Senin, 01 Desember 2008

Rekonstruksi Maqasid Shari'ah (Najm al-Din al-Tufi)

Rekonstruksi Maqâsid Syarī'ah:
Meneropong pemikiran Najm al-Din al-thufi

Rusli *

Abstract
Discourse on maqâsid al-syarî'ah is highly important within Muslim community. Many scholars have already dealt with this important issue. Among them is Najm al-Din al-Thufi. According to this scholar, maslahah is a very basic tool in analysing matters related to mu'âmalah. In this case, reason (`aql) plays a vital role. However, in field of worship, there is no room for reason to enter. It is the right of God to determine it.

Kata Kunci: maqâsid al-syarî`ah, maslahah, mu'âmalah
 I. Pendahuluan
Nalar manusia mengakui bahwa semua ajaran agama yang ada di bumi ini pasti memiliki pesan-pesan khusus yang khas dan unik. Pesan-pesan tersebut pada umumnya bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan bagi para pengikut agama tersebut baik di dunia ini maupun di akhirat, dan menghilangkan segala penderitaan dan kesengsaraan mereka. Dalam bahasa Arab, pesan-pesan dasar dan khusus ini disebut dengan maqâsid, yang mengandung pengertian “maksud dan tujuan” ditetapkannya aturan-aturan oleh masing-masing agama.
Sebagaimana agama-agama yang lain, Islam juga memiliki pesan dan tujuan khusus, yang kemudian oleh para ulama dirumuskan menjadi maqâsid al-syarî'ah. Tujuan diturunkannya syariat Islam (maqâsid al-syarî'ah), sebagaimana disepakati oleh hampir semua ulama, adalah “menarik kemaslahatan dan menolak kemudharatan”. Rumusan ini merupakan temuan paling berharga yang pernah ditinggalkan oleh mereka, dan hampir dipastikan bahwa rumusan ini ada dalam kebanyakan kitab usûl fiqh. Fakta ini mengindikasikan signifikansi keberadaan teori maqâsid dalam pembahasan dan diskursus hukum Islam.
Untuk itu, banyak para ulama menulis karya yang mengulas teori maqâsid, baik dari kelompok ulama klasik hingga ulama kontemporer, seperti Muhammad Tahir bin 'Asyur,[1] atau beberapa ulasan kritis tentang teori maqâsid yang diformulasikan oleh tokoh-tokoh tersebut. Tulisan ini berupaya membuat ulasan tentang teori maqâsid dengan memfokuskan kepada al-Thufi, seorang yang begitu liberal dalam memformulasi teori ini. Namun, sebelumnya akan diulas tentang perkembangan teori ini dalam lintasan sejarah wacana hukum Islam.
II. Sketsa Historis Perkembangan Teori Maqâsid
Ismail al-Hasani[2] menyebutkan bahwa gagasan atau pemikiran tentang maqasid, entah dalam makna-makna yang tertulis atau prinsip-prinsip kemaslahatan, tampak pada dua tokoh terkenal dalam mazhab Syafi'i, yaitu Abu al-Ma'ali al-Juwaini[3] dan Abu Hamid Muhammad al-Gazzali.
Al-Juwaini, menurut al-Hasani, adalah tokoh terdepan yang memunculkan gagasan ini. Salah satu perkataannya yang terkenal yang merupakan bantahan atas pendapat al-Ka'bi, “Siapa pun yang tidak memahami adanya maqâsid pada perintah dan larangan, maka ia tidak memiliki pandangan tentang perumusan syariah.”[4] Kemudian, ia membagi prinsip-prinsip syariah ke dalam lima bagian: (1) prinsip-prinsip yang pengertian rasionalnya diinterpretasikan kepada hal penting yang menjadi fondasi kehidupan, seperti prinsip perlindungan atas jiwa, dan larangan menyerang atasnya. Ini menjadi dasar `illat wajibnya qisas dalam syariat. (2) Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan segala kebutuhan hidup yang umum, namun tidak sampai kepada batasan darurat. Prinsip ini menjadi `illat bagi transaksi yang legal. (3) Prinsip-prinsip yang tidak sampai kepada kategori primer (darûriyyât) atau kebutuhan (hâjiyyât, sekunder), namun ia masuk ke dalam spesifikasi makrûmât dan penjauhan dari kekurangan-kekurangan. (4) Prinsip-prinsip yang tidak berhubungan dengan yang primer (darûriyyât) dan sekunder (hâjiyyât), namun masuk ke dalam kategori mandûb (yang direkomendasikan). (5) Prinsip yang maknanya tidak kelihatan dan jarang ilustrasinya. Maksudnya adalah bahwa yang mendasar dari hukum-hukum syariat adalah rasionalitas maknanya, entah itu yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, adat kebiasaan, atau muamalah.[5]
Metode yang digunakan al-Juwaini dalam merumuskan lima prinsip di atas adalah melalui cara al-istiqrâ', yaitu meneliti hukum-hukum syari'at dalam masalah-masalah 'ibadah dan mu'amalah, lalu menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip ini tidak melebihi dari lima. Tujuan dari pembagian lima prinsip ini adalah menjelaskan mana yang boleh memberlakukan qiyas di dalamnya, dan mana yang tidak. Lima prinsip ini merepresentasikan maqâsid al-syarî`ah yang tidak tertulis. Menurut al-Juwaini, maqâsid al-syarî`ah dapat dibedakan ke dalam “maqâsid yang tertulis” (ghayr al-mansûs `alaihâ), yaitu prinsip lima yang telah disebutkan sebelumnya yang cara penetapannya melalui al-istiqrâ', dan “maqâsid yang tertulis” (al-mansûs `alaih), yang cara penetapannya melalui qarînah (koherensi). Qarînah ini dibagi oleh al-Juwaini ke dalam qarînah hâliyah (koherensi kontekstual), misalnya, merahnya wajah berhubungan secara kontekstual dengan rasa malu, namun demikian ia tetap tidak berlaku umum, karena boleh jadi muka merah tidak berhubungan dengan rasa malu; dan qarînah maqâliyyah (koherensi perkataan), yang bisa dibedakan ke dalam dua macam, yaitu pengecualian (istitsnâ') dan pengkhususan (takhsîs). Singkatnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa maqâsid al-syarî'ah dalam pandangan al-Juwaini dapat dibagi ke dalam dua macam, maqâsid al-syarî`ah yang tidak tertulis yang dapat ditemukan melalui istiqrâ' dan maqâsid al-syarî`ah yang terambil dari qarînah yang melekat dalam teks-teks agama.
Al-Gazzali, murid al-Juwaini yang brilian, membahas tentang teori maqâsid dalam bukunya yang terkenal al-Mustasfâ fî 'Ilm al-Usûl. Di sini, al-Gazzali membaginya ke dalam dua macam: maqâsid al-syarî'ah sebagai prinsip kemaslahatan (usûl maslahiyyah) dan maqâsid al-syarî'ah sebagai segi penunjukan dalil yang dituju (dilâlât maqsûdah). Yang pertama, al-Gazzali menekankan bahwa yang dimaksud dengan maslahah adalah pemeliharaan atas maksud dan tujuan Pembuat Hukum (Syâri') yang terdiri dari lima hal, yaitu penjagaan atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap yang mengandung pemeliharaan atas kelima prinsip ini, menurutnya, disebut maslahah. Dan sebaliknya, setiap yang mengancam dan menghilangkan prinsip-prinsip ini disebut mafsadah, sedangkan mencegah mafsadah ini merupakan maslahah.[6] Kelima prinsip ini berada pada tingkatan pertama dari urutan maslahah, yang disebut darûriyyât. Berikutnya adalah tingkatan hâjiyyât, dan diikuti dengan tahsîniyyât. Masing-masing tingkatan ini, menurut al-Gazzali, memiliki hal-hal yang menyempurnakannya (mukammilât).
Yang kedua, maqâsid al-syarî'ah sebagai segi penunjukan dalil yang dituju (dilâlât maqsûdah) terbatas hanya pada pembahasan tentang segi penunjukan teks-teks keagamaan, apakah termasuk teks-teks yang mengandung kemungkinan-kemungkinan atau tidak. Yang pertama tentu saja harus mengetahui format kebahasaan, sedangkan yang kedua tidak hanya menghendaki pengetahuan tentang format kebahasaan teks saja, tetapi juga qarînah untuk mengetahui makna yang dikehendaki. Di sini, al-Gazzali membagi qarînah tersebut ke dalam tiga: qarînah lafziyyah, qarînah 'aqliyyah dan qarînah hâliyyah.
Kemudian, ulasan tentang teori maqâshid dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya al-Mahsûl fi 'Ilm Usûl al-Fiqh, dan Saifuddin al-Amidi dalam al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm yang merupakan ringkasan dari kitab al-Mu'tamad karya Husain al-Bishri, al-Burhân karya al-Juwaini, dan al-Mustasfâ karya al-Gazzali. Kemudian, tokoh-tokoh yang juga dikenal sebagai pengulas teori maqâshid di antaranya adalah Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, dan juga Najm al-Din al-Thufi.

III. Najm al-Din al-Thufi: Sketsa Biografis
Nama lengkap tokoh ini adalah Abu al-Rabi Sulaiman bin Abd al-Qawi ibn al-Karim ibn Said. Nama al-Thufi dinisbatkan kepada kata Thufa, sebuah desa di wilayah Sarsara dekat kota Baghdad, tempat ia dilahirkan. Terkait dengan tahun kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan tahun 657 H, ada pula yang berpendapat tahun 675. Sementara wafatnya diperkirakan pada tahun 716 H (1318).
Secara sosiologis, kondisi masyarakat ketika al-Thufi dilahirkan berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Serbuan Mongol ke Baghdad membuat muram sketsa sejarah umat Islam, karena setelah itu umat Islam berada pada puncak kehancuran yang mengantarkan kepada kelemahan politik dan intelektual. Ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya stagnasi dalam tradisi keilmuan, terutama dalam bidang hukum Islam. Umat Islam tidak berani melakukan ijtihad yang mandiri, malah mereka mengembangkan sikap taklid dan fanatisme buta terhadap imam mazhab. Mereka hanya berputar pada persoalan-persoalan yang telah diulas oleh para ulama dahulu, memilah-milahnya, kemudian memilih pendapat yang kuat, tanpa berani melakukan terobosan hukum yang mandiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pada saat itu pembacaan teks masih berkutat pada qirâ'ah mutakarrirah (pembacaan yang repetitif), bukan qirâ'ah muntijah (pembacaan yang produktif).
Kondisi seperti ini membuat kegelisahan al-Thufi menjadi semakin memuncak, sehingga ia menggali ilmu secara mendalam terutama di wilayah-wilayah seperti Sarsari, Baghdad, Syiria, Kairo, dan lain-lain, yang kemudian membawanya menjadi seorang pemikir yang liberal. Pendidikan al-Thufi dimulai pada usia muda di mana ia mempelajari kitab fiqih Mukhtasar al-Khirâqî karya Umar bin Husain al-Khiraqi, dan mempelajari kitab al-Luma` yang karya Abu al-Fathi Usman bin Jani, yang membahas tentang ilmu nahw. Kemudian ia melanjutkan studi ilmu fiqih pada Syaikh Zainuddin Ali bin Muhammad al-Sarsari, seorang faqih mazhab Hanbali, ushul fiqih pada al-Nasr al-Faruqi, hadis pada al-Rasyid bin al-Qasimi, Ismail bin al-Tabbal, Hafiz Abd al-Rahman al-Hirani, dan Abu Bakr al-Qulanisi.
Di wilayah Syiria, tepatnya pada tahun 704 H, al-Thufi mengalami suatu pengalaman belajar yang menarik karena di wilayah ini lah pergulatan intelektual yang intensif di kalangan para pakar, terutama dalam bidang ilmu tafsir, hadis, dan juga fiqih, terjadi. Dari sini, ia melanjutkan perjalanan ke Mesir. Liberalisme pemikiran al-Thufi tampak bersinar seperti pada masa-masa sebelumnya, sehingga sebagai konsekuensinya ia harus mendekam di dalam penjara selama beberapa hari dan dihukum ta`zîr. Setelah melakukan perjalanan haji selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 714 H dan 715 H, al-Thufi kemudian meninggal dunia di Palestina pada 716 H.
Sebagai seorang pemikir besar, al-Thufi telah melahirkan berbagai karya yang luar biasa dalam berbagai bidang keilmuan, dari ilmu Al-Qur'an dan Hadis, teologi, fiqih, ushul fiqih, hingga bahasa dan sastera. Dalam bidang ilmu Al-Qur'an dan Hadis, ia menulis kitab seperti (1) al-Iksîr fî Qawâ'id al-Tafsîr; (2) al-Isyârât al-Ilâhiyyat ilâ Mabâhits al-Usûliyyah; (3) Îdâh al-Bayân `an Ma`nâ Umm al-Qur'ân; (4) Mukhtasar al-Ma`âlin; (5) Tafsîr Sûrat al-Qâf dan al-Nabâ'; (6) Jadl al-Qur'ân; (7) Baghiyyat al-Wâsil ilâ Ma`rifat al-Fawâsil; (8) Daf' al-Ta`ârud `ammâ Yuham al-Tanâqud fî al-Kitâb wa al-Sunnah; (9) Syarh al-Arba`în al-Nawâwiyyah; dan (10) Mukhtasar al-Turmizî.
Dalam bidang teologi seperti kitab-kitab (1) Baghiyyat As'il fî Ummahât al-Masâ'il; (2) Qudwat al-Muhtadîn ilâ Maqâsid al-Dîn; (3) Halâl al-`Aqd fî Ahkâm al-Mu`taqid; (4) al-Intisârât al-Islâmiyyah fî Daf` Syubhat al-Nasrâniyyah; (5) Dar` al-Qawl al-Qabîh fî Tahsîn wa al-Taqbîh; (6) al-Bâhir fî Ahkâm al-Bâtin wa al-Zâhir; (7) Radd `alâ al-Ittihâdiyah; (8) Ta`âliq `alâ al-Anâjil wa Tanâqudihâ; (9) Qasîdât fî al-`Aqîdah wa Syarhuhâ; dan (10) al-Azâb al-Wasîb `alâ Arwâh al-Nawâsib.
Sementara itu, dalam bidang bahasa dan sastera seperti: (1) al-Sa`qât al-Ghadabiyyah fî al-Radd `alâ Munkar al-`Arabiyyah; (2) Risâlâh al-`Uluwiyyât fî al-Qawî`id al-`Arabiyyah; (3) Ghaflat al-Mujtaz fî `Ilm Haqîqât wa al-Majâz; (4) Tuhfat Ahl al-Adab fî Ma`rifat Lisân al-`Arab; (5) al-Rahîq al-Salsal fî al-Adab al-Musalsal; (6) Mawâ'id al-Haisi fî aSyi`r Imri' al-Qays; (7) al-Syi`âr al-Mukhtâr `alâ Mukhtâr al-Asy'ar; (8) Syarh Maqâmât al-Harîrî; (9) Izâlat al-Ankâd fî Mas'alat al-Kad; (10) Daf` al-Mulâm al-Nahl al-Mantiq wa al-Kalâm.
Dalam bidang ushul fiqih, karya-karyanya adalah sebagai berikut: (1) Mukhtasar al-Rawdah al-Qudâmiyyah; (2) Syarh Mukhtasar al-Rawdah al-Qudâmiyyah; (3) Mukhtasar al-Hâsil; (4) Mukhtasar al-Mahsûl; (5) Mi`râj al-Wusûl ilâ `Ilm al-Usûl; (6) al-Dzarî`ah ilâ Ma`rifat Asrâr al-Syarî`ah. Sedangkan dalam bidang ilmu fiqih seperti, (1) al-Riyâd al-Nawâzir fî al-Asybâh wa al-Nazâ'ir; (2) al-Qaawâ'id al-Kubrâ; (3) al-Qaawâ'id al-Sugrâ; (4) Syarh Nisf Mukhtasar al-Khirâqî; (5) Muqaddimah fî `Ilm al-Farâ'id; (6) Syarh Mukhtasar al-Tibrizî.

IV. Maslahah dalam Perspektif al-Thufi
Secara kebahasaan, kata maslahah merupakan kosa kata dalam bahasa Arab yang secara harfiyah berarti “kebajikan” (salâh) dan manfaat (al-manfa'ah). Maslahah biasanya didefinisikan sebagai “sesuatu yang mengandung manfaat”. Lawan dari kata ini adalah mafsadah yang berarti “kerusakan”. Asal kata maslahat dan jenis-jenis turunannya yang identik dengannya dalam Al-Qur'an terhitung sekitar 267 tempat. Di antara 267 tempat itu, 62 kali dengan kata khusus al-sâlihât (kebajikan). Kadang-kadang kata maslahah juga dipakai dengan menggunakan kalimat al-naf' (kemanfaatan).[7]
Bagi orang yang mengamati syariat Islam, mereka akan mendapati bahwa syariat Islam itu berdiri di atas prinsip kemaslahatan, yaitu “menarik manfaat dan menolak kerusakan" (jalb al-masâlih wa dar' al-mafâsid). Bahkan dalam masalah-masalah ibadah mahdah sekalipun, pertimbangan maslahah menjadi muara juga, misalnya disyariatkan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar; disyariatkannya puasa untuk membentuk pribadi yang bertakwa; disyariatkan zakat untuk pensucian jiwa dan membantu orang-orang yang membutuhkan, dan seterusnya.
Prinsip atau asas maslahah ini mendapatkan justifikasi teologis-normatif dari teks-teks Al-Qur'an,[8] dan juga oleh Hadis Nabi, seperti diantaranya yang paling terkenal dan menjadi salah satu dari kaidah-kaidah fiqih yang terpenting, yaitu: لاضرر ولا ضرار (tidak membahayakan dan membalas dengan bahaya yang setimpal).
Dalam terminologi ushul fiqh, maslahah diartikan sebagai “menarik manfaat atau menolak mudarat”. Sedangkan al-Syatibi mendefinisikannya sebagai “sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan manusia dan kesempurnaannya, serta perolehan manusia atas sesuatu yang dituntut oleh hasrat-hasrat intelektualnya secara umum hingga ia dapat merasa nyaman secara mutlak.”[9] Izzuddin Abd al-Salam mengartikan maslahah sebagai “kebaikan dan kemanfaatan”, sedangkan mafsadat sebagai “kejahatan dan mudarat.”[10]
Sedangkan menurut penjelasan Said Ramadan al-Buthi,[11] maslahah dipahami sebagai “manfaat yang dikehendaki Allah buat hamba-Nya, seperti pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan….”. Dalam menentukan kemaslahatan, lanjut al-Buthi,[12] ada lima kriteria yang dapat digunakan:
1. Termasuk dalam klasifikasi tujuan-tujuan syariat, yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala hal yang menjaga lima unsur ini disebut dengan maslahah.
2. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
3. Tidak bertentangan dengan Sunnah.
4. Tidak bertentangan dengan Qiyas.
5. Memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting.
Terlepas dari uraian pengertian maslahah di atas, dalam pandangan al-Thufi, seperti tertulis dalam bukunya Syarh Mukhatasar al-Rawdah, maslahah secara umum diartikan sebagai “menarik manfaat atau menolak mudarat” [جلب نفع أو دفع ضرر].[13] Sedangkan, menurut kebiasaan, ia dipahami sebagai السبب المؤدي إلي الصلاح والنفع (sebab yang mengantarkan kepada kebaikan dan kemanfaatan).[14] Maslahah disini dipahami sebagai sarana penyebab bagi munculnya kemanfaatan. Sedangkan dalam pengertian istilahi, ia diartikan sebagai “sebab yang mengantarkan kepada tujuan-tujuan syariat baik ibadah maupun kebiasaan” [السبب المؤدي إلي مقاصد الشرع عبادة أو عادة].[15]
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa al-Thufi membagi maslahah ke dalam dua bagian: 'ibâdah dan mu'âmalah. Dalam kaitan yang pertama, lanjut al-Thufi, hanya Tuhan yang mengetahui apa tujuan yang dikehendakinya. Atau, dengan kata lain, bahwa ia merupakan hak prerogratif Tuhan dalam menentukan kemaslahatannya, dan akal tidak memiliki otoritas penuh untuk mengetahuinya.[16] Sedangkan dalam kaitannya dengan muamalah, akal memiliki otoritas penuh untuk memahami kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, yang mana standar ukurannya adalah “menarik manfaat dan menolak kerugian.”
Gagasan maslahah yang digagas oleh al-Thufi tidaklah dipaparkan secara meluas dalam pelbagai kitab ushul fiqih, namun ia lahir, menurut penjelasan Zaid,[17] ketika ia memberikan penjelasan tentang hadis: لاضرر ولا ضرار [Tidak membahayakan serta tidak membalas dengan bahaya yang setimpal] yang terdapat dalam kitab al-Arba`în al-Nawâwiyah. Hadis ini dijadikan oleh al-Thufi sebagai dasar bagi keberadaan maslahah, dan dijadikan sebagai paradigma bagi pemikirannya baik secara teoritis maupun praktis.
Secara lebih luas lagi, gagasan al-Thufi tidak hanya disandarkan kepada hadis di atas, tetapi juga berpijak kepada beberapa ayat Al-Qur'an yang mengindikasikan adanya perhatian agama terhadap kemaslahatan, seperti di antaranya, surat al-Baqarah [2]: 179,[18] al-Nur [24]: 2,[19] dan al-Maidah [5]: 38.[20] Ini mencakup pula dalil yang bersifat umum dan juga terperinci. Salah satu contoh dari ayat Al-Qur'an yang dikutip oleh al-Thufi adalah surat Yunus [10]: 57 yang berbunyi,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Secara filosofis, al-Thufi dalam memformulasikan gagasan tentang maslahat ini bersandar pada empat prinsip utama yang sangat mendasar.
1. استقلال العقول بإدراك المصالح والمفاسد [Kemandirian akal dalam memahami kemaslahatan dan kemafsadatan]. Akal tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, namun tidak dalam bidang ibadah, melainkan dalam aspek muamalah dan adat kebiasaan.
2. المصلحة دليل شرعي مستقل عن النص [Kemaslahatan adalah dalil agama yang terlepas dari nash]. Pernyataan ini menyiratkan bahwa kemaslahatan tidak tergantung pada konfirmasi teks agama,[21] tetapi pada akal. Artinya, dalam menimbang kemaslahatan dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, akal sendiri dapat diandalkan.
3. مجال العمل بالمصلحة هو المعاملات والعادات دون العبادات والمقدرات [Ranah pemakaian maslahat adalah pada muamalat (hubungan sosial) dan kebiasaan, bukan pada ibadah]. Kemaslahatan dalam pandangan al-Thufi tidak bisa masuk dalam ranah ibadah, karena yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukannya hanyalah Tuhan (haqq al-musyarri`)[22] Akal, dalam hal ini, hanya melanjutkan kontinuitas dari ibadah itu sendiri karena akal tidak dapat menembus rahasia Tuhan dalam ibadah, baik dalam hal jumlah, cara, waktu, maupun tempatnya, kecuali atas penjelasan resmi yang datang dari diri-Nya, dan dalam hal ini, nass dan ijmâ' lah yang diikuti. Sedangkan dalam bidang muamalah dan adat kebiasaan, akal dapat bermain dengan leluasa dengan mempertimbangkan kemaslahatan.
4. المصلحة أقوى أدلة الشرع [Kemaslahatan adalah dalil agama yang paling kuat].[23] Menurut al-Thufi, dalam melakukan istinbât hukum ada sembilan dalil hukum yang dapat dipedomani, yaitu: Al-Qur'an, Sunnah, Ijmâ' al-Ummah, Ijmâ` Ahl al-Madînah, Ijmâ` Ahl al-Kûfah, Ijma' al-Itrah, Ijmâ` al-Khulafâ' al-Râsyidîn, Qiyas, Pendapat sahabat, Maslahah Mursalah, Istishâb, al-Barâ'ah al-Asliyyah, al-`Awâ'id, Istiqrâ', Sadd al-Dzarî`ah, al-Istidlâl, Istihsân, al-Akhdz bi al-Akhaff (mengambil yang paling ringan), al-`Ismah.[24] Di antara dalil-dalil ini, yang paling kuat dijadikan dalil hukum adalah nas dan Ijmâ'. Namun, jika terjadi pertentangan antara kedua dalil ini, maka maslahat yang harus dikedepankan, karena, menurut pandangan al-Thufi, kemaslahatan adalah dalil syariat yang paling kuat. Di sini tampak bahwa al-Thufi lebih memprioritas-kan maslahah dibandingkan dengan dalil-dalil yang lain. Bahkan, maslahah dianggap sebagai substansi dari hukum itu sendiri, sementara nas dan ijmâ` dan dalil-dalil syariat yang lain hanya merupakan sarana atau media untuk mencapai maslahah ini.
Menarik bahwa, dalam pandangan al-Thufi, jika terjadi pertentangan antara nass dan maslahah, maka yang didahulukan adalah maslahah. Ini lah konsep yang melekat dalam diri al-Thufi dan yang membuat dirinya menjadi kontroversial. Ungkapan: تقديم المصلحة على النص و الإجماع [mendahulukan maslahah daripada nass dan ijmâ'] merupakan puncak dari pemikiran tokoh ini. Pernyataan ini tentunya bukan tanpa alasan, di antaranya, seperti yang dipaparkan oleh Ibrahim Hosen:[25]
1. Pengedepanan maslahah daripada ijmâ' adalah karena fakta bahwa kehujahan ijmâ' diperselisihkan, sementara kehujahan maslahah disepakati. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar jika maslahah lebih didahulukan daripada ijmâ`.
2. Pertentangan nas yang satu dengan yang lainnya menimbulkan satu kesan negatif, sedangkan maslahah adalah dalil substantif yang tidak diperselisihkan, sehingga bersandar kepada yang tidak diperselisihkan adalah lebih utama dan dapat mewujudkan keseragaman dalam istinbât hukum.
3. Terkadang ditemukan dalam nass terutama dalam Sunnah Nabi, ketentuan-ketentuan yang tampak kontradiksi dengan spirit kemaslahatan. Dalam keadaan ini, Sahabat seringkali bersandar pada kemaslahatan ketimbang berpegang kepada Sunnah yang verbalistik. Al-Thufi memberikan suatu contoh hadis yang memerintahkan Sahabat untuk tidak shalat Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraida. Namun ada di antara Sahabat yang melakukan shalat dalam perjalanan dengan alasan untuk kemaslahatan. Ini dilakukan karena pertimbangan adanya kekhawatiran di kalangan mereka jika matahari telah terbenam sebelum tiba di tempat itu.
Dari penjelasan al-Thufi ini, tidak dijumpai adanya rincian yang jelas tentang kriteria maslahah yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan pedoman dalam menjelaskan dan menetapkan hukum yang mencerminkan kehendak musyarri'. Dan juga pemikirannya tentang konsep ini tidak disertai dengan contoh aplikasi teorinya itu, sehingga banyak pengkritik yang menyatakan keabsurdan teorinya tersebut.
Namun jika dilihat dari berbagai bukunya yang lain, al-Thufi memberikan contoh tentang pembayaran kafarat bagi orang yang bersetubuh pada siang hari di bulan Ramadhan sedangkan ia sedang puasa. Penetapan kafarat puasa bagi orang kaya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yahya bin Yahya, meskipun dianggap ulama bertentangan dengan urutan kafarat dalam hadis Nabi,[26] adalah benar karena sejalan dengan prinsip kemaslahatan. Menurut ulama, penentuan kemaslahatan ini masuk dalam kategori maslahah mulghâh.
Contoh lainnya adalah tentang potongan tangan bagi pencuri. Menurut al-Thufi, potongan tangan tidak harus diterapkan kepada seorang pencuri, namun bisa dilakukan dengan cara hukuman yang dapat membuat pelaku itu menjadi jera, sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi. Dan itu bisa saja dengan menggunakan hukuman penjara atau hukuman lainnya. Di sini, tampak yang ditekankan oleh al-Thufi adalah pada aspek zawâjir (behavioral prevention), bukan pada aspek jawâbir.
Meskipun begitu, gagasan al-Thufi tetap mempunyai sandaran filosofis yang kokoh. Misalnya, akal sebagai sumber yang kuat dalam penetapan hukum dalam hal-hal yang terkait dengan muamalah, tidak dalam ibadah. Keterlibatan akal dalam menetapkan hukum mendapatkan porsi yang begitu signifikan. Ini lah, menurut al-Thufi, yang menjadi tujuan atau substansi dari ajaran yang dikandung Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Begitu pula, pandangan maslahah, terutama pernyataannya bahwa “kemaslahatan dapat diakui meskipun tanpa adanya penguat dari nass” adalah begitu lentur dalam konteks sekarang ini karena, betapa pun juga, nass terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak terbatas. Artinya, di sini perlu peran akal dalam merumuskan hukum dengan standar kemaslahatan. Dan, pandangan ini tentunya menciptakan satu fakta akan daya adaptabilitas hukum Islam dalam setiap keadaan. Di dalam kaidah terdapat ungkapan: تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة [perubahan hukum karena adanya perubahan dalam kondisi dan tempat].
Pandangan tentang tidak perlunya konfirmasi nass tentunya dapat berimplikasi kesewenang-wenangan dalam menetapkan hukum karena pertimbangan maslahah dan kriteria-kriterianya adalah suatu hal yang relatif. Masing-masing orang dan kondisi geografis dan corak budaya yang beragam mempunyai standar khusus tertentu tentang suatu yang dianggap kemaslahatan. Boleh jadi apa yang dianggap kemaslahatan, malah bisa mendatangkan kemafsadatan. Dan ini secara substansial dapat membahayakan syariah itu sendiri.

V. Kesimpulan
Gagasan maslahah yang dikemukan oleh al-Thufi pada dasarnya merupkan elaborasi dari hadis yang menunjukkan makna “tidak adanya bahaya dan membalas bahaya yang setimpal”. Dan ini merupakan prinsip dasar dan bahkan substasi dari hukum itu sendiri. Pada dasarnya konsep ini adalah biasa, namun yang membuatnya kontroversial adalah pada analisanya ketika terjadi pertentangan antara nass dan maslahah. Dalam kasus ini, al-Thufi cenderung mendahulukan maslahah, karena ia ada tujuan dari pensyariatan hukum. Semua dalil hukum pada dasarnya hanyalah media atau sarana untuk mencapai kemaslahatan ini
* Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc adalah dosen Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, Jurusan Syariah, STAIN Datokarama Palu.



[1] Muhammad Tahir bin `Asyur, Maqâsid al-Syarî'ah al-Islâmiyyah, (Jordania: Dar al-Nafa'is, 1999)
[2] Isma'il al-Hasani, Nazariyyat al- Maqâsid 'Inda al-Imâm Muhammad Tahir bin 'Âsyûr, (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995), 41
[3] Abu al-Ma'ali al-Juwaini, al-Burhân fî Usûl al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Ansar, tt)
[4] Dikutip dalam Isma'il al-Hasani, Nazhariyat…, 41
[5] Ibid., 42
[6] Abu Hamid Muhammad al-Gazzali, al-Mustasfâ fî 'Ilm al-Usûl, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 286
[7] Zuhairi Misrawi dan Novrianto, Doktrin Islam Progressif: Memahami Islam Sebagai Ajaran Rahmat, (Jakarta: LSIP, 2004), 59
[8] Q.S. al-Baqarah (2): 185; al-Anbiya (21): 107; al-Jatsiyah (45): 20; al-Nahl (16): 90; al-Nisa (4): 58; al-Anfal (8): 24, dan masih banyak ayat yang lainnya.
[9] Dikutip dalam Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Kaylani, Qawâ'id al-Maqâsid `Inda al-Imâm al-Syâtibî, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 126
[10] Izzuddin Abd al-Salam, Qawâ'id al-Ahkâm fî Islâh al-Anâm, Cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2003), 9
[11] Said Ramadhan al-Buthi, Dawâbit al-Maslahah fî al-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Cet. ke-6, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), 27
[12] Ibid., 110-222
[13] Dikutip dalam al-Kaylani, Qawâ'id al-Maqâsid…, 126
[14] Najm al-Din al-Thufi, “Risâlat al-Tûfî” dalam Abd al-Wahhab Khalaf, Masâdir al-Tasyrî` fî Mâ Lâ Nassa fîh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), 111
[15] Ibid., 112
[16] Mustafa Zaid, al-Maslahah fî al-Tasyrî` al-Islâmî wa Najm al-Dîn al-Tûfî, (Kairo: Dar al-Fikr, 1954), 21
[17] Ibid., 113
[18] “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
[19] “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
[20] “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
[21] Al-Thufi, Syarh al-`Arba`în al-Nawâwî Mulhiq al-Maslahah fî al-Tasyrî` al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), 18
[22] Al-Thufi, Risâlat…, 143
[23] Zaid, al-Maslahah…, 17
[24] Ibid.
[25] Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk (Eds), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), 256-57
[26] Dalam hadis Nabi, urutan kafaratnya adalah: membebaskan budak, memberi makan kepada orang miskin, baru kemudian berpuasa dua bulan berturut-turut.

Tidak ada komentar: