Senin, 01 Desember 2008

Gender dan Kesehatan Reproduksi Perempuan

GENDER DAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN:
PERSPEKTIF FIKIH ISLAM*

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc**

I. Kerangka Pikir
“Reproduksi” umumnya merujuk kepada siklus kehidupan perempuan yang sederhananya berhubungan dengan kesuburan (fertility), kelahiran (birth), pengasuhan anak (childcare), dan lain-lain. Ketika berbicara tentang isu ini, memang ada perbedaan yang begitu signifikan antara etika yang dikembangkan dalam tradisi feminisme dan etika yang dikembangkan fikih Islam. Di kalangan feminisme berkembang sebuah paham bahwa masalah reproduksi adalah refleksi dari penuntutan hak mereka untuk melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kata mereka, “Yang menentukan tubuh kita adalah kita sendiri.” Untuk itu, mereka menolak segala bentuk penafsiran terhadap tubuh dan reproduksi mereka dari cerita besar laki-laki, karena yang mengalami itu adalah kaum perempuan. Yang berhak menafsirkan diri mereka adalah mereka sendiri, bukan yang lainnya. Isu-isu reproduksi ini dalam perkembangannya mempunyai implikasi terhadap ranah publik. Karena persoalan yang dianggap pribadi itu tidak lagi dapat didiamkan, tetapi harus menjadi wacana publik.
Sedangkan dalam etika Islam, yang dasar epistemologisnya berpijak pada Alquran dan Sunnah Nabi, masalah reproduksi bukanlah masalah manusia semata. Tetapi sudah bermain dalam ranah itu tangan-tangan Tuhan. Yang mengetahui manusia dengan baik adalah Yang menciptakannya, yaitu Tuhan, bukan manusia. Untuk itu, Tuhan memberikan aturan-aturan untuk kebaikan manusia, dengan cara diturunkannya kitab-kitab melalui para nabinya. “Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 48). Untuk umat Islam, diturunkan Alquran melalui lisan Nabi Muhammad saw. Maka, yang menjadi etika dasar pertama adalah akidah, keyakinan mutlak bahwa segala aturan hukum dibuat Allah pada dasarnya untuk kebaikan umat manusia itu sendiri. Dan semua bangunan berikutnya berada pada dasar akidah ini. 

 

Prinsip akidah berada pada jantung lingkaran, yang menegaskan bahwa Allah adalah Pembuat aturan hukum (شارع) karena Dia-lah Dzat yang mengetahui apa yang terbaik buat manusia. Aturan-aturan hukum yang ditetapkan Allah tersebut terbalut dalam nilai-nilai etika [القيم الأخلاقية] yang menjadi dasar yang sangat kuat, seperti keadilan, kasih sayang, kemaslahatan, kesetaraan, mu’âsharah bi al-ma’rûf [memperlakukan dengan baik]. (lingkaran kedua). Nilai-nilai ini diterjemahkan menjadi kaidah-kaidah umum syariat (النظرية العامة للشريعة) sehingga menjadi prinsip-prinsip yang dipedomani (lingkaran ketiga). Misalnya, dari prinsip maslahah diuraikan menjadi pemeliharaan terhadap lima hal yang substansial (agama, jiwa, akal, keturunan, harta). Dari sini, maka ditarik kaidah-kaidah khusus untuk setiap bahasan fikih [النظرية الخاصة بأبواب الفقه] (lingkaran keempat). Sebagai contoh, dalam bab hukum keluarga (أحكام الأسرة), yang menjadi tujuan umumnya adalah    :
 1. Pengaturan hubungan antara dua jenis
2. Pemeliharaan terhadap spesies manusia
3. Pewujudan ketenangan dan kasih sayang
4. Pemeliharaan terhadap keturunan.[1]
Maka, semua aturan-aturan cabang dari fikih (الأحكام الفرعية للفقه) yang terkait dengan isu keluarga, misalnya, harus merupakan cerminan dari nilai-nilai umum ini. Dari skema metodologis ini, maka saya mencoba melihat sekelumit isu yang terkait dengan reproduksi perempuan, terutama yang menjadi isu ngetren sekarang ini, seperti perkawinan di usia dini dan aborsi. Kedua isu ini penting untuk dibahas karena kedua fenomena ini berkaitan erat dengan persoalan kesehatan reproduksi perempuan.

Perkawinan Dini: Melihat Kasus Syekh Puji
Mencuatnya kasus Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) di desa Bendono yang menikahi seorang perempuan berusia 12 tahun, yang dalam anggapan UU Perkawinan (minimal 16 tahun) dan UU Perlindungan Anak (minimal 18 tahun) masih di bawah umur, menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana konsep fikih Islam tentang isu ini. Ini menjadi penting karena fenomena ini dalam masyarakat kita sudah begitu meluas, seperti di Jawa Timur (terutama Sumenep, Madura), Jawa Barat (terutama Kuningan), dan Jawa Tengah.
Fenomena ini terjadi, menurut analisis banyak pakar sosial, adalah karena faktor kemiskinan yang begitu tinggi dan pendidikan yang begitu rendah. Kedua hal ini memang saling berkait kelindan. Semakin miskin seseorang itu, maka semakin kecil peluang menikmati pendidikan, terkadang hanya sampai sekolah dasar atau paling banter, sekolah menengah pertama; atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Sehingga menikah seolah-olah menjadi solusi terhadap kesulitan yang mereka hadapi. Selain itu, akibat pergaulan bebas juga dapat dianggap sebagai salah faktor yang menentukan bagi terjadinya perkawinan dini, apalagi dalam ruang saat ini yang corak pergaulan atas lain jenis seringkali membawa kepada perzinaan, yang ujung-ujungnya adalah kehamilan. Sehingga solusinya adalah MBA (marriage by accident). Yang tidak kalah pentingnya juga dalam kaitan ini adalah bahwa faktor budaya dan agama juga tampaknya memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi pembolehan jenis pernikahan ini.
Persoalan nikah dini ini tidak sesepele yang dibayangkan banyak orang. Secara psikologis, seorang anak di bawah umur yang menikah belum memiliki kematangan sehingga seringkali berujung kepada perceraian. Di sisi lain, dalam tinjauan medis, perkawinan di usia dini beresiko tinggi kepada perempuan ketika hamil dan kemudian melahirkan. Bahkan, tidak jarang yang membawa kepada kematian sang ibu dan bayi. Jadi, dapat disimpulkan banyak membawa masalah bagi kesehatan reproduksi perempuan. Artinya, mudaratnya tampaknya lebih besar ketimbang kemaslahatan yang diterima seorang perempuan.
Dari fakta ini, apakah Islam memberikan justifikasi terhadap jenis perkawinan ini? Dalam banyak kitab fikih, memang disebutkan adanya kebolehan perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang dianggap sudah balig, meskipun belum cukup umur, karena faktor balig bagi perempuan itu tidak tergantung usia, tapi tergantung pada haidh. Bahkan, bapak, atau kakek—sebagai wali mujbir—boleh mengawinkan puteri/cucunya yang masih gadis tanpa harus mendapatkan persetujuan dari diri perempuan yang akan dinikahkannya, asalkan ia bukan janda.[2] Konsep wali mujbir ini dikenal dalam mazhab Shâfi’î, namun dengan beberapa persyaratan:
· Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap laki-laki calon suaminya.
· Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap ayahnya.
· Calon suami haruslah orang yang se-kufu’ (setara/sebanding).
· Mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
· Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.[3]
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas, Ibn Shubrumah, Abû Bakr al-Asam, dan Uthmân al-Batti, berpandangan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah dinikahkan. Mereka hanya boleh dinikahkan jika sudah balig dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit. Alasannya adalah Alquran:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. al-Nisa [4]: 6)
Menurut mereka, jika anak-anak belia tersebut boleh dinikahkan, maka apa gunanya ayat ini. Dari pandangan para ulama ini, tersirat dengan jelas bahwa kawin muda bukanlah suatu hal yang baik. Apalagi jika dari sudut pandang psikologis dan medis bisa berbahaya kepada kesehatan reproduksi perempuan, maka itu bisa mengantarkan kepada status haram (dilarang), padahal perkawinan dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak yang terkait. Dalam kaidah fikih disebutkan al-darar yudfa’ bi qadr al-imkân (kemudaratan mesti dihindari/ditolak sebisa mungkin). Di sini, berlaku prinsip Sadd al-Dharî’ah (menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada bahaya), dan menutup jalan tersebut merupakan sebuah kewajiban, agar tidak muncul bahaya yang lebih besar. Dari sinilah, undang-undang menjadi sangat penting, karena dalam politik hukum Islam (siyâsah shar’iyyah) ia memiliki kekuatan hukum mengikat dan menghilangkan segala bentuk perbedaan pendapat.
Lalu bagaimana dengan kasus perkawinan Sayyidah ‘Â’ishah—radiyallâh ‘anhâ—yang dalam sebuah riwayat dari Hishâm b. ‘Urwah, dipinang oleh Rasulullah saw. pada usia enam tahun, dan digauli pada usia sembilan tahun. Kasus inilah yang dengan gigih dipegang oleh Syekh Puji untuk melegitimasi pernikahannya yang kontroversial itu. Redaksi hadis tersebut berbunyi:
.عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن النيي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين. قال هشام: أنبئت أنها كانت عنده تسع سنين.
“Nabi saw. menikahi ‘Â’ishah sedangkan ia saat itu baru berusia enam tahun, dan menggaulinya pada usia sembilan tahun.” Hishâm berkata, “Aku diceritakan bahwa ‘Â’ishah tinggal bersama Rasulullah pada usia sembilan tahun.”[4]
Dari sudut pandang ilmu naqd al-hadîth (kritik hadis), hadis ini bisa dikritik dari berbagai segi:
· Matan: hadis ini bertentangan dengan ketentuan ayat Alquran (Al-Nisâ’ [4]: 5-6) yang berbunyi: “Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang bijak. (5). Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 5-6).
Di sini, ayat Alquran menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil tes yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta kepada mereka. Tidak ada seorang pun muslim yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan kepada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara fisik dan intelektual untuk menikah.
· Perawi: hadis ini diriwayatkan oleh Hishâm b. ‘Urwah pada saat ia berusia 71 tahun, dan asal hadis ini adalah dari orang-orang Irak, tempat tinggalnya Hishâm tua, yang sebelumnya ia menetap di Madinah. Dalam penelitian rijâl al-hadîth, Ibn Hajar al-Haytami dalam kitab Tahdhîb al-Tahdhîb menyebutkan bahwa Ya’qub b. Shaybah berkata, “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya bisa diterima, kecuali hadis-hadis yang diriwayatkan setelah ia pindah ke Irak.”[5] Mâlik b. Anas menolak riwayat Hishâm yang dicatat oleh orang-orang Irak.[6] Al-Dhahabî dalam kitab Mîzân al-I’tidâl menyebutkan, “Ketika masa tua, ingatan Hishâm mengalami kemunduran yang mencolok.”[7] Berdasarkan rujukan ini, dapat dikatakan bahwa ingatan Hishâm sangatlah buruk dan periwayatannya setelah ia pindah ke Irak tidak bisa diterima. Oleh karena itu, riwayatnya mengenai usia pernikahan ‘Â’ishah tidaklah bisa dipercaya.
· Sejarah:
v Turun wahyu pertama adalah pada tahun 610 M. Dalam kitab sejarah al-Tabarî disebutkan bahwa ‘Â’ishah dipinang Nabi pada tahun 620 M (usia 7 tahun), dan baru tinggal bersama Nabi pada tahun 623/624 M (usia 9 tahun). Di bagian lain, al-Tabarî menceritakan bahwa semua anak Abû Bakr (empat orang) lahir pada masa Jahiliyah dari dua isterinya. Jika ia dipinang pada usia 7 tahun (620 M) dan tinggal bersama usia 9 tahun (624 M), berarti ia dilahirkan pada tahun 613 M, 3 tahun setelah masa Jahiliyah usai (610 M). Al-Tabarî juga menyatakan ‘Â’ishah lahir pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal usia ‘Â’ishah 14 tahun ketika nikah. Intinya, ada kontradiksi al-Tabarî dalam periwayatannya.
v Dihitung menurut usia Fâtimah, puteri Nabi. Menurut Ibn Hajar, Fâtimah dilahirkan ketika Kabah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fâtimah 5 tahun lebih tua dari ‘Â’ishah. Jika ‘Â’ishah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia ‘Â’ishah ketika menikah adalah 12 tahun.
v Dihitung menurut usia Asmâ, kakak ‘Â’ishah. Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asmâ, saudara tertua dari ‘Â’ishah berselisih usia 10 tahun. Jika Asmâ wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, maka Asmâ seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622 M (ketika ‘Â’ishah berumah tangga), dan ‘Â’ishah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun ketika menikah.
v Perang Badar dan Uhud. Sebuah riwayat mengenai partisipasi ‘Â’ishah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadis Muslim. Diriwayatkan oleh Bukhârî (Kitâb Maghâzî, Bâb Ghazwat al-Khandaq wa Hiyâl Ahzâb): Ibn ‘Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya berpartisipasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibn ‘Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibn ‘Umar ikut dalam perang. Berdasarkan riwayat di atas, (a) anak-anak di bawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak boleh ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang Badr dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, minimal 15 tahun.
v Tentang turunnya surah Al-Qamar. Dalam al-Bukhârî, ‘Â’ishah diberitakan mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jâriyah) ketika Surah Al-Qamar diturunkan.” Surat ini diturunkan pada tahun ke-8 sebelum hijrah, menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika ‘Â’ishah memulai berumah tangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, berarti ‘Â’ishah masih bayi yang baru lahir (sibyah) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Dan secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar.
v Terminologi bahasa Arab. Menurut riwayat dari Ahmad b. Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadîjah, Khawlah datang kepada Nabi dan menyarankan Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khawlah. Khawlah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (بكر) atau seorang wanita yang pernah menikah (ثيب).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (بكر), Khawlah menyebutkan nama ‘Â’ishah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat kata بكرdalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.
Dari beberapa poin kritik ini, dapat disimpulkan bahwa perkawinan Rasulullah saw. dengan ‘Â’ishah pada usia dini, saya pikir, perlu direnungkan ulang, karena itu banyak bertentangan dengan ketentuan Alquran, bukti sejarah, dan juga fakta bahwa Nabi merupakan pejuang dan pembela hak-hak perempuan, terutama hak reproduksinya. Sehingga legitimasi Syekh Puji terhadap pernikahannya adalah tidak berdasar.
Aborsi versus Hak Hidup
Aborsi merupakan salah satu hal yang membahayakan bagi kesehatan reproduksi. Dampaknya secara medis begitu serius, seperti di antaranya kematian. Dan jumlah kematian karena aborsi melebihi kematian perang mana pun, kecelakaan, dan penyakit.[8] Lebih luasnya, dampak yang diakibatkan aborsi adalah sebagai berikut: Kematian mendadak karena pendarahan hebat; Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal; Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan; Rahim yang sobek (Uterine Perforation); Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya; Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita); Kanker indung telur (Ovarian Cancer); Kanker leher rahim (Cervical Cancer); Kanker hati (Liver Cancer); Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya; Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy); Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease); Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis). [9]
Tidak hanya berbahaya secara medis, bahkan perempuan yang melakukan aborsi mengalami apa yang dinamakan sebagai post-abortion syndrome (sindrom pasca aborsi). Misalnya, kehilangan harga diri, berteriak-teriak histeris, mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi, ingin melakukan bunuh diri, mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang, tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual. Dan yang tidak kalah pentingnya, dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.[10] Namun begitu, di berbagai negara di dunia, legalisasi terhadap tindakan aborsi telah dilakukan, bahkan dengan alasan apa pun, seperti Albania, Australia, Bahrain, Belgia, Bosnia, Kamboja, Kanada, China, Kroasia, Kuba, Denmark, Jerman, Yunani, Hongaria, Belanda, Norwegia, Swedia, Amerika, Vietnam, dan Yugoslavia. Negara/kota yang menolak secara mutlak hanyalah Vatikan.[11]
Di Indonesia, tindakan aborsi bisa dikatakan tinggi. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia.[12] Guru Besar FKUI Prof Dr Biran Affandi mengungkapkan, kasus aborsi atau keguguran di Indonesia saat ini mencapai sekitar 2,3 juta kasus per tahunnya. Satu juta merupakan abortus spontan (keguguran), 0,6 juta kasus kegagalan KB dan 0,7 juta karena tidak memakai alat kontrasepsi KB.[13] Dari penelitian WHO, diperkirakan tingkat aborsi mencapai atau melebihi 2,5 juta per tahun. 20-60 persen aborsi di Indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). Klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.” 2,5 juta itu perkiraan yang bisa jadi terlalu kecil karena barangkali jumlah kasusnya lebih besar lagi. Alasan untuk melakukan aborsi yang diberikan di dalam penelitian tersebut termasuk, “hamil karena perkosaan, janin dideteksi punya cacat genetik, alasan sosial ekonomi, ganguan kesehatan, KB gagal dan lainnya.”
Dalam perspektif fikih Islam, aborsi yang terjadi karena hal alami, tanpa disengaja, mungkin tidak terlalu disentuh hukumnya. Namun yang menjadi problem adalah bagaimana jika itu dilakukan dengan sengaja? Ada kesepakatan di antara ulama mazhab, apabila itu dilakukan setelah masa kandungan 120 hari (4 bulan), maka hukumnya adalah haram. Tetapi para ulama fikih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya. Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Imam Ramlî (w. 1596 M) dalam kitabnya Nihâyat al-Muhtâj dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Imam Ibn Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya Tuhfat al-Muhtâj dan Imam al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.[14] Bahkan Mahmûd Shaltût, mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.[15]
Saya tampaknya lebih cenderung kepada pandangan yang dikemukakan Ibn Hajar, Al-Ghazâlî dan Shaltût ini, karena betapa pun perlindungan terhadap hak hidup merupakan suatu hal yang universal. Membunuh satu nyawa saja, dalam bahasa Alquran, dianggap membunuh seluruh umat manusia. Termasuk pembunuhan terhadap janin, terlepas apakah itu di bawah 120 hari atau sebelumnya. Karena, ketika terjadi pembuahan, pada hakikatnya telah ada benih kehidupan. Membahayakan janin merupakan tindakan yang dilarang. Kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang Untuk itu perlu terus didengungkan bahwa pemeliharaan terhadap hidup (hifz al-hayât) mengharuskan pula tindakan penghilangan dan pencegahan segala tindakan yang mengancam dan membahayakan kehidupan. Wallâhu a’lam bi al-sawâb.



* Makalah dipresentasikan dalam Seminar “Gender dan Kesehatan Reproduksi”, yang diselenggarakan oleh PSG STAIN Datokarama Palu, tanggal 22 Nopember 2008
** Dosen Perbandingan Mazhab dan Sejarah Sosial Pembentukan Hukum Islam, STAIN Datokarama Palu.
[1] Lihat Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâsid al-Sharî’ah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), 148-54.
[2] Redaksi hadis dari Imam al-Dâruqutnî adalah sebagai berikut: الثيب أحق من نفسها و البكر يزوجها أبوها [Janda itu berhak mengawinkan dirinya sendiri, dan perawan dikawinkan oleh bapaknya.]
[3] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Jilid VII, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), 182.
[4] Hadis ini terdapat dalam Abû ‘Abd Allâh Muhammad b. Ismâ’îl al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, Bab Inkâh al-Rajul Waladahu al-Sigâr, Jilid 3, (Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1400 H), 371.
[5] Ibn Hajar Shihâb al-Dîn al-‘Asqalânî al-Shâfi’î, Tahdhîb al-Tahdhîb, Juz 4, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, tt), 275.
[6] Ibid.
[7] Abû ‘Abd Allâh Muhammad b. Ahmad b. ‘Uthmân al-Dhahabî, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Tahqîq: ‘Alî Muhammad al-Bajâwî, Jilid 4, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt), 301.
[8] Lihat “Statistik Aborsi” dalam http://www.aborsi.org/statistik.htm. (20 Nopember 2008).
[9] “Resiko Aborsi” dalam http://www.aborsi.org/resiko.htm. (20 Nopember 2008).
[10] Ibid.
[11] “Summary of Abortion Laws Around the World” dalam http://www.pregnantpause.org/lex/world02.htm. (20 Nopember 2008).
[12] Lihat “Statistik Aborsi” dalam http://www.aborsi.org/statistik.htm. (20 Nopember 2008).
[13] Lihat “Pelakunya tidak Hanya Warga Perkotaan, Setahun 2,3 Juta Wanita Indonesia Aborsi” dalam http://www.posmo.com/fullnews.cgi?newsid960667297,72508. (20 Nopember 2008).
[14] Dikutip dalam Mahmûd Shaltût, al-Fatâwâ, Cet. ke-14, (Beirut: Dâr al-Shurûq, 1987), 290-91.
[15] Lihat Ibid., 289-92.

Tidak ada komentar: