. Jika digabung, maka keyakinan keagamaan yang tidak dapat dipertanyakan dan politisasi agama mungkin bisa mengantarkan kepada konflik dan intoleransi antara orang beriman (believers) dan kafir (non-believers).
Dalam konteks Indonesia, kita dengan mudah memaparkan berbagai kasus intoleransi dan konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan, meskipun ini sebenarnya bukanlah satu-satunya faktor yang determinan. Berbagai kasus di Ambon dan Poso, bisa membuktikan pernyataan di atas. Di Ambon, konflik terjadi dengan melibatkan dua komunitas berlainan agama, yaitu Islam dan Kristen, meskipun faktor penyebabnya belum tentu murni keagamaan. Namun, menurut laporan dari Human Rights Watch, Indonesia: The Violence in Ambon mencatat bahwa hubungan antara orang-orang Ambon Kristen dan Ambon Muslim telah lama memburuk, bersamaan dengan kurang berfungsinya lagi sistem aliansi pela dalam mempertahankan keharmonisan antara mereka. Ini kemudian ditambah lagi keterlibatan provokator dan dominasi pendatang terutama dari etnik Bugis, Buton, Makassar, dalam bidang perdagangan dan transportasi, yang menimbulkan kecemburuan di kalangan mereka.
Dalam kasus Poso, konflik mungkin bisa juga dilihat sebagai berasal dari oposisi pribumi-pendatang dan kebencian Kristen-Muslim. Menurut David Rohde, pengaruhnya tidak hanya karena datangnya orang-orang Jawa dan Bali melalui transmigrasi, tetapi juga karena pengaruh kelompok migran yang pindah secara spontan ketika tersedianya peluang tanah dan ekonomi. Situasi tersebut kemudian memperpanas kompetisi di kalangan kelompok-kelompok tetangga untuk berjuang mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan politik setempat, yang diperparah dengan penjualan tanah kepada kelompok migran ini karena kesulitan-kesulitan yang dialami oleh penduduk lokal semenjak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.
Faktor pemicu lainnya yang penting adalah etnisitas. Etnisitas dapat mempengaruhi harga diri seseorang, dan ia juga bisa sangat berbahaya dan merusak, seperti gagasan tentang "superioritas" ras tertentu (misalnya, mitos Nazi yang mengklaim memiliki ras Arya). Jika identitas etnik ini terusik atau terancam, maka seseorang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melakukan perlawanan atau mempertahankan identitasnya. Atau terkadang konflik dan kekerasan yang mulanya terjadi karena alasan lain yang tidak melibatkan etnisitas, tetapi kemudian karena dilakukan oleh pelaku dari kelompok etnik yang berbeda, maka bisa menjadi konflik etnik, seperti diantaranya yang pernah terjadi di kota Palu dan Sampit, dan banyak wilayah lain di Indonesia.
Tentunya, akibat yang ditimbulkan dari berbagai konflik tersebut di atas menyisakan trauma pahit yang begitu menyakitkan. Dengan banyaknya masalah yang terakumulasi tersebut mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai budaya serta kearifan lokal masyarakat setempat. Bukankah masyarakat Ambon dan Poso sejak dulu telah hidup dengan beraneka ragam suku bangsa dan agama? Karena itu, untuk menghindari terjadinya kembali berbagai konflik tersebut, perlu adanya suatu solusi yang tepat dan berkesinambungan. Perlu ditanamkan kepada masyarakat sejak dini pemahaman tentang multikulturalisme, pluralisme, perdamaian, toleransi, hak-hak asasi manusia dan sebagainya, dengan didasari pada nilai-nilai universal HAM, norma-norma agama, dan kearifan dan budaya lokal.

Pendidikan Anti-Kekerasan: Sebuah Tawaran Solusi

Dalam sebuah kutipan yang menarik dari UNESCO disebutkan bahwa "Disputes maybe inevitable, but violence is not. To prevent continued cycles of conflict, education must seek to promote peace and tolerance, not fuel hatred and suspicion" [perselisihan mungkin tidak dapat dihindari, tetapi kekerasan bisa. Untuk mencegah terjadinya siklus konflik yang berkesinambungan, pendidikan mesti berupaya meningkatkan perdamaian dan toleransi, bukan membakar kebencian dan kecurigaan]. Kutipan ini mengindikasikan bahwa upaya untuk meminimalisir dan bahkan mencegah terjadinya konflik adalah pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan akan tertanam nilai-nilai perdamaian atau anti-kekerasan di dalam diri para peserta didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sehingga pada gilirannya mereka dapat mengedepankan nilai-nilai ini dalam berbagai aspek kehidupan di dalam masyarakat tanpa melihat hambatan-hambatan kultural, agama, ras, kelompok, atau lain-lain.
Dari berbagai kasus kekerasan dan konflik yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia terutama pada akhir tahun tahun 1990-an, dari konflik berdarah di Sambas dan Sampit, Ketapang, Ambon, Poso hingga berbagai wilayah lain di Indonesia, begitu pula dengan radikalisme agama yang seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti teror bom, pembakaran, dan sebagainya, tentunya memerlukan penanganan yang tepat. Dalam kenyataannya, telah banyak upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik ini, dari seminar-seminar tentang pencarian solusi konflik hingga dialog-dialog antara pemuka agama yang berbeda yang sampai ini kekerasan berbasis konflik tetap masih terjadi. Lalu, bagaimana solusi lain yang bisa menangani dan mencegah terjadinya konflik pada masa mendatang?
Jawaban dari pertanyaan ini sederhananya adalah melalui pendidikan. Pertanyaannya kemudian adalah pendidikan seperti apa? Tentu saja, jawaban yang diharapkan adalah pendidikan yang mengangkat perdamaian dan toleransi, bukan yang membakar kemarahan dan kecurigaan, seperti yang dikutip pada awal tulisan ini. Terkait dengan ini, ada sebuah ungkapan menarik dari Maria Montessori yang menyatakan, ”avoiding war is a work of politics, establishing peace is a work of education” [menjauhi perang adalah kerjanya politik, membuat perdamaian adalah tugasnya pendidikan]. Ini lah yang kemudian disebut dengan "pendidikan anti-kekerasan" (non-violence education) atau "pendidikan perdamaian" (peace education). Menurut Harris, pendidikan perdamaian adalah sebuah upaya instruksional yang dapat menyumbangkan dan menciptakan warga negara-warga negara yang baik di dunia ini. Prosesnya bersifat transformasional dan ia merupakan sebuah filsafat yang mendukung dan mengajarkan anti-kekerasan sebagai alat untuk menjaga dan memelihara kehidupan dan lingkungan. Ia menyediakan alternatif-alternatif melalui pengajaran tentang sebab-sebab kekerasan dan memberi kepada peserta didik pengetahuan tentang isu-isu kritis pendidikan perdamaian: pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), penciptaan perdamaian (peacemaking), dan pembentukan perdamaian (peacebuilding).
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun kerangka filosofis ”pendidikan perdamaian" atau "pendidikan anti-kekerasan" ini dalam konteks Indonesia ini? Uraian berikut akan memaparkan satu paradigma pendidikan anti-kekerasan atau pendidikan perdamaian (peace education).

Paradigma Pendidikan Anti Kekerasan

Pendidikan anti kekerasan (non-violence) mengindikasikan sebuah proses pembelajaran dan penanaman sikap-sikap mental yang mengedepankan nilai-nilai positif nir-kekerasan dalam menghadapi setiap permasalahan sosial-keagamaan dalam masyarakat. Pendidikan ini tentunya mengubur dalam-dalam sikap egoistik (anâniyya), tetapi sebaliknya mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat daripada kepentingan individual atau kelompok untuk mencapai suatu kondisi harmonis di kalangan anggota masyarakat.
Pendidikan anti-kekerasan perlu dibangun dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Di antara nilai-nilai yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan dasar (ingredients) adalah nilai-nilai yang diambil dari agama, budaya dan juga hak-hak asasi manusia yang universal. Berkenaan dengan yang pertama, hampir dalam semua agama di dunia, mengajarkan prinsip-prinsip nir-kekerasan. Dalam Islam, prinsip ini begitu jelas sebagaimana disinyalir oleh sebuah hadis yang kemudian dijadikan sebagai kaidah fikih yang sangat vital, yaitu lâ darar wa lâ dirâr (tidak membahayakan dan membalas dengan bahaya yang setimpal). Dalam Hindu, prinsip ini dikenal dengan nama ahimsa, yang berarti "nir-kekerasan". Bahkan ahimsa ini merupakan sifat khusus dalam agama ini. Dalam agama-agama lain, seperti Jainisme dan Budhisme, juga terdapat doktrin tentang “nir-kekerasan”. Dalam tradisi Budhisme, misalnya, prinsip “nir-kekerasan” memproyeksikan sebuah cita-cita perdamaian universal, yang dapat diperluas menjadi mencakup ide hati atau pikiran yang damai. Logika Budhisme kenyataannya menempatkan pertama kali adalah pikiran: upaya keagamaan untuk mencapai tatanan dan keharmonisan kosmik berlangsung dalam pikiran.
Dalam Jainisme, “nir-kekerasan” adalah agama yang paling tinggi (ahimsa parmo dharmah). Ia merupakan sebuah prinsip yang diajarkan dan dipraktikkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh alam. Ajaran "nir-kekerasan" tidak hanya menunjuk kepada perang dan tindakan-tindakan kekerasan nyata yang dilakukan oleh fisik, tetapi juga kekerasan dalam hati dan pikiran manusia, dan juga hilangnya kepedulian terhadap sesama umat manusia dan dunia alam. Teks-teks Jain klasik menjelaskan bahwa kekerasan tidak diartikan sebagai tindakan bahaya yang aktual, yang mungkin saja tidak disengaja. Namun, keinginan untuk membahayakan atau ketiadaan empati atau kasih sayang-lah yang membuat tindakan tersebut menjadi bahaya (violent). Tanpa kekerasan yang dipikirkan, tidak akan ada tindakan kekerasan.
Bahan dasar kedua adalah nilai-nilai budaya (cultural values). Istilah "budaya", dalam konteks ini, merujuk kepada satu praktik dan kebiasaan masyarakat yang baik (`urf sahîh), yang telah diterima oleh masyarakat secara konsensus dan bersifat universal, tidak hanya menguntungkan satu fihak atau kelompok tertentu. Indonesia, dengan beragam kelompok etnik dan budaya ini, adalah sangat kaya dengan nilai-nilai budaya yang khas. Hampir semua kelompok etnik yang ada memiliki budaya tersendiri, yang masing-masing dari mereka mungkin memiliki kesamaan atau perbedaan budaya satu sama lainnya. Nilai "demokrasi", dalam pengertian yang khas, hampir bisa dipastikan ada pada sebagian besar kelompok etnik di Nusantara, seperti di antaranya Bugis-Makassar, Aceh, Madura, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya seperti "gotong royong" terdapat dalam komunitas-komunitas seperti di antaranya, Ambon, yang terkenal dengan sistem pella gandong-nya. Nilai budaya "egalitarianisme" bisa ditemukan pada masyarakat Banjar, dan juga komunitas Betawi yang tidak mengenal adanya strata dan hirarki yang berbelit-belit, baik dari segi bahasa, kesenian, maupun lainnya. Budaya tepo seliro yang menyiratkan sikap toleransi terhadap orang lain bisa kita lihat dalam masyarakat Jawa, dan seterusnya. Nilai-nilai budaya seperti demokrasi, gotong royong, toleransi, egalitarianisme, yang ada dalam komunitas etnik di Nusantara ini adalah nilai-nilai universal yang bisa diolah sebagai bahan dasar dalam pendidikan anti kekerasan.
Bahan dasar yang terakhir adalah hak asasi manusia (human rights), dan hak-hak ini merupakan esensi dari manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Jose Diokono, "Human rights are more than legal concepts; they are the essence of man. They are what makes man human. That is why they are called human rights: deny them you deny man's humanity." [Hak-hak asasi manusia lebih dari sekedar konsep-konsep hukum; ia adalah esensi manusia. Hak-hak ini lah yang membuat seorang menjadi manusia. Itu lah mengapa mereka disebut hak asasi manusia: menolaknya berarti menolak kemanusiaan manusia].
Hak-hak asasi manusia ini mencakup hak untuk hidup, kehormatan, dan mengembangkan diri sendiri. Atau, lebih luas lagi ia mencakup apa yang disebut dengan al-kulliyyât al-khamsah (pemeliharaan atas agama, jiwa, akal, keturunan dan kehormatan). Terkait dengan hak asasi manusia ini adalah hak budaya (cultural rights), dan ia juga merupakan bagian dari hak manusia. Hak untuk hidup bukanlah hidup seperti yang diinginkannya atau semaunya, tetapi hak untuk hidup sebagai seseorang yang berada dalam kultur komunitas tertentu, dalam satu cara hidup yang dianggap baik dan diterima oleh kultur itu. Dengan demikian, sikap empati terhadap kultur komunitas lain menjadi tumbuh, sehingga ketegangan dan konflik sosial berbasis perbedaan kultur bisa dicegah.
Kesemua nilai tersebut perlu disosialisasikan dalam bentuk pembelajaran di institusi-institusi pendidikan, dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, atau bahkan pada institusi-institusi pendidikan non-formal di masyarakat seperti pengajian, halaqah dan majelis taklim. Ini tidak lah berarti bahwa harus dimasukkan satu mata pelajaran atau mata kuliah tentang "pendidikan anti-kekerasan" secara khusus, tetapi bagaimana nilai-nilai nir-kekerasan atau perdamaian, yang terambil dari ajaran agama, budaya, dan hak asasi manusia, bisa masuk ke seluruh mata pelajaran yang ada. Disamping itu, perlu juga dirancang metode pembelajaran yang transformatif, yang lebih mengedepankan pencarian titik persamaan atau titik temu pada masing-masing agama atau budaya lain. (Untuk lebih jelasnya, lihat bagan 1)

Bagan 1: Rancangan Pembelajaran Pendidikan Anti Kekerasan

INPUT
1.Nilai-nilai agama
2.Nilai-nilai budaya
3.HAM (demokrasi, persamaan, pembebasan, dst.)

PROSES PEMBELAJARAN
1.Seluruh sekolah
2.Kurikulum
3.Metodologi pembelajaran transformatif

OUTPUT(KELUARAN)
1.Rasa hormat kepada orang lain tanpa melihat kepada perbedaan ras, keyakinan keagamaan, dan lain-lain.
2.Sikap empati, yaitu satu keinginan untuk memahami pandangan-pandangan orang lain dari sudut pandang mereka.
3.Rasa percaya diri (self-esteem)—menerima kebermaknaan diri sendiri.
4.Komitmen kepada keadilan sosial, persamaan dan perdamaian (anti kekerasan)
5.Sikap penuh perhatian pada lingkungan dan ekosistem.
6.Komitmen pada kesetaraan dan pembebasan.

Metode pembelajaran yang transformatif mencakup diantaranya: pertama, metode dialog. Dialog tidak lagi diarahkan kepada persoalan-persoalan teologis yang cenderung menimbulkan ketegangan, tetapi lebih pada satu pemahaman bahwa pemutlakan pandangan atau monopoli kebenaran merupakan satu bentuk kekerasan yang malah bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri sebagai sumber kedamaian, terbuka terhadap penalaran dan untuk semua orang. Selanjutnya, dalam dialog, langkah awal yang penting yang perlu diambil adalah menggarisbawahi asumsi-asumsi mendasar, yang oleh Harold Coward, diuraikan ke dalam tujuh asumsi utama, yaitu:
1) dalam semua agama ada satu pengalaman tentang satu realitas yang melampaui konsepsi manusia; 2) realitas itu dipahami dalam ragam cara dalam masing-masing agama dan di kalangan semua agama, dan pengakuan tentang pluralitas adalah penting untuk menjaga kebebasan agama dan menghargai keterbatasan-keterbatasan manusia; 3) bentuk-bentuk pluralistik dari agama fungsinya adalah instrumental; 4) apa yang absolut dan pasti dalam agama manapun adalah komitmen seseorang kepada kebenaran, namun demikian pemahaman seseorang terhadap kebenaran tetap lah terbatas; 5) ajaran Budha tentang toleransi kritis dan pesona moral selalu mesti dijalankan; 6) melalui dialog yang kritis-diri (self-critical dialogue) kita selanjutnya mesti masuk ke dalam pengalaman khusus kita tentang realitas yang transenden (dan mungkin ke dalam realitas transenden orang lain); dan 7) dalam kemajemukan pertemuan antar-iman, fokus pada "orang lain yang menderita" dan "bumi yang menderita" dapat menyediakan satu titik tolak dialog bersama menuju saling kerjasama dan pengertian.
Kedua, metode pelibatan peserta didik dalam kegiatan-kegiatan sosial yang terkait dengan pemahaman atas pluralitas budaya, kelompok etnis dan agama. Di samping itu, mereka juga dilibatkan ke dalam kegiatan pemeliharaan lingkungan demi menghindari bentuk-bentuk kekerasan terhadap ekosistem. Ini semua dimaksudkan agar dalam diri peserta didik nantinya akan tertanam sikap empati dan bisa memahami dari sudut pandang orang lain yang berbeda dalam hal ras, suku, kultur dan agama, dan juga menumbuhkembangkan sikap peduli dan bersahabat terhadap lingkungan dan ekosistem sebagai partner yang perlu dilindungi. Tidak kalah pentingnya juga mengajak peserta didik ke wilayah-wilayah yang terkena konflik melihat apa akibat-akibat kerusakan fisik dan non-fisik yang terjadi. Mereka juga bisa ditempatkan di rumah-rumah korban konflik untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan membantu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Pengalaman belajar langsung (direct learning) ini bisa menumbuhkan rasa simpati dan empati di kalangan siswa sehingga tertanam dalam kesadaran mereka sikap ini dalam kehidupan-kehidupan mereka selanjutnya.

Catatan Penutup
Keberadaan pendidikan anti-kekerasan memang sudah seharusnya direalisasikan dalam konteks masyarakat Indonesia. Di negara-negara lain hal ini telah berjalan seperti di antaranya, Jepang. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang potensial bagi munculnya ketegangan, konflik dan kekerasan karena banyaknya ragam bahasa, kelompok etnik, agama dan budaya. Tentunya pendidikan anti-kekerasan harus dimasukkan ke dalam institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun non-formal, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahan-bahan dasar bagi jenis pendidikan ini bisa diambil dan disari dari nilai-nilai universal agama-agama yang ada, budaya, dan juga prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Kesemuanya itu diolah dan diramu ke dalam satu kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tujuan akhir dari semua proses pembelajaran ini adalah mewujudkan peserta didik yang memiliki sikap mental dan perilaku seperti rasa hormat dan toleran, empati, komitmen pada keadilan sosial, persamaan, kebebasan, demokrasi, peduli terhadap lingkungan, dan sebagainya. Lebih dari itu, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran ini adalah yang bersifat transformatif dengan melibatkan metode dialog dan pelibatan peserta didik dalam momen-momen yang memunculkan sikap metal dan perilaku yang dituju.
Untuk itu, partisipasi dari seluruh segmen masyarakat tanpa melihat perbedaan-perbedaan fisik dan non-fisik adalah sangat dibutuhkan, demikian juga dengan partisipasi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal penyediaan fasilitas-fasilitas yang bisa mempermudah jalannya pendidikan ini. Dengan terwujudnya pola pembelajaran dan penanaman nilai-nilai anti-kekerasan atau perdamaian kepada peserta didik semenjak dini melalui pranata-pranata pendidikan, potensi konflik pada masa mendatang setidaknya akan bisa diredam.

Daftar Pustaka

Acciaioli, Greg. "Grounds of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and Nationalism in Violence Avoidance at the Lindu Plain, Central Sulawesi" dalam Indonesia, 72 (October 2001) Cornell Southeast Asia Program,
Aragon, Lorraine V. "Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People" dalam Indonesia, 72 (October 2001), Cornell Southeast Asia Program
Coward, Harold. Pluralism in World Religions: A Short Introduction, Oxford: Oneworld, 2000
Faruk HT, "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Banjar", dalam Mohammad Najib et al (ed). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Fernandez, Doreen G. "Cultural Rights are Human Rigths" dalam Values in Philippine Culture and Education, Manuel B. Dy Jr (ed), The Council for Research in Values and Philosophy, Series III, Asia, Vol. 7, 1994
Gandhi, Mahatma. The Gospel of Non-violence, dapat diakses pada http://www. mkgandhi.org/momgbook/index.htm
Gómez, Luis O. Nonviolence and the Self in Early Buddhism, diakses pada http://www.algonet.se/~jviklund/gandhi/ENG.NV.ahimsa.html
Harris. Peace Education in a Postmodern World, Mahway, NJ: Lawrence Erlbaum, 1996
Haryatmoko. "Dominasi Laki-laki Melalui Wacana" dalam Nur Imam Subono (Ed), Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
al-Hasanî, Ismâ`îl. Nazariyyat al-Maqâsid 'Inda al-Imâm Muhammad Tâhir bin 'Âshûr, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995
Human Rights Watch, Indonesia: The Violence in Ambon, Human Rights Watch Reports, Vol. 11, No.1 [C], New York: Human Rights Watch, 1999
Marty, Martin E. "The Role of Religion in Cultural Foundations of Ethnonationalism" dalam Martin E. Matty dan R. Scott Applebi (ed), Religion, Ethnicity, and Self Identity: Nations in Turmoil, New England: Universtiy Press of New England, 1997
Mattulada. "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar (Mangale' Pasang, Massolompa wo)", dalam Mohammad Najib et al (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Najib, Mohammad et.al (eds). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Satu dan Dua, Yogyakarta: LKPSM, 1996
Rohde, David. "Indonesia Unravelling?" Foreign Affairs, 80, 4, (2001)
Saidi, Ridwan. "Demokrasi dalam Perspektif Budaya Betawi" dalam Mohammad Najib (ed), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Buku Satu, Yogyakarta: LKPSM, 1996

* Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Datokarama Palu Sulawesi Tengah. Sudah diterbitkan dalam Jurnal Religi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. V, No. 1, Januari 2006.

Tidak ada komentar: