Kamis, 24 Desember 2009

Fikih Ekologi

FIKIH EKOLOGI DAN KEARIFAN TRADISIONAL
(TINJAUAN TERHADAP KONSEP IḤYÂ AL-MAWÂT DAN ḤIMÂ)

Rusli

Abstract: This paper deals with the concepts related to the protection and preservation of ecology. It is argued that the Islamic concern to this issue is significantly great. It is proven by the existence of iḥyâ al-mawât (revival of dead land) and ḥimâ (conservation area), which give serious concern to the protection of land. Both concepts indicate that such malicious acts to lands are seriously prohibited. Otherwise, acts to cultivate lands are necessarily encouraged. Besides, customary laws (‘urf) which are universally friendly to ecology could be used as means of protecting ecology and environment.
الخلاصة:
هـذه المقالة تبحث فى المواضيع الفقهية التى تتعلق بحفظ البيئة. و من المعلوم أن الفقه الإسلامي يهتم بهذه القضية اهتماما كبيرا. ويدل على هـذا وجود مفهومي إحياء الموات و الحمى اللذان يصوران الحفاظ على الأرض. وعلى هـذا فالإضرارعلى الأرض والإغفال عنها من المحظورات فى الإسلام على الإطلاق. و من ناحية أخرى فالإسلام يحث على استصلاح الأراضى للزراعة وما إلى ذالك. علاوة على ذالك فإن العرف الصحيح الـذى يعنى بالمحافظة على البيئة وما فيها يمكن أن يستخدم وسيلة لغاية حماية البيئة وما فيها من مجموعة الكائنات الحية.

Kata Kunci: ekologi, hifẓ al-bî’ah, iḥyâ al-mawât, ḥimâ, ‘urf

Pendahuluan
Masalah ekologi sudah seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai kerusakan terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya menurun, malah semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, penebangan hutan, penambangan dan pabrik kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih banyak yang lainnya, mungkin merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Tentu ketika ditanya apa faktor-faktor di balik ini, jawabannya adalah sederhana. Pertama, pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan bahwa alam beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan hampir banyak didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya.
Lynn White Jr. (1967: 1203-7) mengemukakan sebuah tesis bahwa akar historis ekologis yang dihadapi manusia sekarang ini sebenarnya dapat ditemukan pada agama-agama monoteistik. Misalnya, antroposentrisme (paham yang menganggap manusia sebagai pusat dan puncak segala ciptaan) yang dalam tradisi Yahudi-Kristen sering dikaitkan dengan perintah Tuhan sebagaimana terdapat dalam Bibel “untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya; menguasai ikan-ikan di lautan, burung-burung di udara, dan segala binatang merayap di muka bumi” (Kitab Kejadian 1: 28) telah dipakai sebagai legitimasi teologis atas pelimpahan wewenang dari Tuhan kepada manusia untuk menundukkan dan mengeksploitasi alam secara semena-mena demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam tradisi Yahudi, terdapat pernyataan, “Kamu yang memberikan kekuasaan kepada manusia terhadap hasil-hasil ciptaan-Mu. Kamu telah meletakkan segala sesuatu di bawah kakinya” (Kitab Psalm 8: 6). Dalam tradisi Islam, terdapat ayat, “Allah telah menundukkan kepada kamu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya…” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 13). Tesis White ini kemudian memprovokasi timbulnya wacana tentang ecotheology dalam agama-agama besar dunia.
Kedua, perilaku negatif manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi alam beserta isinya demi kepentingan dirinya dengan menggunakan media sains dan teknologi tanpa mempedulikan hak-hak alam. Seorang filosof Jerman, Nietszhe, menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to power), tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap terhadap alam. Dalam tradisi Marxis ada penekanan bahwa ekonomi menjadi suprastruktur terhadap segala aktivitas manusia. Paham-paham materialis ini semakin memperbesar pemilahan antara subjek-objek, “yang berkuasa dan dikuasai”, yang telah dibuat oleh sains dan teknologi Barat.
Oleh karena itu, persoalan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moral. Maka, penanganannya pun harus melibatkan pertama kali, perubahan paradigma terhadap alam dan lingkungan. Kemudian, melakukan tindakan afirmatif untuk mengembangkan sikap bersahabat dan berbuat baik kepada alam. Tulisan ini berusaha untuk menawarkan solusi tersebut dalam perspektif fikih Islam yang kaya dengan konsep-konsep yang menekankan kebaikan dan keseimbangan manusia dan alam. Ini pada gilirannya dimaksudkan untuk dapat ditindaklanjuti dalam tataran praktis.

Pemeliharaan Ekologi: Tawaran Fikih dan Tindakan Afirmatif
Maqâṣid Sharî’ah: Framework for Action
Dalam kitab I’lâm al-Muwaqqi’în, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1977, II: 14) dengan cerdas menyebutkan bahwa “Sesungguhnya fondasi dan dasar syariat Islam adalah hikmah dan kemaslahatan hamba baik di dunia maupun diakhirat. Syariat Islam itu adalah keadilan, kasih sayang, hikmah dan kemaslahatan. Segala sesuatu yang keluar dari prinsip keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah, menuju kepada kezaliman, perusakan, dan kesia-siaan, bukanlah syariat, meskipun ia dipahami dengan cara ta'wil.” Karena syariat Islam berpijak pada prinsip universal ini, maka berbagai tujuan di balik pensyariatan hukum adalah “menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan”. Prinsip ini kemudian dibagi ke dalam tiga bagian: ḍarûriyyah, ḥâjiyyah dan taḥsîniyyah. Yang dianggap pertama kali merumuskan konsep ini adalah al-Juwaynî dalam kitab al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh (1997: 79-80). Kemudian, konsep ini dielaborasi dengan sangat cerdas oleh al-Ghazzâlî dalam al-Mustaṣfâ min ‘Ilm al-Uṣûl. Ulama berikutnya yang memperluas konsep ini dan mengulas dengan begitu cemerlang adalah al-Shâṭibî dalam al-Muwâfaqât fî Uṣûl al-Sharî’ah khususnya dalam juz ke-2.
Menurut rumusan al-Ghazzâlî dan al-Shâṭibî dengan urutan yang tidak sama, maṣlaḥah ḍarûriyyah ini dibagi ke dalam lima prinsip: ḥifẓ al-dîn (pemeliharaan terhadap agama); ḥifẓ al-nafs (pemeliharaan terhadap jiwa); ḥifẓ al-‘aql (pemeliharaan terhadap akal); ḥifẓ al-mâl (pemeliharaan terhadap harta); dan ḥifẓ al-nasl atau ḥifẓ al-‘araḍ (pemeliharaan keturunan dan kehormatan). Dalam perkembangannya, mengingat permasalahan yang dihadapi umat Islam begitu kompleks, maka pembatasan hanya terhadap lima prinsip pokok ini menjadi dipertanyakan. ‘Aṭiyyah (1997: 79-80) menguraikannya dengan singkat upaya penambahan tersebut dalam bukunya Naḥwa Taf’îl Maqâṣid al-Sharî’ah. Namun di antara penambahan yang mungkin kontroversial yang berkembang dalam wacana global ini adalah ḥifẓ al-bî’ah (pemeliharaan terhadap lingkungan). Pemeliharaan terhadap isu ekologi dan lingkungan ini mendapatkan pijakan Alquran yang kuat, selain fakta juga menunjukkan bahwa berbagai kerusakan terhadap alam menuntut dengan cepat perhatian yang sangat serius dari teks-teks keagamaan.
Misalnya, perhatian Alquran yang kuat terhadap bumi dan perintah untuk memakmurkannya bisa dilihat dari berbagai rentetan ayat dan juga hadis Nabi yang menegaskan perintah untuk menanam dan menyuburkan, dan larangan menyia-nyiakannya. Dalam Alquran kata bumi (‘arḍ) disebutkan sektiar 61 kali (al-Bâqî, 1994: 34-42). Dalam ayat-ayat ini kita menemukan bahwa bumi digambarkan sebagai mahd (QS. al-Zukhrûf [43]: 10), mustaqarr atau qarâr (QS. al-Mu’min [40]: 64), firâsh (QS. al-Baqarah [2]: 22), bisâṭ (QS. Nûh [71]: 19) dan mihâd (QS. al-Naba’ [78]: 6). Menurut hukum Islam, segala tindakan yang membahayakan dan merusak bumi adalah sangat dilarang dalam Islam. Yang dimaksud dengan bumi di sini mencakup tanah, gunung, tanaman, hutan, dan seterusnya. Istilah ‘arḍ juga mencakup makna “tempat yang halus dan mudah untuk manusia berjalan, bekerja, menanam dan memanen, membangun rumah dan pabrik dan melakukan segala sesuatu yang berada dalam batasan-batasannya.” (lihat QS. al-Mulk [67]: 15)
Sebagian ahli tafsir mengomentari ayat di atas dengan berkata bahwa Allah Swt membuat dan mempersiapkan bumi ini sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang cocok untuk membangun rumah buat manusia dan semua makhluk bumi lainnya. Tanah ini mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang dan merupakan asal mula bagi sumber makanan utama buat manusia dan binatang. Ia tidak datang dengan sendirinya, namun karena kehendak dan kekuasaan Sang Pencipta. Tuhan menciptakan manusia untuk menetap di bumi, generasi per generasi. Ia, dengan kebijaksanaan-Nya, menempatkan bumi pada jarak yang sesuai dan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi spesies-spesies yang berbeda untuk eksis dan hidup di atasnya (al-Qurtubi, 1994, XVIII: 205-6; al-Razi, 1985, XXX: 68-9). Malah, tanah, menurut Alquran, dianggap sebagai mati atau kering, ketika tidak ada air hujan yang turun dan keringnya atmosfer yang menyebabkan matinya tumbuh-tumbuhan dan sulitnya kehidupan. Namun demikian, Allah Swt lah yang menghidupkannya dengan mengirimkan air dari langit dan menutupinya dengan pohon dan tumbuh-tumbuhan.
Dari pentingnya isu ini muncul konsep iḥyâ’ al-mawât dan ḥimâ dalam literatur fikih Islam. Bahasan berikut akan mengulas kedua isu ini secara sederhana (Lihat al-Zuḥaylî, 1989, V: 549-587; al-Nawawî, 1996, XVI: 81-130).

Iḥyâ’ al-mawât (menghidupkan tanah mati atau tidak produktif)
Kata iḥyâ’ berarti “menghidupkan” dan mawât berarti “tanah-tanah mati yang tidak ada pemiliknya”. Menurut al-Zuḥaylî (1989, V: 550), kandungan makna dari istilah ini adalah:

استصلاح الأراضى الزراعية أو جعلها صالحة للزراعة برفع عوائق الزراعة من أحجار وأعشاب منها واستخراج الماء و توفير التربة الصالحة للزراعة وإقامة الأسوار عليها أو تشييد البناء فيها

“membuat tanah-tanah pertanian menjadi subur atau menjadikannya cocok untuk ditanami dengan menghilangkan hal-hal yang menghambat penanaman seperti batu-batu dan rumput-rumput, membuat air keluar, menaburkan tanah-tanah yang cocok untuk ditanam, dan mendirikan pagar atau mendirikan bangunan di atasnya. ”

Tujuan dari konsep ini, seperti yang dipahami para fuqaha dan juga dokter, tidak hanya dianggap sebagai sumber dalam ekonomi negara, namun juga sumber bagi kesehatan lingkungan. Memang benar bahwa Islam memberikan perhatian khusus kepada pentingnya tanah. Ini karena, iḥyâ’ al-mawât sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, yang tanpanya tidak ada tumbuh-tumbuhan dan pengolahan yang bisa dikembangkan di atas bumi. Karena tanah mati yang tidak produktif jika diabaikan begitu saja akan menyebabkan degradasi tanah, dan ini pada gilirannya bisa mengancam keselamatan hidup manusia, binatang dan makhluk ciptaan lainnya.
Secara historis, praktik ini pernah ada pada masa Nabi, Khulafâ’ Râshidûn dan juga ‘Umayyah. Sejarawan menceritakan bahwa ketika Nabi berhijrah ke Madinah, sejumlah umat Islam Madinah telah memiliki lahan-lahan pertaniannya sendiri. Nabi tidak hanya mengkonfirmasi kepemilikan tanah, namun ia sendiri juga menetapkan aturan yang positif yang membiarkan tanah tersebut menjadi milik perorangan. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelahnya juga. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb, misalnya, menyerahkan semua lahan Khaybar kepada ratusan orang setelah ia mengeluarkan orang-orang Yahudi dari sana.
Dasarnya adalah hadis: من أحيا أرضا ميتة فهي له(Siapa pun yang tadinya menghidupkan tanah yang tidak dipakai—terlantar dan tidak dimiliki siapa pun—maka tanah tersebut menjadi miliknya”). Hadis ini diriwayatkan oleh Aḥmad dan al-Turmudhi melalui jalur Jâbir b. ‘Abd Allâh. Status hadis ini, menurut al-Turmudhî, adalah ḥasan saḥîḥ Semangat hadis ini memberikan pesan agar tidak membiarkan tanah tidak bertuan atau kawasan terlantar begitu saja. Konsep ini sangat penting sebagai landasan memakmurkan bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Namun untuk konteks sekarang, praktik tersebut tidak bisa begitu saja dilakukan. Namun perlu mendapatkan persetujuan pemerintah atau penguasa, menurut mazhab Hanafî (Yûsuf, 1985: 180). Alasan dari pandangan ini adalah untuk menjauhi berbagai sengketa yang mungkin terjadi dari berbagai klaim yang bertentangan—entah itu antara pengembang iḥyâ’ dan pemilik iqṭâ’. Sedangkan mazhab Mâlik berpendapat bahwa persetujuan dari negara itu penting hanya ketika tanah mati yang tidak berpenghuni (mawât) itu berada dekat dengan perhunian masyarakat. Jika tanah mawât tersebut terisolasi dan jauh dari kampung masyarakat, maka persetujuan dari negara tidaklah begitu penting.
Menurut hemat penulis, dalam konteks sekarang, intervensi pemerintah itu sangat penting demi menghindari terjadinya konflik, karena ḥukm al-ḥâkim ilzâm yarfa’ al-khilâf (putusan penguasa bersifat mengikat dan mengangkat segala bentuk sengketa). Untuk itu, pemerintah dan peraturan perundangan harus aktif dan akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb, misalnya, membuat peraturan perundangan untuk mengambil tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila tidak terlihat ada tanah-tanah yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, pemerintah dapat memproses lahan tersebut agar bisa dialihkan kepemilikannya untuk dijadikan lahan produktif.
Namun demikian, dalam iḥyâ’ al-mawât ada beberapa ketentuan fikih yang perlu diperhatikan, yaitu selain penggarapan tanah tidak berlaku terhadap tanah yang sudah dimiliki orang lain, ia juga bukan merupakan kawasan yang bisa mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum, seperti tanah yang rawan longsor atau daerah aliran sungai yang bisa berakibat berubahnya aliran sungai. Dalam proses iḥyâ’ tersebut, menurut al-Mâwardî (1998, IX: 333-334), diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Karenanya, ia harus dilakukan menurut watak alami dan londisi tanah yang tidak produktif (mawât) tersebut. Jika tanah tersebut masuk dalam kategori tanah pertanian, maka pekerjaan yang diharapkan untuk dilakukan seharusnya mencakup pembuatan batas-batas, pembersihan lahan tanah, dan pengairan.
Ḥimâ (lahan konservasi atau cagar alam)
Dalam literatur fikih, kata ḥimâ mengandung pengertian “lahan terlarang bagi orang lain”. Dasarnya adalah hadis Nabi, yang diriwayatkan oleh Aḥmad, Bukhârî dan Abû Dâwûd: لا حمى إلا لله ورسوله [Semua ḥimâ (lahan konservasi) hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh siapa pun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan penggembalaan hewan ternak. Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, menurut al-Suyuti dan juga para fukaha yang lain, ḥimâ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dari praktik Nabi Muhammad Saw dan khalifah-khalifah pertama: (1) harus diputuskan oleh pemerintahan Islam; (2) harus dibangun sesuai ajaran Allah–yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaintan dengan kesejahteraan umum; (3) harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan; (4) harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya. (Dikutip dalam Llewelyn, 2003: 213)
Secara historis, praktik ini sudah dilakukan Nabi, misalnya dengan membuat ḥimâ di wilayah Naqi’, delapan mil dari kota Madinah, untuk kuda-kuda kaum muslimin. ‘Umar b. al-Khaṭṭâb membangun ḥimâ Sharaf dan al-Rabadah, yang diperluas oleh Uthmân b. ‘Affân, membentang dari tempat di Rabadah di barat Nejed sampai ke perkampungan Dariyah. Pada tahun 1969, diperkirakan ada tiga ribu ḥimâ, yang mencakup sebuah kawasan luas di bawah pengawasan konservasionis dan berkelanjutan.
Meskipun pada masa Nabi dan setelahnya dimanfaatkan untuk menggembala ternak, namun dalam konteks sekarang, istilah ini bisa diperluas pemahamannya menjadi taman nasional, cagar alam, suaka alam, hutang lindung, dan suaka margasatwa. Di Indonesia banyak ditemukan hima atau cagar alam, di antaranya Cagar Alam Ujung Kulon, Cagar Alam Way Kambas, Cagar Alam Karaeta di Maros, Hima Batang Gading, Hima Gunung Leuser (Aceh), dan sebagainya.

Prinsip al-‘Âdah Muḥakkamah dan Kearifan Lokal
Di dalam kaidah fikih induk, ini masuk ke dalam kaidah kelima yang secara umum mengandung pengertian “Adat bisa menjadi hukum”. Adat kebiasaan, atau dikenal pula dalam bahasa uṣûl al-fiqh dengan ‘urf, yang bisa dijadikan sebagai hukum adalah yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: (1) tidak bertentangan dengan syariat; (2) kemaslahatannya harus bersifat universal, bukan parsial. Kemudian, segala sesuatu yang ditetapkan hukumnya melalui adat, maka ketetapan hukumnya seperti ketetapan hukum melalui nash. (al-thâbit bi al-‘âdah ka al-thâbit bi al-naṣṣ)
Adat, dalam pengertian yang luas, bisa mencakup pula kearifan lokal atau kearifan tradisional. Yang dimaksudkan di sini adalah “semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis” (Keraf, 2002: 289). Jumlah kearifan lokal dari masyarakat adat ini melimpah, karena masyarakat adat membentuk jumlah yang cukup signifikan di dunia. Menurut laporan dari The World Conservation Union (1997) dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat budaya dunia (Keraf, 2002: 282).
Kearifan lokal dari masyarakat-masyarakat adat ini terhadap lingkungan bisa dikatakan hampir sama (universal) di seluruh dunia. Mereka memandang dirinya, alam dan relasi antara keduanya dalam perspektif religius, spiritual. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional sebagai sakral. Atau singkatnya semuanya menekankan berbagai prinsip yang bisa diringkas sebagai berikut:
• Sikap hormat terhadap alam (respect for nature).
• Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature).
• Solidaritas kosmik (cosmic solidarity).
• Prinsip kasih sayang dan kepedulian (caring for nature).
• Prinsip no harm (la ḍarar wa lâ ḍirâr).
• Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.
• Prinsip keadilan dan keseimbangan.
• Prinsip integritas moral.

Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip yang terambil dari kearifan tradisional dari berbagai masyarakat adat bisa dijadikan sebagai ingredient bagi upaya pelestarian ekologi dan penyelamatan bumi. Meskipun penerapannya bersifat lokal [dan terkadang dibungkus pula dengan mitos-mitos], namun mempunyai ajaran-ajaran moral yang bersifat universal terhadap lingkungan. Kita mempunyai berbagai kearifan tradisional dan falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sebenarnya dalam komunitas perkotaan yang modern pun kini tumbuh berbagai kearifan lingkungan, seperti halnya pengelolaan sampah di Banjar Sari Jakarta, Sukunan Yogyakarta, Karah Surabaya, Kassi-Kassi Makasar, dan lain-lain.

Catatan Penutup
Kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yaitu lingkungan rumah, dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan. Rasulullah Saw pernah menyatakan, “Seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan di tanganku ada benih yang akan ditanam, maka saya akan menanam benih itu.” Aksi ini kemudian mesti diperluas jangkauannya hingga lingkungan sekitar, masyarakat dan begitu seterusnya dalam tataran yang lebih luas, agar hal itu bisa menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan tempat-tempat sampah yang organik dan non-organik, agar yang bisa didaur ulang kembali menjadi hal yang berguna, pun perlu diperhitungkan. Di negara-negara lain, seperti di antaranya Australia, hal ini sudah dilakukan.
Tentunya pemerintah dan masyarakat harus bergandeng tangan mewujudkan cita-cita ini. Tanpa adanya partisipasi yang tulus dari segenap masyarakat dan political will dari pemerintah daerah, maka pewujudan lahan konservasi (ḥimâ) dan pengembangan tanah-tanah tidak produktif (iḥyâ’ al-mawât) tidak akan bisa terwujud.

Daftar Pustaka
‘Aṭiyyah, Jamâl al-Dîn, Naḥwa Taf’îl Maqâṣid al-Sharî’ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001
al-Bâqî, Muḥammad Fu’âd ‘Abd., al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfâẓ al-Qur’ân al-Karîm bi Ḥâshiyat al-Maṣḥaf al-Sharîf, Beirut: Dâr al-Fikr li al-Ṭibâ‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzî‘, 1994
al-Jawziyyah, Ibn Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Juz 3, Cet. ke-2, Beirut: Dâr al-Fikr, 1977
al-Juwaynî, Abû al-Ma’âlî, al-Burhân fi Uṣûl al-Fiqh, Jilid 2, Taḥqîq: Ṣalâḥ b. Muḥammad b. ‘Uwayḍah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997
Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002
Llewelyn, Othman. “The Basic for a Discipline of Environmental law” dalam Islam and Ecology, R.C. Foltz, F.M. Denny and A.Baharuddin (Eds), Cambridge: Harvard University Press, 2003
al-Mâwardî, Abû al-Ḥasan, al-Ḥâwî al-Kabîr, Maḥmûd Satrajî (ed), Jilid 9, Beirut: Dâr al-Fikr li al-Ṭibâ‘ah wa al-Nashr wa al-tawzî‘, 1994
al-Nawawî, Imam, al-Majmû’ Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid 16, Cet. ke-1, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Aḥkâm al-Qur’ân, Muḥammad Ibrâhîm al-Hafnawî (ed), Jilid 18, Cairo: Dâr al-Ḥadîth, 1994
al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtîḥ al-Ghayb, Jilid 30, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985
al-Shâṭibî, Abû Ishâq Ibrâhîm, al-Muwâfaqât fî Uṣûl al-Sharî’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt
White Jr, Lynn., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis”, Science, Vol. 155, No. 3767, (10 Maret 1967): 1203-7
Yûsuf, Abû Ya‘qûb b. Ibrâhîm, Kitâb al-Kharâj, Iḥsân ‘Abbâs (ed), Kairo: Dâr al-Shurûq, 1985
al-Zuḥaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu Jilid 5, Cet. Ke-3, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989.

Dosen STAIN Palu. Artikel sudah diterbitkan dalam Jurnal Hunafa, STAIN Palu Vol. 5, No.3, Desember 2008, 300-310.

Tidak ada komentar: