MEMBANGUN
TEOLOGI BUMI
Rusli
Dosen
STAIN Datokarama Palu
Berbagai
tragedi terhadap bumi tentunya menuntut perhatian yang serius dari kita semua,
tidak hanya dari pihak aktivis lingkungan, namun juga dari kalangan agamawan.
Kita mengenal banyak nilai agama dan kearifan tradisional yang bisa menjadi
bahan dan kerangka epistemologis bagi pengembangan pemahaman yang bersahabat
terhadap bumi. Dan kita juga sadar bahwa tindakan seseorang, entah itu persahabatan
atau kekerasan terhadap bumi, salah satunya dimotori dari pemahamannya terhadap
bumi. Di sini, tentunya peran agama menemukan momentumnya.
Sebagaimana
halnya agama-agama di dunia, Islam, yang berpijak pada kitab suci Alquran dan
praktik-praktik kenabian, juga membahas pula isu-isu fundamental tentang tujuan
penciptaan bumi dan bagaimana seharusnya manusia berperilaku terhadap bumi. Kata
bumi atau (Arab: ardh) disebut berulang kali di dalam Alquran sebanyak 462
kali. Ini menggambarkan betapa vitalnya konsep ini dalam Islam. Dalam Alquran,
bumi digambarkan sebagai sebagai mahd (QS. al-Zukhruf [43]: 10), mustaqarr
atau qarâr (QS. al-Mu’min [40]: 64), firâsy (QS. al-Baqarah
[2]: 22), bisâth (QS. Nuh [71]: 19) dan mihâd (QS.
al-Naba’ [78]: 6).
Dari
berbagai jumlah ayat ini, dapat ditarik beberapa pernyataan. Pertama, tanah
bukanlah objek pemilikan. Tanah dimiliki Tuhan, dan bahwa hanya Ia satu-satunya
pemilik tanah, beserta semua yang ada di atasnya. Bumi adalah ciptaan Tuhan
yang mesti dikelola secara benar. Tidak satu pun manusia yang berhak mengklaim
memiliki bumi sejengkal pun karena bumi ini adalah milik-Nya. Untuk itu,
manusia tidak boleh arogan ketika memiliki tanah di bumi. Arogansi dalam arti
berbuat semaunya, seperti mengeksploitasi tanpa memikirkan pelbagai akibatnya,
mencemari alam dan lingkungan dengan polusi yang bisa merusak bumi.
Kedua,
bumi tampil sebagai substratum kehidupan: tanaman, hewan, burung dan manusia.
Tanah yang hijau adalah ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. Gambaran
tentang warna hijau adalah gambaran kesuburan, dan segala yang positif,
konstruktif dalam hidup manusia. Tanah yang hijau adalah tanah yang indah.
Keindahan adalah penjelmaan Tuhan. Tanah hijau nan subur itu terjadi bila air
jatuh ke bumi. Setiap produksi baru mustahil tanpa adanya hubungan kedua unsur
ini. Air juga muncul dari dalam tanah itu sendiri, yang kemudian menjadi
makanan dan penyubur tanaman. Tanaman tidak akan muncul tanpa adanya campuran
dari air dan tanah dengan ukuran yang harmonis. Artinya, jika airnya lebih
banyak, atau sebaliknya kurang, maka tanah tidak akan menghasilkan tanaman. Di
atas tanah yang hidup, terdapat pula berbagai jenis binatang, yang sebagaimana
tanaman, diperuntukkan untuk kemaslahatan manusia dengan hubungan saling melestarikan
dan menghargai (mutual-respect). Jadi, dapat dikatakan bahwa tanah
merupakan medan
keanekaragaman ciptaan yang seharusnya hidup atau eksis berdampingan dan saling
menghargai dengan dasar ketulusan dan persahabatan.
Berikutnya,
bumi dilukiskan sebagai keluasan yang lurus, panjang, empuk, luas, lebar untuk
manusia guna berjalan dan tinggal di atasnya. Ibaratnya bumi merupakan ibu
pertama kita. Di atasnya kita hidup dan dibesarkan. Dari anugerah yang
ditumbuhkan bumi kita makan. Oleh karena itu, bumi mempunyai hak yang harus
ditunaikan oleh kita, lantaran bumi merupakan padang tindakan manusia untuk memenuhi
kebaktiannya dan melaksanakan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Di
antara hak-hal tersebut adalah untuk tidak membiarkan bumi begitu saja, namun
sebaliknya harus dihijaukan dan dijadikan produktif, bukan dibiarkan begitu
saja.
Dari
pentingnya bumi dan pengelolaan atasnya, maka muncullah berbagai konsep dalam
fikih Islam yang memberikan perhatian pada kesucian dan pentingnya penyuburan
terhadap bumi, di antaranya, ihya’ al-mawat (menghidupkan lahan yang
tidak produktif) dan hima (lahan konservasi). Rasulullah Saw menyatakan
bahwa “Siapa pun yang menghidupkan tanah yang tidak produktif, maka ia berhak
untuk memilikinya.” Namun, dalam kepemilikan tersebut untuk konteks sekarang
ini, tentunya perlu adanya intervensi pemerintah. Ini tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk menghindarkan terjadinya konflik dan sengketa yang tidak
diinginkan. Selain itu, Islam juga mengembangkan konsep yang disebut hima
(lahan konservasi), yang sekarang ini mungkin bisa disamakan dengan cagar alam,
suaka margasatwa, atau taman nasional. Dalam konsep ini tersirat sebuah tujuan
agar ekosistem bisa terpelihara dan terlindungi. Karena, kepunahan dan bahaya
yang mengancam ekosistem bisa mengancam eksistensi kehidupan manusia yang lain.
Dengan kata lain, tampaknya Islam ingin menggambarkan bahwa kehidupan ini
ibarat sebuah tubuh manusia. Apabila salah satu anggota tubuh itu mengalami gangguan,
maka akan mempengaruhi anggota tubuh lainnya secara keseluruhan. Untuk itu,
bumi hendaknya dan seharusnya tidak disakiti. Karena, ketika itu terjadi, maka
ia akan mempengaruhi secara negatif terhadap kehidupan kita dan juga makhluk yang
lainnya secara keseluruhan.
* Tulisan
ini pernah dimuat dalam Majalah Silo (Yayasan Merah Putih, Sulawesi Tengah), Vol. 20 Edisi
30/Tahun III, 2008: 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar