Senin, 01 Desember 2008

Usul al-Fiqh: Aliran dan Berbagai Kitabnya

Usūl al-Fiqh: ALiran daN berbagai kitabnya

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc

Usūl al-fiqh sebagai sebuah disiplin keilmuan dalam Islam ternyata mengalami pergerakan yang begitu dinamis, tidak hanya terkait dengan tema-tema yang dikembangkannya, tetapi juga dengan model dan corak metodologis pengembangan tema yang begitu berwarna. Semenjak periode awal pembentukan Islam, benih-benih usūl al-fiqh sudah ada, yang kemudian memuncak pada kemunculan perumusannya secara sistematis oleh al-Shāfi‘ī dalam kitabnya al-Risāla. Di sini sebenarnya al-Shāfi‘ī telah melakukan sintesa antara tradisionalisme dan rasionalisme, yang kemudian dikembangkan secara matang oleh Ibn Surayj, seorang ahli fikih Shāfi‘ī di Baghdad. Setelah itu, usūl al-fiqh mengambil banyak corak yang beragam.
Dalam perkembangannya, kecenderungan dalam pengembangan tema-tema usūl al-fiqh bisa dibedakan ke lima kelompok: Mutakallimīn (Shāfi‘iyyah), Fuqahā’ (Hanafiyyah), Konvergensi, Shātibiyyah, dan Takhrīj al-Furū‘ ‘alā al- Usūl. Beberapa kitab usūl al-fiqh telah membuat secara garis besar lima aliran ini, seperti kitab al-Kāfī al-Wāfī fī Usūl al-Fiqh dan Dirāsah Tārīkhiyyah li al-Fiqh wa Usūli-hi wa al-Ittijāhāt allātī Zahara fī-himā, yang keduanya ditulis oleh Mustafā Sa‘īd al-Khin.[1] Buku lainnya yang juga membahas tentang ini adalah Murtaqā al- Usūl ilā Tārīkh ‘Ilm al- Usūl karya Mūsā b. Muhammad b. Yahyā al-Qarnī[2] dan Usūl al-Fiqh: Tārīkhuhu wa Rijāluhu karya Sha‘bān Muhammad Ismā‘īl.[3]

Tarīqat al-Mutakallimīn (Tarīqat al-Shāfi’iyya)
Tren mutakallimīn secara umum memiliki kecenderungan seperti: i) berorientasi teoritis murni (ittijāh nazrī khālis), karena perhatian mereka hanya terbatas pada verifikasi dan pengujian kaidah-kaidah tanpa menghiraukan pendekatan mazhab. Mereka ingin menghasilkan suatu kaidah yang kuat tidak peduli apakah kaidah tersebut mendukung mazhabnya atau tidak; (ii) Tidak fanatik terhadap mazhabnya; (iii) Kaidah-kaidah usūl tidak digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap masalah-masalah furū‘, namun kaidah-kaidah usūl yang mereka pelajari digunakan sebagai penentu atau pengatur masalah-masalah furū‘. Untuk mengetahui metode penulisan dan pengembangan Usūl al-Fiqh berdasarkan tarīqat al-mutakallimīn, beberapa buku mungkin bisa membantu. Di antara buku-buku yang ditulis, kitab-kitab al-Burhān karya al-Juwaynī, al-Mustasfā karya al-Ghazālī dan al-Mu‘tamad karya Abū al-Husayn al-Bisrī lah yang bisa menjadi eksemplar terhadap kecenderungan metodologis ini.
Kitab al-Burhān fī Usūl al-Fiqh, yang ditulis al-Juwaynī, termasuk salah satu kitab terpenting dalam sejarah perkembangan usūl al-fiqh, bahkan dalam sejarah pemikiran Islam pada umumnya. Kitab ini telah banyak diberikan tahqīq, namun yang paling bagus dalam hal ini adalah kitab yang di-tahqīq oleh Dr ‘Abd al-Azīm al-Dīb. Kitab ini terdiri dari dua jilid disertai dengan lampiran tentang pembahasan ijtihād dan fatwā. Buku ini istimewa karena ia mengungkapkan berbagai pendapat ulama usūl al-fiqh yang hidup sebelum al-Juwaynī. Banyak karya usūl al-fiqh dari ulama sebelumnya yang tidak dijumpai lagi, tetapi sebagian pendapat mereka diungkapkan al-Juwaynī dalam kitabnya tersebut. Misalnya, pokok-pokok pikiran Abū Bakr al-Bāqilānī (w. 403/1013), Ibn Fawrak, al-Qādī ‘Abd al-Jabbār, dan Abū ‘Alī al-Jubā‘ī. Dalam meramu metodologi usūl-nya, ia mengkombinasikan kalām dan usūl. Bahkan dalam mukadimah kitabnya itu, al-Juwaynī mengatakan bahwa bahan materi untuk usūl al-fiqh adalah kalām, bahasa Arab dan fikih. Struktur kitab al-Burhān mencakup bahasan tentang: (1) bayān (Alquran dan Sunnah); (2) al-ijmā‘; (3) al-qiyās; (4) al-istidlāl; (5) al-tarjīhāt; (6) al-naskh; (7) ijtihād (lampiran kitab al-Burhān); (8) al-fatwā. Dan bahasan paling panjang yang diberikan al-Juwaynī adalah bahasan tentang bayān, dan ini mencirikan bagaimana pendekatan mutakallimīn-nya begitu kental.
Kitab kedua adalah al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl yang ditulis oleh al-Ghazālī, murid al-Juwaynī. Kitab yang terdiri dari empat jilid ini ditahqīq oleh Dr. Hamza Ibn Zuhayr Hāfiz.[4] Substansi kitab ini pada dasarnya merupakan upaya untuk mensintesakan atau merekonsiliasikan peran akal dan wahyu dalam porsinya masing-masing, dan bahkan kitab ini merupakan kitab usūl pertama yang menjadikan uraian tentang prinsip logika sebagai pengantarnya. Ini menyiratkan bahwa ia ingin menjadikan logika sebagai dasar penalaran hukum.
Yang lainnya adalah kitab al-Mu‘tamad yang ditulis oleh Abū al-Husayn Muhammad b. ‘Alī b. al-Tayyib al-Bisrī.[5] Kitab yang terdiri dari dua jilid ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dari kitab al-‘Amd yang ditulis oleh al-Qādī ‘Abd al-Jabbār. Dalam kitab al-Mu‘tamad, Abū al-Husayn sengaja menggunakan metode analisis ilmiah dan argumentatif (menyajikan pemikirannya dalam bentuk perdebatan, yang seringkali menggunakan kata “fa-in qultum qulnā.” Ia juga menghubungkan tema-tema dalam karyanya itu dengan teologi Mu‘tazilah khususnya tentang konsep tahsīn, taqbīh dan wujūb al-aslah. Selain itu, ia mengambil semua hal yang dapat mepresentasikan pemikiran dan pendapat dari golongan mana pun, terutama pendapat al-Qādī ‘Abd al-Jabbār, bahkan ia sering memuji dan mengikuti pendapatnya. Lebih dari itu, ia memperbanyak dalil-dalil termasuk dalil-dalil dari orang-orang yang bertentangan dengannya, kemudian menjawab mereka secara proporsional, adil dan tidak emosional. Ia juga menyertakan dalil-dalil yang memperkuat pendapatnya sendiri, juga pendapat orang lain. Namun demikian, ia tidak taklid begitu saja. Ini terbukti bahwa pendapatnya terkadang bertentangan dengan Mu‘tazilah, seperti tentang ijzā‘ al-‘ibāda dan al-‘umūm idhā a‘qaba-hu taqyīd.

Tarīqat al-Fuqahā’ (Tarīqat al-Hanafiyya)
Aliran ini membawa orientasi keterpengaruhan dengan furū‘ dan menjelaskan bahwa usūl al-fiqh adalah untuk membantu furū‘ dan menetapkan kebenaran ijtihad di dalamnya. Karenanya, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah usūl berdasarkan furū‘ yang dinukil dari para imam mereka, seraya mengklaim bahwa ia merupakan kaidah-kaidah yang diperhitungkan oleh para imam mereka ketika menetapkan furū‘.
Penggunaan metode penulisan usūl al-fiqh ini bisa dilihat pada beberapa kitab, di antaranya yang terpenting adalah Taqwīm al-Adilla fī Usūl al-Fiqh karya Abū Zayd ‘Ubayd Allāh b. ‘Umar al-Dabūsī.[6] Dalam kitab ini, terutama dalam masalah-masalah khilafiyah, al-Dabūsī meneliti berbagai pendapat beserta dalil-dalilnya, dan kemudian berujung kepada penetapan terhadap pandangan ulama Hanafī. Selain itu, kitab ini juga banyak memberikan perhatian pada proses deduksi terhadap masalah-masalah fikih sebagai pengantar dan pengujian terhadap masalah-masalah usūl, dengan cara ia tidak akan berhenti kepada masalah cabang hingga ia berpindah kepada masalah cabang lainnya yang serupa. Al-Dabūsī mempunyai perhatian yang besar pada pengklarifikasian terhadap sumber perbedaan pendapat ketika perselisihan tersebut bergerak ke sumbernya. Ia juga memberikan perhatian pada fiqh ta‘līlī untuk bisa sampai kepada hikmah pembentukan hukum dengan menjadikan makna hukum bisa dipahami bagi setiap orang yang memahaminya. Selain itu, ia memberikan perhatian pada pemaparan pandangan-pandangan dalam suatu masalah, terutama ulama Hanafi, kemudian berusaha mengkoreksi dan mengklarifikasinya, serta mengemukakan aspek-aspek kebenaran dan kekeliruan di dalamnya.
Kitab lainnya yang juga penting adalah kitab Usūl al-Sarakhsī.[7] Kitab ini memiliki metode sebagai berikut: pemaparan tema-tema dan pembahasannya berbeda dari satu tema ke tema lainnya sesuai dengan watak masing-masing. Kadang-kadang ia mulai dengan menetapkan masalah dan aspek-aspek pembagiannya, dan terkadang pula ia mulai dengan memaparkan berbagai pendapat yang berbeda di seputarnya. Di lain kesempatan ia memberikan perhatian pada pendapat-pendapat itu dan kemudian menyebutkan apa yang benar dalam pandangannya di hadapan pendapat-pendapat itu. Sesuatu yang senantiasa tidak ia pernah abaikan adalah pencarian dalil terhadap setiap pendapat, dan penjelasan pandangan orang yang mengatakannya secara terpercaya dan menjelaskan pandangannya sendiri secara pribadi baik dengan cara mendukung atau menolaknya. Selain itu, kitab ini juga memberikan perhatian pada perbandingan antara pendapat-pendapat para fuqahā’ Hanafiyah dan pendapat-pendapat selain mereka terutama Imām al-Shāfi‘ī, disertai penjelasan atas perbedaan-perbedaan yang muncul dalam masalah-masalah fikih itu. Ini tampak jelas dalam tema-tema perselisihan antara Hanafiyah, Shāfi‘iyyah dan ahli kalām pada umumnya.
Kitab usūl penting lainnya yang menggunakan metode ini adalah Kanz al-Wusūl ilā Ma‘rifat al-Usūl karya Abū al-Hasan ‘Alī b. Muhammad al-Bazdawī.[8] Kitab ini diterima dengan baik dari para ulama Hanafī sehingga menjadi poros kajian di kalangan ulama kontemporer, entah itu diberikan penjelasan, diringkas atau diberikan komentar. Di antara penjelasan yang paling penting adalah kitab Kashf al-Asrār yang ditulis oleh Ala’ al-Dīn ‘Abd al-‘Azīz b. Ahmad al-Bukhārī. Ia memulai kitabnya dengan satu mukadimah yang di dalamnya ia membagi ilmu ke dalam dua bagian: ilmu tauhid dan ilmu syariat. Dasar bagi ilmu yang pertama adalah berpegang kepada Alquran dan Sunnah dan menjauhi hawa nafsu dan bid’ah. Yang kedua adalah ilmu furū’ yaitu fikih. Di sini ia menjelaskan makna, pembagian, kemudian berlanjut dengan memuji para ulama Hanafī karena merekalah pendahulu dalam bidang ini ketimbang yang lainnya. Dan ia menyatakan bahwa mereka adalah pendukung hadis dan rasio (ashāb al-hadīth wa al-ma’ānī) dan membuktikannya dengan sebagian pandangan mereka dari dalil-dalil usūl.
Dalam buku ini, al-Bazdawī memaparkan tema-tema dan pembahasan-pembahasan usūl sebagai kaidah-kaidah yang mapan, yang tidak ada perdebatan dan ijtihad di dalamnya, dengan pengecualian sebagian masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya begitu kuat antara ulama-ulama sebelumnya. Ini sesuai dengan metode yang telah ia gariskan buat dirinya sendiri pertama kali dalam pendahuluan kitabnya, “Kitab ini adalah untuk menjelaskan teks-teks dengan makna-maknanya, memperkenalkan usūl dengan furū’-nya secara ringkas dan singkat.”
Selain kitab-kitab di atas, ada juga beberapa kitab lain yang menggunakan metode atau kecenderungan yang serupa, seperti Risālat al-Karkhī fī al-Usūl, Usūl al-Jassās, dan Manār al-Anwār karya Hāfiz al-Dīn al-Nasafī.

Tarīqat al-Jam‘ (Aliran Konvergensi)
Aliran ini menggabungkan kedua aliran di atas dan mengambil keistimewaan-keistimewaan dari kedua metode ini. Ia memberikan perhatian pada penetapan kaidah-kaidah usūl murni yang disandarkan pada dalil, agar bisa dijadikan sebagai timbangan dalam melakukan istinbāt hukum dan pemutus atau penilai terhadap pendapat-pendapat yang dinukil dari imam-imam mereka, serta menjelaskan prinsip-prinsip dasar hukum itu, dan menerapkan kaidah terhadapnya, mengikatnya dengannya dan menjadikannya sebagai pembantu baginya. Metode ini diikuti oleh fuqahā’ dari berbagai mazhab seperti Hanafiyah, Mālikiyyah, Shāfi’iyyah dan Hanabilah, dan bahkan dari mazhab Ja’fariyah.
Beberapa karya yang bisa dilihat menggunakan metode ini, di antaranya yang terpenting adalah Jam’ al-Jawāmi‘ karya Tāj al-Dīn ‘Abd al-Wahhāb b. ‘Alī al-Subkī al-Shāfi’ī.[9] Kitab ini merupakan kitab yang ringkas namun padat, namun diberikan penjelasan olehnya sendiri, yaitu kitab Man’ al-Mawāni’ ‘an Jam’ al-Jawāmi’.[10] Selain itu, banyak pula komentar dan penjelasan yang diberikan terhadap kitabnya, di antaranya al-Āyāt al-Bayyināt karya Ibn al-Qāsim al-‘Ubādī, Sharh al-Mahallī dan Tashnīf al-Masāmi’ karya al-Badr al-Zarkashī. Dalam kitabnya Jam’ al-Jawāmi’, al-Subki berkata “Ketahuilah, aku tidak hanya membatasi dalam kitab ini pada kitab-kitab usūl yang ada, namun aku juga menggabungkan banyak hal seperti kitab-kitab mutakallimīn, muhaddithīn, dan fuqahā’, dan sesuatu yang melampaui batasan …” Dalam penulisan kitabnya, ia bersandar pada kira-kira ratusan pengarang seperti pengakuannya itu dalam kitabnya. Kemudian, ia melakukan pengujian dan pemeriksaan terhadap berbagai kitab itu dalam upaya menukil pendapat-pendapat yang sesuai dalam pandangannya.
Beberapa kitab penting lainnya yang juga memiliki kecenderungan menggabungkan kedua aliran di atas adalah Badī’ al-Nizām karya Muzaffar al-Dīn Ahmad b. ‘Alī al-Sā’ātī al-Hanafī yang menggabungkan kitab Usūl al-Bazdawī dan Ihkām al-Āmidī; kitab al-Tanqīh dan komentarnya al-Tawdīh karya Sadr al-Sharī’ah ‘Abd Allāh setiap pendapat atau ijtihad, seraya melihat pada hukum-hukum fikih yang b. Mas’ūd al-Hanafī; Sharh al-Tawdīh karya Sa’d al-Dīn Mas’ūd b. ‘Umar al-Taftāzānī al-Shāfi’ī; kitab al-Tahrīr karya Ibn al-Humām al-Hanafī dan komentarnya al-Taqrīr wa al-Tahrīr karya Muhammad b. Muhammad Amīr al-Hajj al-Halabī; dan kitab Musallam al-Thubūt karya Muhibb Allāh b. ‘Abd al-Shakūr.

Tarīqat al-Shātibiyya atau Tarīqat al-Maqāsid
Istilah ini merujuk kepada pendekatan yang menekankan pada pengetahuan tentang keuniversalan syariat dan tujuan-tujuannya (kulliyyāt al-sharī‘ah wa maqāsidihā), kemudian pendasaran ijtihad pada keuniversalan, tujuan dan rahasia-rahasia pembebanan hukum (asrār al-taklīf). Karena Shātibī yang dianggap sebagai tokoh yang paling komprehensif membahas isu ini, maka pendekatan ini disebut dengan tarīqat al-Shātibiyya. Buku yang paling representatif membahas tema ini secara rinci adalah al-Muwāfaqāt.[11] Kitab ini terdiri empat jilid, dan bahasan tentang maqāsid shar‘ī dibahas dalam jilid 2. Dalam kitab ini, al-Shātibī menekankan bahwa metodenya itu bersandar pada “penelitian umum tanpa membatasi pada hal-hal partikular dengan menjelaskan prinsip-prinsip wahyu dengan proposisi-proposisi akal sesuai dengan kemampuan dan anugerah dalam menjelaskan maksud dan tujuan Alquran dan Sunnah” (… mu‘tamidan ‘alā al-istiqrā’āt al-kulliyya ghayr muqtasir ‘alā al-afrād al-juz’iyya mubayyinan usūla-hā al-naqliyya bi-atrāf min al-qadāyā al-‘aqliyya hasba-mā a‘tathu al-istitā‘a wa al-minna fī bayān maqāsid al-Kitāb wa al-Sunna…).[12]
Beberapa karya yang mengulas maqāsid perspektif al-Shātibī ini adalah Nazariyyat al-Maqāsid ‘Inda al-Imām al-Shātibī karya Ahmad al-Raysūnī.[13] Dalam buku ini, yang merupakan disertasi beliau, Raysūnī memaparkan bangunan teoritis dari konsep maqāsid al-Shātibī. Ia membahas tentang pembagian maqāsid oleh al-Shātibi ke dalam dua bagian: qasd al-shāri‘ dan qasd al-mukallaf. Yang pertama terbagi ke dalam empat bahasan: 1) Maksud Allah dalam menetapkan syari’at; 2) Maksud Allah dalam menetapkan syari’at adalah agar dapat dipahami; 3) Maksud Allah dalam menetapkan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai ketentuan; 4) Maksud Allah memasukkan mukallaf ke dalam hukum syari’at. dalam kaitan dengan “Maksud Allah dalam penetapan syari’at”, terdapat 13 permasalahan yang semuanya berpusat pada isu tentang “maksud Tuhan dalam penetapan syariat”. Menurut al-Shātibī, Allah menurunkan syariat tidak lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Atau dengan kata lain, aturan-aturan Tuhan hanya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Kemudian al-Shātibī membagi kemashlahatan menjadi tiga bagian: ­al-darūriyyāt (primer, asasi), al-hājiyāt (sekunder) dan al-tahsīniyyāt (tertier, komplementer).
Kajian lain yang merupakan penjelasan terhadap beberapa kaidah yang dikemukakan al-Shātibī diulas oleh ‘Abd al-Rahmān Ibrāhīm al-Kaylānī dalam Qawā’id al-Maqāsid ‘Inda al-Imām al-Shātibī.[14] Dalam buku ini, al-Kaylānī mengupas dan menjelaskan kaidah-kaidah yang terkait dengan isu kemaslahatan dan kemafsadatan, kaidah-kaidah yang terkait dengan prinsip penghilangan segala bentuk kesulitan (raf‘ al-haraj), dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akhir atau konsekuensi dari suatu perbuatan dan maqāsid al-mukallafīn.
Kitab-kitab di atas sangat membantu dalam menyediakan penjelasan tentang maqāsid yang dirumuskan oleh al-Shātibī. Namun demikian, dalam kerangka yang sama, ada pula berbagai kitab yang mengkhususkan pada penulisan tentang maqāsid seperti di antaranya yang terpenting, Qawā’id al-Ahkām fī Islāh al-Anām karya ‘Izz al-Dīn ‘Abd al-Salām,[15] Maqāsid al-Sharī‘a al-Islamiyya wa Makārimuhā karya ‘Allāl al-Fāsī,[16] Maqāsid al-Sharī‘a al-Islamiyya karya Muhammad Tāhir b. ‘Āshūr,[17] dan Nahw Taf‘īl Maqāsid al-Sharī‘a karya Jamāl al-Dīn ‘Atiyya.[18]

Tarīqat Takhrīj al-Furū‘ ‘alā al-Usūl
Istilah takhrīj al-furū‘ ‘alā al-usūl berbeda dari takhrīj al-furū‘ min al-usūl. Yang kedua ini merujuk kepada makna “mengeluarkan hukum-hukum cabang dari dalil-dalil syariat yang terperinci, yaitu sumber-sumber hukum dalam Islam melalui media kaidah-kaidah usul.” (istikhrāj al-ahkām al-far‘iyya wa istinbātu-hā min al-adilla al-shar‘iyya al-tafsīliyya, allatī hiya masādir al-ahkām bi wāsitat al-qawā‘id al-usūliyya), sedangkan yang pertama merujuk kepada pengertian “menampakkan tempat-tempat pengambilan furū’ yang dikeluarkan dan diriwayatkan dari para imam mujtahid untuk mempermudah pemahaman terhadap analogi terhadap kasus-kasus yang serupa” (ibrāz ma’akhidh al-furū’ al-mustanbata al-marwiyya ‘an al-a’immat al-mujtahidīn li-tashīl fiqh qiyās al-ashbāh wa al-amthāl wa al-nazā’ir).
Untuk melihat penggunaan metode ini dalam kitab-kitab usūl, beberapa buku mungkin bisa memberikan gambaran yang jelas. Buku pertama adalah Ta’sīs al-Nazar yang ditulis oleh al-Dabūsī,[19] meskipun sebelumnya ada pula kitab yang menggunakan metode yang sama seperti kitab Ta’sīs al-Nazā’ir al-Fiqhiyyah karya al-Samarqandī. Metode yang digunakan dalam penulisan kitabnya itu adalah sebagai berikut: membagi permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan para ulama Hanafiyyah di kalangan mereka, dan apa yang diperselisihkan dengan para imam mujtahid selain mereka. Perselisihan ini bisa dibedakan ke dalam sembilan bagian:
1. Perbedaan antara Abū Hanīfah dengan kedua pengikutnya Abū Yūsuf dan Muhammad b. al-Hasan al-Shaybānī.
2. Perbedaan antara Abū Hanīfah dan Abū Yūsuf dengan Muhammad b. al-Hasan.
3. Perbedaan antara Abū Hanīfah dan Muhammad dengan Abū Yūsuf.
4. Perbedaan antara Abū Yūsuf dengan Muhammad.
5. Perbedaan antara tiga imam di atas dengan Imam Zufar.
6. Perbedaan antara imam-imam Hanafiyyah dengan Imam Mālik.
7. Perbedaan antara imam-imam Hanafiyyah dengan Ibn Abī Laylā.
8. Perbedaan antara imam-imam Hanafiyyah dengan Imam al-Shāfi’ī.
9. Pembahasan tentang penyebutan dalil-dalil yang menjadi dasar bagi masing-masing permasalahan yang berbeda-beda.
Al-Dabūsī membahas bagian-bagian tersebut di atas sebagai sebuah bab tersendiri, yang mencakup berbagai macam dalil dari permasalahan-permasalahan fikih yang diperselisihkan. Dari setiap prinsip atau dalil dari dalil-dalil tersebut, ia mengeluarkan banyak masalah furū’, yang setelah itu menjadi nazā’ir, ashbāh dan amthāl. Al-Dabūsī menjelaskan bahwa ada kelompok imam mujtahid yang berbeda dengan para imam mereka seperti Ibrāhīm al-Nakhā’ī, Sufyān al-Thawrī, al-Awzā’ī, al-Shā’bī, namun ia tidak menyebutkan pandangan-pandangan mereka karena khawatir akan memperluas bahasan.
Selain itu, ada kitab yang ditulis oleh al-Zanjānī dengan judul Takhrīj al-Furū’ ‘alā al-Usūl.[20] Kitab ini dalam segi penulisannya menempuh beberapa hal sebagai berikut: (i) al-Zanjānī menyebutkan dalil (asl) seraya menisbatkannya kepada yang mengatakannya, lalu menyertainya dengan argumentasinya. Setelah itu, menyebutkan pandangan orang yang berbeda dengannya, tanpa perlu panjang lebar memaparkan argumentasinya; (ii) ia tidak menyentuh pembahasan tentang perbedaan dalam dalil dan dalam furū’-nya, sebagaimana ia juga tidak melakukan pembenaran atau pen-tarjīh-an terhadapnya, atau hal-hal lain yang masuk dalam tugas ilmu fiqh muqāran; (iii) dari dalil yang disebutkan tersebut, ia men-takhrīj sebagian furū’ fikih yang muncul darinya dan yang diperselisihkan oleh kedua sisi berdasarkan perbedaan keduanya; (iv) membatasi pada pemaparan masalah-masalah usūl yang menjadi sumber perbedaan fikih dalam masalah-masalah furū’, dengan alasan bahwa pembatasan tersebut adalah untuk tujuan peringkasan. (v) ia juga mengkonstrasikan pada penelitian tentang perbedaan yang terjadi antara al-Shāfi’ī dan Abū Hanīfah, namun terkadang cukup memaparkan perbedaan antara para pengikutnya.
Kitab lain yang dilihat menggunakan pendekatan ini adalah al-Tamhīd fī Takhrīj al-Furū’ ‘alā al-Usūl karya Jamāl al-Dīn Abū Muhammad ‘Abd al-Rahīm b. al-Hasan al-Asnawī.[21] Kitab ini ditulis berdasarkan pada susunan kitab usūl. Ia memulainya dengan bahasan tentang hukum (ahkām) kemudian dalil (adillah) dan apa yang terkait. Kemudian membahas tentang ta’ārud, tarjīh dan bahasan-bahasan tentang ijtihād dan fatwā. Ia juga merinci masalah-masalah fikih namun tidak menyusunnya dalam susunan bab-bab fikih seperti yang dilakukan oleh al-Zanjānī. Ia membahas juga induk-induk masalah usūl namun tidak mencakup semuanya secara rinci. Selain itu, ia menyebut pertama kali dalil atau kaidah usūl, kemudian mengemukakan pandangan-pandangan yang dikatakan tentang itu dan memaparkannya secara sekilas, tanpa mencari dalil kecuali sedikit saja. Jika pun itu dilakukan, itu hanya dilakukan secara singkat, dan itu pun juga dengan menggunakan pandangan yang kuat dan sahih dalam pandangannya. Selanjutnya, deduksi-deduksinya terhadap dalil-dalil dan kaidah-kaidah usūl dijadikan mengikut pada pandangan-pandangan para ulama Shāfi’iyyah. Ia dibatasi pada pemaparan wilayah perbedaan dalam pendapat-pendapat mereka. Dalam keadaan lain, ia mengutip pandangan-pandangan dari mazhab-mazhab lain.
Dalam mukadimah kitabnya, Asnawī menyatakan bahwa furū’ yang ia sebutkan itu ada beberapa bagian: (i) yang merupakan jawaban dari para ashāb yang sesuai dengan kaidah; (ii) yang merupakan jawaban dari ashāb yang bertentangan dengan kaidah; (iii) yang tidak dilakukan penukilan secara umum, namun hanya menyebutkan yang ditentukan oleh kaidah mazhab usūl. Dengan demikian menjadi jelas bahwa furū’ yang disebutkan Asnawī bukan yang telah ditetapkan dalam mazhab, namun yang dikeluarkan berdasarkan kaidah sebelum Asnawī itu sendiri.
Kitab lainnya adalah al-Qawā’id wa al-Fawā’id al-Usūliyyah yang ditulis oleh Ibn al-Lahhām.[22] Kitab ini istimewa karena ia mencampurkan kaidah-kaidah usūl dengan furū’. Ia merupakan kitab yang memberikan perhatian yang banyak pada aspek penerapannya. Kitab ini tidak menceburkan diri pada setiap masalah usūl, namun hanya membahasnya sedikit. Di antara hal yang tidak dibahas adalah tentang kehujahan hadis ahād, hadis yang bertentangan dengan qiyās, masalah-masalah qiyās, istihsān, masālih mursalah, ‘urf, ‘ādah dan shar’ man qabla-nā.
Kitab ini hanya mengumpulkan 66 kaidah usūl, yang masing-masing kaidah mencakup kumpulan masalah-masalah furū’ yang dibangun berdasarkan kaidah. Ia menyusun kaidah dan menjelaskan maksudnya, dan menyebutkan pandangan-pandangan para ulama. Setelah itu, ia menyebutkan furū’ yang terbangun di atasnya. Pada umumnya, ia mengatakan: “Apabila ini telah mapan, maka di sini adalah masalah-masalah cabang yang terkait dengan kaidah” [idhā taqarrara hādhā fa-hāhunā furū’ tata’allaq bi al-qā’idah] atau “Apabila ini telah mapan, maka ada permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kaidah” [idhā taqarrara hādhā, fa-yata’allaq bi al-qā’idah masā’il]. Ketika menyebutkan dasar bangunan furū’ pada usūl, ia tidak hanya cukup menukilkan saja, namun men-tarjīh apa yang dipandangnya benar, atau ia mengemukakan pendapat selain pendapat-pendapat yang dinukilkan itu, lalu ia memandangnya sebagai pendapat yang benar.
Kitab lainnya adalah Miftāh al-Wusūl fī Binā’ al-Furū’ ‘alā al-Usūl karya al-Sharīf al-Tilimsānī.[23] Kitab ini mencakup banyak tema-tema usūl, yang di dalamnya ia menjauhi metode perdebatan (uslūb jadalī) dan argumen-argumen logika. Pembahasannya adalah tentang pengaruh perbedaan pendapat dalam masalah-masalah usūl, dalam fikih antara tiga mazhab: Hanafī, Mālikī dan Shāfi’ī, dan ia jarang sekali menyebut selain mereka, seperti penyebutannya tentang Imam Ahmad. Kitab yang kecil ini mengandung manfaat yang besar dan memberikan gambaran yang jelas tentang berbagai masalah usūl.

Artikel ini telah diterbitkan dalam Jurnal Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, STAIN Surakarta, Vol. 7, No. 2, September 2009: 13-24


[1] Mustafā Sa‘īd al-Khin, Dirāsah Tārīkhiyyah li al-Fiqh wa Usūlih wa al-Ittijāhāt allātī Zahara fī-himā, (Damaskus: Shirkat Muttahida, 1984); Mustafā Sa‘īd al-Khin, al-Kāfī al-Wāfī fī Usūl al-Fiqh, (Beirut: Mu’assasat al-Risāla, 2000)
[2] Mūsā b. Muhammad b. Yahyā al-Qarnī, Murtaqā al-Usūl ilā Tārīkh ‘Ilm al-Usūl, (Madīna: Jāmi‘ah Islāmiyya, 1414 H)
[3] Sha‘bān Muhammad Ismā‘īl, Usūl al-Fiqh: Tārīkhuhu wa Rijāluhu, Cet. ke-2, (Makka al-Mukarrama: Dār al-Salām, 1998)
[4] Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, Tahqīq: Dr. Hamza Ibn Zuhayr Hāfiz, (Madīna: Jāmi‘a Islāmiyya, tt)
[5] Abū al-Husayn Muhammad b. ‘Alī b. al-Tayyib al-Bisrī, Kitāb al-Mu‘tamad fī Usūl al-Fiqh, Tahqīq: Muhammad Humayd Allāh, 2 Jilid (Damaskus: al-Ma‘had al-‘Ilmī al-Faransī li al-Dirāsa al-‘Arabiyya, 1964)
[6] Abū Zayd ‘Ubayd Allāh b. ‘Umar al-Dabūsī, Taqwīm al-Adilla fī Usūl al-Fiqh, Tahqīq: Khalīl Muhyī al-Dīn al-Malīs, Cet. ke-1, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 2001)
[7] Abū Bakr Ahmad b. Abī Sahl al-Sarakhsī, Usūl al-Sarakhsī, 2 Jilid, Tahqīq: Abū al-Wafā’ al-Afghānī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993)
[8] Abū al-Hasan ‘Alī b. Muhammad al-Bazdawī, Kanz al-Wusūl ilā Ma‘rifat al-Usūl, (tp: Mir Muhamad Kutub Khān Markaz ‘Ilm wa Adab, tt)
[9] Tāj al-Dīn ‘Abd al-Wahhāb b. ‘Alī al-Subkī al-Shāfi’ī, Jam’ al-Jawāmi’, Cet. Ke-2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 2003)
[10] Tāj al-Dīn ‘Abd al-Wahhāb b. ‘Alī al-Subkī al-Shāfi’ī, Man’ al-Mawāni’ ‘an Jam’ al-Jawāmi’, tahqīq: Dr. Said b. ‘Ali b. Muhammad al-Humayrī, Cet. Ke-1, (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyya, 1999)
[11] Abū Ishāq Ibrāhīm al-Shātibī, al-Muwāfaqāt, Ta‘līq: Abū ‘Ubayda Mashhūr b. Hasan Āl Sulaymān, 4 Jilid (Dār Ibn ‘Affān, tt)
[12] Ibid., I: 9
[13] Ahmad al-Raysūnī, Nazariyyat al-Maqāsid ‘Inda al-Imām al-Shātibī, (Beirut: Ma‘had al-‘Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992)
[14] ‘Abd al-Rahmān Ibrāhīm al-Kaylānī, Qawā’id al-Maqāsid ‘Inda al-Imām al-Shātibī: ‘Ardan wa Dirāsatan wa Tahlīlan, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2000)
[15] ‘Izz al-Dīn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Ahkām fī Islāh al-Anām, Cet. ke-1, (Beirut: Dār Ibn Hazm, 2003)
[16] ‘Allāl al-Fāsī, Maqāsid al-Sharī‘a al-Islamiyya wa Makārimuhā, (Dār al-Baydā’: Maktabat al-Wihda al-‘Arabiyya, tt)
[17] Muhammad Tāhir b. ‘Āshūr, Maqāsid al-Sharī‘a al-Islamiyya, Tahqīq: Muhammad al-Tāhir al-Mīsāwī, Cet. ke-1, (Yordania: Dār al-Nafā’is, 1999)
[18] Jamāl al-Dīn ‘Atiyya, Nahw Taf‘īl Maqāsid al-Sharī‘a, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2001)
[19] Abū Zayd ‘Ubayd Allāh b. ‘Umar al-Dabūsī, Ta’sīs al-Nazar, Ta’līq dan Tashīh: Mustafā Muhammad al-Qubbā’ī al-Dimashqī (Beirut: Dār Ibn Zaydūn, tt)
[20] Abū al-Manāqib Shihāb al-Dīn al-Zanjānī, Takhrīj al-Furū’ ‘alā al-Usūl, Tahqīq: Muhammad Adīb Sālih, (Beirut: Mu’assasat al-Risāla, 1984)
[21] Jamāl al-Dīn Abū Muhammad ‘Abd al-Rahīm b. al-Hasan al-Asnawī, al-Tamhīd fī Takhrīj al-Furū’ ‘alā al-Usūl, Tahqīq: Dr. Muhammad Hasan Hītū, Cet. Ke-2, (Beirut: Mu’assasat al-Risāla, 1981)
[22] Abū al-Hasan ‘Alā’ al-Dīn b. Muhammad b. ‘Abbās al-Ba’lī al-Hanbalī [Ibn al-Lahhām], al-Qawā’id wa al-Fawā’id al-Usūliyyah, Ta’līq: Muhammad Hāmid al-Faqī, (Mesir: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1956)
[23] Abū ‘Abd Allāh Muhammad b. Ahmad al-Mālikī al-Sharīf al-Tilimsānī, Miftāh al-Wusūl fī Binā’ al-Furū’ ‘alā al-Usūl, Tahqīq: Muhammad ‘Alī Farkūs, Cet. Ke-1, (Beirut: Mu’assasat al-Rayyān, 1998)

Tidak ada komentar: