STRATEGI
KOMUNIKASI ANTAR UMAT BERAGAMA YANG HARMONIS DAN DEMOKRATIS (PERSPEKTIF
MULTIKULTURAL)*
I. Pendahuluan
Tidak dapat dinafikan bahwa agama, seperti ditegaskan
Haryotmoko,[1]
mewujud dalam dua wajah yang saling bertentangan. Di satu sisi, agama
menawarkan perdamaian, namun di sisi lain, ia sering dikaitkan dengan fenomena
kekerasan. Yang terakhir ini, kata Haryatmoko, terkait erat dengan tiga fungsi
agama: sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi
ideologis), sebagai faktor identitas, dan sebagai legitimasi etis hubungan
sosial.[2]
Dari tiga fungsi ini, ketegangan dan konflik antara penganut agama adalah
sebuah keniscayaan.
Berbagai konflik berbasis agama, yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini, pada dasarnya merupakan buah dari kegagalan
komunikasi yang terjadi di kalangan komunitas umat beragama, baik intra maupun
antar agama. Kegagalan komunikasi yang dimaksud adalah ketika terjadi perbedaan
di antara mereka, perbedaan tersebut tidak dinegosiasikan dan dikomunikasikan
dengan cepat agar akibat terburuk yang mungkin saja muncul dari perbedaan tersebut
tidak mencuat ke permukaan. Konflik yang terjadi akibat kegagalan komunikasi tersebut
tidak hanya menyebabkan banyaknya jatuh korban—fisik dan harta benda, namun
juga trauma psikologis dan sosial.
Untuk itu, memformulasikan suatu model atau strategi komunikasi
yang efektif untuk mencapai kondisi demokratis dan harmonis di antara komunitas
beragama adalah sebuah keharusan.
II. Strategi Komunikasi
Penyusunan strategi yang efektif dalam menciptakan
masyarakat yang harmonis dan demokratis berangkat dari skema seperti ini:
Yang dimaksud dengan “peserta” (1 dan 2) adalah komunitas
agama, yang saling timbal balik melakukan “negosiasi” untuk menciptakan
“situasi sosial”, yaitu kondisi sosial yang demokratis dan harmonis.
1.
Membangun komunitas
Bagaimana membangun komunitas agama yang mampu
melakukan negosiasi dan komunikasi yang efektif? Menurut saya, dapat dengan
cara mengajarkan kepada individu dan masyarakat, baik di berbagai sekolah,
universitas, majelis taklim, masjid, gereja, atau tempat-tempat ibadah lainnya,
nilai-nilai yang mempunyai moralitas yang universal, seperti kemanusiaan (insa>niyyah), cinta dan kasih sayang (rah}mah), keadilan (‘ada>lah), kesetaraan (musa>wa>h), perdamaian (sala>m), dan lain-lain. Selain itu, menanamkan dalam diri
mereka pemahaman agama yang tidak sempit dengan klaim kebenaran eksklusif,
karena pemahaman yang sempit dapat menyangkal keragaman dan perbedaan yang
merupakan keniscayaan di dunia ini. Yang terakhir, mengajarkan sikap keberagamaan
yang moderat, karena dengan sikap moderat, pandangan hidup yang berbeda adalah
suatu kewajaran.
Siapa yang berwenang melakukan ini? siapa pun, baik
itu pemerintah (pusat dan daerah), tokoh agama, tokoh adat, pendidik (guru dan
dosen), mahasiswa, atau masyarakat lainnya.
2.
Komunikasi dan Negosiasi
Komunikasi dan negosiasi seperti apa? Tentu saja,
dialog. Lalu,
dialog macam apa yang perlu dikembangkan? Bukan dialog agama, namun dialog kehidupan beragama. Dialog kehidupan
beragama tidak tidak bertitik tolak dari dogma, namun dari praksis kehidupan bersama. Dogma adalah ranah
privat masing-masing agama, sedangkan kehidupan beragama
adalah ranah publik, yang di dalamnya terjadi perjumpaan
dengan penganut agama lain. Dialog kehidupan beragama tidak sama dengan diskusi
tentang kesamaan dan perbedaan agama, tetapi sebuah usaha untuk mengerti, memahami dan menerima
lawan dialog kita sebagai pribadi utuh dengan segala aspek historis,
psikologis, sosiologis, spiritualitas dan kepercayaannya.
Dengan kata lain, dialog kehidupan beragama adalah dialog antara dua
penganut agama yang saling mengekspresikan iman mereka. Untuk itu, dialog
kehidupan ini harus berangkat dari kematangan iman, ketulusan dan kerendahan
hati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Jika tidak, maka tidak akan terjadi
dialog kehidupan, yang menuntut hadirnya sosok Muslim sejati, Kristen sejati,
Hindu sejati, Budha sejati, dan seterusnya. Agama yang mewujud dalam diri yang
dikomunikasikan.
Selain dialog kehidupan, langkah yang tepat untuk ini
adalah melalui analogi permainan. Dalam konteks analogi permainan ini,
dialog antar agama berarti menciptakan kesempatan perjumpaan-perjumpaan
informal seperti olahraga bersama, lomba teater, apresiasi musik, camping,
bentuk-bentuk festival bersama. Kegiatan-kegiatan semacam itu akan mengurangi
suasana tegang dalam hubungan antar agama dan memungkinkan perjumpaan pribadi
atau perjumpaan lain tanpa kepura-puraan. Perjumpaan semacam ini merupakan
bentuk dialog yang tulus tanpa ada kepentingan tertentu. Analogi permainan akan
membantu mengurangi prasangka-prasangka negatif terhadap agama lain.
Jika kedua model komunikasi ini dapat dijalankan
dengan baik, maka kondisi komunitas beragama yang demokratis dan harmonis akan
dapat dicapai dengan baik. Semoga []
* Disampaikan
dalam Workshop: Orientasi Pengelolaan dan
Administrasi Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Kemenag Kota Palu (Sabtu, 28 April 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar