PARADIGMA ETIS KAJIAN BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN *
I. Pendahuluan
Berbagai kasus krisis lingkungan yang marak terjadi akhir-akhir ini
menimbulkan satu kekhawatiran di kalangan masyarakat dan akademisi. Banyak upaya
yang dilakukan untuk menangani persoalan ini, dari aksi-aksi konservasi
lingkungan, gerakan-gerakan penghijauan, hingga kajian berbasis ramah
lingkungan. Untuk poin yang terakhir ini, tulisan ini berupaya meneropong berbagai
paradigma penelitian dan kajian yang biasa digunakan dalam kaitannya dengan
isu-isu lingkungan, yang pada akhirnya bermuara pada telaah dan kajian yang berangkat
dari paradigma dan etika yang ramah lingkungan.
Istilah paradigma sederhananya dapat dipahami sebagai sebuah sistem keyakinan
dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam
memilih metode, namun juga cara-cara fundamental yang bersifat
ontologis dan epistomologis. Sehingga ketika
kita ingin melakukan sebuah penelitian atau kajian ilmiah, maka pertama kali
harus ditentukan dulu paradigma apa yang akan kita gunakan, agar maksud dan
tujuan dari sebuah kajian, telaah atau penelitian menjadi lebih bermakna.
II. Paradigma Etis Kajian Lingkungan
1.
Paradigma Antroposentrisme
Kata “antro” berarti “manusia”. Maka, antroposentrisme adalah sebuah
paham yang berasumsi bahwa “manusia adalah sentral dari segala ciptaan,”
yaitu nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai. Segala sesuatu di alam
semesta hanya bernilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Relasi antara
manusia dan alam bersifat instrumental, dalam arti bahwa alam berada dalam
posisi sebagai instrumen untuk memuaskan manusia. Karenanya, manusia punya hak
yang tidak terbatas dan otoritas penuh untuk mengeksploitasi alam. Karenanya,
paradigma ini bersifat egoistik. Asumsi ini diperkuat oleh paham keagamaan
Kristen dan juga teori-teori filsafat dari Aristoteles, Thomas Aquinas,
Descartes, dan Immanuel Kant, yang menekankan superioritas manusia terhadap
makhluk lain.
Oleh karena itu, jika ada gagasan dan aksi konservasi lingkungan, maka
itu dilakukan jika memberikan kemanfaatan buat manusia atau sejauh memberikan
nilai kepada manusia. Jika tidak, maka hal itu dapat diabaikan. Banyak kerugian
yang muncul dari paradigma antroposentrisme ini. Di antaranya yang paling
berisiko adalah pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang terjadi hampir di
semua belahan bumi ini. Berbagai krisis lingkungan yang terjadi tidak terlepas
dari berbagai kajian dan penelitian yang berangkat dari paradigma
antroposentris ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dibangun dari
paradigma positifistik-antroposentrik, yang hasilnya tidak ramah kepada
kebudayaan lokal dan lingkungan ekologis.
2.
Paradigma Biosentrisme
Kata “bio” mengarah kepada makna “kehidupan”. Paradigma
ini merupakan counter terhadap paradigma antroposentrisme. Dalam
paradigma ini, diasumsikan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai
nilai dan berharga pada dirinya sendiri.
Karena bernilai pada dirinya sendiri, maka kehidupan harus dilindungi.
Dalam paradigma biosentrisme ini, terdapat berbagai teori
seperti teori lingkungan yang berpusat pada lingkungan, yang inti teori ini
adalah manusia mempunyai kewajiban moral kepada alam, yaitu menghormati alam (respect
for nature); teori land ethics (etika bumi), yang menekankan pada
dua prinsip: pertama, sesuatu itu benar jika cenderung menjaga integritas,
stabilitas dan keindahan komunitas bioetis. Ia akan menjadi salah, jika
cenderung sebaliknya; kedua, komunitas moral tidak hanya komunitas manusia,
namun juga alam semesta.
3.
Paradigma Ekonsentrisme
Kata “eko” berarti “lingkungan”. Maka, ekosentrisme memusatkan etika pada
seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis,
makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada
makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku
terhadap semua realitas ekologis.
Dalam paradigma ini, terdapat suatu teori yang paling berpengaruh, yang
disebut Deep Ecology. Teori ini pada dasarnya telah ditemukan Henry
David Thoureau, John Muir, D. H. Lawrence, Robinson Jeffers, Aldo Huxley, dan
juga pengaruh dari Taoisme, Barukh Spinoza, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme,
namun dipopulerkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia. Deep Ecology
ini merupakan sebuah etika praktis,
sekaligus gerakan yang mencakup semua teori yang anti-antroposentrisme. Deep
Ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia,
tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup.
Yang menjadi prinsip dari gerakan Deep Ecology ini adalah:
pertama, biospheric egalitarianism in principle, yaitu pengakuan bahwa
semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu
keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Kedua, prinsip
non-antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas
atau terpisah dari alam. Manusia tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa dari
alam semesta, tetapi sama statusnya sebagai ciptaan Tuhan. Ketiga, prinsip
realisasi diri (self-realization), yaitu manusia merealisasikan dirinya dengan
mengembangkan potensi diri, yang hanya dengan itu manusia dapat mempertahankan
dirinya. Realisasi diri manusia ini tidak lain adalah pemenuhan dan perwujudan
semua kemampuannya yang beraneka ragam sebagai makhluk ekologis dalam komunitas
ekologis.
Dalam merespons persoalan lingkungan, Deep Ecology mempunyai
sikap berikut ini:
a.
Dalam menghadapi isu pencemaran, prioritas utama Deep Ecology
adalah mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan bukan
dampak superfisial dan jangka pendek.
b.
Dalam kaitan dengan isu sumber daya alam, isi alam semesta tidak dilihat
sebagai sekadar sumber daya. Ini melahirkan sikap kritis terhadap cara produksi
dan konsumsi. Alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak direduksi dan
dilihat semata-mata dari segi nilai dan fungsi ekonomisnya, namun juga nilai
dan fungsi budaya, sosial, spiritual dan religius, medis dan biologis.
c.
Dalam kaitan dengan isu jumlah penduduk, Deep Ecology mengakui
bahwa tekanan luar biasa terhadap kehidupan di bumi ini disebabkan oleh ledakan
penduduk manusia. Karena itu, pengurangan penduduk menjadi prioritas utama.
d.
Dalam kaitan dengan keragaman budaya dan teknologi tepat guna, Deep
Ecology berusaha untuk melindungi keragaman budaya dari invasi masyarakat
industri maju. Untuk itu, harus dikembangkan teknologi tepat guna yang sesuai
dengan budaya setempat.
e.
Sehubungan dengan tanah, Deep Ecology beranggapan bahwa bumi ini
bukan milik manusia. Manusia hanya mendiami tanah ini, dengan memanfaatkan
sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital.
f.
Dalam kaitan dengan pendidikan dan penelitian ilmiah, jika kebijakan
yang ditempuh adalah ramah lingkungan, maka pendidikan akan lebih diarahkan
pada peningkatan kepekaan terhadap lingkungan, kesadaran untuk menggunakan
barang-barang yang tidak konsumtif, dan pengembangan modal sosial untuk
bersama-sama menata kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi, yang ramah
lingkungan. Prioritas dialihkan dari “ilmu-ilmu keras” (hard sciences)
ke ilmu-ilmu lunak (soft sciences), khususnya pengetahuan budaya,
filsafat, dan etika. Bersamaan dengan itu, kearifan tradisional digali kembali
untuk memperkaya wawasan masyarakat modern.
III. Penutup
Dalam kajian tentang lingkungan,
paradigma yang tepat untuk digunakan adalah paradigma ekosentrisme, lebih
khusus lagi berpijak pada teori Deep Ecology (Ekologi Dalam). Karena
dalam paradigma ini tersimpan satu kepentingan untuk melihat lingkungan
ekologis bernilai pada dirinya sendiri. Maka, apa pun topik kajian dan
penelitian tentang lingkungan yang diambil, paradigmanya harus berbasis pada
penjagaan terhadap lingkungan. Pencarian topik kajian dapat dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap berbagai isu lingkungan yang berkembang saat ini,
atau mencari informasi awal di berbagai media massa, seperti koran, majalah,
situs Internet, dan lain-lain, atau bisa berangkat pula dari berbagai isu
kebijakan tentang lingkungan di Indonesia. Wallah a‘lam bi al-sawab.
* Makalah dipresentasikan dalam Workshop: Pelatihan Konservasi serta Pelatihan dan Penulisan Karya Ilmiah, Mahasiswa Pencinta Alam
(MAPALA) STAIN Datokarama Palu (Sabtu, 2 Juni
2012). Makalah ini disari dari Buku Etika Lingkungan karya A. Sonny
Keraf (Jakarta: Kompas, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar