Selasa, 02 Desember 2008

Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan Hukum Islam:
Refleksi Historis Pembentukan Fiqih Indonesia
Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc
Dosen STAIN Datokarama Palu

Pendahuluan
Secara umum, perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah fenomena dialektika, tarik menarik, atau bahkan ketegangan antara wahyu dan akal (Nicoulson, 1969) atau tradisi (turâts) dan modernitas (tajdîd). Disatu sisi, umat Islam terikat dengan ajaran-ajaran normatif hukum Islam yang telah termanifestasikan dalam teks-teks fiqh. Sebagian besar umat Islam yang tradisionalis masih begitu “mensakralkan” interpretasi Islam yang terdapat dalam kitab-kitab turâts. Bahkan, untuk sebagian orang, misalnya, mereka mempersamakan antara hukum Tuhan (syarî’ah) yang bersifat universal dan absolut dengan pemahaman manusia terhadap hukum Tuhan (fiqh) yang bersifat historis dan relatif. Keterikatan yang begitu ketat terhadap kitab-kitab kuning disertai dengan sakralisasi terhadapnya mengakibatkan umat Islam menjadi stagnan dan kurang berani melakukan terobosan-terobosan hukum demi merespons perkembangan zaman. Sementara itu, di sisi lain, permasalahan kontemporer membutuhkan solusi yang cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan modern. Fenomena ini menunjukkan seolah-olah “pintu ijtihad telah tertutup” dan umat Islam diharuskan untuk berpegang kepada satu mazhab tertentu, bahkan mereka tidak diperbolehkan untuk berpindah ke lain mazhab.

Karena itu, di kalangan sebagian umat Islam ada yang merasa perlu melakukan dekonstruksi pemahaman yang begitu kuat di kalangan umat Islam tentang “tertutupnya pintu ijtihad”. Kemudian, setelah itu mereka melakukan apa yang diistilahkan oleh Barton, “kontekstualisasi ijtihad”. Beberapa tokoh yang berani melakukan terobosan-terobosan ini adalah, diantaranya, Hazairin yang menawarkan “mazhab nasional” dalam hukum Islam, Hasbi Ash-Shiddieqy dengan gagasan “fiqh Indonesia”-nya, Ibrahim Hosen dengan “liberalisasi ijtihad”, serta Munawir Sjadjali dengan “reaktualisasi hukum Islam”-nya. Makalah ini bertujuan untuk membuat sebuah deskripsi historis tentang perkembangan gagasan-gagasan pemikiran tokoh-tokoh ini. Sebelumnya akan dilihat setting sosial politik yang melingkupi gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam ini muncul.

Setting Sosial-Politik Pembaharuan Hukum Islam
Secara umum, perkembangan Islam di Indonesia bergerak dan berputar pada tiga poros historis: marginalisasi, oposisi, dan akomodasi. Pada masa kolonial, Islam mengalami proses peminggiran dari negara. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa pemerintah kolonial melumpuhkan hukum Islam dengan bertopeng di belakang teori receptie melalui upaya-upaya seperti: (1) tidak memasukkan fiqh jinâyah, seperti hudûd dan qishâsh ke dalam ranah hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku mengambil alih Wetboek van Strafrecht dari Belanda. (2) melarang pengkajian hukum tata negara dan penguraian Al-Quran serta hadits tentang politik dan negara. (3) mempersempit bidang fiqh mu’âmalah pada hukum perkawinan dan waris. Upaya ini dilakukan melalui langkah-langkah sistematis, seperti meninggalkan wewenang Raad Agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah waris, memberi wewenang pemeriksaan masalah waris kepada Landraad, dan melarang penyelesaian masalah dengan hukum Islam (Praja, 2002: 113).

Pada masa pasca kemerdekaan, Islam beroposisi kepada negara. Dekrit Presiden yang dikeluarkan Soekarno pada 5 Juli 1959 serta penegakan Demokrasi Terpimpin merupakan pukulan politik yang berat bagi kelompok Islam. Perkembangan sosial politik selama masa Demokrasi Terpimpin menunjukkan bahwa artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai memperlihatkan kecenderungan politik yang tidak terarah. Juga sebagai akibat diterapkannya Demokrasi Terpimpin, terjadilah pemusatan kekuasaan negara di tangan Soekarno sendiri. Dan hal ini menimbulkan reaksi keras dari partai Islam, seperti Masyumi dan PSI. Perkembangan selanjutnya adalah kekuatan politik Islam menurun drastis. Para pemimpin Islam, khususnya Masyumi, dijebloskan ke penjara karena oposisi mereka terhadap rezim Soekarno yang otoriter. Dan akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya, seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI, Februari 1958, di Sumatera Barat, Soekarno membubarkan Masyumi pada Agustus 1960. Begitupula, pada perkembangan berikutnya, Soekarno menumpas segala usaha perjuangan Islam menjadi dasar negara yang dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), seperti Kartosuwiryo di Jawa Barat (Dangel, 1995; Brackenridge, 1975) dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Sementara pada masa orde baru, dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dengan negara mengalami dua fase yang bertolakbelakang: fase ketika negara meminggirkan Islam (Tim Peduli Tapol, 1998) dan fase ketika negara mengakomodasi Islam. Fase pertama bermula dari ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada tahun 1966. Langkah awal yang dilakukan Soeharto adalah mengembangkan perekonomian. Disini, ia menegaskan perlunya pembangunan ekonomi terlebih dahulu baru kemudian menyejahterakan rakyat. Langkah ini sebenarnya pernah digugat oleh Soemitro Djojohadikusumo yang menekankan perlunya pengembangan sumber daya manusia sebagai prioritas. Pembangunan mensyaratkan adanya kestabilan sosial dan politik. Karena itu, segala sesuatu yang berpotensi mengancam kestabilan tersebut harus diantisipasi. Islam dalam fase awal pemerintahan Soeharto dianggap sebagai suatu yang bisa mengancam kestabilan. Terlebih-lebih banyak pula usaha yang dianggap “merongrong negara” dan “membahayakan Pancasila”, seperti jama’ah pengajian Warsidi (Abdul Syukur, 2003), jama’ah Usrah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, dan kelompok-kelompok agama lainnya yang dianggap radikal pada rezim orde baru. Karena itu, pada tahun 1985 dikeluarkan sebuah undang-undang yang mengharuskan semua organisasi menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi karena kekhawatiran Soeharto yang masih melihat sebagian orang, terutama umat Islam, yang memandang pancasila sebagai sesuatu yang berbahaya.

Pada fase kedua, setelah sekian lama meminggirkan dan menindas Islam dengan ideologi Pancasila-nya demi stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan ekonomi, Soeharto kemudian merangkul Islam yang dilihatnya sebagai memiliki potensi untuk mendukungnya. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa sebagian umat Islam sudah tidak begitu mempermasalahkan lagi Pancasila sebagai asas tunggal, seperti dinyatakan oleh Munawir Sjadzali (Ramage, 2002: 147). Disamping itu, kata Nurkholis Madjid, “Umat Islam tidak bertanya apakah [Pancasila] itu sah atau tidak. Pancasila sah tapi bagaimana kita menafsirkannya?” (Ramage, 2002: 147). Pendekatan Soeharto terhadap Islam terbukti, misalnya, dengan pelbagai kebijakannya yang mengadopsi aspirasi Islam, seperti disahkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (14 Desember 1989), UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan dilanjutkannya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan mengakui pendidikan agama sebagai sesuatu subsistem formal dari sistem pendidikan nasional, terbentuknya ICMI pada tahun 1990, publikasi Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991 melalui Instruksi Presiden (Inpres) yang dijadikan sebagai pegangan hukum oleh hakim-hakim peradilan agama, dan UU Perbankan Syariah.

Jika dilihat konteks terjadinya pembaharuan dalam hukum Islam, dapat kita lihat ia berada pada fase terjadinya akomodasi negara terhadap Islam, dengan pengecualian Hazairin. Dan uniknya, pembaharuan banyak dilakukan oleh mereka yang secara langsung berada dalam kekuasaan. Munawir Sjadzali, misalnya, adalah seorang menteri agama ketika menggulirkan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam, dimana ia menjadi pendukung rezim orde baru-nya Soeharto. Ibrahim Hosen aktif dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada saat itu lebih cenderung menyuarakan fatwa-fatwa yang dalam ruang lingkup fiqh siyâsî (fiqih politik) kerapkali mempertahankan status quo dan mendukung kekuasaan orde baru. Mereka secara umum bersikap “tidak konfrontatif”, bahkan cenderung “akomodatif” terhadap kebijakan kekuasaan saat itu.

Hazairin: Mazhab Nasional
Pertama kali yang melakukan terobosan dalam hukum Islam dalam konteks Indonesia adalah Hazairin, seorang guru besar dalam bidang hukum Islam dan hukum adat di Universitas Indonesia, yang dilahirkan di Bukit Tinggi pada tahun 1906 dan meninggal di Jakarta pada tahun 1975. Latarbelakang Hazairin adalah di bidang hukum adat (Adat Recht) dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang tersebut (Dahlan, 1996: 537-8). Kendati terdidik dalam bidang hukum, ia tetap mendapatkan pendidikan agamanya dari kakeknya, yang kemudian diperdalamnya secara otodidak.

Bagi Hazairin, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Mereka yang berpendapat bahwa pintu ijithad telah tertutup pada dasarnya tidak memahami kasih sayang Tuhan (Hazairin, 1974: 115-6). Ijtihad adalah suatu hal yang vital, karena itu, sikap taklid tidaklah dibenarkan dalam Islam. Tetapi, menurut Hazairin, ijtihad hanya terbatas pada masalah-masalah sosial-kemasyarakatan, tidak dalam masalah-masalah ibadah-ritual. Hazairin nampaknya mensyaratkan bahwa disamping menguasai ilmu-ilmu pengetahuan Islam, setiap orang yang melakukan ijtihad harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sosiologi atau ilmu-ilmu kemasyarakatan. Hazairin juga percaya bahwa untuk memahami ajaran Islam dalam konteks modernitas, ijtihad adalah suatu hal yang penting. Sebagai bentuk komitmen atas pernyataannya, ia juga melakukan ijtihad. Pada tahun 1950, ia mengusulkan apa yang disebut dengan “mazhab nasional”, sebuah mazhab baru bagi orang Muslim Indonesia.
Yang menjadi perhatian dan garapan Hazairin adalah reaktualisasi dalam tiga bidang hukum Islam: zakat, perkawinan dan kewarisan (Hazairin, 1968: 4). Tulisannya tentang zakat tidaklah begitu spesifik. Ia menyatakan bahwa dalam melakukan restrukturisasi sistem ekonomi Indonesia baru berdasarkan pancasila, perlu mempertimbangkan zakat. Bagi Hazairin, tulisan tentang zakat dalam buku fiqh klasik tidaklah cukup. Pembagian zakat mesti dilakukan dengan menggunakan sistem finansial modern seperti bank dimana orang miskin dapat mengajukan permohonan pinjaman berjangka panjang dan kredit bebas bunga. Zakat seharusnya diatur oleh pemerintah. Disamping itu, dalam bidang perkawinan, ranah ini harus direaktualisasikan sesuai dengan spirit emansipasi perempuan.

Yang paling luas menjadi garapan Hazairin adalah tentang masalah warisan. Bagi Hazairin, warisan harus bertransformasi dari sistem unilateral kepada sistem bilateral. Gagasannya bertitiktolak dari pemahamannya bahwa Al-Quran lebih mendukung sistem bliateral daripada unilateral (al-Nisa: 22-24). Menurutnya, jika Al-Quran dikaji secara mendalam dengan menganalisa pelbagai struktur masyarakat, terutama sistem masyarakat, sistem keluarga, garis keturunan, kondisi-kondisi yang menghalangi perkawinan, ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan perkawinan dan kewarisan akan membentuk suatu sistem keluarga bilateral (Hazairin, 1967: 11). Karena struktur masyarakat Islam adalah bercorak bilateral, maka sistem kewarisannya juga harus bercorak bilateral, bukan unilateral.

Akibat dari pemahaman bilateral tersebut, Hazairin memformulasikan beberapa hal yang berbeda dengan hukum kewarisan Sunni, yaitu: (i) anak laki-laki dan perempuan, berkedudukan sama dalam meng-hijab (menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan), baik sebagai dzul furûdh (yang pasti mendapatkan warisan) maupun sebagai dzul qarâbah (keluarga dekat). Yang membedakan mereka hanyalah jenis kelamin mereka, yaitu laki-laki mendapat porsi dua kali lebih besar dari anak perempuan. (ii) Cucu laki-laki dan perempuan dapat berkedudukan sebagai mawâlî, yaitu pengganti dari kedudukan orang tua mereka, sebagaimana anak keturunan mereka, baik dari jalur laki-laki maupun perempuan dalam derajat yang sama. (iii) Ayah hanya mendapat bagian 1/6 bila si mati memiliki anak laki-laki ataupun perempuan atau anak-anak dari salah seorang mereka dan segala anak mereka seterusnya. (iv) Para saudara hanya mewarisi jika tidak ada anak-anak, mereka hanya di-hijâb nuqshân oleh adanya ibu dan ayah. (v) Kakek dan nenek hanya akan mewarisi dalam keadaan kalâlah yakni tidak adanya anak turun pewaris, laki-laki maupun perempuan, beserta mawâlî bagi anak-anak tersebut. (vi) Tidak ada dzawil arhâm, karena dalam setiap garis memiliki mawâlî sehingga ketidakberhakan mereka dalam mewarisi karena adanya hijâb dan meng-hijâb di antara para waris (Sarmadi, 1997: 274-5). Gagasan seperti ini bertentangan dengan pandangan konvensional fiqh Sunni klasik tentang kewarisan, dan gagasan ini juga tidak begitu banyak mendapatkan sambutan, malah kritikan dari berbagai fihak umat Islam.

Beberapa hal yang menjadi catatan buat Hazairin tentang gagasan “mazhab nasional” adalah ketidakjelasan kerangka ijtihadnya. Kendati Hazairin menekankan pentingnya ijithad, tetapi ia tidak menjelaskan dengan tepat pengertian ijtihad. Begitupula, ia tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan “mazhab nasional” dalam tataran epistemologis dan metodologis. Lebih lagi, ia juga tidak memberikan penekanan kepada signifikansi ushul fiqh dalam upaya ijtihad, yang tentunya berbeda dengan para pembaharu hukum Islam Indonesia lainnya. Ia hanya menekankan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu alam dan sosial dalam memahami dan mengeluarkan hukum dari Al-Quran dan Sunnah.

Hasbi Ash-Shiddieqy: Fiqh Indonesia

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhok Seumawe, Aceh, pada tanggal 10 Maret 1904. Nama keluarganya, Ash-Shiddieqy, menandakan Hasbi sebagai keturunan ke-37 dari Abu Bakar al-Shiddiq, khalifah Islam pertama. Ia dilahirkan dan tumbuh dalam keluarga tengku, sebuah keluarga yang dipandang religius dalam komunitas Aceh. Pendidikan Hasbie berlangsung dari pesantren ke pesantren, yang secara politis, sangat anti-Belanda. Pengenalan Hasbi dengan ide-ide Islam modernis berawal ketika ia bertemu dengan Al-Kalali, pendiri majalah al-Imam (yang didirikan di Singapura pada tahun 1906). Darinya, ia mengenal dan menelaah karya-karya Ibn Taimiyah, diantaranya Fatâwâ Ibn Taymiyah dan Majmû’ al-Rasâ’il. Begitupula, ia melahap karya-karya Ibn Qayyim al-Jawziyah, Zâd al-Ma’âd, I’lâm al-Muwaqqi’în, Badâi’i al-Fawâ’id, dan Syifâ’ al-‘Alîl. Dalam tradisi keislaman, karya-karya Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah ini dikenal sebagai karya-karya yang bermuatan ‘pembaharuan’ dan ‘pemurnian’ serta berorientasi pada faham Wahabiyah yang sangat anti terhadap hal-hal yang berbau bid’ah, tahayul dan khurafat.

Akibat pertemuannya pula dengan Al-Kalali, Hasbi kemudian tertarik untuk terlibat dalam gerakan Islam modernis, terutama Al-Irsyad. Bahkan pada tahun 1928, ia pernah diangkat sebagai kepada sekolah Al-Irsyad. Dalam bidang sosial keagamaan, Hasbi berkecimpung dalam organisasi Muhammadiyah, dan ia juga pernah menjadi pemimpin organisasi ini untuk wilayah Aceh (1943-1946). Sedangkan dalam tataran politik, Hasbi aktif dalam, dan bahkan pernah menjadi pemimpin Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Lhok Seumawe (1931), Masyumi, dan mendirikan Persatuan Islam cabang Lhok Seumawe.

Kemudian, sejak tahun 1951, Hasbi memulai karirnya sebagai dosen di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menjadi dekan Fakultas Syari’ah hingga 1974, dan Direktur Pelaksana Program Pasca untuk dosen-dosen seluruh IAIN. Karya-karya Hasbi sangat banyak (kira-kira jumlahnya melebihi 120 buah yang tersebar di beberapa penerbitan). Keseluruhan karyanya tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat bidang keilmuan, yaitu ulumul Qur’an, Hadits, teologi dan fiqh.

Dalam bidang hukum Islam, Hasbi dikenal sebagai seorang ulama modernis. Gagasan pembaharuannya bertitik-tolak dari keyakinannya bahwa ijtihad adalah suatu hal yang penting, yang selalu terbuka dan tidak akan pernah tertutup. Karena asumsi yang mengatakan bahwa “pintu ijtihad telah tertutup”-lah yang menyebabkan umat Islam terperosok ke dalam kemunduran dan keterbelakangan. Bagi Hasbi, agar umat Islam tidak terjerembab ke dalam kemunduran, maka ijtihad adalah suatu hal yang penting, dan ia merupakan sebuah usaha pendayagunaan akal secara maksimal dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalil melalui cara-cara penyelidikan yang cermat dan teliti (Hasbi, 1975a; Hasbi, 1967: 192). Sebagai basis ijtihad, umat Islam, menurutnya, harus kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber primer, dan memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang tidak mendapatkan pijakan yang jelas dalam Al-Quran dan Sunnah. Gagasan fundamental seperti ini nampak jelas dipengaruhi oleh bacaan Hasbi terhadap karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, dan karya-karya modernis lainnya.

Dalam melakukan ijtihad, seorang faqih harus mempertimbangkan dan mengakomodasi perubahan sosial. Munculnya mazhab-mazhab, seperti mazhab Irak, Hijaz, Madinah, Syam, dan sebagainya, merupakan contoh-contoh yang representatif bahwa hukum Islam bersifat kontekstual dan terikat dengan kondisi sosial dan budaya serta kondisi geografis tertentu. Dan inilah yang menandai relativitas hukum Islam (fiqh), dan masing-masing mazhab, karenanya, mengandung kebenaran. Pemutlakan atau fanatisme kepada mazhab hanya akan menyebabkan hukum Islam menjadi rigid dan stagnan dalam merespons perkembangan masyarakat (Hasbi, 1975b: 21). Untuk itu, dalam rangka menghilangkan fanatisme mazhab, perlu dilakukan upaya perbandingan (dirâsah muqâranah) terhadap mazhab-mazhab fiqh yang ada termasuk juga mazhab fiqh Syi’ah. Hal ini mungkin, karena elastisitas dan relativitas fiqh. Dan bagaimanapun juga, menurut Hasbi, fiqh bukanlah syari’ah. Hasbi membedakan kedua istilah ini. Bagi Hasbi, syari’ah merujuk kepada “hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasul agar diamalkan dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan amaliyah, akidah maupun akhlak (Hasbi, 1975b: 9). Sedangkan fiqh, menurutnya, adalah “hukum-hukum yang diperoleh manusia dengan jalan ijtihad” (Hasbi, 1975c: 158). Pada wilayah yang pertama, ijtihad tidak dibenarkan, sementara yang kedua terbuka peluang yang sangat luas untuk ijithad.

Dari sinilah, Hasbi kemudian menggagas sebuah konsep fiqh Indonesia dimana hukum Islam harus dibentuk dengan melihat kepada konteks keindonesiaan. Sayangnya, gagasan ini tidak disistematisasikan oleh Hasbi dalam kerangka yang baku dan jelas. Kendati demikian, logika gagasan tersebut dapat ditelusuri dengan melihat secara keseluruhan kepada model dan kerangka berfikirnya. Dalam merespons permasalahan kontemporer, pendekatan Hasbi cenderung ‘tekstualis-liberal’, yaitu Hasbi sangat apresiatif dan terikat dengan karya-karya ulama klasik dalam upaya ijtihadnya, tetapi ia kerapkali berbeda pendapat dalam formulasi hukumnya. Beberapa kaidah ushuliyah yang seringkali digunakan Hasbi dalam berijithad adalah teori istihsân, mashâlih al-mursalah, dan ‘urf (adat kebiasaan). Dalam hal ini, Hasbi adalah seorang yang sangat piawai dalam meminjam tradisi klasik ushul fiqh, tetapi ia tidak berupaya menawarkan sebuah metodologi hukum Islam baru dalam merespons perkembangan zaman.

Beberapa contoh ijtihad hukum yang dilakukan Hasbi adalah tentang haramnya pembacaan Al-Quran dengan berlagu untuk maksud-maksud keduniaan dan materi, tidak haramnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (yang tidak boleh dinikahi); tentang tidak ada dhuhur pada hari Jumat karena sudah digantikan dengan shalat Jumat dan ini berlaku bagi baik laki-laki maupun perempuan, yang berhalangan maupun tidak; perbedaan mathla’, dan masalah zakat (Nourouzzaman, 1997: 172-201).

Ibrahim Hosen: Liberalisasi Ijtihad

Tokoh pembaharu hukum Islam lainnya yang begitu mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah Ibrahim Hosen, yang oleh Juhaya S. Praja (1994), disebut “Artis Politik Hukum Islam”. Ia dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 1 Januari 1917. Secara intelektual, ia terdidik di dalam pesantren-pesantren tradisional, dan kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Mesir dan mendapatkan gelar License of Mohammadan Law (LML) pada tahun 1960. Dalam bidang sosial-keagamaan, ia terlibat dalam organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta partai Masyumi. Disamping kedudukannya sebagai akademisi terkemuka dalam bidang hukum Islam di berbagai perguruan tinggi Islam, posisi yang paling penting dalam kaitannya dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah sebagai ketua komisi fatwa MUI (dari tahun 1980-an hingga 1990-an).

Hosen adalah seorang yang sangat ahli dalam menelaah kitab-kitab klasik. Karena itu, dalam usaha pembaharuannya, ia berangkat dari ketentuan-ketentuan konvensional-klasik yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut, seperti misalnya ketika ia memberikan definisi tentang ijtihad. Bagi Hosen, ijtihad hanya bisa diterapkan dalam bidang fiqh, tidak dalam ranah teologi atau ilmu-ilmu lainnya (Hosen, 1987: 3-11; Hosen, 1996: 23-45). Bagi Hosen, dengan mengutip Mahalli, Ijtihad merupakan “sebuah upaya mencurahkan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh seorang faqîh untuk mendapatkan zhann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i.” Jadi ijtihad bertujuan untuk memperoleh hukum syari’at tingkat zhannî (Hosen, 1994: 5).

Tetapi ketika mempertanyakan siapa yang dimaksud dengan faqîh, ia mengemukakan sebuah pendapat yang agak berlawanan dengan kebanyakan ulama lainnya yang beranggapan bahwa faqîh adalah orang yang menguasai masalah-masalah fiqh. Bagi Hosen, faqîh, adalah seorang yang berbakat fiqh. Karena, kata Hosen, kata faqîh adalah kata sifat atau shifat musyabbihâh dari faquha yang termasuk dalam kategori af’âl al-sajâyâ [kata kerja yang menunjukkan watak atau bakat] (Hosen, 1994: 5). Implikasi pemahaman ini adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad tidak mesti orang yang menguasai semua masalah fiqh, tetapi cukup orang yang memiliki bakat fiqh. Hosen mencontohkan jika yang dimaksud dengan faqîh adalah orang yang menguasai masalah-masalah fiqh, maka Imam Malik tidak dapat dimasukkan dalam kategori faqîh, karena ketika ia ditanya 40 masalah, ia hanya bisa menjawab empat masalah. Namun, tidak seorangpun menolak bahwa Imam Malik adalah seorang faqîh.

Lebih lanjut, dalam merespons isu “apakah pintu ijtihad telah tertutup”, Hosen, seperti kebanyakan pembaharu lainnya, menegaskan bahwa pintu tersebut tidak pernah tertutup karena hukum-hukum nash sangat terbatas sementara perbuatan manusia tidak pernah terbatas. Sungguh sulit, demikian Hosen, sesuatu yang tidak terbatas dikembalikan kepada yang terbatas. Disini juga, Hosen menegaskan bahwa seseorang bisa melakukan ijtihad hanya dalam satu masalah tertentu jika ia sudah memiliki kemampuan dan watak fiqh, karena, menurut Hosen, al-ijtihâd qâbil li al-tajzi’ah [ijtihad dapat dibagi-bagi]. Dari asumsi inilah, Hosen memberanikan diri untuk melakukan upaya-upaya ijtihad sekalipun banyak kecaman-kecaman yang diarahkan kepadanya.

Beberapa metode dan pendekatan yang digunakan oleh Hosen (Tim Penulis Biografi, 1996: 103-118; Hosen, 1995: 267-80) dalam melakukan ijtihadnya diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman yang kontekstual terhadap Al-Quran dengan memahami semangat dan jiwanya. Sehingga kalau dalam realitas kehidupan terdapat aturan dan perundang-undangan yang semangat dan jiwanya relevan sesuai dengan Al-Quran, maka aturan dan perundangan tersebut harus dapat diterima dan dibenarkan oleh Islam, sekalipun secara harfiah tidak disebutkan secara eksplisit atau secara lahiriyah bertentangan dengan Al-Quran. Misalnya, Pancasila, yang sekalipun tidak disebutkan secara harfiyah dalam Al-Quran, tetapi jika dengannya kesatuan dan persatuan bangsa dapat terwujud, ia dapat diterima sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sunnah dapat dijadikan pegangan apabila hal itu dilakukan oleh Nabi dalam fungsinya tasyri’ al-ahkâm, bukan yang muncul dari sifat-sifat kemanusiaan Nabi. Tetapi juga, sunnah ini harus dipahami secara kontekstual dengan melihtat semangat dan jiwanya.
3. Pendekatan ta’aqqulî dalam hal-hal yang masuk dalam kategori ini, dengan menggunakan penalaran analogis (qiyâs). Bahkan, yang masuk dalam kategori ta’abbudî masih terbuka kemungkinan didekati dengan pendekatan ta’aqqulî, tentunya melalui penelitian yang mendalam.
4. Ijma’ yang dapat diterima adalah ijma’ shahabat yang bersifat mutawâtir dan sharîh, bukan ijma’ semua ulama. Dan ijma seperti ini tidak banyak bahkan sulit terjadi. Dengan demikian, kita akan berani melakukan terbosan-terobosan hukum ke depan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer.
5. Pendekatan zawâjir dalam hukum pidana. Yaitu, hukuman dilakukan dengan tujuan agar pelaku pidana menjadi jera dan tidak akan melakukan lagi perbuatannya. Juga, agar orang lain yang bermaksud jahat merasa takut untuk melakukan sehingga mengurungkan niatnya. Konsekuensi teori ini, berbeda dengan teori jawâbir yang mengharuskan hukuman sesuai dengan nash, adalah bahwa pelaku pidana dapat dikenai hukuman apa saja dengan catatan bahwa pelaku tersebut akan merasa jera dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Teori zawâjir ini sejalan dengan teori behavioral prevention. Artinya, hukuman pidana harus dilihat sebagai cara agar yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan tindak pidana (incapacitation theory) dan pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan, yang bertujuan untuk merehabilitasi si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada aturan (rehabilitation theory). Teori ini merupakan pengembangan dari deterrence theory yang berharap efek pencegahan dapat timbul sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition), misalnya melalui ancaman, contoh keteladanan dan sebagainya; dan intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Pemerintah dapat saja memilih untuk mempertimbangkan teori zawâjir (bukan jawâbir) dalam pidana Islam yang ternyata cocok dengan teori-teori pidana modern.
6. Penggalakkan mashlahah mursalah atau istishlâh. Misalnya, pasukan musuh yang hendak menyerbu benteng umat Islam membawa sandera sejumlah orang Islam sebagai perisai mereka. Bila umat Islam melawan demi mempertahankan benteng, orang Islam yang dijadikan perisai pasti terbunuh, padahal membunuh orang Islam dilarang dalam agama. Sebaliknya, bila mereka dibiarkan menyerbu demi meyelamatkan orang Islam yang dijadikan perisai, mereka pasti menghancurkan benteng umat Islam, padahal mempertahankan benteng diperintahkan dalam agama. Disini terjadi dilema, melawan musuh dengan mengorbankan orang Islam yang dijadikan perisai demi mempertahankan benteng memang dapat membawa kemaslahatan besar, yaitu menyelamatkan benteng dan umat Islam yang ada di dalamnya. Tetapi, cara seperti itu tidak dipertegas oleh dalil, baik yang memerintahkan maupun melarangnya. Inilah yang disebut dengan mashlahah mursalah, dan berdasarkan mashlahah mursalah ini cara tersebut dapat dilakukan.
7. Penggunaan kaidah irtikâb akhaff al-dhararain (pemilihan alternatif yang lebih ringan bahayanya). Contohnya, penembakan misterius (petrus) yang pernah dipraktekkan untuk menumpas kejahatan adalah tindakan yang tidak berdasarkan hukum, sementara kejahatan merajalela. Jika kejahatan dibiarkan, tentu akan menimbulkan keresahan di masyarakat sehingga ketahanan nasional akan goyah dan pembangunan akan terganggu. Berbuat kejahatan, seperti penodongan, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain, jelas dilarang oleh Islam. Haramnya kejahatan-kejahatan tersebut lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan haramnya penembakan misterius yang dijadikan sebagai alat pemberantasan. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip irtikâb akhaff al-dhararain, penembakan misterius yang dijadikan alat untuk melenyapkan kejahatan tersebut dapat saja dibenarkan.
8. Pengunaan sadd al-dzarî’ah (penutupan jalan atau celah yang menuju ke sesuatu yang dilarang Tuhan). Misalnya, pemerintah dapat melarang penjualan bebas alat kontrasepsi, demi menghindari terjadinya penyalahgunaan. Demikian pula, berdasar konsep ini, pemerintah dapat melarang peredaran dan penjualan buku-buku porno, film cabul, dan lain sebagainya.
9. Mem-fiqh-kan yang qath’î. Yaitu, merelatifkan nash-nash yang qath’î al-dalâlah (absolut dan pasti dari segi penunjukan dalil) yang mengandung dimensi ta’aqqulî atau zhannî. Misalnya, sahnya talak isteri apabila seorang suami telah melimpahkan hak talak kepada isterinya. Menurut nash qath’î, hak talak adalah di tangan suami. Tetapi, jika suami telah melimpahkan hak tersebut kepada isterinya, maka isteri bisa langsung menjatuhkan talak kepada suaminya.
Beberapa terobosan-terobosan hukumnya yang banyak menimbulkan kontroversi di sebagian kalangan umat Islam Indonesia, diantaranya adalah tentang kebolehan meminum bir dalam kadar yang tidak memabukkan, penggantian al-hadyu (dam) dengan qîmah (nilai, uang) dalam ibadah haji, ketiadaan unsur judi dalam undian “porkas”, kebolehan perempuan menjadi hakim, dan lain-lain.

Munawir Sjadzali: Reaktualisasi Hukum Islam
Munawir Sjadzali merupakan tokoh yang gigih membumikan gagasan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia. Tokoh yang dilahirkan pada 7 Nopember 1925 di Klaten ini terdidik dalam lingkungan yang agamis dan mendapatkan gelar Master of Arts pada Georgetown University, USA, pada tahun 1959 dengan tesis “Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Concepts”. Karirnya begitu luas, tetapi yang paling berpengaruh adalah posisinya sebagai menteri agama dua periode (1983-1988/ 1988-1993).

Gagasan reaktualisasi Sjadzali dicetuskan pada pertengahan 1980-an, pada saat ia menjabat sebagai menteri agama. Usaha ini didorong oleh kenyataan adanya rumusan Islam tentang hukum untuk berbagai persoalan banyak yang tidak dapat dilaksanakan. Juga, adanya sikap “munafik” di kalangan umat Islam bahkan juga para ulamanya dalam menjalankan hukum Islam terutama, misalnya, hukum waris. Disatu sisi, mereka mengatakan bahwa pembagian satu banding dua adalah suatu keharusan, sementara di sisi lain, mereka secara diam-diam tidak menjalankan ketentuan hukum ini, yaitu dengan cara meng-hibah-kan hartanya secara sama kepada anak-anaknya.

Karena itu, Sjadzali mengusulkan pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Yang menjadi alasan kesetaraan Sjadzali ini, menurut Atho Mudzhar (2000: 160), pada masa sebelum Islam, perempuan sama sekali tidak mendapatkan warisan. Setelah Islam datang perempuan diberikan warisan meskipun hanya setengah bagian dari laki-laki. Ini secara sadar Islam hendak mengangkat hak dan derajat kaum perempuan. Dan ini yang menjadi spiritnya. Karena itu, untuk konteks sekarang di mana peran dan tanggung jawab perempuan setara dengan laki-laki, maka pembagian porsi yang seimbang merupakan keniscayaan. Yang ditekankan oleh Sjadzali sebenarnya adalah “prinsip keadilan”. Baginya, keadilan adalah salah satu unsur yang melekat dalam ajaran Islam. Memang jika ditelusuri dengan pendekatan ushul fiqh klasik, gagasan ini bertentangan dengan ketentuan qath’î yang bersifat pasti dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Dalam tradisi ushul fiqh, yang masuk dalam kategori qath’î adalah bilangan atau angka-angka, sehingga penentuan 2:1 dalam pembagian antara anak laki-laki dan perempuan masuk dalam kateori qath’î yang tidak mengandung kemungkinan makna lain.

Dalam melakukan upaya tersebut, Munawir Sjadzali menempuh beberapa langkah: pertama, menerapkan teori naskh yang mengindikasikan adanya kemungkinan penghapusan ketentuan hukum awal oleh ketentuan hukum kemudian sehingga ketentuan hukum yang dihapus (mansûkh) menjadi tidak berfungsi. Untuk mendukung argumentasinya ia mengutip pendapat-pendapat seperti Ibn Katsir, Mustafa al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Sayyid Quthub, yang secara tegas mengakui adanya prinsip naskh dalam ayat-ayat Al-Quran (Sjadzali, 1996: 119). Menurut al-Maraghi, seperti dikutip Sjadzali (1996: 119), “Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan yang pada waktu itu memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka adalah suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum lain yang sesuai dengan waktu terakhir.” Menurut pemikir ini juga, cukup banyak terdapat ayat Al-Quran yang berisi petunjuk-petunjuk yang tidak relevan lagi dengan tahap perkembangan peradaban sekarang seperti pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum laki-laki di samping isteri [surat al-Nisa: 3, al-Mu’minun: 6, al-Ahzab: 52, al-Ma’arij: 30] (Sjadzali, 1996: 120).

Kedua, pembedaan dan pengklasifikasian hukum ke dalam dua ranah, yaitu hukum ibadah-ritual mahdhah yang bersifat tetap dan tidak berubah, dan hukum sosial-kemasyarakatan, yang dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi dan tempat. Dalam ranah hukum yang kedua, ia menekankan prinsip “kemaslahatan” sebagai prinsip dasar pensyariatan hukum. Dalam hal ini, Munawir Sjadzali banyak mengutip teori-teori hukum yang dikemukakan oleh, misalnya, Najmuddin al-Thufi, Ibn Qayyim al-Jawziyah, ‘Izz al-Din Abd al-Salam dan Abu Yusuf. Terutama yang paling memberikan inspirasi kepadanya dalam melakukan reaktualisasi hukum Islamnya adalah sejarah Umar bin Khattab yang berani melakukan terobosan-terobosan hukum dengan melihat kepada jiwa atau spirit Al-Quran.

Catatan Akhir: Sebuah Tawaran Metodologis
Semua tokoh pembaharu di atas memiliki pandangan yang sama bahwa ijtihad merupakan suatu keharusan. Ijtihad merefleksikan sebuah dinamika hukum Islam yang memang muncul melalui pergumulan antara teks dan realitas. Kendati demikian, mereka berbeda dalam memformulasikan langkah-langkah dan metodologi dalam berijithad. Hal ini disebabkan dalam beberapa hal oleh latarbelakang pendidikan yang berbeda. Kendati demikian, titik fokus awal tetap berpijak kepada pendekatan normatif yaitu dengan menjadikan teks sebagai teropong terhadap realitas masyarakat. Teks dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merespons permasalahan-permasalahan hukum.

Penekanan dari semua pembaharu adalah melihat kepada kebutuhan masyarakat dengan menekankan kepada prinsip mashlahah seperti tercermin dalam penggunaan dan dukungan mereka kepada teori istishlâh yang terdapat dalam tradisi ushul fiqh. Disini, nampaknya mereka menekankan aspek teleologis atau utilitarianistik dalam memahami fenomena hukum Islam. Pendekatan istishlâh yang mereka gunakan cenderung bersifat ‘teosentris’, dalam arti bahwa kemaslahatan harus sesuai dengan keinginan Tuhan yang terdapat dalam teks-teks normatif, sedangkan teks-teks normatif tersebut sangat terbatas. Disamping itu, konsep istishlâh lebih cenderung “egoistik”, yaitu lebih menekankan pada hak daripada kewajiban, dan “antroposentris” dalam arti bahwa penekanannya hanya pada kepentingan manusia, dan cenderung mengabaikan sesuatu yang berada di luar manusia, yaitu alam dan lingkungan hidup (bî’ah).

Kecuali Hazairin yang menggunakan pendekatan antropologi-sosial dalam menawarkan gagasannya tentang kewarisan, para pembaharu nampaknya tidak menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam melakukan pembaharuannya. Untuk konteks sekarang ini, permasalahan-permasalahan sudah semakin mengglobal, seperti isu-isu HAM, demokrasi, isu-isu lingkungan, kesetaraan gender, pluralisme agama, terorisme internasional, dan lain-lain, yang sulit dipecahkan dengan pendekatan normatif-teologis atau normatif-teleologis. Yang harus dijadikan sebagai maqâshid al-syarî’ah adalah tidak lagi prinsip mashlahah yang begitu abstrak, tetapi prinsip-prinsip seperti keadilan (al-‘adâlah), persamaan (al-musâwât), dan kebebasan (al-hurriyah). Alat bantu untuk menganalisis permasalahan-permasalahan kontemporer global tersebut bisa mencakup pula ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Disinilah pentingnya tawaran-tawaran metodologis dari Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed an-Naim, Muhammad Syahrur, dan Khaled Abou Fadl. Rahman (1980, 1992), misalnya, menggunakan teori double movement ­(gerak ganda) dalam menganalisa teks. Bagi Rahman, Al-Quran harus dipahami secara holistik, tidak ayat per ayat. Al-Qur’an mesti dianalisa sebagai satu kesatuan dengan melihat latarbelakang masyarakat Mekkah dan Madinah. Untuk itu, pengetahuan yang mendalam tentang adat istiadat, masyarakat dan ekonomi Arab sangat diperlukan. Ini merupakan gerak pertama dari teori ini, yaitu memahami konteks mikro dan makro pada saat Al-Qur’an diturunkan. Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli yang dikandung oleh wahyu ditengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus juga dapat diperoleh gambaran yang lebih luas tentang situasi dunia saat itu. Kemudian setelah itu merealisasikan ajaran-ajaran umum tersebut ke dalam konteks sosio-historis saat ini.

Muhammad Syahrur (1992, 2000) menawarkan “teori batasan” (nazhariyyat al-hudûd). Menurut Syahrur, wilayah ijtihad sebenarnya ada pada ruang antara al-hadd al-a’lâ (batas maksimal) dan al-hadd al-adnâ (batas minimal). Kata hudûd tidak hanya mengacu kepada uqûbât (pidana) tetapi juga aturan-aturan hukum yang batasannya ditentukan oleh Allah dan tidak boleh dilanggar. Namun di dalamnya ada wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel dan tidak rigid. Dengan demikian, Al-Quran akan tetap kontekstual penyajiannya, tanpa meninggalkan sakralitas teks.

Abdullah Ahmed an-Naim (1990), menawarkan teori evolusi syari’ah dan naskh model Mahmud Thaha (2003), dalam menangani masalah-masalah kontemporer dan isu-isu global. Menurut an-Naim, para ahli hukum perintis melalui proses naskh dengan berpegang kepada ayat-ayat dan hadits-hadits periode Madinah (al-risâlah al-tsâniyah) telah menghapus ayat-ayat dan hadits-hadits periode Mekkah (al-risâlah al-‘ûla). Untuk konteks saat ini yang sarat pluralitas, maka periode Mekkah yang berisi ajaran-ajaran Islam yang esensial-substanstif (al-risâlah al-‘ûla), dihidupkan atau dievolusikan kembali untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer-global.

Terakhir, Khaled M. Abou Fadl (2003: 156) menekankan pada penyelidikan-penyelidikan moral daripada kepentingan publik (mashlahah ‘âmah) dalam memformulasikan hukum. Nilai-nilai moral harus diambil dari universalitas-universalitas yang terdapat dalam teks suci. Sebagai contoh, keadilan, kehormatan, keindahan, dikenal sebagai nilai-nilai moral karena Al-Quran menekankan ketiganya sebagai kewajiban-kewajiban normatif. Lebih lanjut, menurut Khaled, pertimbangan-pertimbangan moral lebih mengakar dalam teks suci Islam ketimbang pertimbangan-pertimbangan yang murni fungsional. Tidak masuk akal jika kita mengakui pentingya pengakuan terhadap kepentingan publik (mashlahah âmah) dalam mededuksi sebab-sebab operatif hukum (‘ilal), atau dalam mempertimbangkan apakah sebuah hukum harus diimplementasikan atau dimodifikasi, tetapi pada saat yang sama, kita mencampakkan pertimbangan-pertimbangan moral (Fadl, 2003: 158; Fadl, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, (Terj.) Cet. ke-2, Yogyakarta: LKiS, 1997
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Ruang Lingkup Ijtihad para Ulama dalam Membina Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1975
-----------, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
-----------, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Cet. ke-1, Jakarta: Tintamas, 1975b
-----------,Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis Lengkap, Bulat dan Tuntas, Cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1975c
Brackenridge, Lindy C., The Darul Islam Movement in West Java: A Study of Religion and Its Relationship to Insurgency, Tesis, Department of Asian History and Civilizations, Faculty of Asian Studies, Canberra: Australian National University, 1975
Coulson, Noel J., Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, Chicago, London: The University of Chicago Press, 1969
Dahlan, Abdul Aziz et.al., 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Cet.ke-1, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve
Dengel Holk. H., Darul Islam dan Kartosuwiryo: Angan-angan yang Gagal, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Fadl, Khaled M. Abou El, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam, diterjemahkan dari buku asli And God Knows the Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, Cet. ke-1, Yogyakarta: Serambi, 2003
----------, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Yogyakarta: Serambi, 2004, yang diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dari buku Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, Oxfor: Oneworld Publications, 2003
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta: Tintamas, 1974
-----------, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968
-----------, Hukum Kewarisan, Jakarta: Tintamas, 1967
Hosen, Ibrahim, “Persoalan Taklid dan Ijtihad” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1987
---------, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Cet. ke-4, Bandung: Mizan, 1996
---------, “Pokok-pokok Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Kerangka Konseptual” makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Pikiran Hukum Islam Prof. KH. Ibrahim Hosen, kerjasama HMJ Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah IAIN Jakarta dengan Forum Studi Hukum Islam (FSHI), Sabtu, 4 Juni 1994
----------, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam” dalam Muhammad Wahyuni Nafis et.al. (eds), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Cet. ke-1, Jakarta: Paramadina, 1995
Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Cet. ke-2, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000
Praja, Juhaja S., “Fikih dan Syariat” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
--------, “Kontroversi Ijithad Prof. KH. Ibrahim Hosen: Profil Artis Politik Hukum Islam Indonesia” makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Pikiran Hukum Islam Prof. KH. Ibrahim Hosen, kerjasama HMJ Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah IAIN Jakarta dengan Forum Studi Hukum Islam (FSHI), Sabtu, 4 Juni 1994
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1992
-----------, Major Themes of the Qur’an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980,
Ramage, Douglas E., Percaturan Poliitik di Indonesia: Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi (Terj.), Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002

Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Sjadzali, Munawir, “Ijtihad dan Kemaslahatan Umat” dalam Ijtihad dalam Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri (eds), Cet. ke-4, Bandung: Mizan, 1996
Syahrur, Muhammad, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah, Cairo dan Damaskus: Sina li al-Nasr, 1992
-----------, Nahwa Usul Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi: Fiqh al-Mar’ah, Cet. ke-1, 2000, diterjemahkan oleh Sahiron Syamsudin dan Burhanudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Cet. ke-1, Yogyakarta: Elsaq, 2004
Syukur, Abdul, Gerakan Usrah di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, Yogyakarta: Ombak, 2003
Thaha, Mahmud Muhammad, Arus Balik Syari’ah, diterjemahkan dari karya aslinya al-Risâlah al-Tsâniyah min al-Islâm, oleh Khairon Nahdiyyin, Cet. Ke-1, Yogyakarta: LKiS, 2003
Tim Peduli Tapol Amnesti Internasional, Fakta: Diskriminasi Rezim Soeharto terhadap Umat Islam diterjemahkan dari buku Mihnat al-Islam fi Indunisia, Cet. ke-3, Yogyakarta: Wihdah Pers, 1998
Tim Penulis Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: LPPI IIQ, 1996


Tidak ada komentar: