Selasa, 02 Desember 2008

Ulama dan Gerakan Islam Transformatif

ULAMA DAN GERAKAN ISLAM TRANSFORMATIF

Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc*

Pendahuluan
Dalam masyarakat Muslim Indonesia, ulama merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menempati posisi penting dan istimewa. Pentingnya posisi ini dapat dilihat dengan penghargaan, penghormatan dan kepatuhan masyarakat terhadap para ulama. Hal ini dikarenakan oleh adanya kharisma para ulama yang biasanya ditandai dengan kelebihan dalam ilmu-ilmu spiritual keagamaan dan moral-etika. Kharisma yang melekat dalam diri ulama ini yang membuat masyarakat memberikan legitimasi dan hak istimewa kepada para ulama. Dalam kehidupan bermasyarakat, para ulama ini memiliki otoritas tradisional untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat. Kepatuhan masyarakat tidaklah berdasarkan pada paksaan, tetapi lebih pada kesadaran dan kesepakatan bersama (consent).

Secara historis, tidak bisa dinafikan bahwa peran ulama dalam melakukan gerakan sosial dan protes terhadap sesuatu yang dianggap merusak moral dan tatanan sosial adalah sangat besar, seperti gerakan purifikasi yang dilakukan oleh Imam Bonjol di wilayah Sumatera Barat yang berusaha menghancurkan praktik-praktik atau tradisi masyarakat saat itu yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal yang sama juga terjadi pada Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda, yang mana Belanda dianggap sebagai kekuatan kafir yang bisa mengancam dan merusak tatanan moral dan sosial masyarakat.

Disisi lain, ulama seringkali dijadikan alat untuk mempertahankan status quo. Eksistensi dan peran mereka bisa menjadi “bumerang” bagi kehidupan bermasyarakat. Ulama seperti ini adalah mereka yang menggunakan kemampuan agamanya untuk melakukan manipulasi dan kooperasi dengan kekuasaan demi kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam bahasa Abû Hâmid Muhammad Al-Gazzâlî,[1] ulama seperti ini disebut dengan 'ulamâ al-sû’ (ulama jahat), yang merupakan lawan dari 'ulamâ al-âkhirah. Satu contoh yang representatif adalah eksistensi sebagian ulama Shi’ah di Iran sebelum revolusi yang terjadi pada tahun 1970, yang dengan dalih mempertahankan hak kepemilikan tanah, bergandengan tangan dengan pemerintah Shah Pahlevi untuk menghancurkan gerakan Babisme-Baha’i, dengan alasan bahwa propaganda kaum Baha’i berkenaan dengan pembagian yang merata tentang kepemilikan tanah serta pernyataan mereka bahwa kaum miskin telah membuat kaum kaya menjadi lebih kaya, dianggap telah mencemarkan ajaran Islam. Konflik terjadi antara ulama yang memiliki status sosial ekonomi yang mapan dengan kelompok tertindas yang didukung oleh ulama yang miskin secara finansial.
Dari fenomena seperti ini, tampak bahwa “ulama” pada satu sisi bisa menjadi suatu kekuatan untuk melakukan gerakan protes sosial, tetapi pada sisi lain, ulama bisa juga menjadi sesuatu kekuatan yang berusaha mempertahankan status quo demi kepentingan diri dan kelompoknya. Tulisan ini berupaya meneropong secara sosiologis peran ulama dalam melakukan gerakan perubahan sosial-kemasyarakatan yang transformatif.
Siapa Ulama itu?
Ulama adalah istilah yang terambil dari bahasa Arab dan merupakan bentuk plural dari kata ‘âlim yang berarti “orang pandai dalam pengetahuan agama Islam”.[2] Dalam terminologi agama, kata ini lebih dinisbatkan kepada “pengetahuan keagamaan”[3] daripada pengetahuan non-agama, sekalipun ada pendapat bahwa mereka yang memiliki ilmu-ilmu sains murni selama keilmuan tersebut dapat semakin menambah rasa takwa mereka kepada Allah dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah yang diberikan kepada “ulama” sangat beragam. Di Jawa, biasanya dikenal dengan sebutan Kiayi, dalam masyarakat Betawi Muallim, di Tanah Sunda Ajengan, di Aceh Teungku, di Lombok Tuanku Guru, di Sulawesi Selatan Anre Gurutta, di Sumatera Barat Buya, dalam masyarakat Banjar Tuan Guru, dan lain sebagainya. Tetapi yang mengikat dari semua kata ini adalah bahwa mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama dengan penguasaan yang baik atas kitab-kitab kuning, moralitas-akhlak yang agung, dan kesadaran ketuhanan yang tinggi. Jadi, dengan ketiadaan semua ini, seseorang sulit masuk ke dalam kategori “ulama”. Dalam Alquran, Allah berfirman: “Di antara hamba-hamba Allah yang punya rasa khasyyah kepada-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)

Kata khasyyah mengandung konotasi adanya kesadaran ketuhanan yang tinggi. Dengan adanya kesadaran ini, sikap dan perilaku seseorang, baik dalam tataran personal maupun sosial-kemasyarakatan, disesuaikan dengan prinsip-prinsip univeral Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Sementara itu, Alquran, yang didukung dengan bukti-bukti historis kehidupan Nabi, menekankan kebahagiaan dan kesuksesan pada berpegang kepada habl min Allâh (kecerdasan spiritual) dan habl min al-nâs (kecerdasan sosial). Maka, singkatnya, seorang baru dikatakan “ulama” jika menyatu dalam dirinya kesadaran ilahiah (kecerdasan spiritual dan emosional) dan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.

Ulama sebagai Penggerak Islam Transformatif
Ulama, karena kapasitas keilmuan yang dimiliki, dimasukkan ke dalam kelompok man-elite atau intelektual. Dalam ilmu-ilmu sosial, ada tiga teori berkenaan dengan timbulnya intelektual. Pertama, teori intellectuals as class in themselves (intelektual sebagai kelas tersendiri) yang dikemukakan oleh Julien Benda.[4] Menurut Benda, intelektual membentuk kelas dalam diri mereka sendiri. Kelas ini tidak terbentuk karena adanya relasi dengan alat-alat produksi. Kelas ini juga menganggap bahwa kepentingan mereka sejalan dengan kepentingan seluruh masyarakat. Singkatnya, mereka terlepas dari berbagai kepentingan-kepentingan yang sempit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat material.

Teori kedua adalah intellectuals as class-bound (intelektual yang terikat dengan kelas), yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Bagi Gramsci, setiap kelompok masyarakat muncul berdasarkan tempat asal dimana ia melakukan fungsi-fungsi dalam dunia ekonomi, yang kemudian membentuk secara organik strata-strata intelektual, dan lalu memunculkan kesadaran akan fungsinya tersebut tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Menurut Gramsci, kaum borjuis menciptakan intelektual-intelektual mereka sendiri, begitupula dengan kelompok proletar. Dan yang terakhir, adalah teori intellectuals as classless (intelektual sebagai kelompok tak berkelas) yang dikemukakan oleh Karl Manhein. Dalam pandangan ini, intelektual tidaklah membentuk sebuah kelas tersendiri, tetapi merupakan sosok yang independen.

Berdasarkan ketiga teori di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa ulama di Indonesia bisa masuk ke dalam tiga teori di atas. Ada ulama yang timbul dari kelas atau organisasi tertentu, seperti ulama yang lahir dari rahim organisasi NU atau Muhammadiyah; atau ada ulama yang tidak terikat dengan kelas, dan ulama yang kemudian membentuk kelas tertentu.
Idealnya, ulama seharusnya tidak terikat dengan kelas atau organisasi tertentu yang hanya memiliki kepentingan-kepentingan temporal. Sebaliknya, ulama harus membentuk sebuah kelas tersendiri yang mampu melakukan pemberdayaan bagi kelompok-kelompok tertindas atau kelompok yang mengalami ketidakadilan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Dalam hal ini, dengan meminjam istilah Gramsci, ulama merupakan “intelektual organis” (organic intellectual) yang peka terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan dan berani melakukan oposisi dan counter atas kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung rakyat kecil dan menciptakan ketidakadilan dan penindasan.

Untuk itu, orientasi Islam yang diusung oleh ulama dalam melakukan perubahan-perubahan dan pemberdayaan terhadap masyarakat yang tertindas semestinya adalah Islam yang berorientasi-transformatif. “Islam Transformatif” tidak mengandaikan Islam sebagai cetak biru (blue print), tetapi sebagai kekuatan simbolik yang mempunyai makna-makna pembebasan untuk memberi arah keadilan sosial.[5] Ia memberikan dorongan dan arah agar ada kekuatan resistensi secara kolektif, supaya sejarah yang tidak adil bisa berubah melalui perlawanan yang terus menerus, karena adanya kontrol moral yang kritis terhadap proses degradasi kemanusiaan. Kepedulian yang paling mendasar adalah terbangunnya kekuatan counter-hegemony yang merupakan artikulasi dari ragamnya kaum kelompok tertindas atau mustadh'afîn (the deprived, al-mahrûmîn).[6]

Di samping itu, obsesi Islam Transformatif adalah menganalisis penyebab, misalnya kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran umat, dari sudut pandang struktural.[7] Dan ini berbeda dengan kebanyakan kelompok Islam modernis yang menekankan adanya “kesalahan” dalam berteologi selama ini. Kemiskinan dan keterbelakangan dalam pandangan Islam transformatif tidak disebabkan oleh faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap.”[8]

Secara metodologis, Islam Transformatif tidak memisahkan teologi dari analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis, dari kritik ideologis ke kritik tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam praksis sosial sebagai praksis teologis.[9] Dalam kasus mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan misalnya, proses pemerataan ekonomi hanya dapat mungkin dilaksanakan secara efektif jika prakondisi sosial yang mutlak, terutama kelembagaan dan struktur sosial diwujudkan terlebih dahulu. Tujuannya adalah mentranformasikan alokasi sumber daya sehinga dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan rakyat banyak. Untuk itu, dicari faktor-faktor eksternal seobyektif mungkin, seperti diantaranya, pertumbuhan ekonomi yang ternyata menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin, tingkat pengangguran yang tinggi, proses industri yang bergantung kepada modal dan teknologi asing yang tinggi, kebijakan pembangungan yang menciptakan penderitaan kepada rakyat kecil.[10]

Untuk itu, ulama “transformatif” dapat memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi, dominasi teknologi, dominasi makna, yang disadari ataukah tidak, telah menjadi bagian dari ideologi developmentalisme yang menekankan pada “pertumbuhan plus”, yang malah kontra-produktif buat kelompok miskin. Lalu, ulama “transformatif” melihat sejauhmana Allah berbicara kepada manusia tentang situasi yang tidak manusiawi ini. Kemudian, mereka merumuskan konsep-konsep pengentasan kemiskinan dan ketertindasan dengan berpijak kepada visi-visi keadilan universal yang ditekankan oleh Alquran. Salah satu bentuk penghilangan kemiskinan dan pemerataan yang ditawarkan oleh Alquran, salah satunya adalah zakat. Tetapi sayangnya mekanisme pengumpulan dan pendistribusian serta pengelolaan zakat tidak berjalan optimal, tidak sesuai dengan tujuan zakat sebagai salah satu bentuk pengentasan kemiskinan. Ini terbukti dengan fakta bahwa kemiskinan sebagian besar oleh dialami umat Islam sendiri, dan tidak ada perubahan bahwa kemiskinan yang dialami oleh mereka dari tahun-tahun mengalami penurunan. Apa sebenarnya yang salah? Tentu tugas ulama lah yang mencoba merumuskan ulang dan mendesain kembali mekanisme pengumpulan, pendistibusian dan pengelolaan zakat yang berkeadilan dan sesuai dengan spirit Islam dan tujuan zakat.

Khatimah
Eksistensi dan peran ulama akan semakin diperhitungkan oleh masyarakat jika mereka memposisikan diri sebagai kelas atau kekuatan yang melakukan gerakan-gerakan radikal demi perubahan ke arah berkeadilan bagi masyarakat. Ulama tidak semestinya bersikap akomodatif-buta terhadap berbagai kebijakan pemerintah, tetapi sebaliknya, harus bersikap kritis dan memihak kepada kelompok tertindas dan yang mengalami ketidakadilan. Dengan sikap seperti ini, maka mudah-mudahan mereka dapat masuk ke dalam kategori yang dibuat oleh Al-Gazali, yaitu 'ulamâ al-âkhirah, suatu tipe ideal ulama yang memiliki kesadaran ilahiah dan komitmen moral yang tinggi.

* Penulis adalah alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI DKI Jakarta Angkatan III dan PKU MUI Pusat Angkatan VII dan Dosen STAIN Datokarama Palu.
[1] Abu Hamid Muhammad Al-Gazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr
[2] D. B. McDonald, “Ulama” dalam M.Th. Houtma, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill, 1987), 994.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 30.
[4] Julien Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, (Jakarta: Gramedia, 1999).
[5] Moeslim Abdurrahman, “Multikulturalisme, Tauhid Sosial, dan Gagasan Islam Transformatif”, Makalah Halaqah Tarjih Menuju Muslim Berwawasan Multikultural, Surakarta, (16-18 Januari, 2004), 6.
[6] Ibid., 8.
[7] Ibid., 336.
[8] Lihat Mansour Fakih, “Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, tt), 165-177.
[9] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 337; lihat J.L. Segundo, Liberation of Theology, (Dublin, Gill and McMillan, 1977), 8-9.
[10] Rachman, Islam, 338-9.

Tidak ada komentar: