Rekonstruksi Metodologi Pemahaman
Atas Teks-teks Keislaman yang Terkait dengan Relasi Gender
Dr. Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc
A. Kerangka Pikir
Tulisan ini
berangkat dari sebuah asumsi bahwa dunia ini sarat dengan perubahan yang
bersifat pasti. Setiap perubahan dalam satu aspek pasti akan menciptakan dan
mempengaruhi aspek-aspek yang lainnya. Begitu pula dengan paradigma satu
pengetahuan. Perubahan dalam paradigma akan menciptakan perubahan dalam
konstruksi dan tafsiran hukum. Muhammad Syahrur,[1] seorang
intelektual kenamaan asal Syiria, mengungkapkan suatu pernyataan yang terkenal
bahwa “perubahan hukum disebabkan karena adanya perubahan dalam paradigma atau
epistemologi pengetahuan” [تغير الأحكام بتغير النظم المعرفية]
yang merupakan elaborasi lebih maju dari kaidah “perubahan hukum adalah karena
adanya perubahan dalam kondisi dan masanya”[تغير الأحكام بتغيرالأزمنة والأمكنة].
Adalah
satu hal yang pasti bahwa paradigma yang berkembang pada saat tafsiran-tafsiran
atas teks tentang relasi gender yang termanifestasikan dalam berbagai kitab
tafsir, hadis, atau fiqih, adalah paradigma patriarki yang telah berurat akar
bahkan sebelum Islam diturunkan ke muka bumi ini. Patriarki menjadikan
laki-laki sebagai pusat atas segala penafsiran, dan semua cerita berada dalam
narasi besar (grand-narrative) mereka. Bahkan muatan-muatan patriarki
secara jelas muncul dalam bahasa-bahasa kitab suci, baik itu Taurat, Injil,
bahkan Al-Quran sendiri. Dalam Al-Quran, tampak akan terlihat bagaimana Tuhan
tampak memihak kepada laki-laki dari sudut penggunaan bahasa. Hampir semua pesan,
perintah, dan larangan, digunakan dalam bentuk mudzakkar. Perintah
menjalankan rukun Islam semuanya menggunakan khitâb mudzakkar, seperti:
وأقيموا الصلوة وأتوا الزكوة yang menggunakan bentuk mudzakkar sâlim. Dari segi
pengurutan manusia, kaum laki-laki biasanya disebutkan lebih awal baru kemudian
perempuan. Dan yang lebih penting lagi, kata ganti (dhamîr) Allah selalu
digunakan dhamîr mudzakkar, misalnya: قل هو الله أحد ,
tidak pernah sekalipun digunakan dhamîr mu'annaš. Belum lagi tokoh-tokoh
pelaku sejarah dalam Al-Quran pada umumnya adalah laki-laki, bahkan para nabi
dan rasul dikesankan semuanya laki-laki.
Tidak
hanya itu, dalam bahasa Arab juga juga berlaku kaidah: التذكير والتأنيث أذا اجتمعا غلب التذكير (apabila laki-laki dan perempuan berkumpul, maka cukup disebut
laki-laki saja). Dalam tradisi bahasa Arab, jika disebut laki-laki, otomatis
tercakup di dalamnya perempuan, tetapi tidak sebaliknya, jika ada khithâb mu'annats,
maka yang terikat hanya perempuan, tidak laki-laki, seperti contoh ayat: وقرن فى بيوتكن ... (Q.S.
al-Ahzab [33]: 33), yang hanya mengikat kepada perempuan saja, bukan laki-laki.
Hal
ini kemudian diperkuat dengan berbagai pendekatan dan metodologi pemahaman yang
tampak melanggengkan kekuatan patriarki ini. Yang berkembang dan mendominasi
tradisi pemikiran dan penafsiran atas teks adalah pendekatan tekstual, yang
mengukur tingkat kebenaran pertama kali pada aspek kebahasaan an sich.
Oleh karena itu, yang dominan adalah penggunaaan kaidah: العبرة بعموم اللفظ
لا بخصوص السبب (yang dijadikan pegangan adalah
keumuman lafaz bukan partikularitas sebab). Dan juga dalam kaitannya dengan
metode penafsiran, penekanannya lebih besar kepada metode tahlîlî, ketimbang mawdû'î. Ternyata kesemua hal
ini, dalam perkembangan selanjutnya, tampak memberikan dampak yang tidak kecil
bagi tafsiran tentang relasi antara laki-laki dan perempuan serta peran
perempuan dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Namun
ternyata, paradigma patriarki tampak dipertanyakan ulang keberadaannya karena
pengaruh negatif yang terlalu sering ditimbulkannya. Di sini lah, meminjam
teori paradigma Thomas Khun,[2] ada
anomali-anomali dalam dirinya, sehingga kemudian mengalami krisis. Apalagi
ketika paradigma patriarki ini ditempatkan dalam era modern dan multikultural
sekarang, di mana memperbedakan peran antara laki-laki dan perempuan tidak lagi
begitu relevan.
Karena
adanya krisis dalam metodologi klasik dalam memahami teks-teks yang terkait
dengan relasi gender, maka banyak pemikir Muslim yang menawarkan pembacaan baru
terhadap teks, seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan lai-lain. Semua pemikir tersebut dalam
analisisnya ternyata tidak lepas dari menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial,
seperti di antaranya, analisa linguistik, hermeneutik, analisis sejarah, dan
sebagainya. Untuk itu, dalam pembahasan berikut, saya akan mencoba meramu
berbagai pendekatan yang telah disediakan bahan-bahannya oleh para pemikir
sebelumnya untuk dijadikan sebagai pegangan dalam membedah teks-teks yang
terkait dengan relasi gender.
B. Reinterpretasi Teks:
Sebuah Tawaran Metodologis
Reinterpretasi teks
menunjuk kepada satu proses penafsiran ulang terhadap teks-teks yang telah
ditafsirkan sebelumnya dengan satu asumsi bahwa tafsiran-tafsiran sebelumnya
tidak lagi begitu relevan dengan kondisi sekarang, atau tampak bertentangan
dengan nilai-nilai universal yang dibawa Islam semenjak awal, seperti keadilan,
kesetaraan, kebebasan, dan seterusnya. Ia mulai dengan sebuah proses dekonstruksi
(pembongkaran), yang didasari oleh asumsi bahwa ada motif-motif tersembunyi dalam
teks-teks yang mapan, tidak terkecuali dengan teks-teks Islam. Oleh karena itu,
langkah pertama yang harus dilakukan, menurut Paul Ricoer, adalah melakukan
kritik ideologi, dalam hal ini, terhadap penyusun atau penafsir teks, lantaran
dalam melihat dan menafsirkan teks, biasanya mereka dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti psikologis, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan seterusnya. Di
sini dapat dikatakan bahwa reinterpretasi harus berangkat dari kecurigaan bahwa
ada motif-motif tersembunyi dalam teks dan penyusun/penafsirnya.
Ada banyak titik tolak
pendekatan dalam melakukan reinterpretasi. Pertama, bisa berangkat dari realitas
sosial, yaitu mengamati dan menganalisa masalah-masalah sosial yang
dihadapi oleh perempuan. Pijakan ini bisa mengambil dua bentuk pendekatan: objectivist
atau constructionist. Dalam pendekatan objectivist, masalah
sosial dilihat sebagai kondisi-kondisi objektif yang membahayakan kehidupan dan
kesejahteraan manusia. Ini bisa dihilangkan melalui gerakan-gerakan sosial. Sedangkan
dalam pendekatan constructionist, masalah-masalah sosial tidak hadir
dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh pikiran manusia melalui proses
pendefinisian.
Sebagai
contoh, menurut perspektif objektivis, masalah poligami dapat dilihat sebagai
masalah sosial yang banyak memberikan mudarat kepada perempuan (terutama,
isteri pertama), ketimbang keuntungan, seperti di antaranya, kurangnya
perhatian terhadap anak. Contoh lainnya adalah kawin paksa yang kerapkali dialami
oleh gadis yang masih sangat muda, yang banyak mengantarkan kepada perceraian
atau kematian akibat melahirkan. Menurut Musdah Mulia, ada korelasi yang erat
antara tingkat kematian ibu yang tinggi dengan kawin paksa pada wanita yang
masih sangat muda. Kondisi-kondisi ini, menurut pendekatan konstruksionis,
dapat menyeru orang untuk melakukan gerakan-gerakan sosial.
Dari
realitas ini adanya kerugian yang ditimbulkan dari poligami dan kawin paksa,
reinterpretasi kemudian dilakukan, karena dipercaya bahwa praktik poligami dan
kawin paksa mendapatkan justifikasi teologis dari teks-teks agama.
Titik
tolak kedua adalah berangkat dari teks itu sendiri. Di sini, bisa
menggunakan pendekatan dekonstruksi, yang dimulai dengan asumsi bahwa
“tidak ada cerita besar.”[3] Apa yang
terjadi adalah bahwa perempuan dibaca dalam perspektif laki-laki. Ini
seringkali mengantarkan kepada ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan.
Kata kunci dalam membaca teks tentang perempuan adalah mengubah kecenderungan meletakkan
“laki-laki” sebagai basis keberadaan perempuan. pendekatan ini berangkat dari
asumsi bahwa teks-teks penuh dengan muatan patriarkal. Ada hal-hal yang tidak dilihat atau tidak
pernah didiskusikan, yaitu “kekuatan motivator yang tidak kelihatan di balik
penggunaan makna.” Oleh karena teks harus dianalisis secara kritis. Atau, bisa
pula menggunakan pendekatan hermeneutik, di mana teks dilihat sebagai
manifestasi wacana dalam bentuk tulisan. Langkah-langkah yang bisa dilakukan:
- Teks dilihat sebagai satu kesatuan yang, dan kemudian ditafsirkan.
- Kemudian, penyusun atau penafsir teks dijelaskan secara historis atau berdasarkan bahan-bahan sejarah.
- Pembaca teks seharusnya masuk ke dalam lorong waktu di mana teks itu diciptakan dan dalam kondisi apa teks itu muncul. Selain itu, pembaca teks mesti juga familiar dengan kondisi objektif-geografis dan latar belakang budaya di mana seorang penyusun/penafsir teks itu hidup.
- Setelah itu, kita harus berupaya memahami teks dan menyimpulkan apa yang ingin dikatakan oleh teks itu.
C. Metode Interpretasi
Pendekatan
kesejarahan (historical approach) dalam mehamai teks ini sangat penting,
hampir semua feminis Muslim menggunakan pendekatan ini, karena teks tidak bisa
dipisahkan dari konteks sosial-historisnya. Hal yang sama juga berlaku terhadap
Al-Quran dan Hadis Nabi.
Dalam
kaitannya dengan Al-Quran, ada beberapa metode yang biasa digunakan, yaitu di
antaranya, metode tafsir mawdhû'î (tematis).
- Menentukan
satu topik yang khusus.
Mengumpulkan beberapa atau semua ayat yang berkaitan dengan topik. - Seluruh ayat tersebut dilihat dalam satu kesatuan yang koheren, dan dilihat berdasarkan urutan kronologis ayat.
- Kemudian, menafsirkan kata kunci dari topik yang akan ditafsirkan dengan menggunakan analisa semantik. Termasuk analisa makna kata dan perubahan makna-maknanya.
- Melihat kondisi sosial, budaya, politik, geografis, dan seterusnya, di mana ayat itu diturunkan.
- Baru kemudian ayat ditafsirkan.
Dan dalam
kaitan dengan Hadis, dapat menggunakan metode ta'lîq dan takhrîj hadis.Wallahu a'lam bi al-sawab.
[1]
Muhammad Syahrur, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh
al-Mar'ah, Cet. ke-1, (Damaskus: al-Uhali, 2000)
[2] Thomas
Khun, The Structure of Scientific Revolutions, Edisi ke-2, (Chicago:
University of Chicago Press, 1962)
[3] Buddy Munawar Rahman,
“Kesetaraan Gender dalam Islam: Persoalan Ketegangan Hermeneutis” Majalah
Filsafat Driyarkara, XXIII, No. 2, (1997), 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar