PEDAGOGI USUL AL-FIQH BERBASIS
PENDIDIKAN PERDAMAIAN DI ERA MULTIKULTURAL
Rusli
STAIN Datokarama Palu. Jl. Diponegoro No. 23 Palu Sulawesi Tengah.
94221. Email: rusli_mochtar@yahoo.com. HP. 081578827127.
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang peran usul al-fiqh dalam mengkonstruk nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang humanis untuk membangun pendidikan perdamaian (peace
education) di era multikultural saat ini. usul al-fiqh dipercaya
sebagai sumber nilai dan perubahan, dan telah memainkan peran yang signifikan
dalam memulai reformasi-refornasi dalam bidang hukum dan pranata sosial karena
adanya tekanan-tekanan konteks dan integritas keagamaan. Nilai-nilai yang
terdapat dalam sumber hukum Islam, seperti Alquran, Sunnah, ijma‘, qiyas,
istislah, istihsan, sadd al-dhara’i‘, dan juga maqasid
al-shari‘ah, diterjemahkan ke dalam masyarakat dan diterapkan secara
menyeluruh di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Nilai-nilai ini ditransmisikan
kepada para peserta didik melalui metode-metode seperti dialog, kerja sama,
pemecahan masalah dan pembuatan batasan yang demokratis. Dalam mentransfer
pengetahuan dan nilai-nilai ini, seorang pendidik harus berpijak pada dua
pendekatan yang sangat penting yaitu; pertama, mendorong sikap hormat terhadap perbedaan,
dengan berpijak pada konsep bahwa pendidikan
sebagai cermin (mirror), jendela (window), dan percakapan (conversation);
kedua, melakukan aktivitas kelas yang lebih kooperatif berbasis pada asas
keadilan dan persamaan.
Kata kunci
: usul
al-fiqh, peace education, dialog, kerjasama, pemecahan masalah, pembuatan batasan yang demokratis
Pendahuluan
Usul al-fiqh
merupakan satu disiplin inti dalam kajian-kajian syariah, terutama terkait
dengan metode penalaran hukum, selain al-qawa‘id al-fiqhiyyah (legal
maxims). Di berbagai perguruan tinggi Islam, pemasukan disiplin ilmu ini ke
dalam kurikulum adalah sangat penting. Signifikansi tersebut terletak pada
fakta bahwa usul al-fiqh mencakup prinsip-prinsip metodologis yang
sangat mendasar dalam proses penetapan hukum Islam. Dengan kata lain, usul
al-fiqh dipercaya sebagai alat dan mekanisme dalam proses deduksi tersebut.
Jika alat ini tidak dapat digunakan dengan tepat, maka akan muncul
aturan-aturan hukum yang tidak konsisten dalam pandangan ulama. Untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, pengkajian terhadap disiplin ini diberikan
perioritas yang tinggi. Metode ini disusun dalam berbagai pendekatan yang
berbeda untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari masa-masa yang
berbeda.
Istilah usul
al-fiqh, yang terambil dari dua akar kata usul (plural: asl)
dan fiqh, dipahami sebagai “mengetahui dalil-dalil fikih secara umum,
mekanisme penetapan hukum syariat darinya, dan kondisi seorang yang
mengeluarkan dalil” (al-Namlah, I, 1999: 29). Ulama Shafi’iyyah mengartikannya
sebagai “pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara umum, mekanisme
pengambilannya, dan kondisi mujtahid” (al-Zuhayli, I, 1986: 23). Secara lebih
rinci, dalil-dalil yang menjadi objek kajian usul al-fiqh dapat
dibedakan ke dalam dua bagian penting: pertama, dalil-dalil yang disepakati (al-adillah
al-muttafaq ‘alayha), yang mencakup Alquran, Sunnah, ijma’ dan qiyas,
dan, kedua, dalil-dalil yang diperselisihkan (al-adillah al-mukhtalaf fiha),
yang mencakup metode-metode seperti istihsan, istishab, maslahah
mursalah, sadd al-dhara’i‘, madhhab al-sahabi, al-‘urf, shar‘
man qablana, dan sebagainya (al-Zuhayli, 1986, I: 417-816; II, 733-914).
Meskipun
metode-metode penalaran dan penetapan hukum ini sangat berperan dalam
menelurkan corak fikih yang berwarna dalam berbagai kitab fikih klasik yang
melimpah, namun sayangnya pengajaran dalil-dalil dan metode fikih di berbagai
perguruan tinggi Islam masih menggunakan metode konvensional-tradisional.
Sebagian pengajar kerapkali hanya sekadar memaparkan metode-metode ini seperti apa
adanya, tanpa menempatkannya dalam konteks yang senantiasa berubah. Atau dengan
kata lain, pengajaran usul al-fiqh di berbagai perguruan tinggi masih berada
dalam paradigma behavioristik;
dalam arti masih bersifat normatif, kehilangan modul standar yang lebih
merespons dan menyesuaikan perkembangan zaman. Padahal perubahan epistemologi
pengetahuan dapat menciptakan perubahan-perubahan dalam hukum
(Shahrur, 2000). Di
sinilah pentingnya penggunaan paradigma konstruktivistik. Dan fakta yang tidak
dapat ditolak adalah bahwa dunia ini mengalami perkembangan yang sangat pesat
lantaran perkembangan teknologi informasi, terutama melalui media Internet.
Sebagai akibatnya, muncul isu-isu global dalam beragam bentuknya. Bahkan fatwa,
yang nuansa sakralnya begitu dominan, mulai masuk ke wilayah online, yang
secara sosial-keagamaan mengancam otoritas tradisional.
Di
sisi lain, persoalan-persoalan sosial, dalam bentuk kekerasan sosial, baik dipicu
oleh faktor etnik, agama, atau lainnya, menjadi sebuah fenomena umum di dunia,
termasuk Indonesia. Akibat yang ditimbulkan dari kekerasan ini adalah begitu serius.
Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah,
organisasi kemasyarakatan, maupun tokoh-tokoh adat dan agama, untuk melakukan
resolusi konflik dan rekonsiliasi, namun kekerasan dalam realitasnya masih
tetap berlangsung. Islam sebagai religion of peace ditantang untuk
membuktikan perannya
dalam konteks ini. Usul al-fiqh sebagai bagian dari disiplin keilmuan
yang menjadi unsur yang menopang Islam tentu perlu melakukan pembenahan diri dengan menelurkan nilai-nilai
yang dapat berperan menciptakan pendidikan perdamaian (peace education).
Dalam konteks ini, persoalan utama yang
akan dibahas adalah bagaimana usul al-fiqh berperan mengusung nilai-nilai
perdamaian tersebut. Persoalan utama
ini dielaborasi menjadi beberapa pertanyaan berikut: Prosedur, metode dan
materi usul al-fiqh seperti apa yang dapat dikembangkan menjadi nilai-nilai
perdamaian? Kemudian, yang terpenting, bagaimana mengajarkan nilai-nilai tersebut di dalam kelas?
Usul al-Fiqh sebagai Sumber Nilai dan Perubahan
Fikih
dan seperangkat metodologinya (usul al-fiqh) diasumsikan sebagai sumber
bagi nilai dan perubahan. Dengan asumsi ini, fikih dan usul al-fiqh dipercaya
berpotensi melakukan
reformasi praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Asumsi ini dipertegas oleh
pernyataan Hallaq bahwa “dalam hukum Islam, otoritas ... senantiasa melibatkan kekuatan untuk menggerakkan proses continuity (kesinambungan) dan change (perubahan)” (Hallaq,
2001: ix). Secara
historis, hukum Islam memang telah memprakarsai berbagai reformasi karena
adanya berbagai tekanan
kontekstual dan integritas keagamaan. Prinsip-prinsip hukum menyimpan kekuatan moral
melalui konsep-konsep yang menjamin bahwa “perubahan hukum tidak hanya terjadi melalui
satu cara yang khusus ... namun melekat
dalam berbagai proses yang dibangun ke dalam struktur hukum”
(Hallaq, 2001: 204).
Secara teknis, fikih terkadang membentuk catatan
historis tentang metode yang digunakan para fukaha dalam memecahkan berbagai persoalan dengan cara dialog dengan berbagai otoritas tradisional.
Sebagai metode penalaran hukum, usul al-fiqh adalah sebuah tren
penalaran hukum praktis yang selalu hidup dan berhasil disesuaikan dengan
berbagai kondisi, dan menawarkan berbagai kaidah untuk memperluas kemampuan dan
jangkauan Islam dalam menghadapi berbagai macam tantangan sosial yang baru.
Dengan seperangkat kaidah dan prinsip hukum yang ada dalam usul
al-fiqh ini, diasumsikan bahwa persoalan-persoalan yang terjadi di era
kontemporer dapat diselesaikan dengan baik, termasuk berbagai persoalan
kekerasan sosial yang semakin menjamur di dunia yang semakin modern dan
mengglobal ini. Prinsip-prinsip yang akan diluas dalam tulisan ini mencakup
persoalan dalil-dalil hukum dan maqasid al-shari‘ah.
Sumber Hukum
(Masadir al-Ahkam)
Istilah masadir
al-ahkam seringkali disebut adillah al-ahkam (dalil hukum). Dalam
tradisi usul al-fiqh, sumber hukum adalah Allah sebagai pembuat hukum (shari‘). Allah menyatakan keinginan
dan aturan-aturan hukum-Nya,
dan untuk mengetahuinya diperlukan petunjuk (dalil) hukum. Di kalangan
ulama usul al-fiqh, dalil-dalil hukum ini mencakup dalil-dalil yang
disepakati (al-adillah
al-muttafaq ‘alayha) dan dalil-dalil yang diperselisihkan
(al-adillah
al-mukhtalaf fiha). Dalam istilah lain, disebut sumber pokok (masadir asasiyyah)
dan sumber pengikut (masadir taba‘iyyah). Yang pertama terdiri dari Alquran,
Sunnah, ijma’ dan qiyas, sedangkan yang kedua mencakup metode istihsan,
istishab, istislah atau maslahah mursalah, sadd al-dhara’i‘,
‘urf, shar‘ man qablana, madhhab al-sahabi, dan
lainnya. Bahasan berikut akan mengulas sebagian
dari dalil hukum, seperti
Alquran, Sunnah, qiyas dan istislah sebagai prinsip-prinsip hukum
teoritis yang mendasari asas perdamaian atau gerakan anti kekerasan.
1. Alquran dan Sunnah sebagai teks dasar
Alquran
dipercaya sebagai sebuah
teks dasar yang memuat nilai-nilai perdamaian. Alquran merupakan ekspresi dari kehendak
Allah, yang termanifestasikan dalam konsep-konsep yang ditawarkannya. Dalam
Alquran, banyak konsep yang
merujuk kepada prinsip perdamaian atau nir-kekerasan ini. Bahkan, Alquran itu sendiri
secara umum mengarah kepada perdamaian, dan ini diperkuat oleh nabi dalam
praktik kehidupan sehari-hari sebagai penyampai Alquran. Di antara
konsep-konsep tersebut adalah konsep salam atau silm, yang
mengandung arti “damai” dan “keselamatan”. Dari
kata ini muncul konsep islam (penyerahan diri), dan orang yang melakukan
penyerahan diri secara total kepada Allah disebut muslim. Sebutan muslim
diberikan kepada seorang yang, untuk mencapai kedamaian, menyerahkan
keinginannya kepada Sang Pencipta dengan menjadikan semua perilaku, melalui
pilihan-pilihannya sendiri, sesuai dengan kode etis Islam yang diindikasikan
dalam Alquran dan Sunnah ketimbang keinginannya sendiri.
Secara
teologis, justifikasi untuk posisi konseptual “perdamaian” dalam Islam terletak
pada sifat Tuhan, kualitas spiritual yang diatribusikan kepada zat-Nya, al-salam (QS. Al-Hashr (59): 23). Oleh karena
itu, Tuhan menyediakan kedamaian batin buat orang yang diberikan petunjuk (lahum
dar al-salam ‘inda rabbihim) (QS. Al-An’am (6): 125-127), dan menyambut para mukmin sejati
ke dalam surganya dengan kalimat “Masuklah ke dalam surga dengan penuh
kedamaian (udkhuluha bi-salam) (QS. Qaf (50): 31-34),” dan perkataan
penduduk surga adalah “salam, salam” (QS. Al-Waqi‘ah (56): 26). Dalam
kehidupan akhirat, ketika mereka menyambut penduduk surga, mereka berkata, “Kesejahteraan
buat kalian karena kesabaran kalian (salam ‘alaykum bima sabartum)” (QS.
Al-Ra’d (13): 24).
Selain itu, Tuhan juga memberikan doa keselamatan dan kedamaian buat Nabi dan
memerintahkan umat Islam untuk mengirimkan doa yang sama
(QS. Al-Ahzab (33): 36).
Dalam
kaitan dengan persoalan-persoalan sosial dan politik, gagasan fungsional
tentang “perdamaian” memainkan peran pentingnya dalam menentukan karir dan perilaku
Nabi terhadap orang-orang yang dihadapinya. Ini kerapkali direfleksikan dalam surat-surat
yang membahas tentang interaksinya dengan suku-suku Arab
(Waugh,
IV, 2004: 33-34). Sebagai
manifestasi dari konsep salam, Nabi melakukan rekonsiliasi (islah)
dengan penuh keadilan dalam kasus sengketa dan konflik yang terjadi di antara
umat beriman (QS. Al-Hujurat (49): 9). Nabi bersikap toleran terhadap penganut
agama lain, tidak menghina ritual dan menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka.
Dalam
peperangan, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Nabi adalah pada kondisi-kondisi
tertentu, seperti, ketika ia dan para pengikutnya diserang dan tidak ada cara
lain untuk menghentikan para penyembah berhala Mekkah. Dalam Alquran
disebutkan, “Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa
yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya adalah tas tanggungan Allah
...” (QS.
Al-Shura (42): 40). Ayat
ini memberikan indikasi bahwa meskipun nabi membela diri dari para penyerang,
ia sering memberikan maaf, bahkan terhadap musuh-musuhnya. Fakta ini diperkuat
oleh sebuah hadis tentang Ghawras dalam peperangan Ghatfan dan Anmar.
Singkatnya,
perdamaian adalah bagian yang integral dari agama Islam. Teks Alquran dan praktik Nabi memperlihatkan
atau memberikan justifikasi sederhana bahwa “perdamaian” merupakan komponen
yang fundamental dalam relasi Tuhan dengan manusia, atau manusia dengan sesamanya
dan lingkungan sekitarnya.
2. Qiyas (penalaran analogis)
Metode qiyas
merupakan salah satu alat terpenting untuk membahas tantangan-tantangan
baru dalam persoalan kekerasan sosial dengan menggunakan sumber-sumber
tradisional. Dalam tradisi usul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai
“proses penghubungan satu kasus yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam nas
dengan kasus yang mempunyai ketentuan hukumnya dalam nas karena adanya
persamaan ilat hukum” (al-Zuhayli, I, 1986: 603). Dalam metode ini, yang
terpenting adalah menentukan ilat yang valid untuk menetapkan suatu hukum, dan ilat
adalah dasar bagi sebuah hukum. Selain sebagai rukun qiyas, pencarian
ilat hukum (ta‘lil al-ahkam) juga merupakan asas utama dalam memahami
dan menyelami maqasid al-shari‘ah yang sebenarnya.
Dalam
kaitan ini, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh ulama usul, di
antaranya, al-sabr wa al-taqsim, al-munasabah, tanqih al-manat.
Yang pertama, al-sabr wa al-taqsim, mengandung pengertian “mengumpulkan sifat-sifat
yang mungkin dijadikan sebagai ilat dan membagi-baginya, kemudian mengujinya
untuk menyingkirkan sifat-sifat yang tidak sesuai untuk dijadikan ilat dan mempertahankan
sifat-sifat yang sesuai untuk dijadikan ilat.” (al-Sa‘di,
2000: 444; Sanu, 2000: 230).
Seorang mujtahid
melakukan pengumpulan dan pembatasan terhadap sifat-sifat yang dapat dijadikan
ilat, yang melintas di benaknya. Kemudian
mengujinya dengan alat ukur yang digunakan untuk melihat sifat yang cocok (al-wasf
al-munasib) untuk dijadikan ilat. Selanjutnya, menghilangkan
sifat-sifat yang tidak sesuai menurut kaidah-kaidah penetapan ilat. Kedua, al-munasabah,
yaitu antara sifat dan hukum ada kesesuaian sehingga penetapan hukum tersebut
berakibat pada terwujudnya kemaslahatan yang diinginkan oleh Allah, yaitu
memunculkan kemaslahatan dan menolak kerusakan (al-Zuhayli, I, 1986: 676). Dan
ketiga, tanqih al-manat yaitu menyaring satu alasan hukum dengan cara
meniadakan perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Melalui proses-proses ini, qiyas mungkin dapat
memperlihatkan bagaimana masalah-masalah kekerasan yang terjadi kepada manusia
dan lingkungan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan masalah-masalah yang
dibahas dalam Alquran atau Sunnah. Misalnya, tentang persoalan pembuangan
sampah besar-besaran ke pantai atau laut, yang tidak ada ketentuan hukumnya secara
eksplisit dalam kitab suci. Namun, ada sebuah hadis Nabi yang melarang manusia
untuk buang air kecil di saluran air atau air yang menggenang (Muslim, I, 1991:
235). Karena kedua kasus ini mempunyai sifat yang sama, yaitu “membuang sampah
secara langsung ke dalam air”, lalu hukumnya bisa diperluas kepada kasus yang
baru. Hadis memang tidak menyebutkan ilat tentang keharamannya. Maka, kita
dapat menyimpulkan apa yang salah dengan “buang air di saluran air”. Dengan
prosedur al-sabr wa al-taqsim, alasan-alasan yang mungkin dapat
dihadirkan adalah, misalnya, mengancam kesehatan manusia, atau memasukkan kotoran
ke dalam wilayah masyarakat, atau membuang sampah, atau mencemari sumber
ekologis yang sangat penting. Hanya ilat yang terakhir ini yang mungkin lebih
sesuai untuk diterapkan pada kasus membuang sampah secara besar-besaran ke
dalam sungai, pantai atau lautan. Berdasarkan ilat yang sama ini, maka
perbuatan membuang sampah ke dalam sungai, pantai, atau lautan adalah dilarang
dan diharamkan (Jenkins, 2005: 347).
Persoalan-persoalan kekerasan lain dapat pula
dicarikan hukumnya melalui proses qiyas kepada kasus-kasus yang sudah
mendapatkan ketentuan hukumnya yang jelas (sarih) dalam Alquran atau
Sunnah.
3. Istislah dan maqasid al-shari‘ah
Al-Ghazali
(1993, II: 481-482, 502-503)
mengartikan maslahah sebagai “penjagaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.” Menurutnya, “segala sesuatu yang mengantarkan kepada
pemeliharaan terhadap lima prinsip dasar ini dianggap sebagai maslahah, dan
sebaliknya, segala yang menyebabkan hilangnya prinsip-prinsip dasar ini disebut
mafsadah; menghilangkannya disebut juga maslahah.” Oleh
karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa syariah dalam semua aspeknya
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan kebaikan buat individu dan
masyarakat, dan melindungi mereka dari segala bentuk kerusakan dan kehancuran. Berbagai
hukum taklifi seperti wajib, mandub dan mubah pada
hakikatnya ditujukan untuk mewujudkan datangnya manfaat dan kemaslahatan,
sedangkan makruh dan haram ditujukan untk mencegah terjadinya
kerusakan dan kejahatan (Kamali, 2008: 33). Maka, segala yang meningkatkan
kesejahteraan buat masyarakat,
dari sudut pandang syariah,
dapat disebut maslahah, dan yang mengurangi serta menghilangkannya disebut mafsadah.
Secara
umum, maslahah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: daruriyyah,
hajiyyah dan tahsiniyyah. Yang pertama bersifat esensial
untuk menjaga lima prinsip seperti yang disebutkan di atas, sedangkan yang
kedua tidak begitu penting dalam memelihara lima prinsip dasar, namun penting
untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dalam hidup. Dan yang terakhir lebih
bersifat komplementer, yang ketidaannya tidak menyebabkan kesulitan dalam
hidup.
Sementara
itu, maqasid al-shari‘ah mengandung pengertian “maksud dan tujuan
pembentukan syariah” yaitu “mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.” Konsep
maslahah dan maqasid al-shari‘ah dapat dikatakan relatif sama.
Namun, jika dilihat secara lebih seksama, dua konsep ini pada dasarnya saling
melengkapi. Maqasid al-shari‘ah berkaitan dengan perlindungan terhadap
unsur-unsur dasar yang melekat pada manusia, sementara maslahah terkait
dengan tingkatan perlindungan terhadap unsur-unsur tersebut.
Peace Education sebagai Cara Pencegahan Kekerasan
Peace
(perdamaian)
menyiratkan sebuah
upaya untuk menyelesaikan berbagai macam konflik, memperlakukan orang lain
dengan penuh rasa hormat, dan membangun sebuah kesepakatan. Secara lebih luas,
Harris menyatakan bahwa,
“Peace”,
konsep yang memotivasi imaginasi, mengkonotasikan lebih dari hanya sekedar
penghentian perang. Ia menyiratkan manusia yang bekerjasama untuk memecahkan
konflik, menghormati keadilan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, dan
menghargai hak asasi manusia (Harris, 1990: 255).
Sedangkan education tidak
hanya mengarah kepada pendidikan formal, namun harus dipahami sebagai sebuah
“sistem pesan” yang mencakup kurikulum, pedagogi dan evaluasi. Dari pemahaman
ini, peace education (pendidikan perdamaian) menyiratkan sebuah
pendidikan berorientasi nilai yang ditujukan untuk mewujudkan sebuah dunia yang
lebih diinginkan. Kurikulumnya membahas isu-isu perdamaian dan faktor-faktor
yang menghambat terwujudnya
perdamaian. Pedagoginya
berupaya mencari metode-metode yang tepat untuk mentransmisikan pengetahuan
ini. Evaluasinya dilakukan melalui sudut pandang: belajar, bertindak, dan
merefleksi. Yaitu, bagaimana pengetahuan diwujudkan melalui perubahan sikap dan
perilaku pada masing-masing individu dan merefleksikan tindakan-tindakan mereka
untuk menciptakan perubahan-perubahan yang mengandung perdamaian dalam masyarakat,
negara dan, dalam tingkatan yang lebih tinggi, dunia.
Untuk
menciptakan perdamaian, seorang pendidik harus mengembangkan satu metode pengajaran
atau pedagogi tertentu, yang dapat digunakan di dalam kelas. Menurut prinsip
pedagogi perdamaian, peserta didik dapat belajar bagaimana menghadirkan
perdamaian ke dunia tidak hanya dengan mempelajari isu-isu tentang perang dan
perdamaian, namun juga mempelajari kemampuan, perilaku, bakat di lingkungan
kelas, yang dibangun melalui cara seorang pendidik menstruktur pelajaran-pelajarannya.
Menurut
pedagogi perdamaian, kelas harus dibangun melalui lima prinsip utama: dialog,
kerjasama, pemecahan
masalah, afirmasi, dan
pembentukan batasan demokratis. Dialog mengarah kepada bagaimana seorang
pendidik memberikan informasi; kerjasama mengarah kepada lingkungan belajar
yang dibangun oleh seorang pendidik; pemecahan masalah merujuk kepada pembentukan
keterampilan (building skill) yang dapat digunakan oleh peserta didik
untuk memecahkan problem kekerasan; afirmasi mengarah kepada motivasi. Seorang
pendidik menggunakan teknik motivasi untuk menginspirasi minat pada isu-isu
yang terkait dengan perdamaian dan standar-standar pembentukan kepercayaan diri
untuk membantu peserta didik menghadapi dengan berani ancaman-ancaman kekerasan
yang menghantui dunia. Pembentukan batasan demokratis mengarah kepada metode
untuk menjaga kelas tetap
menghargai batasan-batasan dan persoalan-persoalan dari masing-masing anggota
kelas (Harris, 1990: 255-256).
Prinsip-prinsip
pedagogi perdamaian ini dapat menciptakan dalam kelas sebuah komunitas yang
penuh kepedulian, yang mengajarkan peserta didik untuk menghargai
prinsip-prinsip demokrasi dan melawan asumsi-asumsi kekerasan yang mendasari
pedagogi tradisional yang berpusat pada guru.
Pengajaran Usul al-Fiqh Berbasis Peace
Education
Pengajaran
adalah suatu proses transmisi pengetahuan dan nilai dari pendidik kepada
peserta didik. Agar sebuah transmisi pengetahuan ini berjalan efektif, maka
pendidik perlu berangkat dari suatu pendekatan, dan memformulasi sebuah metode
pengajaran. Dalam pedagogi pengajaran usul al-fiqh berbasis peace
education, pendekatan yang perlu diambil dapat mencakup dua prinsip ini.
1. Mendorong
sikap hormat terhadap perbedaan
Satu
pertanyaan penting dalam pendidikan perdamaian adalah bagaimana memastikan bahwa
para peserta didik dapat menghadapi perbedaan-perbedaan dengan cara-cara yang
positif, karena pelbagai pertemuan
dan interaksi dengan perbedaan ini berpotensi mengantarkan kepada kekerasan dan
ketidakadilan. Hookway, seperti dikutip Bischoff dan Moore (2007: 153), menawarkan
sebuah skema yang dapat membantu mengatur ragam pendekatan terhadap perbedaan, dengan
menggambarkan pendidikan sebagai cermin (mirror), jendela (window),
dan percakapan (conversation).
Pendidikan
sebagai “cermin” merupakan bagian penting untuk mempersiapkan para peserta
didik dalam menghadapi perbedaan. Dalam kaitan ini, memahami seseorang dan
lingkungannya adalah penting untuk dapat terlibat secara positif dalam
perbedaan. Alasannya adalah bahwa menggunakan pengalaman langsung seseorang
tidaklah bersifat memaksa dan mengandung kekerasan. Pengetahuan tentang diri
sendiri, yang disandingkan dengan interaksi dan pertemuan dengan berbagai bentuk perbedaan, membantu
seseorang menjauhi pemaksaan pandangan terhadap orang lain (Bischoff dan Moore, 2007: 154).
Pendidikan
sebagai “jendela” mengandung pengertian, mengajarkan kepada peserta didik
berbagai tradisi keagamaan yang berbeda dengan segala keunikannya. Pendidikan
semacam itu dapat meningkatkan dan memupuk kebebasan beragama dan perbedaan
tanpa intoleransi yang mengandung kekerasan. Selain itu, pengalaman-pengalaman
pribadi dengan orang lain yang berbeda dalam hal gender, latarbelakang sosial
ekonomi, dan warisan budaya adalah sangat penting demi membangun relasi dengan
orang lain dan lingkungan sekitar dengan penuh rasa hormat dan kepedulian. Para
peserta didik, singkatnya, perlu mempunyai pendidikan dalam perspektif tradisi keberagamaan
mereka sendiri dan juga lintas agama dan keyakinan (Bischoff
dan Moore, 2007: 154).
Pendidikan
sebagai “percakapan”. Maksudnya, percakapan dinilai sebagai dialog yang
bermakna antara dua pihak, yang dalam situasi tersebut masing-masing terbuka
pada perubahan (Bischoff dan Moore, 2007: 155).
2. Melakukan aktivitas yang lebih kooperatif ketimbang kompetitif
Pembelajaran yang kooperatif
mengarah kepada pemahaman bahwa peserta didik bekerja bersama-sama dalam sebuah
kelompok kecil untuk membantu diri mereka dan orang lain untuk belajar (McInnerney
dan Roberts, 2004: 205), atau sebuah metode belajar yang menggunakan interaksi
sosial sebagai media untuk membangun pengetahuan (Paz Dennen, 2000). Pentingnya
penggunaan aktivitas kooperatif didasari pada penelitian yang menunjukkan bahwa
teknik pembelajaran
kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil
belajar dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman belajar individual atau
kompetitif (Haris, 1990: 263).
Tugas-tugas belajar yang kompleks seperti pemecahan masalah, berpikir kritis,
dan pembelajaran konseptual meningkat secara nyata pada saat digunakan
strategi-strategi kerja sama.
Peserta didik lebih
memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi selama dan
setelah diskusi dalam kelompok kooperatif ketimbang mereka bekerja secara
individual atau kompetitif. Selain itu, peserta didik dapat memperoleh manfaat-manfaat
emosional dan keterampilan sosial dari kelas yang kooperatif. Mereka
cenderung melihat teman-temannya secara lebih baik. Kondisi saling menyukai
yang dimunculkan dari bekerja sama meningkatkan motivasi untuk belajar.
Prinsip
pembelajaran kelas yang kooperatif dapat digunakan untuk usul al-fiqh dengan
membentuk kelompok-kelompok peserta didik, yang dalam kelompok tersebut mereka
dapat saling belajar, ketika mengeksplorasi berbagai isu bersama-sama.
Kelompok-kelompok informal dapat digunakan di tengah perkuliahan untuk membantu
peserta didik memproses apa yang mereka telah dipelajari. Kelompok fokus yang
terdiri dari dua atau tiga peserta didik dapat digunakan untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan sebelum presentasi dan dapat membantu para peserta didik
memperoleh informasi pada akhir presentasi. Pengelompokan peserta didik secara
informal membuat mereka dapat memproses secara aktif apa yang telah dan sedang
mereka pelajari dan memudahkan pendidik untuk mendengar diskusi-diskusi ini demi
mengumpulkan informasi yang penting tentang bagaimana pelbagai konsep tersebut
diterima dan dipahami. Kelompok-kelompok yang lebih formal dapat digunakan
dalam wilayah-wilayah tertentu, untuk mengkaji ulang pekerjaan rumah, atau menyelesaikan
sebuah masalah secara bersama-sama.
Metode pengajaran di kelas
Pengajaran usul al-fiqh berbasis
pendidikan perdamaian (peace education) dapat menggunakan berbagai cara sebagai berikut:
1. Dialog
Dalam kelas yang disusun berdasarkan pada
prinsip-prinsip dialog ini, pendidik dan peserta didik bersama-sama membagi
informasi, merespons pengalaman yang sama dan mencari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Setiap peserta didik menyumbangkan pandangan-pandangannya
untuk mengkonstruk kebenaran. Kuncinya adalah saling menukar gagasan, yang
masing-masing menghargai pendapat yang lainnya. Pendidik belajar dari peserta
didik, dengan memberikan tugas kepada mereka untuk membaca dan meneliti dunia
mereka—budaya, adat kebiasaan, dan tradisi pengetahuan. Para peserta didik mengemukakan
wawasan mereka tentang dunia tersebut kepada kelas, dan pendidik menggunakan
metode dialog untuk bertanya kepada peserta didik mengenai wawasan-wawasan
tersebut.
Dalam kaitan dengan pengajaran usul al-fiqh,
pendidik menyajikan satu persoalan kepada para peserta didik, yang
masing-masing memberikan berbagai jawaban. Misalnya, pendidik sebagai peserta
dan fasilitator mengangkat isu tentang “bom bunuh diri”, sedangkan para peserta
didik merespons masalah ini dengan memberikan jawaban-jawaban berdasarkan
metodologi usul al-fiqh yang telah dipelajarinya. Peserta didik dapat
menghadirkan berbagai metode penalaran hukum yang relavan untuk memecahkan
persoalan tersebut, apakah dengan menggunakan qiyas, istislah
atau mungkin pula maqasid al-shari‘ah. Begitu seterusnya dalam isu-isu
yang lain.
2. Kerjasama
Belajar kooperatif merupakan model belajar dengan
peserta didik dalam kelompok kecil yang heterogen terdiri dari 4-6 orang untuk
menyelesaikan tugas dan memecahkan masalah serta untuk mencapai tujuan kelompok
yang saling menguntungkan. Penekanan pada belajar kelompok adalah aspek sosial,
yaitu adanya aktivitas sosial, yaitu adanya aktivitas tiap anggota kelompok
untuk berinteraksi dengan anggota yang lain, dan pendidik berupaya
mengkondisikannya dengan selalu memotivasi peserta didik agar tumbuh rasa kebersamaan
dan saling membutuhkan di antara peserta didik.
Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota
saling bekerja sama secara kolaboratif dan membantu untuk memahami suatu
materi, memeriksa dan memperbaiki pekerjaan teman serta kegiatan lainnya, dengan
tujuan mencapai hasil belajar yang tinggi. Ditanamkan pemahaman kepada peserta
didik bahwa tugas belum selesai apabila salah satu anggota kelompok belum
menguasa dan memahami materi pembelajaran.
Dalam pengajaran usul
al-fiqh, langkah-langkah pembelajaran dapat disajikan secara lebih jelas
dalam tabel berikut:
Tabel
3. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dalam pengajaran usul al-fiqh
Fase
|
Kegiatan
|
Fase 1
Menyampaikan
tujuan dan motivasi peserta didik
|
Pendidik
menyampaikan tujaun pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut
dan memotivasi peserta didik
|
Fase 2
Menyajikan
informasi
|
Pendidik
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
|
Fase 3
Mengorganisasikan
peserta didik
|
Pendidik
menjelaskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar
dan membantu setiap kelompok agar melakukan komunikasi secara efisien
|
Fase 4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Pendidik
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
|
Fase 5
Evaluasi
|
Pendidik
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
|
Fase 6
Memberikan
penghargaan
|
Pendidik
mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok
|
Sumber:
Ibrahim, et. al (2000).
3. Pemecahan masalah
Pendekatan belajar “problem solving”
atau metode pemecahan
masalah atau belajar berbasis
pada masalah merupakan salah satu alternatif
untuk mempermudah belajar siswa sehingga lebih bermakna
dan berdaya guna. Belajar dengan
menggunakan pendekatan pemecahan masalah berusaha untuk menciptakan kondisi belajar yang berorientasi
pada proses dan berpusat
pada siswa. Pemecahan masalah sebagai sebuah pendekatan
belajar melibatkan lingkungan belajar, yang di dalamnya masalah adalah kunci
untuk menuju proses belajar, yaitu sebelum siswa belajar sejumlah pengetahuan, terlebih
dahulu mereka diberikan masalah.
Pendekatan belajar ini diawali dengan
pertanyaan-pertanyaan di sekitar topik-topik usul al-fiqh yang sedang
dipelajari dan kemudian dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang muncul
dalam kehidupan masyarakat sekarang. Kemudian peserta didik melaksanakan
tahap-tahap pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah disain pemecahan
masalah. Secara umum, proses belajar berlangsung dari identifikasi masalah,
perumusan masalah, mencari solusi, mendiskusikan solusi, dan evaluasi
(pembuatan keputusan).
4. Afirmasi
Dalam ruangan kelas, tindakan afirmasi membantu
mengembangkan kompetensi. Dengan memperkuat prestasi peserta didik, afirmasi
dapat meningkatkan rasa percaya diri dan membantu mereka merasa disukai dan
dihargai. Mengapa afirmasi begitu penting? Karena manusia membutuhkan spirit,
baik yang datang dari diri sendiri maupun dari luar. Spirit dari luar diri
manusia adalah semacam dorongan yang membuat para peserta didik dapat lebih
percaya diri. Peserta didik yang meningkatkan rasa percaya dirinya dalam
kelas-kelas yang berbasis pada pendidikan perdamaian mungkin akan belajar mempercayai
pandangan-pandangan mereka dan mempunyai keberanian untuk mengambil resiko
untuk menentang segala bentuk kekerasan.
5. Pembuatan batasan demokratis (democractic boundary setting)
Menurut
Harris (1990: 266), penciptaan perdamaian adalah tentang pembentukan batasan-batasan
yang menghilangkan segala bentuk permusuhan dan menghargai batasan-batasan
orang lain. Kekerasan muncul karena adanya pelanggaran terhadap batasan-batasan
yang dibuat oleh orang lain. Maka, para pendidik, dengan mengelola kelasnya
sedemikian rupa, harus menyediakan pelajaran-pelajaran penting tentang
penciptaan dan pemeliharaan terhadap batasan-batasan tersebut. Mereka menyadari
tentang keharusan adanya prosedur untuk mengatur perilaku di dalam kelas—siapa
yang membuat aturan-aturan, bagaimana aturan-aturan tersebut dijalankan, dan apa
yang terjadi terhadap mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut. Sebuah
kelas tanpa aturan akan mengalami kekacauan, sebagaimana dunia tanpa hukum
dapat menjadi anarkis.
Pembuatan
batasan demokratis tentu saja mengundang para peserta didik untuk ikut dalam proses
pembuatan aturan, dengan menjelaskan kepada mereka pentingnya membuatan
batasan-batasan terhadap perilaku yang dapat diterima dan mendorong siswa untuk
berpartisipasi dalam menciptakan aturan-aturan yang menghargai batasan-batasan
orang lain yang terkait. Prosedur tersebut mendorong para pendidik untuk
menjalankan kelas,yang memberikan faslitas bagi pembuatan agenda di pihak peserta
didik, ketimbang mendominasi pembelajaran dengan agenda yang telah diatur.
Sebagai
metode disiplin kelas, democractic
boundary setting berasumsi bahwa semua orang yang ada
dalam kelas mempunyai batasan-batasan tertentu. Misalnya, tidak boleh teriakan
yang membuat seorang tidak bisa mendengar dengan baik; para peserta didik harus
saling mendengarkan satu dengan yang lainnya; peserta didik tidak boleh datang
terlambat ke kelas; peserta didik harus mempersiapkan pelajarannya, dan
seterusnya. Dalam kelas yang dibangun pada prinsip perdamaian, pendidik harus
mendiskusikan batasan-batasan apa yang harus dipatuhi oleh peserta didik dan
menjelaskan batasan-batasan bagi seorang pendidik. Setelah itu, kelas harus
sepakat tentang batasan-batasan tertentu atau menerima batasan-batasan yang
dibuat bagi perilaku-perilaku tertentu. Misalnya, dalam memberikan nilai pada
pekerjaan siswa, pendidik harus menyerahkan tugas tersebut tepat waktu; dalam
mempersiapkan diskusi kelas, semua peserta didik sepakat untuk mengerjakan
tugas-tugas mereka. Batasan-batasan ini akan membantu peserta didik mendefinisikan
perilaku-perilaku yang dapat diterima. Ketika batasan tersebut disepakati, maka
pendidik dan anggota kelas harus membuat aturan-aturan yang mengekspresikan
batasan-batasan ini dan menghargai batasan orang-orang yang ada dalam kelas.
Prosedur
demokratis ini memberikan kontrol kepada peserta didik terhadap lingkungan
belajar mereka dan memungkinkan pendidik untuk membuat norma-norma yang jelas
bagi perilaku yang diterima dan tidak. Ketika norma-norma ini dilanggar, siapa
pun di kelas dapat menunjukkannya dan memberikan hukuman yang berhubungan
dengan pelanggaran terhadap aturan-aturan ini. Aturan harus mempunyai
karakteristik, dan harus dipahami dan diketahui oleh semua orang dalam kelas.
Mereka harus tahu apa yang terjadi jika aturan-aturan tersebut dilanggar, dan semua
anggota kelas dapat bertanggung jawab untuk menjalankan aturan-aturan yang
diterima secara umum.
Pemeliharaan
batasan-batasan yang harmonis di kalangan masyarakat adalah salah satu tujuan
inti perdamaian. Dengan menjelaskan kepada peserta didik tentang pentingnya
membuat aturan-aturan yang memberikan kemudahaan kepada kelas untuk mencapai
tujuan-tujuan pembelajarannya, dan dengan melibatkan para peserta didik dalam
penyusunan aturan-aturan ini, para peserta didik diajarkan tentang bagaimana
membuat aturan-aturan dalam cara yang bertanggung jawab secara sosial yang
menghargai hak-hak orang lain. Menasukkan pandangan-pandangan yang berbeda akan
menghargai batasan-batasan orang lain dan akan memperagakan perilaku demokratis
peserta didik yang mereka gunakan dalam keluarga dan pekerjaan mereka.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa pedagogi usul al-fiqh berbasis
pendidikan perdamaian dapat dieksplorasi dalam dua prinsip mendasar, yaitu mendorong sikap hormat terhadap perbedaan,
dan melakukan aktivitas
yang lebih kooperatif ketimbang
kompetitif. Prinsip pertama dapat dijalankan dengan melihat
pendidikan sebagai cermin, jendela dan percakapan. Prinsip kedua dengan menciptakan
ruangan kelas yang mendasarkan pada cooperative learning. Dua prinsip
ini dapat dijalankan dengan menggunakan metode pengajaran seperti dialog, kerjasama, pemecahan masalah, afirmasi, dan
pembentukan batasan demokratis.
(Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Ulul
Albab, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 12, No. 2 Tahun 2011)
Daftar Pustaka
Bischoff,
Claire dan Moore, Mary Elizabeth
Mullino. 2007. Cultivating A Spirit for Justice and Peace:
Teaching Through Oral History. Religious Education. Volume 102. Nomor 2: 151-171.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1993. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul.
Jilid 2. Jiddah: Sharikah al-Madinah al-Munawwarah.
Hallaq, Wael B. 2001. Authority, Continuity and Change in Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press.
Harris, Ian M. 1990. Principles of Peace Pedagogy.
Peace
and Change. Volume 15, Nomor 3: 254-271.
Ibrahim, M. et.al. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya Press.
Jenkins, Wilis. 2005. Islamic Law and Environmental Ethics: How
Jurisprudence (Usul al-Fiqh) Mobilizes Practical Reform. Wordviews. Volume
9, Nomor 3: 338-364.
Kamali, Mohammad Hashim. 2008. Shari‘ah Law: An Introduction. Oxford:
Oneworld.
McInnerney, Joanne M. dan Roberts, Tim S. 2004. Collaborative or
Cooperative Learning? Dalam Tim S. Roberts. Online Collaborative Learning:
Theory and Practice. USA: Information Science Publishing.
Al-Namlah, ‘Abd al-Karim ibn ‘Ali ibn Muhammad. 1999. al-Muhadhdhab
fi ‘Ilm Usul al-Fiqh al-Muqaran. Volume 1. Riyad: Maktabah al-Rushd.
Al-Nisaburi, Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri. 1991. Sahih
Muslim. Jilid 1. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah.
Paz Dennen, V. 2000. Task Structuring for Online Problem-Based Learning:
A Case Study. Educational Technology & Society. Volume 3, Nomor 3:
329-336.
Al-Sa‘di,
‘Abd al-Hakim ‘Abd al-Rahman As‘ad. 2000.
Mabahith
al-‘Illah fi al-Qiyas ‘Inda al-Usuliyyin. Beirut:
Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah.
Sanu, Qutb Mustafa. 2000. Mu‘jam
Mustalahat Usul al-Fiqh. Damaskus:
Dar al-Fikr.
Shahrur, Muhammad. 2000.
Nahwa
Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Damaskus: al-Uhali.
Waugh, Earle H. 2004. Peace. Dalam Jane Dammen
McAuligge (ed).
Vol. 4. Leiden: Brill.
Al-Zuhayli,
Wahbah. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami, Jilid 1 dan 2. Damaskus: Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar