Rabu, 03 Desember 2008

Fiqh Lingkungan Hidup

Fiqih Lingkungan Hidup
Mempertimbangkan Gagasan Ziauddin Sardar
 
Rusli*

Abstract
This paper tries to explore Ziauddin Sardar’s ideas on the relationship between Islam and environment. According to Sardar, Islam pays a great deal of attention to this issue. Starting from the assumption that western science and technology were regarded as a source for crisis in ecology in the world, he formulated an islamic paradigm of environment which is based on the fundamental concept of tawhid. This concept was believed as an axis on which all activities must rotate. From Tawhid, emerge such concepts as khilafāh and amānah, on which all of environmental ethics was built: human is not haphazardly free from God, but must be responsible for his scientific activites. The earth with its contents are a trust from God which must be preserved. In establishing an Islamic paradigm of environment, Sardar comes up with matrix--tawhīd, khilafāh, amānah, halāl, harām, ‘adl, i’tidāl, istislāh and istihsān. If this framework is to be comprehensively operationalised in Muslim community (ummah), it will revolutionize their attitudes, behaviour, and ways of thinking. 

Keywords: Islamic ecotheology, etika egosentris, etika ekosentris, etika homosentris
 
Pendahuluan
Masalah lingkungan hidup merupakan masalah global yang semakin disadari sebagai masalah yang kompleks dan serius yang dihadapi oleh umat manusia di dunia. Semakin padatnya jumlah penduduk, terbatasnya sumber daya alam, dan penggunaan teknologi modern untuk mengeksploitasi alam secara semena-mena, membawa kepada semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup kita. Erosi, pengurasan sumber-sumber daya alam, lapisan ozon yang rusak, pengotoran dan perusakan lingkungan, menghasilkan ketidakseimbangan ekologis, yang pada gilirannya akan sangat membahayakan kelangsungan hidup umat manusia.
Timbulnya masalah lingkungan hidup, menurut Passmore seperti dikutip Sudarminta,[1] tidak terpisah dari pandangan kosmologis tertentu yang pada kenyataannya telah menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam. Karena itu, pengembangan etika lingkungan menghendaki adanya perubahan secara fundamental dari pandangan kosmologis yang menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam kepada pandangan yang menumbuhkan sikap lebih bersahabat dan apresiatif kepada alam.
Seorang sejarawan, Lynn White Jr.,[2] pada tahun 1967 pernah mengemukakan sebuah tesis bahwa akar historis ekologis yang dihadapi manusia sekarang ini sebenarnya dapat ditemukan pada agama-agama monoteistik. Misalnya, menurut White, antroposentrisme (faham yang menganggap manusia sebagai pusat dan puncak segala ciptaan) yang dalam tradisi Yahudi-Kristen sering dikaitkan dengan perintah Tuhan sebagaimana terdapat dalam kitab Kejadian 1: 28,[3] telah dipakai sebagai legitimasi teologis atas pelimpahan wewenang dari Tuhan kepada manusia untuk menundukkan dan mengeksploitasi alam secara semena-mena demi memenuhi kebutuhan hidupnya.[4] Tesis White ini kemudian memprovokasi timbulnya wacana tentang ecotheology dalam agama-agama besar dunia.
Salah satunya adalah diadakannya sebuah pertemuan tentang “Religion and Ecology: Discovering the Common Ground”, dimana Mary Evelyn Tucker, mempertanyakan peran agama-agama dalam menangani krisis lingkungan global, “Can the power of their texts, symbols and rituals and teachings be brought to bear on the global environmental crisis? Could this viewpoint expand our system so that we might finally begin to reverse the destruction of our planet?”[5] Pertanyaan ini menghendaki adanya eksplorasi terhadap hubungan antara agama dan lingkungan dengan cara mendefinisikan kembali (redefining) nilai-nilai spiritual dan memikirkan kembali (rethinking) tanggungjawab fundamental manusia terhadap alam. Atau dengan kata lain, umat beragama perlu menggali kembali nilai-nilai etik universal tentang lingkungan hidup yang terdapat dalam masing-masing agamanya agar dapat merekonstruksi sebuah pandangan kosmologis yang lebih bersahabat kepada alam. Dalam hal ini, pemakalah akan lebih memberikan penekanan kepada nilai-nilai yang ada dalam tradisi agama Islam.
Ada beberapa studi tentang hubungan antara Islam dan lingkungan serta peran agama Islam dalam menangani berbagai macam krisis lingkungan, yang dilakukan oleh para intektual Muslim, yang oleh Dr. Soumaya,[6] mereka disebut dengan spokesmen of Islamic ecotheology, seperti Seyyed Hossein Nasr, Mawil Izzie Dien, Ziauddin Sardar, S. Parvez Manzoor dan Fazlun Khalid.
Seyyed Hossein Nasr, misalnya, banyak menulis karya-karya tentang isu lingkungan dari sudut pandang tradisionalis (perenial) atau sufi. Dalam karya pertamanya, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man,[7] Nasr memprediksikan konsekuensi-konsekuensi berbahaya yang mungkin timbul dari krisis yang terjadi pada lingkungan. Buku ini juga merupakan kritik filosofis terhadap konsepsi modern tentang alam sebagai sebuah materi yang dapat dikuasai dan dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ini juga merupakan karya pertama Nasr dimana ia menantang ilmu pengetahuan modern dan pandangan-pandangan sekulernya. Dalam bukunya yang lain, Religion and the Order of Nature,[8] Nasr memberikan sebuah analisa tentang munculnya ilmu pengetahuan modern di satu sisi, dan kritik filsafat-filsafat sekular dan reduksionis berkenaan dengan alam, disisi lain. Buku ini juga berusaha untuk menghidupkan kembali ide sakral tentang alam dan kosmologi tradisional yang menjadi minat Nasr sepanjang karir intelektualnya.
Mawil Izzi Dien, disisi lain, banyak menulis artikel-artikel tentang isu ini dari perspektif Arab atau Islam. Misalnya, dalam tulisannya yang berjudul Islam and the Environment: Theory and Practice,[9] mencoba mendiskusikan beberapa aspek efek-efek industrialisasi terhadap lingkungan alam di Timur Tengah secara umum. Bagi Mawil, Islam sebagai sebuah agama memberikan penghargaan yang mendalam kepada lingkundan alam. Islam menyediakan solusi paradigmatis bagi banyak bentuk degradasi lingkungan. Sementara itu, Fazlun Khalid, dalam salah satu tulisannya, Islam and the Environment,[10] menegaskan bahwa Islam sangat concerned dengan masalah-masalah lingkungan. Ini misalnya dapat dilihat dalam fiqih Islam (islamic jurisprudence) dimana terdapat aturan-aturan tentang konservasi terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan alam, mencakup di dalamnya air, tanah, dan hutan; diantaranya adalah konsep-konsep seperti ihyā’ al-mawāt (membuka tanah yang dibiarkan untuk ditanami), al-himā (daerah tertentu yang dijadikan oleh pemerintah untuk kepentingan publik), al-haramān (cagar alam yang tidak dapat diganggu-gugat), waqf, dan lain-lain.
Parvez Manzoor, dalam Environment and Values: the Islamic Perspective,[11] menegaskan bahwa tradisi dan nilai Islam menyediakan jawaban yang sangat efektif dan komprehensif bagi absurditas situasi lingkungan manusia. Dalam artikel ini, Manzoor membuat sebuah teori tentang lingkungan dan beranggapan bahwa syari’ah, yang berisi hukum dan etika Islam, dapat diterjemahkan ke dalam kode etik dan tindakan-tindakan untuk mengatasi problem lingkungan. Selain Manzoor, Ziauddin Sardar juga memberikan perhatian yang cukup serius berkenaan dengan lingkungan, terutama yang terdapat dalam salah satu bab tentang Towards the Islamic Theory of Environment dalam buku Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, dan dalam pendahuluan buku The Touch of Midas: Science, Values and Environment in Islam and the West, ia menjelaskan bagaimana nilai-nilai etik universal dapat diterapkan untuk merumuskan sebuah paradigma tentang lingkungan.
Tulisan ini bertujuan untuk memotret pemikiran Ziauddin Sardar, seorang intelektual Muslim asal Pakistan, terutama yang terdapat dalam dua tulisannya yang terdapat dalam buku Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come dan The Touch of Midas: Science, Values and Environment in Islam and the West.

Konteks Teoritis
Terdapat tiga macam pendekatan etika lingkungan: etika egosentris, etika homosentris, dan etika ekosentris.[12] Ketiga pendekatan etika ini merupakan puncak arus etis, religius, dan politis yang berkembang di kebudayaan Barat semenjak abad ke-17 dan mendasari posisi politis dari berbagai kelompok yang berkepentingan dalam menggunakan sumber-sumber daya alam.
Etika egosentris memberikan penekanan kepada kepentingan individu. Apa yang baik bagi individu adalah baik juga bagi masyarakat. Etika ini mendapatkan pijakan filsofisnya pada filsafat politik Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya bersifat kompetitif. Manusia oleh manusia yang lain dipandang sebagai lawan yang harus dikalahkan. Pepatah yang terkenal adalah Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Dalam logika egosentris Hobbes, alam diberikan untuk semua orang, dan setiap orang harus bersaing untuk mendapatkan sumber-sumber alam tersebut. Disini, menurut Hobbes, manusia sebagai pelaku rasional memperlakukan alam menurut insting-insting “natural”. Disamping itu, etika egosentris juga dibentuk oleh pengetahuan-pengetahuan yang mekanistik. [13]
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan masyarakat. Etika ini menggarisbawahi model-model kepentingan sosial dan pendekatan pelaku-pelaku lingkungan yang melindungi kesejahteraan masyarakat. Sebuah masyarakat harus bertindak untuk kesejahteraan semua orang (etika utilitarian Jeremy Bentham dan John Stuart Mill). Maka, relasi manusia dengan alamnya didasarkan pada sejauh mana alam dapat mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi manusia. Seperti etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan mekanik. Alam maupun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis-mekanistik. Dalam masyarakat modern, setiap bagian dihubungkan secara organik dengan lainnya; apa yang berpengaruh pada bagian-bagian akan berpengaruh pada keseluruhan. Karena sifatnya yang utilitarian, etika homosentris ini juga mengarah kepada pengurasan sumber daya alam dengan dalih demi kebaikan dan kepentingan masyarakat.[14]
Yang terakhir, etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ini, lingkungan secara keseluruhan dipandang bernilai pada dirinya sendiri. Hal yang terpenting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan non-hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat. Seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggungjawab moralnya sendiri. Etika ekosentris ini bersifat holistik, lebih dari mekanistik ataupun metafisik.[15] Salah satu asumsi yang mendasari perspektif holistik ini adalah manusia dan alam non-manusia adalah satu. Dalam perspektif ini tidak ada dualisme, tetapi manusia dan alam merupakan bagian dari sistem organik yang sama.
Selain ketiga pendekatan tersebut, ada sebuah pendekatan etika baru yang dikemukakan oleh ekofeminis yang menawarkan etika lingkungan hidup yang agak berbeda dari etika yang dominan selama ini, yaitu etika yang terutama didasarkan pada kasih sayang, kepedulian, kesetaraan dan tanggungjawab terhadap kehidupan lain dalam suatu relasi setara dan harmonis dalam komunitas ekologis.[16]
Dari berbagai pendekatan diatas, nampaknya pendekatan ekosentris dan ekofeminis, lebih mendapatkan tempat dalam islamic ecotheology. Etika ekosentris, ekofeminis dan islamic ecotheology, mengakui bahwa setiap organisme mempunyai hak untuk eksis dan mengakui adanya kesatuan semua ciptaan, dan harus diperlakukan dengan kasih sayang. Kendati demikian, dalam islamic ecotheology, alam itu sendiri dilihat dalam statusnya sebagai “muslim” (subjek yang pasrah kepada Tuhan). Dalam hubungan ini, menurut pemakalah, Sardar dapat diposisikan pada kelompok yang melihat hubungan yang harmonis antara alam dan manusia, dimana manusia bertanggungjawab memberikan kasih sayang kepadanya.

A. Sketsa Sosio-Historis Perkembangan Intelektual Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar adalah seorang saintis, penulis yang produktif, penyiar dan kritik budaya, yang dilahirkan di Pakistan pada tahun 1951 dan besar serta menetap di Inggris. Dalam pertumbuhannya di Inggris, Sardar merasa teralienasi dan mengalami berbagai ketidakadilan, baik secara sosial maupun psikologis. Hal ini sebenarnya tidak hanya dialami Sardar sendiri, tetapi juga oleh kebanyakan umat Islam. Orang-orang Inggris merasa khawatir dan terancam dengan semakin besarnya komunitas Muslim. Ada sebuah stereotipe lama yang bersemayam dalam benak dan kesadaran orang-orang Inggris bahwa umat Islam ibarat virus herpes yang tidak dapat disembuhkan. Ketika, misalnya, ada permintaan dan usulan dari umat Islam agar sekolah Islam diizinkan untuk didirikan, dimana hal ini dirasa sebagai ancaman bagi peradaban Barat, maka isu “virus herpes” ini diaktifkan kembali.[17] Konsekuensinya, umat Islam dipandang sebagai duri yang harus dihilangkan. Dalam situasi seperti itu, Sardar tumbuh dan berkembang.
Pada saat bersamaan, Sardar melihat komunitas Muslim terjebak dalam interpretasi-interpretasi Islam masa keemasan Islam. Tradisi Islam yang sebenarnya dinamis menjadi beku, dan selama beberapa abad tidak tersentuh penafsiran baru. Umat Islam nampak enggan masuk ke dalam aktivitas penafsiran yang dapat merespons perkembangan zaman.[18] Disisi lain, Sardar melihat kelompok Islam modernis terjebak ke dalam pengagungan terhadap modernitas yang berlebihan. Kedua mainstream Islam ini, tradisional dan modernis, melihat dunia dengan lensa hitam-putih yang atomistik. Dari sinilah, kemudian Sardar membuat sintesis baru dengan menawarkan visi-visi tentang masyarakat Muslim masa depan.[19]
Dalam perkembangan intelektualnya, Sardar banyak membaca pikiran-pikiran tokoh-tokoh Islam, seperti Maududi dan Sayid Qutb. Tetapi nampaknya hal ini tidak memuaskan naluri keilmuannya. Seperti pemikir-pemikir lainnya, Sardar juga tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang mempengaruhinya. Sardar mengakui bahwa ia banyak terinspirasi dari Al-Biruni.[20] Misalnya, seseorang harus mendekati materi yang akan dipelajari dengan terlebih dahulu mengetahui dasar-dasarnya. Setiap penyelidikan, lanjut Al-Biruni, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan memberikan jawaban hanya melalui metode-metode tertentu. Tidak ada metode yang universal yang dapat diterapkan kepada semua jenis penelitian, tegas Al-Biruni. Sebuah penelitian akan menimbulkan hasil yang baik apabila metode yang benar yang digunakannya. Langkah-langkah ini dilakukan oleh Sardar ketika ia menulis banyak artikel.
Disamping itu, Sardar juga mengakui bahwa temannya, Jerry Ravetz, memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan intelektualnya, seperti perkataannya, “Ravetz has been my guide to history and philosophy of science and who was always there when I needed to iron out some tricky philosophical or intellectual problems.[21] Dalam mengkritik sains modern, Sardar juga terinspirasi oleh Thoman Kuhn dengan teori “paradigma”-nya dan Feyeberand dengan “anarki sains”-nya.
Kritik yang paling umum terhadap sains modern adalah dengan menyajikan sains tersebut sebagai sebuah usaha yang dikondisikan secara kultural dan historis dengan klaim-klaim universalitas dan objektivitasnya. Filsafat Kuhn tentang “paradigma”, dan Feyerabend tentang penentangan masyarakat terhadap sains, atau instrumentalisme saintifik Van Fraassen semuanya digunakan untuk menunjukkan relativitas dan historisitas sains modern. Karena setiap aktivitas ilmiah, dan lebih luas lagi, aktivitas manusia secara keseluruhan tidak terlepas dari setting historis dan budaya. Karena itu, menurut Sardar, kita tidak dapat lagi berbicara tentang sains terlepas dari kondisi sosial-historisnya. Disinilah pentingnya sosiologi sains, yang tugasnya adalah mendekonstruksi formasi historis dan genealogi sains. Pendekatan ini juga dapat diaplikasikan kepada ilmu-ilmu kemanusian (humanities).
Pandangan Sardar tentang hubungan antara Islam dan sains diartikulasikan pertama kali pada awal tahun 1970-an ketika kebangkitan tradisi intelektual Islam nampak dalam proses pembentukan. Melunjaknya harga minyak, munculnya sejumlah lembaga-lembaga riset di dunia Muslim, serta kemerdekaan sebagian negara Muslim, menjadikan fenomena tersebut sebagai sebuah kekuatan baru yang dinamis di dunia internasional. Sardar menggunakan kesempatan ini, dan bergabung dengan lembaga-lembaga riset, serta mendapatkan keuntungan dari petro-dollars yang dikucurkan kepada organisasi-organisasi ini, seperti the Muslim World League.[22]
Definisi Sardar tentang sains sama dengan definisi yang diberikan kelompok instrumentalis dan Kuhnian. Bagi Sardar, sains adalah “sebuah alat pemecahan masalah yang mendasar bagi peradaban apapun. Tanpa sains, peradaban tidak dapat mempertahankan struktur politik dan sosial atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat dan kebudayaannya” (science is a basic problem-solving tool of any civilization. Without it, a civilization cannot maintain its political and social structure or meet the basic needs of its people and culture).[23] Sains berhubungan dengan para saintis dan pandangan-pandangannya. Ia bukan merupakan fenomena atau aktivitas objektif tetapi lebih sebagai aktivitas budaya.

B. Islam dan Lingkungan: Antara Teks dan Realitas
Pembahasan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan “Kenapa terjadi krisis dan degradasi terhadap lingkungan?” Pertanyaan tersebut kemungkinan dapat dijawab dengan melakukan penulusuran terhadap munculnya ilmu pengetahuan modern yang memiliki pijakan epistemologi pada positivisme yang mempunyai kecenderungan yang kuat kepada hal-hal yang bersifat empirik dan rasional. Dalam paradigma positivisme, kebenaran diukur sejauhmana ia sesuai dengan “fakta obyektif”.
Ini bermula dengan munculnya Francis Bacon (1561-1626) dengan pandangan baru tentang ilmu pengetahuan. Baginya, pengetahuan haruslah menjadi kekuatan manusia untuk menguasai alam (knowledge is power). Rènè Descartes, bapak filsafat modern, menyatakan hal serupa. Descartes menekankan perlunya membangun sistem ilmu pengetahuan yang kokoh dengan dasar ilmu pasti dan menghilangkan aspek-aspek yang tidak dapat ditangkap oleh rasio. Sejak akhir abad ke-17 degradasi alam diintensifikasikan oleh para ilmuwan menjadi suatu pengetahuan yang mekanistis. Alam dilihat sebagai mesin yang mempunyai sistem teratur, dan bagian-bagiannya dimaksudkan sebagai hukum alam yang dideduksi lewat pemikiran rasional dan diverifikasikan dengan eksperimen. Alam tidak lagi dilihat sebagai organisme hidup, tetapi hanyalah sebuah objek yang dapat diekspolitasi dan dimanipulasikan. Pandangan positivistik-mekanistik ini mendorong timbulnya penemuan-penemuan teknologi modern yang semakin maju. Kendati demikian, perkembangan teknologi dengan hasil-hasilnya semakin memperkuat posisi manusia dalam kedudukannya sebagai “sang penguasa” alam semesta dan berbagai kekayaan alam yang dikandungnya. Sikap superior manusia terhadap alam memberikan banyak peluang bagi manusia untuk merusak tatanan lingkungan hidupnya.
Konsekuesi serius dari dominasi pandangan ini adalah terciptanya dualistik antara subyek dan obyek, spiritual dan material, yang berakibat misalnya kepada obyektifikasi alam yang berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-mena.[24] Alam dalam pandangan ini tidaklah dilihat sebagai sesuatu yang sakral, tetapi sebagai objek yang dapat dieksploitasi semaunya. Dari sinilah kemudian terjadi krisis ekologi. Disamping itu, pandangan ini cenderung menjadikan manusia sebagai objek, dan masyarakat direkayasa sebagai mesin sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak manusiawi. Lebih dari itu, pandangan ini juga meletakkan standar kebenaran tertinggi pada ilmu pengetahuan yang bersifat empirik, positif dan rasional, sehingga nilai-nilai moral dan keagamaan diabaikan. Akibatnya, terjadi suatu disorientasi moral-religius yang pada gilirannya bermuara pada kekerasan, depresi mental, dan perusakan pada lingkungan.
Para tokoh islamic ecotheology sepakat bahwa yang menjadi akar dari krisis dan pencemaran lingkungan bertititolak dari sains dan teknologi Barat yang berpijak kepada asumsi-asumsi positivistik di atas.[25] Sardar mengistilahkan agrevitas sains dan teknologi ini dengan “sentuhan Midas” (the touch of Midas) yang telah berkembang sedemikian pesatnya tanpa kontrol moral sehingga keharmonisan dan keindahan ekologi menjadi rusak.[26] Karena itu, disadari bahwa yang perlu dilakukan adalah melakukan dekonstruksi terhadap kerangka epistemologis pengetahuan Barat tersebut, lalu merekonstruksi sebuah paradigma tentang alam yang lebih bersahabat dengan berpijak kepada tradisi Islam.
Penciptaan paradigma baru sebagai counter pandangan positivistik tentang alam menjadi penting, karena, seperti diakui oleh Jose Abraham,[27] hal tersebut akan menentukan sikap seseorang terhadap alam. Dalam diskusi-diskusi tentang ekologi, persepsi “penciptaan” (creation) juga merupakan isu yang penting. Jika alam, di satu sisi, difahami sebagai diciptakan hanya untuk melayani kepentingan manusia, maka pandangan tersebut kemungkinan akan memberikan justifikasi bagi eksploitasi alam tanpa batas. Disisi lain, jika alam difahami sebagai sesuatu yang memiliki nilai, tentunya alam akan lebih dihormati dan dipergunakan atau dimanfaatkan secara lebih manusiawi.[28]
Sardar menekankan perlunya penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai counter atas ilmu pengetahuan modern Barat. Yaitu, suatu sistem ilmu pengetahuan yang berpijak pada nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisional (perenial), Sardar dengan cerdas memanfaatkan kritik dari kalangan filosof dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, kaum pemikir environmentalist, bahkan kelompok radikal kiri di Barat yang marak semenjak tahun 1960-an. Kritiknya tersebut berujung kepada kenyataan ketidaknetralan ilmu pengetahuan modern dan besarnya pengaruh budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan serta dampak-dampaknya.
Karena itu, menurut Sardar, yang diperlukan adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi dan pengisian pandangan dunianya dengan nilai-nilai Islam agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan fisik dan spiritual umat Islam. Sardar menyebut usahanya ini dengan “kontemporerisasi ilmu pengetahuan Islam.” Nilai-nilai yang dijadikan pijakan epistemologi oleh Sardar adalah sepuluh nilai, yaitu tawhīd, khilāfah, ‘ibādah, ‘ilm, halāl, harām, ‘adl vs zulm, istishlāh vs dhiyā’.[29] Kesepuluh rumusan nilai ini dapat diletakkan sebagai basis untuk menilai apakah program-program riset dan teknik masuk dalam kategori islamic science atau tidak. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan dapat diajukan apakah hasil dari program tersebut menjadi ukuran bagi keadilan sosial ataukah memperkuat dan memunculkan suatu bentuk tirani; apakah ia membawa kepada penghormatan kepada kekhalifahan manusia berkenaan dengan dunia alam; dan apakah membawa kepada kesejahteraan manusia atau kesia-siaan.[30]
Paradigma Islam tentang lingkungan, menurut Sardar, pertama kali berpijak kepada konsep tawhīd. Tawhīd, menurut Sardar, adalah poros dimana segala aktifitas kehidupan harus berpusat padanya. Tawhīd mengandung pengertian “kesatuan Tuhan”. Ini menjadi nilai yang universal mencakup keseluruhan jika kesatuan ini ditegaskan ke dalam kesatuan kemanusiaan, kesatuan manusia dengan alam, dan kesatuan pengetahuan dan nilai.[31] Dari tawhīd ini kemudian timbul konsep khilafāh dan amānah, yang dibawah kerangka ini keseluruhan etika lingkungan Islam berada: manusia tidaklah bebas begitu saja dari Tuhan, tetapi harus bertanggungjawab kepada Tuhan atas segala aktivitas sains dan teknologinya. Bumi beserta isinya adalah suatu amanat (trust) dari Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara.[32] Manusia dapat menggunakan amanat ini untuk kepentingannya tetapi tidak memiliki hak mutlak terhadap segalanya. Amanat harus dijaga dan kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Manusia bertanggungjawab atas segala penyimpangan dan penyalahgunaan terhadap amanat tersebut, dan jika ini terjadi, maka ia harus menerima resiko baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam kerangka inilah, menurut Sardar, dunia dan alam ini menjadi medan atau tempat pengujian manusia. Disini, manusia diperintahkan untuk membaca tanda-tanda alam yang merefleksikan posisi manusia di alam ini dan keagungan Tuhan. Cara pembacaan tanda-tanda inilah disebut dengan ‘ilm (knowledge), yang tidak dapat dipisahkan dari moralitas. ‘Ilm harus berjalan dalam kerangka tauhid, dimana ilmu dicari untuk mengagungkan Tuhan dan memenuhi tanggungjawab manusia terhadap amanat-Nya. Karena itu, pencarian pengetahuan yang membahayakan amanat Tuhan, yaitu lingkungan global, tidak diperbolehkan dalam Islam. Konsep tawhīd, khilafāh, dan ‘ilm saling terkait dan membentuk sebuah arah penelitian rasional.
Bentuk tanggung jawab manusia terhadap lingkungan dapat diukur dengan konsep nilai halāl dan harām. Konsep halāl meliputi semua yang bermanfaat bagi individu, masyarakat dan lingkungannya. Tindakan halāl adalah yang membawa kepada manfaat yang komprehensif. Tindakan yang mungkin memberikan manfaat kepada seorang individu boleh jadi memberikan kerugian kepada masyarakat dan lingkungannya. Karena itulah, halāl harus berputar pada premis pendistribusian ‘adl atau keadilan sosial (social justice).
Harām mencakup semua yang bersifat destruktif bagi manusia sebagai individu, masyarakat dan ekologi. Kata destruktif ini, menurut Sardar, harus difahami dalam pengertian fisik, mental dan spiritual. Harām mereproduksi tindakan zulm (tirani). Dalam kerangka nilai Islam, menurut Sardar, zulm mengandung tiga kategori: antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan manusia, dan antara manusia dengan lingkungan. Aktivitas saintifik dan teknologi yang membawa kepada keadilan (‘adl) adalah halāl, sedangkan yang membawa kepada alienasi dan dehumanisasi, pemusatan kekayaan hanya kepada sekelompok kecil orang, dan kepada pengangguran serta perusakan lingkungan adalah zālim (tirani), karenanya harām.
Karakteristik dari kezaliman sains dan teknologi, menurutnya, dapat diukur dari sejauhmana ia mengancam dan menghancurkan eksistensi manusia, sumber daya spiritual dan lingkungan serta kesia-siaan (dhiyā’). Aktivitas sains dan teknologi yang mengutamakan keadilan–distibusi keadilan teknologi untuk semua orang, menarik legitimasinya dari istislāh (kepentingan umum).[33] Matriks dari kerangka konseptual ini--tawhīd, khilafāh, amānah, halāl, harām, ‘adl, I’tidāl, istislāh dan istihsān membentuk sebuah paradigma teori lingkungan Islam. Jika kerangka ini dioperasionalisasikan secara utuh dalam komunitas muslim (ummah), menurut Sardar, ini akan merevolusi sikap, tingkah laku, cara pandang dan pemikiran umat Islam. Masuk dalam kerangka ini adalah sikap hormat terhadap alam, pengakuan akan saling keterkaitan antara semua kehidupan, pengakuan akan kesatuan ciptaan, dan persaudaraan semua yang hidup.
Bentuk praktis dari perhatian Islam terhadap masalah ekologi dan lingkungan terdapat dalam syari’ah atau hukum Islam. Syari’ah menurut Sardar merupakan “sebuah manifestasi dari kehendak Tuhan dan ketetapan hati manusia untuk menjadi perantara kehendak tersebut”[34] sekaligus juga, ia merupakan sebuah “metodologi pemecahan masalah” (methodology for solving problems).[35] Syari’ah menjadi sebuah “sistem pusat nilai” (value-centered system).[36] Keberadaan syari’ah adalah untuk merealisasikan nilai-nilai yang melekat dalam konsep-konsep Islam universal seperti tawhīd, khilafāh, halāl dan harām. Tujuan akhir dan mendasar dari sistem ini adalah kesejahteraan umum baik jangka pendek di dunia maupun jangka panjang di hari akhir.
Kemudian Sardar memberikan contoh tentang ketentuan syari’ah menyangkut tanah. Syari’ah memberikan hak terbatas kepada seseorang untuk memiliki tanah selama tanah tersebut digunakan dan diolah secara baik (konsep ihyā’ al-mawāt). Batasan-batasan penggunaan tanah ini ditunjang oleh beberapa prinsip yang dikembangkan oleh para ahli hukum selama beberapa abad, seperti lā darar wa lā dirār. Sementara itu, ada ketentuan pelarangan pemilikan pribadi berkenaan dengan sumber-sumber yang tak terhingga nilainya, seperti hutan, padang rumput, margasatwa dan mineral-mineral tertentu, terutama air (konsep himā). Dan banyak contoh lain yang diberikan Sardar terutama yang terdapat dalam buku Islamic Future.
Singkat kata, pijakan utama dari paradigma berpikir Sardar adalah konsep tawhīd yang bermuara kepada istislāh. Dari satu kesadaran akan kesatuan ciptaan yang diikuti dengan tanggung jawab moral dan spiritual manusia terhadap alam menuju suatu kemaslahatan manusia secara keseluruhan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kerangka Konseptual: Sebuah Aplikasi
Bertitiktolak dari asumsi bahwa perilaku eksploitatif terhadap lingkungan secara fundamental sangat dipengaruhi oleh pandangan seseorang terhadap lingkungan, maka perlu diadakan sebuah perubahan paradigma dalam melihat alam dan lingkungan. Masyarakat Jepang adalah salah satu contoh masyarakat yang berhasil mengembangkan sikap harmonis terhadap alam. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa masyarakat Jepang menganut tradisi Zen yang sangat apresiatif terhadap alam, ditambah dengan keterikatannya yang tinggi dengan tradisi.
Dalam konteks Indonesia, saya pikir, perlu dilakukan perubahan fundamental tentang konsep dasar pembangungan yang seringkali difahami sebagai pembangunan yang melulu bersifat fisik daripada mental-spiritual. Istilah pembangunan merujuk kepada “proses-proses perubahan ekonomi, sosial-politik, dan budaya dalam masyarakat manusia.”[37] Proses-proses ini sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri, dan dalam dunia sekarang ini, terutama di Indonesia, proses-proses ini seringkali problematis. Kekerasan masih tetap melekat dalam model pembangunan yang dominan, seperti diantaranya pencemaran dan perusakan lingkungan, penebangan hutan, dan yang paling riskan adalah kekerasan epistemologis (basis dari sains dan teknologi).
Model pembangunan di Indonesia lebih didominasi oleh pandangan teknokratis yang tidak melihat alam sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendirinya, dan karenanya harus dipelihara. Sikap teknokratis cenderung merampas dan membuang. Alam dikuras untuk mengambil apa saja yang dibutuhkan dan apa yang tidak diperlukan. Sikap dasar ini bisa tercermin kepada sistem perekonomian kapitalis dan sosialis yang mendominasi hampir sebagian besar negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sistem ekonomi kapitalis bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dengan pengorbanan sekecil mungkin lewat penekanan biaya produksi. Maka, untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, alam ditekan sebesar mungkin atau dieksploitasi sebanyak mungkin demi mendapatkan keuntungan yang melimpah. Sama halnya, sistem sosialis-komunis juga bersikap tidak ramah terhadap alam. Demi dalih kemakmuran masyarakat, sistem ini dapat mengeksploitasi alam sebesar mungkin.
Pembangunan harus berpijak pada asumsi dasar bahwa alam adalah kreasi Tuhan yang sakral dan asumsi bahwa alam dan manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (konsep tawhīd). Meminjam pendekatan fungsionalis-struktural, perusakan terhadap alam akan berakibat kepada keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Disinilah tugas manusia sebagai “khalifah” untuk menjaga dan memelihara keseimbangan alam. Kata “khalifah” bisa mencakup perseorangan, kolektif ataupun sistem. Dalam kaitan ini, pembangunan seharusnya memperhatikan apakah sarana dan prasarana yang digunakan sebagai penopang bersifat destruktif atau tidak, baik kepada individual, masyarakat maupun lingkungan. Pembangunan juga harus memusatkan tujuan kepada kesejahteraan manusia (istislah) dengan tidak mengabaikan keterpeliharaan lingkungan. Kalau ini diabaikan, maka akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia keseluruhan.

Catatan Akhir
Kendati Sardar telah melakukan berbagai terobosan dalam mengkonstruksi paradigma Islam tentang lingkungan yang terkait erat dengan sains, ada beberapa catatan yang nampak perlu diberikan. Pertama, pembicaraan Sardar tentang relasi Islam dan lingkungan cenderung menggunakan "right approach",[38] yaitu berpijak kepada kesadaran akan Tuhan (teks) daripada fakta lingkungan (realitas) itu sendiri. Atau dengan kata lain, berputar pada wilayah dan budaya teks. Dan ini tentunya membedakan mereka dengan kelompok environmentalist atau conservationist yang berpijak kepada lingkungan itu sendiri daripada teks. Lagi pula, Sardar tidak terlibat secara aktif dan langsung dengan permasalahan lingkungan, yang ternyata pemecahannya tidak semata-mata pada perubahan paradigma, sekalipun ini penting, tetapi juga melakukan affirmative action dengan melibatkan seluruh fihak.
Kedua, Sardar juga dapat dimasukkan ke dalam anti-modernist crtique terhadap masalah-masalah lingkungan. Ia melihat Barat—dengan sains dan teknologinya, sebagai biang keladi atas segala krisis ekologi yang terjadi dalam masyarakat. Tentunya asumsi seperti ini terlalu menyederhanakan masalah. Memang benar, bahwa sains Barat ikut andil dalam krisis lingkungan, tetapi lebih dari itu, krisis spiritual-lah, meminjam istilah Nasr, yang menjadi poros bagi semua krisis termasuk krisis lingkungan.
Terakhir, Sardar nampak cenderung lebih berpijak kepada etika “teleologis” yang mengarah kepada etika “utilitarianisme” dalam mengkonstruksi paradigma tentang lingkungan. Ia melihat kepada impilikasi yang ditimbulkan dari sebuah sains. Sebuah sains dianggap “islami” selama memberikan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan tidak destruktif baik kepada individu, masyarakat dan lingkungan. Etika utiltarian juga menekankan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ini tentunya menempatkann Sardar pada posisi mereka yang memberikan fokus utama kepada manusia dan masyarakat (antroposentris), daripada alam (biosentris atau ekosentris). Alam bisa digunakan, selama untuk kepentingan publik dan selama keseimbangan serta kelestarian alam dijaga.


*Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah. Artikel ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Hermêneia, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3, Nomor 2, Juli - Desember 2004.
[1] J. Sudarminta, “Filsafat Organisme Whitehead dan Etika Lingkungan Hidup,” dalam Majalah Driyarkara, No.1, Tahun XIX, 2.
[2] Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis”, Science, 10 Maret 1967, Vol. 155, No. 3767.
[3] Beranak-pinaklah dan bertambah-banyaklah, penuhi bumi dan taklukanlah ia, berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan atas segala binatang yang merayap di muka bumi.
[4] Dalam tradisi Yahudi, terdapat dalam kitab Psalm 8: 6, “Kamu yang memberikan kekuasaan kepada manusia terhadap hasil-hasil ciptaan-Mu. Kamu telah meletakkan segala sesuatu di bawah kakinya.” Dalam tradisi Islam, seperti tertera dalam Al-Quran surat Al-Jatsiyah (45): 13, “Allah telah menundukkan kepada kamu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya…”
[5] Religion Journal, An Environmental Agenda for the World’s Faiths, 24 Oktober 1998.
[6] Soumaya Pernilla Ouis, Global Environmental Relations: An Islamic Perspective, Human Ecology Division, Lund University, Sweden.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, (Terj. Ali Noer Zaman), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
[8] Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996).
[9] Mawil Izzi Dien, “Islam and the Environment: Theory and Practice”, dalam Journal of Beliefs and Values, No 1, Carfax, 1997
[10] Fazlun M. Khalid, “Islam and the Environment” dalam Social and Economic Dimensions of Global Environmental Change, Vol.5, Peter Timmermen (ed), 2002, 332-339, terdapat dalam Encyclopedia of Global Environmental Change, Ted Munn (ed.), Chichester: John Wiley & Sons Ltd.
[11] S. Parvez Manzour, “Environment and Values: the Islamic Perspective” dalam Ziauddin Sardar (ed), The Touch of Midas: Science, Values and Environment in Islam and the West, (Manchester: Manchester University Press, 1984).
[12] J. Sudriyanto, “Relevansi ‘Deep Ecology’ Terhadap Dunia Ketiga” dalam Majalah Driyarkara, No.1, Tahun XIX, 13.
[13] Ibid., 14-15.
[14] Ibid., 16.
[15] Ibid., 17.
[16] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), 123-42; Charlene Spretnak, “Sumbangan Kritis dan Konstruktif Eko-Feminisme” dalam Mary E. Tucker dan John A. Grim (ed), Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, (Terj.) (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 227-37.
[17] Sardar, “British, Muslim, Writer” dalam Juliet Styn (editor), Other Than Identity, Manchester University Press, 1996, dapat diakses pada http://www.others.com/bmw.htm.
[18] Ibid.
[19] Pandangan-pandangan tersebut diolah dan didiskusikan dalam sebuah kelompok yang disebut dengan Ijmali, yang didirikan sekitar tahun 1980-an. Kata ijmali menjadi simbol ide dan pendekatan mereka. Kata ini diambil dari Diwan-i Shams-nya Rumi, yang digunakan untuk merefleksikan watak holistik pendekatan mereka. Posisi Ijmali dikarakteristikan dengan sebuah kesadaran bahwa Barat—dengan segala peradaban, budaya, ekonomi dan kekuatan militernya, merupakan sebuah ancaman bagi dunia Muslim. Klaim universalitas ide yang dimunculkan oleh peradaban Barat dilihat oleh kelompok ini sebagai sebuah ancaman bagi pandangan-pandangan Islam. Sains dan teknologi modern juga dipandang sebagai sebuah alat propaganda agenda-agenda ekonomi dan politik Barat.
[20] Sardar, Natural Born Futurist, diakses pada http://www.other.com/nbf.htm
[21] Diakses pada http://www.cis-ca.org/voices/s/sardar/-mn.htm
[22] Diakses pada http://www.cis-ca.org/voices/s/sardar/-mn.htm
[23] Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, (London: Mansell Publishing, 1985), 157.
[24] Seperti ditambahkan oleh Shiva, tidak hanya terjadi dikotomi antara subjek dan objek, material dan spritual, tetapi juga dikotomi antara laki-laki dan perempuan, rasional dan emosional, yang pada gilirannya menciptakan suatu sains modern yang bercorak patriarki. Akibatnya, perempuan berada dalam cengkeraman dominasi laki-laki melalui sains modern. Vandana Shiva, “Western Science and Its Destruction of Local Knowledge” dalam The Post-Development Reader, Majid Rahnema dan Victoria Bawtree (eds), (London, New Jersey: Zed Books, 1997), 163-4.
[25] Nasr, Religion; Ziauddin Sardar, “Introduction: Islamic and Western Approaches to Science”, dalam Sardar (ed), Touch of Midas, 1984, 8; Manzoor, Environment, 150.
[26] Sardar, ibid.; Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Cet. ke-1, (Jakarta: Paramadina, 1998), 92.
[27] Jose Abraham, “An Ecological Reading of the Quranic Understanding of Creation”, Bangalore Theological Forum, Vol. XXXIII, No. 1, (India: the Untied Theological College, 2001).
[28] Ibid.
[29] Sardar, “Why Islam Needs Islamic Science”, New Scientist, Vol. 94, (1982), 25-8.
[30] Glyn Ford, “Rebirth of Islamic Science”, dalam Sardar (ed), Touch of Midas, 36.
[31] Sardar, Introduction, 7.
[32] Sardar, Islamic Futures, 226.
[33] Dalam hukum Islam, konsep istislāh menjadi pijakan dan tujuan dalam formulasi hukum Islam. Ia menjadi salah satu maqāsid al-shari’ah. Al-Shatibi membahas secara komprehensif konsep maslahah atau istislāh dalam magnum-opus-nya Al-Muwāfaqāt.
[34] Sardar, Islamic Futures, 228.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 229.
[37] Joke Schrijvers, The Violence of “Development”: A Choice for Intellectuals, (Utrecht: International Books, 1992), 9.
[38] Istilah ini digunakan oleh Paul Gorman yang menggambarkan orang-orang Amerika yang religius, dalam spektrum keyakinan Bibel, yang menawarkan perspektif ini dalam merespons kondisi-kondisi degradasi lingkungan dan sosial. Afirmasi bahwa lingkungan planet kita haruslah prioritas religius dan moral yang fundamental akan terbukti lebih penting daripada perbedaan-perbedaan perspektif dalam masalah ini (Paul Gorman, Insight on the News, 8 Mei 2000, diakses pada tanggal 12 September 2003 di http://www.findarticles.com)

Tidak ada komentar: