FIKIH EKOLOGI:
TAWARAN KONSEPTUAL-PARADIGMATIK DAN
AFFIRMATIVE ACTION*
Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc**
I. Pendahuluan
Masalah ekologi sudah
seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai kerusakan
terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke
tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya semakin menurun, malah
semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, penebangan hutan, penambangan dan
pabrik kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih banyak yang lainnya,
mungkin merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Tentu ketika ditanya apa
faktor-faktor di balik ini, jawabannya adalah sederhana. Pertama,
pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan bahwa alam
beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan
hampir banyak didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya. Ini
misalnya, seperti diungkapkan Lynn White
Jr,[1] dapat
ditemukan dalam etika Judaeo-Kristen. Manusia, dalam tradisi Bibel, berada
di atas alam. Ia merupakan makhluk spesial ciptaan Tuhan, dan diperintahkan
untuk mendominasi alam: “untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya; menguasai
ikan-ikan di lautan, burung-burung di udara, dan segala binatang merayap di
muka bumi.” (Kitab Kejadian I: 28).
Kedua, tindakan rakus
manusia yang senang mengeksploitasi alam beserta isinya demi kepentingan
perutnya dengan menggunakan sains dan teknologi tanpa mempedulikan hak-hak alam.
Seorang filosof Jerman, Nietszhe menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat
kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to power),
tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap terhadap alam. Dalam
tradisi Marxis ada penekanan bahwa ekonomi menjadi suprastruktur terhadap segala
aktivitas manusia. Paham-paham materialis ini semakin memperbesar pemilahan
antara subjek-objek, “yang berkuasa dan dikuasai”, yang telah dibuat oleh sains
dan teknologi Barat.
Oleh karena itu, persoalan
lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moral. Maka, penanganannya pun
harus melibatkan pertama kali, perubahan paradigma terhadap alam dan
lingkungan. Kemudian, melakukan tindakan afirmatif untuk mengembangkan sikap
bersahabat dan berbuat baik kepada alam. Makalah ini berusaha untuk menawarkan
solusi tersebut dalam perspektif fikih Islam yang kaya dengan konsep-konsep
yang menekankan kebaikan dan keseimbangan manusia dan alam. Ini pada gilirannya
dimaksudkan untuk dapat ditindaklanjuti dalam tataran praktis.
II.
Pemeliharaan Ekologi: Tawaran Fikih dan Tindakan Afirmatif
A. Maqasid
Shari’ah: Framework for Action
Dalam kitab I’lam
al-Muwaqqi’in, Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan cerdas menyebutkan bahwa “Sesungguhnya
fondasi dan dasar syariat Islam adalah hikmah dan kemaslahatan hamba baik di
dunia maupun diakhirat. Syariat Islam itu adalah keadilan, kasih sayang, hikmah
dan kemaslahatan. Segala sesuatu yang keluar dari prinsip keadilan, rahmat, kemaslahatan,
dan hikmah, menuju kepada kezaliman, perusakan, dan kesia-siaan, bukanlah
syariat, meskipun ia dipahami dengan cara ta'wil.”[2] Karena
syariat Islam berpijak pada prinsip universal ini, maka berbagai tujuan di
balik pensyariatan hukum adalah “menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan”.
Prinsip ini kemudian dibagi ke dalam tiga bagian: daruriyyah, hajiyyah dan
tahsiniyyah. Yang dianggap pertama kali merumuskan konsep ini adalah
al-Juwayni dalam kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh.[3]
Kemudian, konsep ini dielaborasi dengan sangat cerdas oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa
min ‘Ilm al-Usul. Ulama berikutnya yang memperluas konsep ini dan mengulas
dengan begitu cemerlang adalah al-Shatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul
al-Shari’ah.
Menurut rumusan
al-Ghazali dan al-Shatibi dengan urutan yang tidak sama, maslahat daruriyyah
ini dibagi ke dalam lima prinsip: hifz al-din
(pemeliharaan terhadap agama); hifz al-nafs (pemeliharaan terhadap
jiwa); hifz al-‘aql (pemeliharaan terhadap akal); hifz al-mal (pemeliharaan
terhadap harta); dan hifz al-nasl atau hifz al-‘arad (pemeliharaan keturunan dan
kehormatan).
Dalam perkembangannya,
mengingat permasalahan yang dihadapi umat Islam begitu kompleks, maka
pembatasan hanya terhadap lima
prinsip pokok ini menjadi dipertanyakan. ‘Atiyyah menguraikannya dengan singkat
upaya penambahan tersebut dalam bukunya Nahwa Taf’il Maqasid al-Shari’ah.[4] Namun di
antara penambahan yang mungkin relevan dalam bahasan ini adalah hifz
al-bi’ah (pemeliharaan terhadap linkungan). Pemeliharaan terhadap isu
ekologi dan lingkungan ini mendapatkan pijakan Qur’ani yang kuat, selain fakta
juga menunjukkan bahwa berbagai kerusakan terhadap alam menuntut dengan cepat
perhatian yang sangat serius dari teks-teks keagamaan.
Misalnya, perhatian
Alquran yang kuat terhadap bumi dan perintah untuk memakmurkannya bisa dilihat
dari berbagai rentetan ayat dan juga hadis Nabi yang menegaskan perintah untuk
menanam dan menyuburkan, dan larangan menyia-nyiakannya. Dalam Alquran kata
bumi (‘ard) disebutkan sektiar 61 kali.[5] Dalam
ayat-ayat ini kita menemukan bahwa bumi digambarkan sebagai mahd,[6] mustaqar
atau qarar,[7]
firash,[8]
bisat[9]
dan mihad.[10] Menurut
hukum Islam, segala tindakan yang membahayakan dan merusak bumi adalah sangat
dilarang dalam Islam. Yang dimaksud dengan bumi di sini mencakup tanah, gunung,
tanaman, hutan, dan seterusnya. Istilah ‘ard juga mencakup makna “tempat
yang halus dan mudah untuk manusia berjalan, bekerja, menanam dan memanen,
membangun rumah dan pabrik dan melakukan segala sesuatu yang berada dalam
batasan-batasannya.”[11]
Dari pentingnya isu ini
muncul konsep ihya al-mawat dan hima dalam literatur fikih Islam.
Bahasan berikut akan mengulas kedua isu ini secara sederhana.[12]
1.
Ihya al-mawat (menghidupkan tanah mati
atau tidak produktif)
Kata ihya berarti
“menghidupkan” dan mawat berarti “tanah-tanah mati yang tidak ada
pemiliknya”. Menurut al-Zuhayli, kandungan makna dari istilah ini adalah “membuat
tanah-tanah pertanian menjadi subur atau menjadikannya cocok untuk ditanami
dengan menghilangkan hal-hal yang menghambat penanaman seperti batu-batu dan
rumput-rumput, membuat air keluar, menaburkan tanah-tanah yang cocok untuk
ditanam, dan mendirikan pagar atau mendirikan bangunan di atasnya. ” (istislah
al-aradi al-zira’iyyah aw ja’luha salihah li al-zira’ah bi-raf’ ‘awa’iq
al-zira’ah min ahjar wa a’shab minha wa istikhraj al-ma’ wa tawfir al-turbah
al-salihah li al-zira’ah wa iqamat al-aswar ‘alayha aw tashyid al-bina’ fiha).[13] Tujuan
dari konsep ini, seperti yang dipahami para fuqaha dan juga dokter, tidak hanya
dianggap sebagai sumber dalam ekonomi negara, namun juga sumber bagi kesehatan
lingkungan. Karena tanah mati yang tidak produktif jika diabaikan begitu saja
akan menyebabkan degradasi tanah, dan ini pada gilirannya bisa mengancam
keselamatan hidup manusia, binatang dan makhluk ciptaan lainnya.
Secara historis, praktik
ini pernah ada pada masa Nabi, Khulafa Rashidun dan juga Umayyah. Sejarawan
menceritakan bahwa ketika Nabi berhijrah ke Madinah, sejumlah umat Islam
Madinah telah memiliki lahan-lahan pertaniannya sendiri. Nabi tidak hanya
mengkonfirmasi kepemilikan tanah, namun ia sendiri juga menetapkan aturan yang
positif yang membiarkan tanah tersebut menjadi milik perorangan. Kebijakan ini
diikuti oleh para khalifah setelahnya juga. ‘Umar b. al-Khattab, misalnya,
menyerahkan semua lahan Khaybar kepada ratusan orang setelah ia mengeluarkan
orang-orang Yahudi dari sana.
Dasarnya adalah hadis,
“Siapa pun yang tadinya menghidupkan tanah yang tidak dipakai—terlantar dan
tidak dimiliki siapa pun—maka tanah tersebut menjadi miliknya” [man ahya ardan
maytah fahiya lahu].[14]
Semangat hadis ini memberikan pesan agar tidak membiarkan tanah tidak bertuan
atau kawasan terlantar begitu saja. Konsep ini sangat penting sebagai landasan
memakmurkan bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah Tuhan di muka
bumi.[15] Namun
untuk konteks sekarang, praktik tersebut tidak bisa begitu saja dilakukan. Namun
perlu mendapatkan persetujuan pemerintah atau penguasa, menurut mazhab Hanafi.[16] Alasan
dari pandangan ini adalah untuk menjauhi berbagai sengketa yang mungkin terjadi
dari berbagai klaim yang bertentangan—entah itu antara pengembang ihya
dan pemilik iqta’. Sedangkan mazhab Malik berpendapat bahwa persetujuan
dari negara itu penting hanya ketika tanah mati yang tidak berpenghuni (mawat)
itu berada dekat dengan perhunian masyarakat. Jika tanah mawat tersebut
terisolasi dan jauh dari kampung masyarakat, maka persetujuan dari negara
tidaklah begitu penting.[17]
Menurut hemat penulis,
dalam konteks sekarang, intervensi pemerintah itu sangat penting demi
menghindari terjadinya konflik, karena hukm al-hakim ilzam yarfa’ al-khilaf (putusan
penguasa bersifat mengikat dan mengangkat segala bentuk sengketa). Untuk itu, pemerintah
dan peraturan perundangan harus aktif dan akomodatif dalam mengelola dan menerapkan
peraturan pemilikan lahan secara konsisten. ‘Umar b. al-Khattab, misalnya,
membuat peraturan perundangan untuk mengambil tanah yang tidak digarap oleh
pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila tidak terlihat ada
tanah-tanah yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan,
pemerintah dapat memproses lahan tersebut agar bisa dialihkan kepemilikannya
untuk dijadikan lahan produktif.
Namun demikian, dalam ihya
al-mawat ada beberapa ketentuan fikih yang perlu diperhatikan, yaitu selain
penggarapan tanah tidak berlaku terhadap tanah yang sudah dimiliki orang lain,
ia juga bukan merupakan kawasan yang bisa mengakibatkan gangguan terhadap
kemaslahatan umum, seperti tanah yang rawan longsor atau daerah aliran sungai
yang bisa berakibat berubahnya aliran sungai. Dalam proses ihya tersebut,
menurut al-Mawardi, diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Karenanya, ia
harus dilakukan menurut watak alami dan londisi tanah yang tidak produktif (mawat)
tersebut. Jika tanah tersebut masuk dalam kategori tanah pertanian, maka
pekerjaan yang diharapkan untuk dilakukan seharusnya mencakup pembuatan
batas-batas, pembersihan lahan tanah, dan pengairan.[18]
2. Hima (lahan konservasi atau
cagar alam)
Dalam literatur fikih, kata
hima mengandung pengertian “lahan terlarang bagi orang lain”. Dasarnya
adalah hadis Nabi, “Semua hima (lahan konservasi) hanyalah milik Allah
dan Rasul-Nya.”[19]
Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki
oleh siapa pun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan
penggembalaan hewan ternak. Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk
kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan
banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya.
Secara historis, praktik
ini sudah dilakukan Nabi, misalnya dengan membuat hima di wilayah Naqi’,
delapan mil dari kota
Madinah, untuk kuda-kuda kaum muslimin. ‘Umar b. al-Khattab membangun hima Sharaf
dan al-Rabadah, yang diperluas oleh Uthman b. Affan, membentang dari tempat di
Rabadah di barat Nejed sampai ke perkampungan Dariyah. Pada tahun 1969, diperkirakan
ada tiga ribu hima, yang mencakup
Meskipun pada masa Nabi
dan setelahnya dimanfaatkan untuk menggembala ternak, namun dalam konteks
sekarang, istilah ini bisa diperluas pemahamannya menjadi taman nasional,
cagar alam, suaka alam, hutang lindung, dan suaka
margasatwa. Di Indonesia banyak ditemukan hima atau cagar alam, di
antaranya Cagar Alam Ujung Kulon, Cagar Alam Way Kambas, Cagar Alam Karaeta di
Maros, Hima Batang Gading, Hima Gunung Leuser (Aceh), dan
sebagainya.
B. Prinsip
al-‘Adah Muhakkamah dan Kearifan Lokal
Di dalam kaidah fikih
induk, ini masuk ke dalam kaidah kelima yang secara umum mengandung pengertian
“Adat bisa menjadi hukum”. Adat kebiasaan, atau dikenal pula dalam bahasa usul
al-fiqh dengan ‘urf, yang bisa dijadikan sebagai hukum adalah
yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: (1) tidak bertentangan dengan
syariat; (2) kemaslahatannya harus bersifat universal, bukan parsial. Kemudian,
segala sesuatu yang ditetapkan hukumnya melalui adat, maka ketetapan hukumnya
seperti ketetapan hukum melalui nash. (al-thabit bi al-‘adah ka al-thabit bi
al-nass)
Adat, dalam pengertian
yang luas, bisa mencakup pula kearifan lokal atau kearifan tradisional.
Yang dimaksudkan di sini adalah “semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman
atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia
dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis”.[20] Jumlah kearifan lokal dari masyarakat adat ini
melimpah, karena masyarakat adat membentuk jumlah yang cukup signifikan di
dunia. Menurut laporan dari The World Conservation Union (1997) dari
sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 di antaranya adalah masyarakat
adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat
budaya dunia.[21]
Kearifan lokal dari masyarakat-masyarakat
adat ini terhadap lingkungan bisa dikatakan hampir sama (universal) di seluruh
dunia. Mereka memandang dirinya, alam dan relasi antara keduanya dalam
perspektif religius, spiritual. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional
sebagai sakral. Atau singkatnya semuanya menekankan berbagai prinsip yang bisa
diringkas sebagai berikut:
·
Sikap hormat terhadap alam (respect
for nature).
·
Prinsip tanggung jawab (moral
responsibility for nature).
·
Solidaritas kosmik (cosmic
solidarity).
·
Prinsip kasih sayang dan kepedulian
(caring for nature).
·
Prinsip no harm (la darar
wa la dirar).
·
Prinsip hidup sederhana dan selaras
dengan alam.
·
Prinsip keadilan dan keseimbangan.
·
Prinsip integritas moral.
Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip
yang terambil dari kearifan tradisional dari berbagai masyarakat adat bisa
dijadikan sebagai ingredient bagi upaya pelestarian ekologi dan
penyelamatan bumi. Meskipun penerapannya bersifat lokal [dan terkadang
dibungkus pula dengan mitos-mitos], namun mempunyai ajaran-ajaran moral yang
bersifat universal terhadap lingkungan. Kita mempunyai berbagai kearifan
tradisional dan falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa
terkenal dengan falsafah Hamemayu
Hayunig Bawana, Tri
Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang.
Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig
di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah
kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sebenarnya dalam
komunitas perkotaan yang modern pun kini tumbuh berbagai kearifan lingkungan,
seperti halnya pengelolaan sampah di Banjar Sari Jakarta, Sukunan Yogyakarta,
Karah Surabaya, Kassi-Kassi Makasar, dan lain-lain.
III. Catatan Penutup
Kepedulian terhadap
lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yaitu lingkungan
rumah, dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon
untuk penghijauan. Rasulullah Saw pernah menyatakan, “Seandainya hari ini adalah saat datangnya
kiamat, dan di tanganku ada benih yang akan ditanam, maka saya akan menanam
benih itu.” Aksi ini kemudian diperluas jangkauannya hingga lingkungan sekitar,
kantor, dan seterusnya, agar menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan
tempat-tempat sampah yang organik dan non-organik, agar yang bisa didaur ulang
kembali menjadi hal yang berguna, pun perlu diperhitungkan. Di negara-negara
Barat, seperti di antaranya Australia,
hal ini sudah dilakukan.
Tentunya pemerintah dan
masyarakat harus bergandeng tangan mewujudkan cita-cita ini. Tanpa adanya partisipasi
yang tulus dari segenap masyarakat dan political will dari pemerintah
daerah, maka pewujudan lahan konservasi (hima) dan pengembangan
tanah-tanah tidak produktif (ihya al-mawat) tidak akan bisa terwujud. Wa-llahu
a’lam bi al-sawab.
* Tulisan ini pernah disampaikan
pada Seminar Agama dan Kearifan Lokal (Membangun Teologi dan Fikih Ekologi
di Era Otonomi, tanggal 21 Oktober 2008 di STAIN Datokarama Palu, Sulawesi
Tengah.
**
Dosen Sejarah Sosial Hukum Islam (Tarikh Tasyri) dan Comparative
Study of Islamic Law (Perbandingan Mazhab), Jurusan Syariah, STAIN
Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.
[1] Dikutip dalam S. Parvez
Manzoor, “Environment and Values: the Islamic Perspective,” dalam Ziauddin
Sardar (ed.), The Touch of Midas: Science, Values and Environment in Islam
and the West, Manchester:
Manchester University Press, 1984), 152.
[2] Ibn Qayyim al-Jawziyyah,
I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 3, Cet. ke-2, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1977), 14.
[3] Abu al-Ma’ali
al-Juwayni, al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Jilid 2, Tahqiq: Salah b.
Muhammad b. ‘Uwaydah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 79-80.
[4] Jamal al-Din ‘Atiyyah, Nahwa
Taf’il Maqasid al-Shari’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), khususnya dari
hal. 91-172.
[5] Lihat Muhammad Fu’ad
‘Abd. al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfaz al-Qur’an al-Karim bi
Hashiyat al-Mashaf al-Sharif, (Beirut: Dar al-Fikr li al-Tiba‘ah wa
al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1994), 34-42.
[6] al-Zukhruf
[43]: 10.
[7] Q.S. al-Mu’min [40]: 64.
[8] Q.S. al-Baqarah [2]: 22.
[9] Q.S. Nuh [71]: 19.
[10] Q.S. al-Naba’ [78]: 6.
[11] Lihat Q.S. Al-Mulk (67):
15: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan
hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
[12] Untuk keterangan lebih
rinci bisa dilihat kitab-kitab fikih, seperti di antaranya Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu Jilid 5, Cet. Ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
bahasan Ihya al-Mawat (h. 549-570) dan Ahkam al-Ma’adin wa al-Hima wa
al-Iqta’ (h. 571-587); Imam al-Nawawi, al-Majmu Sharh al-Muhadhdhab,
Jilid 16, Cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), bahasan ihya al-mawat (h.
81-130) dan al-iqta’ wa al-hima (h. 107-119).
[13] Al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami, 5: 550.
[14] Hadis riwayat Ahmad dan
al-Turmudhi melalui jalur Jabir b. ‘Abd Allah. Status hadis ini, menurut
al-Turmudhi, adalah hasan sahih.
[15] Lihat Q.S. al-Baqarah
[2]: 30.
[16] Abu Yusuf Ya‘qub b.
Ibrahim, Kitab al-Kharaj, Ihsan ‘Abbas (ed), (Kairo: Dar al-Shuruq,
1985), 180.
[17] Imam Malik b. Anas, al-Muwatta’,
2: 743-744
[18] Al-Mawardi, al-Hawi
al-Kabir, Mahmud Satraji (ed), Jilid 9, (Beirut: Dar al-Fikr li al-Tiba‘ah
wa al-Nashr wa al-tawzi‘, 1994), 333-334.
[19] Hadis riwayat Ahmad,
Bukhari dan Abu Dawud. Redaksinya: la hima illa lillah wa Rasulih.
[20] A. Sonny Keraf, Etika
Lingkungan, (Jakarta:
Kompas, 2002), 289.
[21] Dikutip dalam ibid.,
282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar