ISU-ISU GENDER DALAM BINGKAI METODOLOGI STUDI ISLAM
Rusli
Abstract
This paper deals
with the approaches and methodologies in studying gender issues from Islamic
perspective. It is argued that there are two different views regarding the
study of Islam. First, the study of the classical religio-intellectual discipline
and tradition should remain at the core of Islamic Studies; to broaden its
scope might mean that the quality would suffer. Secondly, Islam needs to be
studied within the context of the ‘puzzling evolution of modern Islam’. Confining
the field to textual studies alone would risk giving the wrong impression of a
unified set of practices, thus masking a more complex reality. Islam should be
taught both as a textual tradition and as a social reality. Islamic Studies
should have a defined core of key areas and texts; essentially, this should
consist of the classical Islamic sciences. However, surrounding this core,
other areas could be included, such as anthropology and social sciences. In
terms of gender issues, to overcome gender inequality, all forms of study and
research should start with a feminist paradigm. Therefore, in Islamic
Studies, reorientation from value-free to value-laden is
necessary.
Keywords: gender issues, methodology of islamic studies,
feminist paradigm
I.
Pendahuluan
Adalah fakta yang
tidak dapat disangkal bahwa perempuan merupakan kelompok yang seringkali
mengalami ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut asumsi sebagian
feminis, ketidakadilan tersebut berakar pada patriarki yang mengkonstruk
seluruh pengetahuan dan pandangan dunia dari pengalaman laki-laki, bahkan dalam
kasus-kasus yang terkait dengan perempuan. Akibat buruk yang ditimbulkan dari
patriarki, yang kemudian membudaya ini, adalah begitu besar. Sebagai contoh
adalah terhalangnya akses perempuan kepada berbagai aspek kehidupan publik,
seperti agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Sehingga, bukan
sesuatu yang mengherankan jika pada masa lalu jarang terdengar orang-orang
besar dari kaum perempuan. Jika ada, itu pun mungkin tidak terekspos secara
meluas, karena segala informasi dikuasai oleh laki-laki.
Melihat pengaruh
buruk dari fakta ini, tentu perlu muncul sebuah upaya pembongkaran. Salah satu
caranya adalah melalui rekonstruksi pemahaman dan kajian ulang terhadap
berbagai isu perempuan dari berbagai perspektif keilmuan. Salah satu yang dituntut
untuk ikut andil tentu saja adalah disiplin keilmuan Islam. Tulisan ini
berupaya membuat sebuah sketsa tentang bagaimana studi Islam dengan beragam
pendekatan dan metodologinya dapat digunakan untuk melihat dan mengkaji isu-isu
perempuan ini. Dan, tulisan ini juga berusaha untuk me-list isu-isu
gender yang dapat masuk ke dalam payung besar kajian Islam.
II. Studi Islam: Kerangka Konseptual
Secara sederhana, istilah
Islamic Studies (dirasat islamiyyah) secara sederhana mengacu
kepada kajian tentang keislaman. Menurut laporan dari workshop kajian Islam di Edinburgh,
terdapat dua pendekatan mendasar terhadap Islamic Studies. Pertama yang
mempersempit definisi tersebut, dan kedua yang mendukung karakterisasi yang
lebih luas.[1]
Kelompok pertama menegaskan bahwa studi tentang disiplin keilmuan dan tradisi
intelektual-keagamaan klasik harus berada pada jantung kajian Islam; memperluas
ruang lingkupnya berarti kualitas kajian akan menjadi tidak baik. Sementara
itu, kelompok kedua beranggapan bahwa Islamic Studies harus didasari
pada asumsi bahwa Islam perlu dipelajari dalam konteks ‘evolusi Islam modern
yang mengandung teka-teki’, dan perlu memahami apa yang dimaksudkan sebuah teks
mengenai cara masyarakat mengalami dan menjalani hidupnya. Membatasi Islamic
Studies hanya kepada kajian-kajian tekstual akan berisiko memberikan kesan
yang salah tentang serangkaian praktik, dan kemudian menutupi realitas yang
lebih kompleks. Islam harus dipelajari sebagai sebuah tradisi tekstual dan sebagai
sebuah realitas sosial. Islamic Studies harus mempunyai jantung yang
pasti tentang wilayah-wilayah dan teks-teks yang vital. Artinya, ia harus mencakup
ilmu pengetahuan Islam klasik. Meskipun demikian, dengan mengitari jantung ini,
wilayah-wilayah lain dapat pula dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu
sosial dan humaniora.
Dari uraian ini,
menurut hemat penulis, Islam lebih tepat jika dipahami dalam pengertian sebagai
teks, pranata, tradisi, institusi dan realitas sosial (masyarakat). “Islam
sebagai teks” mengandung pengertian bahwa mengkaji Islam berarti menelaah
teks-teks yang menjadi penopang bangunan keilmuan Islam, seperti Alquran, Hadis
dan teks-teks lain yang merupakan elaborasi pemahaman terhadap dua sumber ini,
seperti tafsir, fikih, kitab koleksi fatwa, dan teks-teks lain yang mempunyai
kaitan dengan kedua sumber ini.
“Islam sebagai institusi”
adalah Islam yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk pranata dan kelembagaan
dalam Islam, seperti masjid, madrasah, pesantren, pengadilan agama, lembaga
fatwa, dan lain-lain. Munculnya berbagai lembaga dan pranata Islam adalah
bentuk pemahaman terhadap nilai-nilai Islam yang ada. Sehingga mengkaji
lembaga-lembaga ini masuk dalam kajian Islamic Studies. Mengkaji “Islam
sebagai institusi” berarti meneliti persoalan-persoalan kelembagaan yang ada
dalam Islam dan masyarakat Muslim.
“Islam sebagai
realitas sosial” adalah ajaran-ajaran Islam yang diterjemahkan ke dalam konteks
sosial-kemasyarakatan. Sehingga, ketika kita menelaah Islam dalam aspek ini,
kita mengkaji, misalnya, model masyarakat yang dipengaruhi ajaran Islam dalam
berbagai variannya; gerakan Islam dengan beragam coraknya—tradisional, radikal,
moderat, modern, dan sebagainya; pengaruh Islam dalam pembentukan adat dan
budaya lokal, dan sebagainya.
Pengkajian terhadap Islam (Islamic Studies) dalam beragam
aspeknya tersebut dapat didekati umumnya dengan berbagai pedekatan, seperti sosiologis,
antropologis, historis, filosofis, fenomenologis, dan lain-lain. Qadry Azizy[2]
mengelaborasinya ke dalam empat pendekatan yang umum digunakan dalam tradisi
kajian di Barat (orientalism atau islamology). Pertama,
menggunakan metode-metode ilmu yang masuk dalam kategori humanities,
seperti filsafat, filologi, ilmu bahasa dan sejarah; kedua, menggunakan
pendekatan yang biasa digunakan dalam tradisi kajian teologi agama-agama;
ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi,
ilmu politik dan psikologi; keempat, menggunakan pendekatan area studies (studi
kawasan), seperti kajian Timur Tengah (Middle Eastern Studies), kajian
Asia Tenggara (Southeast Asian Studies), dan sebagainya. Pendekatan yang
digunakan biasanya bersifat lintas disiplin (interdisciplinary). Seorang
yang mengadakan kajian “Islam sebagai realitas sosial” tentunya tidak akan
terlepas dari disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu politik, sosiologi,
antropologi, dan lain-lain, meskipun ia berada dalam wilayah area studies.
Inilah konsep yang diinginkan oleh Amin Abdullah terkait dengan
pengertian Islamic studies (dirasat islamiyyah), yang
membedakannya dengan istilah ‘ulum al-din dan al-fikr al-islami.[3]
Dalam pemahaman ini, berbagai pendekatan baru yang disumbangkan oleh ilmu
pengetahuan alam, sosial, humaniora, dan studi agama-agama (religious
studies) diperkenalkan dan dilibatkan dalam melakukan kajian terhadap
Islam. Bahkan, menurut Amin, penggunaan “kerangka teori” untuk memandu analisis
data yang terkumpul dari lapangan sangat dipentingkan dalam Islamic studies (dirasat
islamiyyah). Dengan kata lain, dirasat islamiyyah selalu menggunakan
dan menggandeng metode kerja tata pikir social sciences untuk membedah
realitas keberagamaan Islam di dunia sosial, tidak hanya di dunia teks dan
rasio.
III. Gender dan Kajian Islam: Isu dan Metodologi
Gender harus
dibedakan dengan sex (jenis kelamin). Yang pertama mengarah kepada peran
sosial dalam sebuah masyarakat, sementara yang kedua terkait dengan kodrat yang
diberikan oleh Tuhan.[4]
Kamla Bashin membedakan perbedaan gender dan sex (jenis kelamin) dengan
mengatakan bahwa sex bersifat biologis, alamiah, tidak dapat diubah,
tetap, dan akan sama di mana saja, sementara gender bersifat sosial budaya,
buatan manusia, dapat diubah dan berubah dari waktu ke waktu, dari satu budaya
atau keluarga ke budaya atau keluarga yang lain, tidak tetap dan merujuk kepada
tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas dan lain-lain yang
bersifat maskulin dan feminin.[5]
Jika kita berbicara tentang isu-isu gender, maka secara umum, yang kita
maksudkan adalah isu-isu yang terkait dengan perempuan, dan persoalan-persoalan
yang muncul dari fakta bahwa perempuan adalah bagian dari wilayah privat dan
publik. Mansour Fakih me-list secara umum beberapa isu yang tidak
bersahabat kepada perempuan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih (double
burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[6]
Isu-isu perempuan ini menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan dalam
berbagai aspek kehidupan.
Memasukan isu-isu gender ini ke dalam bingkai Islamic Studies berarti
melihat berbagai isu tentang perempuan dan segala bentuk persoalannya dalam
kaca mata kajian Islam. Kajian Islam, seperti telah dijelaskan sebelumnya,
dapat mencakup kajian tentang teks, pranata, tradisi, institusi dan realitas
sosial kemasyarakatan. Dengan asumsi ini, isu-isu perempuan yang terdapat dalam
teks, seperti Alquran, Hadis, kitab-kitab kuning, dan teks-teks lainnya dalam
Islam, dapat dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metodologi,
seperti sosiologis, antropologis, filosofis, fenomenologi, hermeneutik, dan
lain-lain. Ketika kita mengkaji isu gender, dalam kaitannya dengan Islam
sebagai institusi misalnya, maka kita dapat membahas pelbagai organisasi perempuan
dan institusi keperempuanan dalam Islam seperti organisasi Nasyiatul Aisyiah
(Muhammadiyah), Muslimat dan Fatayat dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Wanita
Islam Alkhairaat (WIA), Wanita Syarikat Islam, dan lain-lain. Dalam kaitan
Islam sebagai realitas sosial, kita dapat mengkaji bagaimana peran, sosialisasi,
dan ketidakadilan gender yang dibentuk oleh paham keagamaan Islam mempengaruhi
relasi sosial dan perilaku mereka dalam masyarakat, dan begitu seterusnya.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga model kajian dan penelitian yang
terkait dengan gender dan Islamic studies (dirasat islamiyyah).
Pertama, penelitian yang berangkat dari kajian murni yang value-free,
dalam arti bukan berangkat dari prinsip dan tujuan mewujudkan keadilan gender,
namun hanya sekedar untuk mendeskripsikan isu-isu tersebut dalam berbagai
perspektif keilmuan. Maka, bentuk kajian pun dapat berupa normatif-deskriptif.
Misalnya, isu-isu gender dalam perspektif ini dikaji dengan menggunakan
pendekatan ilmu keislaman murni (al-‘ulum al-islamiyyah), seperti
tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, dan lain sebagainya. Sehingga informasinya
lebih bersifat deskriptif, tidak mempunyai kepentingan untuk melakukan suatu
perubahan. Sebagai contoh, isu poligami dapat dikaji dengan pendekatan tafsir
tematik (tafsir mawdu‘i), untuk melihat bagaimana realitas poligami
dalam perspektif Alquran, atau mungkin dapat menggunakan metode takhrij al-hadith
(verifikasi hadis) atau naqd al-hadith (kritik hadis) terhadap
hadis-hadis yang berbicara tentang poligami,untuk melihat validitas hadis yang
menjustifikasi praktik poligami. Atau mungkin dapat menggunakan metode usul
al-fiqh seperti di antaranya. pendekatan maqasid al-shari‘ah, terhadap
isu poligami untuk melihat apakah praktik poligami didukung oleh satu maksud
dan tujuan penetapan hukum (maqasid al-shariʻah), dan lain sebagainya.
Model kedua,
mengkaji isu-isu gender yang terdapat dalam Islam—baik dalam teks, institusi,
maupun realitas sosial—dengan menggunakan berbagai pendekatan sosial dan
humaniora, seperti sosiologis, antropologis, historis, filosofis, filologis
(linguistik), fenomenologis, hermeneutik, dan berbagai pendekatan ilmu sosial
dan humaniora lainnya. (Lihat bagan 2). Misalnya, ketika mengkaji isu-isu
tentang reproduksi perempuan yang terdapat dalam teks-teks seperti Alquran,
Hadis, kitab-kitab fikih, dan lainnya, dengan menggunakan pendekatan
hermeneutik, maka kita melihat bagaimana sebuah teks tentang hak reproduksi
perempuan itu terbentuk dalam sebuah ruang sosial dan kultural tertentu, dan
pengaruhnya terhadap seorang pengarang teks (author). Kemudian, dengan
menggunakan metode Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, peneliti
dan pengkaji menganalisis peran dan pengaruh kekuasaan terhadap pembentukan
pengetahuan mengenai reproduksi perempuan tersebut. Betapa pun, dalam kerangka
ini, setiap tindakan dan perilaku tertentu tidak terlepas dari muata dan
kepentingan. Maka, untuk melakukan kajian terhadap isu ini, distansiasi
pemahaman dan kritik ideologi, menurut Ricoeur, menjadi satu hal yang harus
dilakukan.
Model ketiga, mengkaji isu-isu perempuan dengan
berpijak pada paradigma feminis dan teori sosial kritis. Dalam kaitan ini,
model yang dipakai adalah model responsif gender dengan memusatkan pada gender
analysis. (Lihat bagan 3). Yang ditekankan dalam kajian ini adalah
perlunya membawa nilai-nilai dan pesan-pesan yang memberikan kesetaraan dan keadilan
kepada perempuan. Oleh karena itu, model kajian dan penelitian ini tidaklah
bebas nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value-laden), yaitu
nilai pembebasan dan keadilan buat perempuan. Untuk itu, paradigma yang perlu
dibangun sebelum melakukan kajian ini adalah paradigma transformatif-kritis,
yaitu paradigma yang mengusung nilai-nilai perubahan ke arah yang lebin baik
untuk kepentingan kelompok yang tertindas atau termarginalkan dalam masyarakat.
Paradigma ini mungkin secara praktis dapat disarikan ke dalam beberapa langkah
penting berikut ini:
- Mengubah pandangan budaya yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinat
- Melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman keagamaan yang tidak kondusif terhadap peran gender
- Merevisi sistem pendidikan agama yang terlalu menekankan pada aspek kognitif semata, dan merumuskan suatu sistem pendidikan agama yang dapat mengubah perilaku keagamaan;
- Merevisi sejumlah peraturan yang bias gender dan tidak bersahabat pada perempuan.[7]
Sementara itu, isu-isu yang terkait dengan persoalan gender dan perempuan pada hakikatnya dapat didekati oleh berbagai kajian keislaman. Artinya, semua bidang dalam kajian Islam dapat membahas persoalan-persoalan gender dan perempuan tersebut. Begitu pula, semua pendekatan dan metodologi dapat digunakan untuk meneropong persoalan tersebut selama paradigma yang digunakan adalah paradigma feminis yang bermuatan pro-perempuan dan kesetaraan gender. (Lihat bagan 4)
Bagan 4. Pemetaan
isu-isu gender dalam Islamic Studies
No
|
Isu-isu Gender
|
Bidang Kajian
|
Metodologi dan Pendekatan
|
1.
|
Sosial dan Hukum: Perkawinan, poligami, perceraian, ‘iddah dan
ihdad, nushuz, warisan, jilbab (hijab), reproduksi
perempuan (keluarga berencana, kontrasepsi), seksualitas perempuan, mutilasi
genital (khitan), aborsi, perkawinan dini, ijbar (pernikahan paksa),
pernikahan sirri, perdagangan perempuan (trafficking in women), sex-trafficking,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan terhadap perempuan, pornografi
dan eksploitasi tubuh perempuan, menstruasi, kematian ibu muda, transgender/
transeksual, kepemimpinan perempuan dalam politik, imam perempuan
Pendidikan: Pendidikan yang tidak gender-friendly buat
perempuan, akses yang kecil terhadap pendidikan, putus sekolah, kurikulum
yang bias gender, buku teks yang bias
Ekonomi: Diskriminasi di tempat kerja, hak cuti hamil, upah
buruh rendah, pelecehan seksual,
|
Semua bidang
kajian Islamic studies: Alquran
Hadis, Kalam (Teologi Islam), Politik Islam,
Filsafat, Pendidikan, Fikih, Ushul Fikih, Ekonomi Islam, Dakwah, dan
lain-lain
|
Hermeneutik,
analisis wacana, content analysis, linguistik, semiotik, fenomenologi,
dan lain-lain
|
IV.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian Islam dapat dipetakan
ke dalam dua bagian besar. Pertama, disiplin keilmuan dan tradisi
intelektual-keagamaan klasik harus berada pada jantung kajian Islam, memperluas
ruang lingkupnya berarti kualitas kajian akan menjadi tidak baik; kedua, kajian
Islam harus didasari pada asumsi bahwa Islam perlu dipelajari dalam
konteks evolusi Islam modern, dan ia harus dipelajari sebagai sebuah tradisi
tekstual dan sebagai sebuah realitas sosial. Untuk tujuan ini, pendekatan
ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi penting untuk digunakan.
Terkait dengan kajian Islam terhadap isu-isu gender, untuk mengatasi
persoalan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, maka semua bentuk
kajian harus berangkat dari paradigma feminis yang bermuatan nilai, yaitu
mengangkat harkat dan martabat perempuan serta memberdayakan mereka. Untuk itu,
dalam kajian Islamic Studies, perlu adanya reorientasi kajian dari yang value-free
menjadi value-laden. Untuk alasan ini, pendekatan positivistik yang
menjadi dasar penelitian kuantitatif yang value-free menjadi kurang
relevan untuk dijadikan paradigma penelitian.
[1] Mawil Izzi
Den, “Islamic Studies or the Study of Islam? From Parker to Rammel,” Journal
of Beliefs & Values, vol. 28, no. 3 (December 2007), 245.
[2] A. Qadry Azizy, Pengembangan
Ilmu-ilmu Keislaman, Cet. ke-4
(Semarang: Aneka
Ilmu, 2004), 92-96.
[3] Lihat
Muhammad Amin Abdullah, “Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Peradaban Mempertautkan
Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah Global,” dalam http://aminabd.wordpress.com/
2010/06/20/mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-islamiy-dan-dirasat-islamiyyah-sumbangan-keilmuan-islam-untuk-peradaban-global
(Kamis, 24 Mei 2012).
[5] Kamla Bhasin, Memahami Gender, Terj.
Muh. Zaki Hussein, Cet. ke-2 (Jakarta: Teplok Press, 2002), 4.
[6] Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. ke-4 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), 12-13.
[7] Siti Musdah
Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press,
2006), 101-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar