Rabu, 03 Desember 2008

Agama dan Politik

AGAMA DAN POLITIK: STUDI TENTANG JAMA’AT TABLIGH DI KOTA YOGYAKARTA

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc


Pendahuluan

Jama’at Tabligh atau disebut juga dengan Tablighi Jama‘at adalah satu diantara gerakan-gerakan Islam grassroot yang paling berpengaruh pada abad ke-20 di anak benua Asia Selatan. Secara bervariasi, ia dikenal juga dengan nama Jamâ‘at, Tahrîk (gerakan, movement), Nizâm (sistem), Tanzîm (organisasi), Tablîgh (dakwah), dan Tahrîk al-Îmân (gerakan iman, faith movement). Jika dibandingkan dengan beberapa gerakan Islam yang lain,[1] ia dikenal sebagai sebuah gerakan yang “apolitis”, dalam pengertian tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik baik dalam tataran wacana maupun praktis.

Hal ini menarik, mengingat secara kodrati, manusia, menurut Nietzsche, adalah memiliki kecenderungan untuk berpolitik, kehendak untuk mendominasi dan berkuasa (the will to power). Tujuan hidup, demikian Nietzsche, adalah “kehendak untuk berkuasa”. Dan disanalah orang akan merasa bahagia. Sebab bagi Nietzsche, kebahagiaan adalah “perasaan akan bertambahnya kekuasaan–-hambatan diatasi. Tujuan hidup itu “bukan kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan perdamaian melainkan perang.”[2] Lebih lanjut Nietzsche menulis:

“Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefährlich leben)! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri.”[3]

Sehubungan dengan itu, Thomas Hobbes seorang filosof politik cenderung lebih ekstrem berpendapat bahwa manusia dengan manusia lainnya adalah lawan yang harus dikalahkan. Dalam sebuah perkataannya yang terkenal homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya). Menurut Hobbes, seluruh atribut psikologsis manusia—rasa, persepsi, memori, imajinasi, pikiran, perkataan, dan emosi—adalah efek dari gerakan-gerakan partikel yang sangat kecil, dimana kita, seperti juga materi tubuh yang lain, tersusun dari benda-benda tersebut. Tindakan kita diatur dan dikendalikan oleh rasa “suka” dan “tidak suka”. Rasa-rasa ini menjadi basis penilaian moral, dan masalah dalam tindakan yang memiliki kencenderungan adalah menjaga dan memelihara diri (self-preservation). Tindakan manusia, lanjut Hobbes, diatur dan dikendalikan oleh dua emosi kembar yang tidak dapat dipisahkan, yaitu takut akan kematian (fear of death) dan keinginan untuk berkuasa (desire for power).[4]

Dalam pandangan feminis radikal, apapun yang bersifat pribadi memiliki implikasi politik yang penting (the personal is political). Artinya bahwa segala perilaku dan tindak-tanduk manusia di dunia tidaklah kosong dari muatan-muatan kepentingan politik, seperti adanya keinginan mendominasi, mempengaruhi, dan sebagainya. Dan ini bisa dilihat dalam keluarga dimana seorang suami atau ayah memiliki otoritas yang penuh dalam mengkontrol peran dan seksualitas perempuan. Dan ini tentunya memberikan pengaruh dalam keterlibatan perempuan dalam dunia publik.

Begitupula, kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk politik dapat dilihat dari realitas bahwa manusia memperngaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat secara keseluruhan. Menurut Magnis-Suseno,[5] dimensi politis manusia adalah dimensi dimana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat, sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan yang ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya. Magnis-Suseno juga menyebutkan dimensi fundamental dari dimensi tersebut yang saling melengkapi, yaitu pengertian dan kemampuan untuk bertindak. Ciri khas manusia terletak pada kemampuannya untuk mengerti mana yang baik dan buruk, baik bagi dirinya sendiri, masyarakat dan bangsanya. Kemampuan ini menjelma dalam tindakannya. Hanya manusia yang mampu bertindak sesuai dengan pengertiannya. Pengertian memberi arah kepada tindakan manusia. Tetapi tindakan pun pada gilirannya mempengaruhi cara manusia mengerti dunianya. Melalui tindakan, manusia secara efektik mempengaruhi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.[6]

Pernyataan-pernyataan di atas mengindikasikan bahwa antara insting dasariyah manusia dan politik adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Keduanya menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Hubungannya bersifat fungsional dan saling mempengaruhi. Tetapi, realitas menunjukkan bahwa Jama’at Tabligh berusaha sekeras mungkin untuk menghindarkan diri dari keterlibatan secara aktif baik dalam perbincangan politik maupun politik praktis. Di sini nampak ada kesenjangan antara beberapa teori dan pandangan yang menegaskan watak politik manusia dengan kenyataan praktis organisasi ini. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Mengapa Jama’at Tabligh menghindarkan diri dari keterlibatan dalam politik baik pada tataran wacana maupun praktis?

Penulis berhipotetis bahwa ada hubungan yang sinergis antara agama dan politik dalam mempengaruhi perilaku dakwah Jama’at Tabligh dalam menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan politik. Dan semakin tinggi kesadaran keagamaan anggota Jama’at tersebut, semakin besar pula kecenderungan menjauhkan diri dari aktivitas politik baik dalam tataran wacana maupun praktis.

Kerangka Teori

Tulisan ini diinspirasikan oleh teori tentang agama. Agama tidaklah harus difahami sebagai kumpulan doktrin atau ajaran, tetapi lebih dari itu, ia harus dilihat dari beberapa pemahaman. Pierre Bourdieu melihat agama sebagai “gagasan yang memberi kekuatan untuk memobilisasi”.[7] Disini agama memiliki kekuatan untuk menjadi dasar bagi gerakan politik. Sementara itu, Haryatmoko,[8] mendeskripsikan agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis), legitimasi etis hubungan sosial dan sebagai faktor identitas. Agama memiliki fungsi ideologis atau menjadi perekat masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauh mana suatu tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius yang dikehendaki Tuhan. Agama menjadi legitimasi etis hubugan sosial mengindikasikan adanya peran agama dalam mengidentifikasikan sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu. Dan agama sebagai faktor identitas menekankan agama sebagai perekat sosial dan menjadi struktur simbolis dari ingatan kolektif pemeluknya. Ingatan kolektif pewahyuan menjadi raison d’étre kelompok sosial tersebut. Oleh karena itu, identitas agama tidak bisa dilepaskan dari masalah stabilitas sosial dan status sosial serta landasan keberadaan pemeluknya. Jadi, kalau identias agama tidak dihormati akan segera memicu konflik karena mengancam status sosial, stabilitas dan keberadaan pemeluknya.

Identitas merupakan sebuah kata yang merujuk kepada hubungan kesamaan yang ada di antara nama-nama itu sendiri yang mengacu kepada arti-arti atau hal-hal yang sama.[9] Identitas dibangun dan dibentuk dari beberapa faktor, seperti etnik, jenis kelamin, gender, kelas sosial, umur, dan agama. Dalam hal agama, misalnya, ia berperan sebagai perekat yang sangat kuat bagi soliditas sebuah identitas. Identitas berbasis agama ini dikonstruksi, dinegosiasi dan dikomunikasikan melalui bahasa, baik secara langsung dalam berbagai bentuk interaksi maupun dalam berbagai bentuk media.

Maka, ketika kesadaran terhadap identitas menguat dan menggerakkan suatu kelompok masyarakat, mereka akan berjuang untuk mendapatkan suatu hak dan keinginan yang dicita-citakan. Kekuatan identitas (power of identity) ini kemudian menciptakan suatu “gerakan sosial”, sebuah inisiatif kolektif yang bersifat reflektif-diri dan memfokuskan kepada tindakan-tindakan ekspresif dari anggota-anggota tersebut.[10] Gerakan sosial ini memiliki muatan politis yang sangat kental yang kemudian membentuk sebuah bentuk “aktor kolektif” yang sadar. Politik disini merujuk kepada suatu pengertian yang bersifat umum, yaitu gerakan yang berbasis identitas dapat mempegaruhi, mendominasi, baik secara spiritual, moral, maupun sosial.

Dalam ilmu-ilmu sosial, “gerakan sosial” (social movement) dapat dilihat dalam dua paradigma utama. Paradigma pertama dikemukakan oleh Ralph Turner dan Lewis Killian,[11] dimana mereka membagi gerakan sosial ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah gerakan yang berorientasi nilai (value-oriented movement), dimana dalam gerakan ini para anggotanya memiliki suatu komitmen terhadap suatu prinsip, yaitu menolak segala bentuk kompromi demi suatu tujuan yang dicita-citakan. Kategori kedua adalah gerakan yang berorientasi kekuasaan (power-oriented movement), yang tujuan utamanya adalah perolehan kekuasaan, status dan pengakuan bagi para anggota dari gerakan tersebut. Satu dogma dari gerakan ini adalah asumsi bahwa hanya dengan menguasai kekuatan ekonomi dan politik, mereka dapat menghilangkan sesuatu yang mereka anggap sebagai kejahatan dalam masyarakat. Kategori ketiga adalah gerakan yang berorientasi pada partisipasi (participation-oriented movement) yang bisa mengambil bentuk, seperti gerakan reformasi fasif (passive-reform movement) yang hanya menyuarakan adanya kekurangan dalam masyarakat, tetapi tidak berusaha secara aktif untuk menghilangkan kekurangan tersebut, atau, dengan gerakan status personal (personal-status movement) yang menganjurkan pendefinisian kembali terhadap sistem status yang ada, yang dengan pendefinisian tersebut, diharapkan status mereka akan dapat terangkat.

Paradigma kedua dikemukakan oleh David Aberle dalam The Peyote Religion Among the Navaho (1966). Aberle, seperti dikutip oleh Magill,[12] membagi gerakan sosial ke dalam gerakan; transformative, reformative, redemptive dan alternative. Gerakan pertama, transformative movement, adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan secara total bagi individu atau masyarakat. Perubahan yang dikehendaki adalah perubahan yang menyeluruh, yang biasanya mencakup kekerasan dan perusakan. Reformative movement biasanya dilakukan untuk menghilangkan kekurangan-kekurangan dalam sebuah sistem sosial yang ada, tetapi tidak menghancurkan struktur mendasar dari sistem tersebut. Redemptive movement merupakan sebuah gerakan yang memusatkan pada perubahan individual daripada perubahan institusional. Terakhir, alternative movement berusaha melakukan penghilangan secara parsial tingkah laku individual. Gerakan ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi dapat menjadi lebih baik melalui penghilangan karakter atau kebiasaan tertentu.

Tinjauan Pustaka

Studi yang membahas Jama’at Tabligh belum begitu banyak dilakukan. Hal ini mungkin dikarenakan oleh kenyataan bahwa Jama’at Tabligh adalah sebuah gerakan yang cenderung low-profile dan tidak terlibat aktif dalam arena politik. Studi yang mengkaji gerakan ini lebih banyak dilakukan dalam perspektif historis yang menelusuri asal-muasal pertumbuhan Jama’at Tabligh dengan metodologi dakwahnya yang unik dan khas. Sementara yang mengaitkan Jamaat Tabligh dengan isu-isu tertentu, nampaknya kurang mendapat perhatian. Sebuah studi yang dilakukan oleh Barbara Metcalf,[13] meneliti tentang bagaimana keterlibatan dan peran perempuan dalam dakwah Jamaat Tabligh. Dalam kaitan dengan isu politik, tulisan Mumtaz Ahmad[14] merupakan sebuah tulisan yang sangat menarik yang melihat dan menganalisa faktor-faktor politik dibalik munculnya organisasi ini di anak benua India.

Sementara itu, untuk kasus Indonesia, terutama konteks Yogyakarta belum begitu banyak mendapat perhatian. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana aktivitas Jama’at Tabligh dalam konteks Yogyakarta dan pandangannya tentang politik serta alasan mereka menjauhi aktivitas politik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada kesamaan alasan, meskipun gerakan ini merupakan kesinambungan dari yang ada di anak benua India. Disamping itu, secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi teori tentang agama yang memiliki fungsi ideologis dan fungsi perekat identitas yang pada gilirananya akan membawa kepada sebuah gerakan sosial dengan beragam corak dan bentuk.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis; yaitu menelusuri secara historis perkembagan Jama’at Tabligh di wilayah pertama kali muncul hingga ke Indonesia. Kemudian, dicari faktor-faktor sosiologis-keagamaan yang memotivasi mereka menghindarkan diri dari keterlibatan dalam politik. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode hermeneutik yang mengasumsikan pentingnya memahami perilaku-perilaku sejarah dalam konteks tertentu.

Data yang dibutuhkan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil interview tak berstruktur dan observasi. Mereka yang menjadi sampel adalah para anggota Jama’at Tabligh di kota Yogyakarta. Observasi dilakukan dengan melihat aktivitas dakwah yang dilakukan oleh anggota Tabligh. Observasi dilakukan dari semenjak bulan Ramadhan (27 Oktober 2003) sampai tanggal 7 Nopember di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang km 5. Sementara data sekunder terdiri dari tulisan-tulisan, buku-buku, atau artikel-artikel yang berbicara tentang hal yang berkaitan dengan organisasi ini. Data yang telah diperoleh dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan sosiologis.

Sketsa Historis Perkembangan Jama’at Tabligh

Pada periode setelah Perang Dunia pertama di India, dengan gagalnya gerakan “khilafah”, sebagian umat Islam ada yang beralih dari tindakan politik praktis kepada sebuah asosiasi yang lebih memfokuskan kepada pembinaan iman dan akhlak individu dan komunitas, yang dikenal dengan Jama’at Tabligh.[15] Perkumpulan yang secara tipikal berdiri pertama kali pada tahun 1927 muncul sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Jamaah ini pertama kali dibentuk oleh Maulana Muhammad Ilyas (w. 1944), seorang ulama yang shaleh dan terpelajar di India, yang mengasosiasikan dirinya kepada tarekat Naqshabandiyah.

Alasan yang memotivasi Maulana Ilyas mendirikan organisasi ini lebih bersifat politik-keagamaan, yaitu kekhawatiran dengan semakin gencarnya gerakan revivalis Hindu sayap kanan, terutama shuddhi (pemurnian) dan sangathan (konsolidasi), dalam melakukan usaha yang besar-besaran untuk memulihkan orang-orang Hindu yang menyeberang ke agama Islam, atau “Muslim tapal batas” (the border-line Muslims), pada awal abad kedua puluh.[16] Dalam konteks ini, tugas esensial gerakan Tablighi adalah melakukan purifikasi terhadap orang-orang Islam, yang mulanya beragama Hindu, dari tradisi nenek moyang mereka dan mendidik mereka mengenai keyakinan dan ritual sehingga mereka tidak mudah begitu saja menjadi umpan bagi orang-orang Hindu yang mencoba membalikkan keagamaan mereka. Hal ini dilakukan dengan cara menghidupkan kembali keimanan umat Islam dan menegaskan identitas religio-kultural mereka, tidak untuk mengkonversikan non-muslim ke dalam agama Islam.[17]

Munculnya asosiasi ini sebagai sebuah gerakan pembangkitan iman dan penegasan identitas religio-kultual umat Islam di Asia Selatan juga dapat dilihat sebagai kesinambungan dari kebangkitan Islam yang lebih luas di India dan Muslim Bengali pada saat jatuhnya kekuatan politik Muslim dan konsolidasi kekuasaan Inggris di India pada pertengahan abad ke-19. Dalam bidang keagamaan, satu manifestasi dari kecenderungan ini adalah perkembangan fenomenal dari madrasah (lembaga pendidikan agama) di India Utara yang mencoba menegaskan kembali otoritas ortodoksi Islam dan menghubungkan kembali masa Muslim dengan lembaga-lembaga keagamaan Islam.

Secara sosiologis, kondisi ketika Maulana Ilyas melakukan usaha dakwah ini diwarnai dengan berbagai bentuk kekerasan atas nama agama, serta muncul dan berkembangnya organisasi politik masa.[18] Mawlana Ilyas merasa tidak puas dengan situasi yang dihadapinya tersebut. Secara psikologis, ketika seseorang dihadapi dengan situasi seperti ini biasanya ia akan menempuh dua cara untuk mengatasi ketidakpuasannya: pertama, memberikan penjelasan secara rasional atas asal-muasal ketidakpuasannya tersebut; kedua, mencari imbangan atas ketidakpuasannya ini dalam pemikiran yang berada di luar dunia empiris dan tidak langsung berhubungan dengan situasi konkret yang dihadapinya, semacam pelarian yang oleh Karl Mannheim disebut dengan “orientations transcending the existing order”.[19] Pelarian ini bisa mengambil dua bentuk: pemikiran yang bersifat ideologis atau pemikiran yang bersifat utopia. Yang pertama lebih cenderung mempertahankan status quo, sementara yang kedua memiliki potensi mengguncang struktur sosial yang ada.

Apa yang dilakukan oleh Mawlana Ilyas ketika menghadapi permasalahan ini adalah mencoba meneladani secara ketat dan terbatas akhlak dan perilaku Rasul dalam aktivitas dakwahnya. Mawlana Ilyas kemudian mencari basis legitimasi pada ajaran ortodoks Islam yang cenderung mempertahankan status quo daripada kritis terhadap kekuasaan yang ada. Strategi Maulana Ilyas adalah mencoba mengajak umat Islam, meskipun kurang memiliki bekal penguasaan kitab yang mendalam, dapat keluar untuk mendekati para ulama, dan mengingatkan mereka agar memenuhi kewajiban ritual mereka, serta tidak terlibat ke dalam konflik-konflik yang sebenarnya hanya akan memperjauh umat dari Tuhan.[20]

Secara historis, aspek-aspek kesalehan Jama’at Tabligh yang dirumuskan oleh Mawlana Ilyas dapat ditelusuri berpijak kepada ajaran-ajaran dan praktik-praktik sufi Shaikh Ahmad Sirhindi (1564-1624),[21] Shah Wali Allah (1703-1762), dan pendiri Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Shahid (1786-1831). Para aktivis sufi ini, yang berafiliasi kepada tarekat Naqshabandiyah, menganggap pelaksanaan syari’ah sebagai sebuah bagian yang integral dari praktik sufi. Dalam pengertian ini, Jama’at Tabligh di dilukiskan, setidaknya pada fase pertamanya, sebagai sebuah bentuk ortodoksi Islam yang diberi ruh kembali dan sebagai sufisme yang dimodifikasi dan diperbaharui, meskipun gerakan ini tidak mewarisi tradisi aktivisme politik yang vital dari para sufi besar abad ke-18 dan 19 di Asia Selatan.

Ideologi dan Metodologi Dakwah Jama’at Tabligh

Salah satu metodologi dakwah yang paling menonjol dalam asosiasi ini adalah khurûj. Kata khurûj merupakan istilah Arab yang mengandung arti “keluar”. Kata ini kemudian diartikan sebagai sebuah bentuk perjalanan yang dilakukan oleh beberapa orang atau jama’ah untuk melakukan dakwah. Mereka biasanya mengangkat seorang amir untuk menjadi pemimpin. Amir dalam hal ini adalah seorang yang harus ditaati. Pemilihan seorang amir tidak didasari oleh status sosial, ekonomis, dan politis yang lebih bersifat profan, tetapi seorang pemimpin atau amir dipilih berdasarkan pertimbangan kualitas keimanan. Konsekuensi logis, seorang pelayan pun dapat pula menjadi seorang amir. Di kalangan mereka yang ikut serta dalam sebuah khurûj, penghilangan perbedaan-perbedaan hirarkis bersifat konstan. Putusan-putusan diibuat melalui suatu proses konsultasi yang disebut dengan musyawarah. Musyawarah bersifat kekeluargaan. Anggota dipersilahkan memberikan ide-ide atau masukan-masukan dalam musyawarah, yang kemudian usulan-usulan tersebut ditulis oleh seorang katib. Kemudian, seorang amir memutuskan berdasar pertimbangan yang terbaik, bukan berdasarkan suara terbanyak. Apabila putusan telah dibuat, maka semua anggora Jama’at harus menerimanya secara aklamasi.

Ketika khurûj, biasanya mereka memilih tempat tertentu seperti masjid, sebagai basis kegiatan mereka. Seorang amir setiap hari mengutus beberapa orang untuk melakukan jawlah (keliling) untuk mengajak umat Islam yang berada di sekitar masjid untuk datang ke masjid melakukan shalat jama’ah, atau datang pada waktu shalat maghrib dan isya untuk mendengarkan ceramah yang diberikan seorang anggota Tabligh. Materi dakwah yang disampaikannya bersifat sangat sederhana.

Disamping itu, aktivitas sehari-hari anggota Tabligh pada saat khurûj adalah melakukan aktivitas-aktivitas yang mengandung nilai ibadah, seperti membaca Al-Quran, dzikir, shalat sunnah, dan ibadah-ibadah lainnya. Setelah shalat fardhu, misalnya, salah seorang anggota yang telah ditunjuk pada saat musyawarah dipersilahkan untuk memberikan semacam ceramah singkat. Mereka menggunakan sebuah kitab tertentu dan membacanya di hadapan Jama’ah. Kitab tersebut berisi tentang keutamaan amal perbuatan (fadhâ’il al-a’mâl) dan keutamaan para sahabat. Biasanya, terutama setelah shalat shubuh dan setelah ceramah, para anggota dianjurkan membaca surat Yâsin. Para anggota juga dianjurkan untuk tidak berada di luar masjid, kecuali jika melakukan jaulah atau jika ada kebutuhan duniawi yang mendesak. Tetapi, jika seorang anggota ingin keluar, maka ia harus meminta izin kepada seorang amir dan memberikan alasan-alasan. Biasanya usulan dan alasan untuk keluar tersebut diajukan pada saat musyawarah.

Dalam khurûj pula peran-peran yang berbeda diberikan kepada semua anggota tabligh. Konsep yang paling penting dalam peran tabligh dan pemikiran tablighi secara umum adalah konsep “khidmat” (pelayanan). Idealnya, peran-peran tersebut dalam waktu khurûj dapat berubah sehingga seorang yang sama dapat pula kadang-kadang menjadi pendakwah pada satu waktu, atau menjadi seorang pemasak atau pembersih dalam waktu yang lain.

Dalam melakukan dakwah, prinsip yang berada di belakang Jama’at Tabligh adalah bahwa semua Muslim dapat mengajarkan kepada saudaranya yang lain nilai-nilai dan praktik-praktik Islami utama, dan bahwa proses pengajaran kepada yang lain tersebut akan membantu mereka untuk lebih belajar dan meyempurnakan praktik-praktiknya sendiri. Mereka dianjurkan untuk mengajarkan pesan dakwah yang secara umum berisi enam prinsip. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi ideologi gerakan ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah:[22]

Pertama, setiap Muslim harus dapat membaca syahadat secara benar dalam bahasa Arab dan mengetahui maknanya. Idenya adalah menegaskan tauhid dan menolak segala bentuk tuhan selain Allah, dan menegaskan kepatuhan kepada Nabi Muhammad saw.

Kedua, seorang Muslim harus mempelajari bagaimana melaksanakan shalat secara benar dan sesuai dengan ritual-ritual yang telah ditentukan. Karena shalat menjadi barometer kesalehan seorang. Jika shalatnya baik dan benar, maka seluruh amal perbuatan yang lainnya akan baik. shalat juga dipahami sebagai fondasi dari agama, apabila meninggalkan shalat, otomatis akan memperlemah bagunan agama tersebut.

Ketiga, seorang Muslim tidak dapat menyatakan sebagai seorang Muslim yang sejati kecuali jika ia memiliki pengetahuan (‘ilm) tentang ajaran-ajaran dan praktik-praktik fundamental dari agama Islam. Seorang Muslim juga harus sering melakukan dzikir supaya dapat memasukkan ke dalam dirinya secara rutin dan berulang-ulang kebiasaan mengingat Allah setiap saat. Untuk pengetahuan keagamaan mendasar, seorang Tablighi diharuskan membaca tujuh esai yang telah ditentukan, yang ditulis oleh Mawlana Muhammad Zakariya, seorang ulama hadits terkenal di Madrasah Saharunpur dan seorang pendukung awal gerakan ini. Esai-esai tersebut sekarang dikumpulkan ke dalam satu jilid buku dengan judul, Tablîghi Nisâb (Kurikulum Tablighi). Kumpulan esai tersebut berisi cerita-cerita para sahabat, keutamaan shalat, dzikir, haji, salawat kepada Nabi, dan juga membaca Al-Quran. Buku ini ditulis dalam bahasa Urdu yang sederhana, dan ditulis berdasarkan pada sebagian besar tradisi dan anekdot sejarah yang memberikan inspirasi. Dengan sedikit perubahan, buku ini menjadi bahan dasar untuk melakukan dakwah oleh misionaris Tablighi. Ia harus diberikan dan dikuasai sebelum keliling untuk berdakwah. Disamping itu, setiap Muslim didorong untuk belajar bagaimana membaca Al-Quran dengan tajwid dan makhraj yang benar.

Keempat, setiap Muslim diharuskan bersikap sopan dan hormat kepada saudaranya sesama Muslim (ikrâm al-mu’minîn, menghormati orang Muslim). Ide ini tidak hanya kewajiban agama tetapi juga prasyarat dasar untuk efektifnya aktivitas dakwah Tablighi. Mawlana Ilyas sering mengatakan kepada pengikutnya bahwa sikap sopan, perilaku yang sederhana, dan pembicaraan yang simpatik akan lebih dapat menarik banyak simpati daripada orasi-orasi ilmiah dan kemampuan retorika.

Kelima, seorang Muslim harus senantiasa memasukkan kejujuran dan keikhlasan niat (ikhlâs al-niyyat) dalam segala tindakannya. Segala sesuatu harus dilaksanakan demi mencari keridhaan Allah. Karena dengan keihklasan niat, segala bentuk praktik ibadah akan diterima oleh Allah.

Dan yang terakhir, yang membentuk ciri yang berbeda dan aspek inovatif pendekatan Jama’at kepada aktivitas dakwah Islam adalah berkenaan dengan formasi kelompok kecil para pendakwah sukarela yang bersedia meluangkan waktu dan berpergian dari satu tempat ke tempat yang lain menyebarkan dakwah (al-da’wah ilâ Allâh wa al-khurûj fî sabîl Allâh). Bagi Maulana Ilyas, dakwah tidak hanya mutlak milik para ulama profesional, melainkan kewajiban bagi setiap muslim. Karena itu, setiap muslim mesti menyediakan waktu dan mengosongkan diri dari pencarian duniawi agar dapat keluar “mengikuti langkah-langkah Nabi dan berdakwah dari pintu ke pintu, dari kota ke kota, dan dari negara ke negara” demi mencari keridhaan Allah. Masyarakat biasanya diminta untuk secara sukarela melakukan "chilla" (empat puluh hari berdakwah) yang dianggap sebagai batas maksimum bagi anggota baru untuk berdakwah. Mereka yang tidak dapat meluangkan waktu empat puluh hari, mungkin dapat meluangkan waktu sehari dalam seminggu, atau tiga hari dalam sebulan, atau empat puluh hari setahun. Empat bulan perjalanan berdakwah adalah syarat minimum yang mesti dipenuhi setiap anggota.

Keenam prinsip ini menjadi fondasi ideologi Jama’at dan harus dilaksanakan secara ketat oleh semua anggota. Mawlana Ilyas kemudian menambahkan satu peraturan lain, meminta anggota untuk tidak menghabiskan waktu dalam percakapan-percakapan yang tak berguna serta tidak jelas tujuannya, dan menjaga diri mereka dari perbuatan-perbuatan yang dilarang. Semenjak awal tahun 1926, Jama‘at Tabligh ini mengalami perkembangan yang fenomenal. Mawlana Ilyas kemudian digantikan oleh puteranya Mawlana Muhammad Yusuf (1917-1965) sebagai pimpinan Jama‘at. Selama kepemimpinan Maulana Yusuf-lah aktivitas Jama’at menyebar melampaui Mewat dan meliputi sebagian besar India. Segera setelah itu, misi-misi Tabligh mulai merambah ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, Eropah, dan Amerika. Sejak itu, kekuatan “jumlah” gerakan ini berkembang pesat meskipun tidak ada keanggotaan atau pendaftaran formal yang bersifat baku.

Jama’at Tabligh di Indonesia

Jama’at Tabligh di Indonesia diperkirakan muncul dan berkembang semenjak tahun 1952. Perkembangannya begitu mengesankan dengan jumlah anggota yang tersebar di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Di Jakarta, pusat berkumpul anggota Jama’at Tabligh adalah di Masjid Kota di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Semua anggota Tabligh dari seluruh dunia jika datang ke Indonesia, biasanya akan mampir di masjid ini. Anggota Tabligh berkisar dari mereka yang kurang berpendidikan (uneducated) sampai berpendidikan tinggi (highly-educated), dari orang yang kurang secara finansial (the have-nots) sampai orang kaya (the haves). Yang membuat mereka tertarik mengikuti kegiatan tablighi adalah kesedehanaan dan praktikalitas ajaran yang disampaikan dalam organisasi ini. Sementara, terutama bagi mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi membutuhkan suatu siraman rohani yang bisa memenuhi kebutuhan spiritualnya, dan mereka merasa nyaman dengan ajaran yang dibawa dan disampaikan oleh anggota Tabligh.

Di Yogyakarta, pusat kegiatan Tabligh berada di Jalan Kaliurang Km 5 di Masjid Al-Ittihad, Sleman Yogyakarta. Para anggota yang datang biasanya tidak hanya berasal dari kota Yogyakarta, tetapi juga dari berbagai daerah. Mereka yang melakukan khurûj bervariasi baik dari segi etnik, status ekonomi, dan pendidikan. Kendati demikian, hal itu tidak menjadi halangan buat penguatan iman dan membangun solidaritas kelompok. Masing-masing dari mereka sangat bersahabat dan membantu. Mereka berpakaian gamis dan jubah sebagai simbol identitas kolektif, yang mereka percaya sebagai suatu cara ittibâ’ al-rasul atau mencontoh perilaku berpakaian Rasul. Mereka sangat menjaga adab, baik dalam berbicara, menelaah agama, membaca Al-Quran, makan dan minum, berjalan, dan segala aktivitas-aktivitas lainnya. Bagi mereka, segala aktivitas harus bersandar pada apa yang dilakukan Rasul dan para sahabatnya. Untuk tujuan ini, mereka selalu menelaah suatu kitab Fadhâ’il al-A’mâl yang dikarang oleh Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, tanpa bersikap kritis terhadap validitas atau kesahihan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut.

Jika diperhatikan dengan seksama, apa yang dilakukan oleh Jama’at Tabligh di kota Yogyakarta sama dengan seluruh anggota Jama’at Tabligh di seluruh dunia. Disini nampak ada suatu ikatan yang kuat yang menyatukan identitas kolektif mereka. Perbedaan mazhab dalam masalah fiqih tidak menghambat aktivitas gerakan ini. Apa yang dilakukan oleh Jama’at Tabligh di India, Australia, Malaysia, dan berbagai negara lainnya, sama dengan yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Jaringan yang dibangun oleh asosiasi ini sangat kuat dan meluas melewati batas wilayah dan suku bangsa.

Faktor-faktor Penyebab Sikap “Apolitis” Jama’at Tabligh Yogyakarta

Dari hasil pembicaraan dengan para anggota Jama’at Tabligh di Yogyakarta, beberapa alasan yang menyebabkan mereka tidak mau terlibat aktif dalam permasalahan politik secara umum adalah alasan-alasan yang lebih bersifat teologis-normatif. Alasan teologis berupa pernyataan bahwa keterlibatan dalam politik lebih akan membawa kepada menjauhnya mereka dari Tuhan. Membicarakan politik dianggap sebagai suatu yang dapat membawa kepada debat dan konflik, terlebih-lebih apabila terlibat ke dalam politik praktis. Padahal Al-Quran menganjurkan agar menghindari debat yang tak mengandung hikmat serta menghindarkan konflik yang berpotensi memecah belah umat. Membicarakan masalah-masalah politik lebih dekat kepada “dosa” daripada pahala, dan juga termasuk ke dalam kategori “menghabiskan waktu” (waste of time) dalam pembicaraan yang kurang bermanfaat. Idealnya, menurut mereka, waktu harus digunakan semata-mata untuk kepentingan dakwah dan penguatan iman dengan banyak melakukan ibadah dan dzikir sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Karena hanya iman dan syariat-lah yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Untuk tujuan ini, masyarakat Muslim harus diarahkan kepada pembinaan iman dan akhlak sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota Jama’at Tabligh tentang sikap abstain mereka dari politik juga dapat dimasukkan dalam kategori politis, sekalipun mereka mendasari kepada alasan yang bersifat teologis-normatif. Kata “politik” diartikan sebagai “segala aktivitas yang berkaitan dengan perolehan kekuasaan” (any activity concerned with the acquisition of power).[23] Secara kebahasaan, kata power mengandung konotasi “kemampuan”, “kekuasaan”, “pengaruh” (mencakup politik, finansial, sosial, dan sebagainya), “kontrol”, dan “dominasi”.[24] Dalam pengertian ini, semua gerakan sosial keagamaan memiliki kecenderungan untuk merebut simpati dan memberikan pengaruh serta keinginan mendominasi baik dalam pengertian sosial, spiritual, politik, keagamaan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sekalipun gerakan Jama’at Tabligh tidak memproklamirkan diri sebagai gerakan politis, tetapi secara tidak langsung telah melakukan tingkahlaku dan aktivitas politik.

Salah satu yang mengindikasikan sikap “politis” gerakan ini juga adalah sikap “diam” terhadap permasalahan perpolitikan baik pada tingkat global maupun lokal. Hal ini dapat dimasukkan ke dalam kategori “quietism”, sebuah bentuk kepasifan dan ketenangan pikiran dalam menghadapi masalah-masalah eksternal, termasuk politik. Sikap “diam” ini sebenarnya bukanlah sebuah sikap yang tanpa makna, tetapi sikap “diam” juga merupakan sebuah sikap politik yang mengandung makna yang sangat mendalam. Karena dalam sikap diam ini, terdapat muatan-muatan untuk mendapatkan simpati dan pengaruh, yang pada akhirnya membawa kepada dominasi. Satu contoh yang menarik dari sikap fasif dan diam dalam perpolitikan adalah sebuah sikap diam yang pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi dengan konsep ahimsa (nir-kekerasan).

Gerakan yang dilakukan oleh Jama’at Tabligh dalam membangkitkan keimanan umat Islam dan memperkukuh religio-kultural identitas umat Islam juga bersifat politis. Hal ini terkait dengan politik identitas yang ada dalam setiap gerakan keagamaan. Gerakan Jama’at Tabligh ternyata mempertahankan suatu identitas kolektif yang menekankan kepada praktik-praktik seperti yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat. Tetapi pemahaman mereka terhadap hal ini cenderung “literalis”. Identitas kolektif yang melekat dalam organisasi Jama’at Tabligh mendorong mereka untuk mengkoordinasikan suatu tindakan, membuat perbedaan-perbedaan dan karakteristik-karakteristik manusia ideal menurut perspektif mereka, yang secara perlahan, hal ini membawa kepada “gerakan sosial berbasis identitas” (dalam pengertian, isolated, cohesive communities of meaning).[25] Penekanan kepada perubahan moral individu dan masyarakat tanpa bersikap kritis kepada kekuasaan yang ada memasukkan gerakan ini, menurut kategori Turner dan Killian, ke dalam participation-oriented movement yang mengambil bentuk passive-reform movement. Atau menurut kategori Berle, gerakan ini masuk ke dalam kategori redemptive movement.

Lebih dari itu, meskipun menerapkan kebijakan gerakan non-politis, sikap “apolitis” ini jelas memiliki konsekuensi politis yang penting. Di India, misalnya, pandangan Jama’at bahwa agama ada dalam bidang privat seorang individu berimplikasi pada penerimaan sekularisme di kalangan Muslim India. Jama’at tumbuh subur dalam politik sekular dan, pada gilirannya, memberikan dukungan dan legitimasi kepada sekularisme melalui doktrin ini. Di Pakistan, Bangladesh, Turkey dan Malaysia, pandangan dan sikap seperti ini menghilangkan minat politik sejumlah besar umat Islam dengan mengalihkan mereka menjadi aktivis dakwah yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain (itinerant preachers). Maka, melepaskan diri dari bagian segmen keagamaan yang penting menuju segmen non-politis cenderung sangat melemahkan kekuatan dan usaha-usaha kelompok politik keagamaan, seperti Jama‘at Islami, untuk memperluas rekruitmen serta basis sosial dukungan mereka.

Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota Tablighi adalah politik merupakan sebuah cara yang “kotor” yang hanya dapat menjauhkan mereka dari Tuhan. Diskursus tentang politik juga dianggap sebagai usaha yang hanya menghabiskan waktu, yang seharusnya digunakan untuk memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Alasan tersebut lebih bersifat normatif-teologis. Alasan yang mendasari sikap abstain anggota Tablighi dalam dunia perpolitikan juga memiliki muatan dan implikasi politis yang signifikan. Muatan tersebut secara tersembunyi adalah masalah penjagaan dan pemeliharaan terhadap identitas kolektif (collective identity), yang secara perlahan akan membawa kepada “gerakan sosial” sekalipun dalam pengertian hanya membawa pada perubahan kepada individu secara moral. Disamping itu, implikasi dari sikap abstain tersebut adalah kemungkinan adanya pengurangan perolehan suara dalam pemilihan umum, terutama perolehan suara bagi partai-partai Islam. Dan ini juga secara tidak langsung berpotensi “memperlemah” kekuatan partai-partai Islam.



[1] Ini berbeda dengan gerakan Jama’at Islami yang ada di Pakistan yang sangat concern dengan masalah politik. Gerakan ini didirikan oleh seorang tokoh revivalis yang bernama Abu al-‘A’la al-Mawdudi (w. 1979). Gerakan ini dibentuk untuk menyaingi Liga Muslim yang dianggap sebagai entitas sekularis. Islam dalam pandangan gerakan ini adalah suatu ideologi holistik dan menjanjikan suatu tatanan utopis yang dibangun di dunia temporal. Ia mendorong umat Islam untuk memulai sebuah revolusi Islam, yang membentuk masyarakat dan politik sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, seperti yang ditafsirkan oleh Al-Mawdudi (John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern [terjemah], Cet. ke-1, Jilid 3, Bandung: Mizan, 2001, 42)

[2] Dikutip dalam ST. Sunardi, Nietzsche, Cet. ke-3, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 50.

[3] Ibid.

[4] Gordon Marshall, Oxford Dictionary of Sociology, Cet. ke-2, (Oxford, New York: Oxford University Press, 1998), 280.

[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar, (Jakarta: Gramedia, 1987), 20.

[6] Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Cet. ke-1, (Jakarta: Rineka Putra, 2001), 8.

[7] Pierre Bourdieu, Les Structures Sociales de l’économie, (Paris: Seuil, 2000), 63.

[8] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), 64-6.

[9] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), 304.

[10] A. Meluci, Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society, (Philadelphia: Temple University Press, 1989), 60.

[11] Ralph Turner dan Lewis Killian, Collective Behaviour, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1957).

[12] Frank N. Magill, International Encyclopedia of Sociology, Vol. 2, (London, Chicago: Salem Press), 1244; Marshal, Dictionary, 166.

[13] Barbara Metcalf, “Islam and Women: the Case of the Tablighi Jama`at”, SEHR, Vol. 5, No.1, Contested Polities, 1996. http://www.stanford.edu/group/SHR/5-1/text/metcalf.htm.

[14] Mumtaz Ahmad, “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jamaat-i Islami and the Tablighi Jamaat” dalam Fundamentalism Observed, ed. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, ((Chicago: University of Chicago Press, 1991).

[15] Barbara Metcalf, “Remaking Ourselves: Islamic Self- fashioning in a Global Movement of Spiritual Renewal," dalam Accounting for Fundamentalisms, Martin Marty and Scott Appleby (eds), (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

[16] Ahmad, Islamic, 511.

[17] Ibid.

[18] Barbara D. Metcalf, “Aktivisme Islam Tradisionalis: Deoband, Tablig dan Talib” dalam Dick van der Meij (ed), Dinamika Kontemporer dalam Islam Masyarakat Islam, (Leiden-Jakarta: INIS, 2003), 146.

[19] Karl Mannheim, Ideology and Utopia, (London: Routledge & Kegan Paul, 1936)

[20] Barbara, Aktivisme, 146

[21] Dalam mencapai pencarian spiritualnya, Ahmad Sirhindi mengangkat konsep wahdah al-syuhûd (kesatuan kesaksian) yang lebih menekankan kepada awal di dunia daripada merenungkan akhirat: orang Islam harus berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan wahyu Tuhan di muka bumi. Inilah yang kemudian mendasari keterlibatan Sirhindi dalam kekuatan politik dan penekanannya pada aspek ortodoksi.

[22] John L. Esposito (ed), Ensiklopedi, 36-8.

[23] Marian Makins (ed), Collins Concise English Dictionary, Edisi ke-3, (England: Harper Collins, 1995), 1034.

[24] Ibid., 1049.

[25] Michael J. Piore, Beyond Individualism, (Cambridge: Harvard University Press, 1995).

Tidak ada komentar: