PEMAKAIAN CELANA PANJANG ANTARA KEHARAMAN DAN
KEBOLEHAN:
I. Wacana fikih tentang celana panjang
Dalam wacana fikih, terdapat kontroversi seputar persoalan ketentuan
hukum memakai celana panjang (bantalun; sirwal) buat perempuan. Ada
sebagian ulama yang mengharamkannya, seperti Salih ibn Fawzan, Muhamman ibn Salih
al-‘Uthaymin, dan ‘Abd Allah Ibn ‘Abd al-Rahman al-Jibrin. Alasan pengharaman
tersebut adalah: pertama, karena celana panjang itu ketat sehingga
memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh perempuan; kedua, penyerupaan terhadap
laki-laki atau perempuan kafir (tashabbuh bi al-rijal aw tashabbuh bi al-kafirat).
Dalam kitab Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah disebutkan bahwa ketika Salih
ibn Fawzan ini ditanya tentang masalah ini, ia menjawab:
“… Seorang perempuan tidak boleh memakai pakaian yang menyerupai
laki-laki atau perempuan kafir. Begitu pula, tidak dibolehkan untuk memakai
pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekukan-lekukan badannya dan yang
menimbulkan fitnah. Celana panjang mengandung bahaya-bahaya ini. Maka, tidak
dibolehkan untuk memakainya.”[1]
Al-Uthaymin menambahkan bahwa pemakaian celana panjang
dapat menimbulkan fitnah, karena pada umumnya, celana panjang itu sempit dan
ketat sehingga memperlihatkan lekukan-lekukan badan perempuan, selain tentunya
menyerupai laki-laki. Untuk itu, ia diharamkan.[2]
Alasan yang dikemukan oleh al-Uthaymin adalah sama dengan Ibn Fawzan, yaitu “memperlihatkan lekukan-lekukan badan perempuan” dan “penyerupaan terhadap laki-laki”. Dan, ketidakbolehan memakai celana panjang buat perempuan ini, menurut al-Uthaymin, bersifat mutlak, meskipun celana tersebut longgar atau tidak menampakkan lekukan badan ini. Karena, jika tidak, maka ia masuk dalam kategori “menyerupai laki-laki.”[3] Dasar alasannya adalah hadis Nabi:
dan hadis:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang
memiliki cemeti seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia,
dan wanita yang berpakaian seperti telanjang, berlenggang-lenggok dan menggoyang-goyangkan
pundaknya, kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak
masuk surga dan tidak mencium aromanya, dan sesungguhnya aromanya bisa tercium
dari jarak seperti ini dan seperti ini.”
Ketika memahami makna كاسيات عاريات, al-Uthaymin mengatakan bahwa
Mereka adalah
perempuan yang berpakaian, namun pakaian tersebut tidak berguna dalam penutupan
aurat. …. seperti pakaian yang tipis sehingga di balik pakaian tersebut
terlihat kulit perempuan; seperti pakaian yang tebal namun pendek; seperti
pakaian sempit yang menempel ke kulit, dan perempuan tersebut tampak seperti
tidak berpakaian …[4]
Para ulama yang berpendapat di atas adalah ulama bermazhab Hanbali-Wahhabi.
Model pemikiran ulama bercorak Wahhabi ini, jika ditilik dari sudut pandang
epistemologi hukum Islam, dapat dikatakan agak konservatif. Letak konservatisme tersebut
terlihat dari struktur bangunan pemikiran mereka. Model nalar bayani kentara terlihat dengan penekanan pada pendekatan tekstualis-literalis dalam
memahami teks. Penyandaran pada teks—Alquran dan Sunnah—berada pada hirarki
pertama dengan pemahaman literal pada dua teks tersebut. Peran akal ditekan dan tidak begitu signifikan.
Oleh karena itu, konteks sosial, historis, dan kultural, tidak
menjadi begitu pertimbangan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks, karena dianggap dapat menjauhkan dari penafsiran
yang sebenarnya. Pendekatan tekstualis-literalis secara teologis didasari pada keinginan untuk
mengungkap maksud dan keinginan Tuhan sebagai pencipta hukum (shari‘)
dan menghindari terjadinya penyimpangan dari teks yang orisinil. Dalam kerangka ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam memahami Alquran. Pertama, Alquran harus ditafsirkan dengan Alquran
itu sendiri. Atau, Alquran ditafsirkan melalui Sunnah Nabi (al-sunnah qadiyah
‘ala al-qur’an), yang mengandung pengertian bahwa Sunnah menjadi otoritas
yang absolut untuk menentukan makna teks Alquran. Oleh karena itu, jika ada
pandangan Sahabat Nabi tentang ayat Alquran tertentu yang berbeda dari
penjelasan Nabi, maka yang terakhir ini harus didahulukan.[5] Setelah itu, penafsiran seharusnya melihat pada
penafsiran atau pandangan para ulama Salaf seperti Sahabat Nabi dan Tabi‘in. Dalam hirarki sumber otoritatif di kalangan Sunni, dua yang pertama
dianggap sebagai yang paling otoritatif, sedangkan dua yang terakhir berada
pada posisi yang lebih rendah.
Secara prinsip, pendekatan tekstualis-literalis
setidaknya berpijak pada tiga prinsip penting: pertama, teks menyediakan satu
fondasi yang pasti dan objektif untuk memahami Alquran; kedua, ada beberapa
teks dalam Alquran dan Hadis yang mengindikasikan bahwa agama Islam adalah
sempurna. Konsekuensinya, aturan-aturan yang terkait dengan perilaku individu
dan sosial semuanya terkandung dalam Alquran dan Hadis; dan ketiga, tidak perlu
mencari perluasan, klarifikasi atau justifikasi pada akal. Dari sinilah peran
akal untuk memahami dan menerapkan teks-teks suci dibatasi, terutama dalam
Islam Sunni.[6]
Di sisi lain, ada sebagian ulama yang
menganggap bolehnya memakai celana panjang buat perempuan. Di antaranya adalah ‘Abd
al-Karim Zaydan (lahir
1917), seorang ulama dan guru besar hukum Islam di Universitas Baghdad dan salah
seorang pemimpin tinggi di gerakan Ikhwanul Muslimin di Irak. Menurut Zaydan, memakai celana (sirwal) adalah sesuatu yang
dibolehkan menurut agama (amr ja’iz shar‘an), bahkan dianjurkan (yustahabb shar‘an). Katanya,
“ … perempuan
boleh memakai celana panjang, bahkan ada Sunnah yang menganjurkannya, karena di
dalamnya ada penutupan terhadap aurat perempuan. Namun, harus diketahui bahwa
perempuan memakai celana di balik bajunya. Jika perempuan memakai (celana)
seperti yang dipakai laki-laki zaman sekarang ini, tanpa memakai baju atau
jilbab di atasnya, maka ini tidak boleh, karena celana laki-laki biasanya
sempit dan menggambarkan anggota-anggota badan. Memakainya menyerupai pakaian
laki-laki. Namun, jika celana tersebut longgar dan tebal sampai ke mata kakinya
dan tidak transparan seperti celananya orang Kurdi di Irak Utara, dan di
atasnya tidak ada pakaian, serta menutupi badannya, maka mungkin dapat
dikatakan bahwa ini tidak masuk dalam larangan perempuan menyerupai laki-laki
dalam pakaian, apabila kebiasaan suatu bangsa, kaum perempuannya memakai
seperti celana-celana yang dipakai kaum laki-lakinya.”[7]
Zaydan mendasarkan pandangannya ini pada hadis Abu Hurayrah:
Ketika Nabi
sedang duduk di samping pintu masjid, lewat seorang perempuan mengendarai
seekor kuda. Ketika menemui Nabi, ia terjatuh dari kudanya. Nabi kemudian
memalingkan pandangannya. Nabi diyakinkan bahwa perempuan itu memakai celana (sirwal).
Lau Nabi berkata: رحم الله المتسرولات من النساء (Allah
merahmati para perempuan yang memakai celana).[8]
Jadi, pada masa Nabi sudah ada atau dikenal praktik
pemakaian sirwal, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “celana
panjang”. Namun, bagaimana rupa celana-celana awal ini tidak dapat dipastikan.
Pada masa-masa berikutnya, celana ini berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang
lain, dari satu budaya ke budaya yang lain, dan mencakup segala macam pantalon,
celana panjang, dan celana yang ketat.[9]
Masuknya pengaruh-pengaruh asing pada masa-masa berikutnya memberikan corak
yang lebih berwarna lagi kepada persoalan busana dalam masyarakat Muslim, terutama
bagi perempuan.
II. Pakaian
dalam cermin maqasid al-shari‘ah
Setiap aturan dan hukum yang digariskan oleh Allah tentu saja mengandung
maksud dan tujuan. Apa sebenarnya maksud dan tujuan disyariatkannya pakaian? Tujuan
mendasar dari berpakaian ini adalah “menutup aurat menurut cara yang
disyariatkan.”[10]
Apa itu aurat? Secara kebahasaan, kata aurat berasal dari bahasa Arab عورة, yang berarti “celah, kekurangan, sesuatu yang
memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang
membuat malu kalau dipandang” (الخلل والعيب فى الشيء dan كل ما يستره الإنسان
استنكافا أو حياء).[11]
Dalam wacana fikih klasik, terdapat berbagai perbedaan terkait dengan persoalan
batas aurat bagi perempuan. Ada yang mengatakan seluruh tubuh perempuan itu
aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Yang lain mengatakan seluruh tubuh
perempuan itu aurat.
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang pasti menutup aurat pada
hakikatnya bermuara kepada salah satu prinsip maqasid al-shari‘ah, yaitu “memelihara kehormatan” (حفظ العرض). Prinsip ini menjadi paradigma
bagi setiap persoalan busana. Dan, menutup aurat adalah salah satu media (wasilah)
dari pemeliharaan terhadap kehormatan ini. Subtansinya adalah “menutup aurat,”
sementara teknis penutupan aurat tersebut ditentukan oleh masing-masing adat
setempat atau kearifan lokal (local wisdom). Kata Ibn Hajar al-‘Asqalani
dalam kitabnya Fath al-Bari,
فأما هيئة اللباس
فتختلف باختلاف عادة كل بلد، فرب قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم فى اللبس، لكن يمتاز
النساء بالاحتجاب والاستتار ...
“bentuk pakaian tersebut berbeda-beda karena perbedaan kebiasaan
masing-masing negeri. Boleh jadi, ada suatu kaum yang tidak membedakan pakaian
perempuan dan laki-lakinya. Akan tetapi, perempuan tersebut dibedakan dengan
ber-hijab dan menutup aurat.”[12]
Itu berarti bahwa
persoalan adat kebiasaan setempat memainkan peran dalam menentukan model
pakaiannya, namun tujuannya (maqsid) tetap terjaga, yaitu “menjaga kehormatan”,
melalui cara (wasilah) “menutup aurat”. Dalam sebuah kaidah disebutkan: للوسائل حكم المقاصد (media sama kedudukannya dengan tujuan)
III. Penutup
Dari berbagai fakta tentang adanya perbedaan pandangan
di kalangan para ulama mengenai legalitas pemakaian celana panjang buat
perempuan, dapat disimpulkan bahwa persoalan ini adalah masalah khilafiah.
Namun, yang pasti dan bersifat qat‘i adalah “menjaga kehormatan” dengan cara “menutup aurat”. Sementara itu,
teknis penutupan aurat bersifat relatif dan kondisional (zanni),
diserahkan kepada kearifan lokal setempat. Untuk itu, dalam konteks
multikultural saat ini, yang terpenting bagi kita adalah menghargai perbedaan
tersebut sebagai sebuah khasanah yang harus dilindungi. Jika tidak, maka
ketegangan yang dapat berujung pada konflik, dapat menjadi sebuah keniscayaan. Dar’
al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (menolak kerusakan lebih
didahulukan ketimbang menarik kemaslahatan)
Daftar Pustaka
al-‘Asqalani,
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari. Jilid 10. Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001.
al-Bayhaqi,
Ahmad ibn al-Husayn. Shu‘ab al-Iman. Jilid 6. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Fawzan,
Salih ibn et.al. Fatawa al-Mar’ah
al-Muslimah. Riyad: Maktabah Tayriyyah,
1995.
Goolam, Nazeem MI. “Ijtihad
and Its Significance for Islamic Legal Interpretation,” Michigan
State Law Review (2006), pp. 1443-1467.
al-Mahdi, Ahmad ibn Muhammad. al-Libas fi al-Islam. Mekkah: Rabitah
al-‘Alam al-Islami, 1991.
al-Majma‘ al-Lughawi, al-Mu‘jam al-Wasit. Cet. ke-4. Mesir: Maktabah
al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004.
Manzur, Ahmad ibn. Lisan al-‘Arab. Kairo:
Dar al-Ma‘arif, tt.
Saeed, Abdullah.
Interpreting
the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London,
New York: Routledge, 2006.
Stillman, Yedida Kalfon. Arab Dess from the Dawn of Islam to Modern
Times. Leiden: Brill, 2003.
al-Uthaymin,
Muhammad Salih. “Hukm Labs al-Bantalun,”
dalam Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad:
np, 1999.
al-Uthaymin,
Muhammad Salih. “Hukm Labs
al-Mar’ah li al-Bantalun,” dalam Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad: np, 1999.
al-‘Uthaymin,
Muhammad Salih. “Ma‘na Qawlihi ‘Ariyat
Kasiyat,” Fatawa
‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad: np, 1999.
Zaydan, ‘Abd al-Karim. al-Mufassal fi Ahkam
al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shari‘ah
al-Islamiyyah. Jilid
3. Beirut: Mu’sassah al-Risalah, 1993.
* Disampaikan dalam Seminar “Memakai Celana Panjang Bagi Perempuan dalam Perspektif Etika Pendidikan
dan Hukum Islam,” yang diselenggarakan oleh Education Development Centre, Taman
Budaya Golni Palu (Sabtu, 9 Juni 2012).
**
Dosen Sejarah Sosial Hukum Islam, Jurusan Syariah dan
Program Pascasarjana STAIN Datokarama Palu.
[2] Muhammad
Salih al-‘Uthaymin, “Hukm Labs al-Mar’ah li al-Bantalun,” dalam Fatawa
‘Ulama’ al-Balad al-Haram (Riyad: np, 1999), 1178.
[5] Nazeem MI. Goolam,
“Ijtihad and Its Significance for Islamic Legal Interpretation,” Michigan
State Law Review (2006), 1450.
[6] Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London, New York: Routledge,
2006), 55-56.
[7] ‘Abd al-Karim Zaydan,
al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah, Jilid 3 (Beirut: Mu’sassah al-Risalah,
1993), 325-6, 343.
[8] Ahmad ibn al-Husayn
al-Bayhaqi, Shu‘ab al-Iman, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2000), 168-9.
[9] Yedida Kalfon Stillman, Arab Dess from the Dawn of
Islam to Modern Times (Leiden: Brill, 2003), 11.
[10] Ahmad ibn Muhammad
al-Mahdi, al-Libas fi al-Islam (Mekkah: Rabitah al-‘Alam al-Islami, 1991),
12; Zaydan, al-Mufassal, Jilid 3, 326.
[11] Al-Majma‘
al-Lughawi, al-Mu‘jam al-Wasit, Cet. ke-4 (Mesir:
Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004), 636; Lihat juga Ibn Manzur, Lisan
al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif, tt), 3166-7.
[12] Ahmad ibn ‘Ali ibn
Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, Jilid 10 (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001),
345.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar