Kamis, 24 Desember 2009

Max Weber

Max Weber: Etika Keagamaan, Kharisma dan Kepemimpinan Kharismatik

Oleh: Rusli

Abstract
This paper tries to discuss the concept of religious ethics and charisma which Weber formulates. Weber analyses the influence of religious ethics on humans’s behaviour and attitude in their social world. As a matter of fact, according to Weber, there is close affinity between the calvinist ethics and the spirit of capitalism. The Protestant ethics has broken up traditions and encouraged its adherents to apply it rationally in their works to gain material goods. In other words, Protestantism has ethics that evokes the spirit of capitalism. By this thesis, Weber also investigates economical ethics of non-western cultures and religions, such as Confusianism and Taoism in China, Hinduism and Budhisms in India, Ancient Judaisme and Islam. Weber finds that these pre-industrial societies have already had technological infrastructure and other important preconditions to begin capitalism and economic expansion, however, capitalism has failed to emerge and develop. Furthermore, Weber also explores the concept of charisma which, Weber believes, can provoke social change. Charisma, as innovative force and revolution, may threaten and destroy an established social and political order. Charismatic leaders ask loyalty from their followers based on their personal excellence or superiority, such as divine mission, heroism, and God’s bounty, which makes them different. Institutionalization of charisma may occur from several ways, among other things, genealogy, heredity and institution.

Kata kunci:

Etika protestan, rasionalisasi, rasionalitas nilai, rasionalitas tujuan, otoritas tradisional, otoritas legal-rasional, otoritas kharismatik

Pendahuluan
Max weber menempati posisi penting dalam perkembangan sosiologi. Signifikansinya tidak semata-mata bersifat historis; ia juga menjadi sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh dalam sosiologi kontemporer. Bahkan ia seringkali dianggap sebagai perumus teori sosiologi klasik paling penting karena telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai bidang, serta pendekatan dan metodenya banyak membantu analisa sosiologis kemudian. Seperti Karl Marx, Weber memiliki ketertarikan dalam berbagai bidang, seperti politik, sejarah, bahasa, agama, hukum, ekonomi, administrasi, disamping tentunya sosiologi.
Tulisan ini tidak akan mengulas keseluruhan ide dan gagasan besar Weber tentang sosiologi yang secara umum berporos pada tiga konsep: tradisi, kharisma dan rasionalitas, serta konsep metodologisnya yang terkait dengan tiga skema konseptual: mode otoritas legitimate, tipe ahli keagamaan, dan tipe dasar aksi sosial. Tetapi, tulisan ini hanya membahas dan mendiskusikan sosiologi agama, terutama tesis Weber tentang “Etika Protestan” yang, menurut Ralph Schroeder, menjadi norma dalam sosiologi serta kharisma dan kepemimpinan kharismatik. Namun sebelumnya akan diuraikan secara singkat latarbelakang kehidupannya agar dapat mengetahui bagaimana gagasan-gagasan tersebut muncul.

Sketsa Biografis Weber

Weber hidup pada periode penting dalam perkembangan masyarakat modern dari 1864 sampai 1920. Ia dilahirkan dalam lingkungan politik kelas menengah Jerman. Bapaknya seorang birokrat yang mendukung kebijakan-kebijakan Kaisar dan Kanselor Jerman yang konservatif dan reaksioner, Bismarck. Tetapi, Weber tidak sejalan dengan pandangan politik bapaknya dan sering kali berselisih pendapat karena liberalisme Weber yang sangat mendukung demokrasi dan kebebasan manusia.
Ibunya, Helen Weber, adalah seorang Protestan-Calvinis, dengan ide-ide absolutis moral yang kuat. Weber sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan serta pendekatan ibunya kepada kehidupan. Meskipun Weber tidak menyatakan sebagai seorang yang religius, tetapi agama juga mempengaruhi pikiran dan tulisan-tulisannya. Misalnya, selain meneliti agama Kristen, Weber juga mempelajari agama-agama lain secara luas, seperti Konfusianisme, Hindu, Budha, Yahudi dan Islam. Buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan sebuah model dari metode historis dan sosiologis yang ditempuh Weber dalam meneliti tentang hubungan antara Calvinisme dan kemunculan kapitalisme.
Pendidikan Weber ditempuh di universitas Heidelberg, Goettingen dan Berlin, dan ia melanjutkan di perguruan tinggi yang disebut terakhir itu setelah memperoleh kualifikasi untuk praktik hukum di pengadilan-pengadilan di kota besar itu. Dia memperoleh gelar profesor penuh dalam bidang ekonomi di Freiburg dalam usia tiga puluh tahun, sebuah prestasi yang sangat menonjol dalam dunia akademis Jerman yang terkenal hierarkis dan berorientasi senioritas. Pada tahun 1896 ia memperoleh jabatan mengajar di Heidelberg, tetapi setahun kemudian ia menderita kelumpuhan syaraf yang, meskipun sudah sembuh sebagian, tidak memungkinkannya untuk mengemban secara penuh jabatan akademis itu selama sisa hidupnya. Selama empat tahun ia tidak aktif dalam pengembangan intelektual. Kemudian setelah itu selama 14 tahun, ia dapat menjalankan tugas-tugas akademis dan larut dalam produktivitas secara intensif selama beberapa pekan dan bulan. Lalu depresinya kembali lagi dan baru sembuh setelah ia sering melakukan perjalanan ke luar negeri.
Setelah sembuh dari depresi psikologis, Weber melakukan perjalanan ke Amerika pada tahun 1904. Kunjungan in sangat mempengaruhi Weber. Ia sangat terkesan dengan partai-partai politik masa, LSM, dan institusi-institusi lainnya yang ia rasa turut membantu mengembangkan kebebasan dan demokrasi di Amerika. Ia juga mulai menyadari pentingnya politik mesin dan peran birokrasi dalam ‘demokrasi masa’. Usahanya untuk mengembangkan demokrasi di Jerman sebagiannya dipengaruhi oleh pengamatannya tentang demokrasi di Amerika.
Sekembalinya dari Amerika ia menyelesaikan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905, diterjemahkan tahun 1930). Tahun-tahun berikutnya, ia menerbitkan esai-esai tentang metodologi, The Methodology of the Social Sciences (1949). Dan mulai melanjutkan penelitiannya tentang agama-agama besar dunia dan perspektif historis-dunia, seperti The Religion of China (1916, diterjemahkan tahun 1951), The Religion of India (1916-17, diterjemahkan tahun 1958), Ancient Judaism (1917-19, diterjemahkan tahun 1952). Disamping itu, secara ekstensif, Weber juga melakukan penulisan tentang ekonomi dan sejarah, dan mulai karya besarnya Economy and Society pada tahun 1909, tetapi tidak pernah selesai, dan General Economic History (1923). Karya-karya ini adalah karya-karya Weber yang terpenting di antara banyak tulisannya yang lain.
Weber menetap di Heidelberg dan rumahnya menjadi tempat pertemuan para intelektual. Perang Dunia Pertama meledak pada tahun 1914, dan ini sangat mempegaruhi kerja Weber. Ia lalu bekerja sebagai pegawai pada rumah sakit militer. Kemudian, ia mulai mempertanyakan kompetensi militer dan regim politik, serta mencoba meyakinkan para jenderal untuk menghentikan perang, tetapi ini tidak berpengaruh. Setelah perang, Weber bekerja sebagai penasihat delegasi Jerman di Versailles, membantu membuat draft konstitusi Jerman dan kemudian menjadi tokoh politik penting. Ia tidak sejalan dengan pemerintahan Kaisar Jerman yang konservatif dan juga menentang partai-partai sosialis. Dan ini tentunya memberikan sedikit kesempatan kepadanya untuk memberikan kontribusi yang signifikan mengingat pada saat itu belum ada partai yang menengahi kedua maistream tersebut di Jerman. Maka, ia mulai mengajar kembali di Munich pada akhir-akhir hidupnya. Kemudian ia terkena pneumonia dan meninggal pada tahun 1920 pada usia 56 tahun.
Gagasan-gagasan Weber yang terekam dalam berbagai tulisan-tulisannya banyak mempengaruhi sarjana-sarjana penting generasi berikutnya dalam ilmu-ilmu sosial, seperti diantaranya Robert N. Bellah, Clifford Geertz, C. Wright Mills dan Karl Mannheim.

Pengaruh intelektual
Kata orang bijak, “Tidak ada yang baru di bawah kolong langit”. Karenanya, pengaruh pemikiran sebelumnya dapat kita lihat pada semua pemikiran. Weber pun tidak terkecuali. Secara intelektual, ia banyak dipengaruhi oleh tradisi berfikir pada masanya, dimana pada masa itu, filsafat Immanuel Kant (1724-1804) begitu mendominasi masa hidup itu, disamping tentunya berbagai aliran dalam filsafat seperti positivisme dan idealisme. Kant berpendapat bahwa "Metode-metode ilmu pengetahuan alam memberi kita suatu pengetahuan yang benar mengenai dunia fenomenal eksternal–dunia yang kita alami melalui rasa-rasa kita." Pada saat yang sama Kant berpendapat bahwa filsafat moral atau sistem moralitas juga penting dan “mencakup refleksi tentang kaidah-kaidah moral yang nampak berada di dalam dan dapat difahami tanpa merujuk kepada pengalaman manusia." Yaitu, analisa empirik dan penilaian moral adalah dua sistem yang terpisah—sosiologi tidak dapat menjelaskan nilai-nilai moral, tetapi dapat mendiskusikan efek-efek dari nilai-nilai tersebut.
Karena sosiologi mesti memperhatikan analisa-analisa empirik dari masyarakat dan sejarah, metode sosiologi tentunya berbeda dengan metode ilmu pengetahuan alam. Analisa sosiologis meneliti dan mempelajari tindakan sosial dan konteks interaksi sosial, dan harus interpretive (didasari oleh pemahaman, verstehen), tidak melihat manusia sebagai objek yang hanya didorong oleh kekuatan-kekuatan impersonal. Pengaruh-pengaruh seperti ini dapat dilihat dalam pendekatan Weber mengenai metodologi, pemahaman dan tindakan sosial.
Dari sinilah, Weber mengkritik pemikir positivis seperti Comte yang berusaha menyamakan ilmu sosial dengan ilmu alam. Kedua disiplin ilmu tersebut tidak bisa disamakan, ilmu alam lebih menekankan pada “penjelasan” (explanation; erklaren), sementara ilmu sosial sangat terkait dengan “pemahaman” (understanding; verstehen). Seperti Dilthey, Weber lebih menekankan pentingnya makna subjektif dan menolak bahwa kebudayaan manusia dapat difahami secara memadai tanpa interpretasi nilai.

Posisi ideologis Weber
Secara ideologis, Weber sangat apresiatif terhadap faham Individualisme. Bahkan ia memperjuangkan faham ini. Ia juga menganggap dirinya sebagai seorang yang liberal, tetapi liberalismenya adalah “authoritarian liberalism”. Disamping itu, ia juga pembela kapitalisme Barat yang gigih, tetapi pada saat yang sama ia juga menjelaskan karakteristik kapitalisme yang kontradiktif dan berpotensi merusak. Ia sangat mendukung kebebasan, tetapi sangat skeptis terhadap demokrasi popular, dan tidak pernah meninggalkan ketertarikannya pada kepemimpinan politik yang otoriter dan despotik.

Konsepsi Ilmu Sosial dan Metodologi Weber
Konstruksi pemikirannya adalah produk dari kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan dalam pemikiran sosial abad ke-19. Ada beberapa poin yang dapat diambil berkenaan dengan konsepsi ilmu sosial dan metodologi Weber:
Pertama, penekanan Weber adalah pada tindakan sosial (social action), bukan struktur sosial. Unit analisis dasar dari bagi Weber adalah selalu individu, paling tidak dalam pernyataan-pernyataan programatiknya, karena dalam analisis sosiologisnya tentang agama, penekanannya cenderung kepada kelompok-kelompok kepentingan. Menurut interpretasi standar, Weber menganggap sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial yang komprehensif. Titik fokus teoritisnya terletak pada “arti subjektif” (subjective meaning) yang dilekatkan manusia kepada tindakan sosial dan interaksi-interaksi mereka dalam konteks sosial tertentu. Dalam hubungan ini, ia membedakan empat tipe utama tindakan sosial: zweckrational, wertrational, affective action dan traditional action.
Zweckrational (rasionalitas tujuan) dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mana cara dan media untuk memperoleh tujuan tertentu dipilih secara rasional. Yang khas pada rasionalitas tujuan ini adalah bahwa pedoman normatif dan ikatan-ikatan afektif tidak diutamakan. Yang penting adalah tercapainya tujuan yang dimaksud berupa manfaat yang sebesar-besarnya. Pemilihan cara-cara yang digunakan tidak didasarkan pada norma-norma tertentu, tetapi hanya pada pertimbangan biaya. Dalam arti ini, suatu tindakan disebut rasional apabila dalam mencapai tujuannya dipergunakan cara-cara yang dapat menekan biaya sampai sekecil-kecilnya.
Wertrational (rasionalitas nilai) dicirikan dengan usaha untuk mencapai tujuan yang esensinya mungkin tidak rasional, tetapi alat untuk mencapai tujuan tersebut dipilih secara rasional. Contohnya adalah seorang yang mencari penyelamatan (salvation) melaui ajaran-ajaran seorang Nabi. Tujuan itu sendiri pada dasarnya tidak rasional, tetapi media yang digunakan untuk sampai kepada tujuan tersebut adalah dipilih secara rasional.
Tindakan afektif (affective action) didasari pada keadaan-keadaan emosional seseorang dari pertimbangan-pertimbangan rasionalnya dalam memilih alat dan tujuan. Sentimen adalah daya yang kuat dalam memotivasi tindakan dan perilaku seseorang. Sementara yang terakhir, traditional action dipandu oleh adat kebiasaan. Mereka terlibat dalam tindakan seperti ini seringkali tidak memikirkannya, karena perbuatan tersebut selalu dan biasa dilakukannya.
Kedua, penekanan pada makna (meaning). Disini ia mengemukakan suatu metode penelitian yang spesifik, yaitu verstehen. Metode ini dapat digambarkan sebagai upaya memahami aksi sosial melalui pemahaman empatik terhadap nilai dan kebudayaan orang lain. Tetapi pemahaman terhadap makna atau motif subjektif tidak semata-mata dimaksudkan untuk memastikan perilaku atau keyakinan seseorang, tetapi Weber lebih mengartikan verstehen sebagai suatu metode yang diterapkan untuk memahami peristiwa-peristiwa historis. Kendati demikian, Weber juga concern untuk menjelaskan fakta sosial; kehidupan sosial harus dipahami tidak hanya secara subjektif tetapi juga objektif. Maka pemahaman interpretatif harus dilengkapi dengan analisa kausal.
Ketiga, penekanan pada sosiologi bebas nilai. Dalam hal ini, Weber menyatakan bahwa ilmu selamanya tidak boleh menyajikan norma dan ideal-ideal yang mengikat, dan dijadikan acuan bagi aktifitas praktis. Sebuah ilmu sosial, tegas Weber, harus netral secara etis dan politis.

Weber dan Sosiologi Agama
Tema pokok sosiologi agama Weber adalah gagasan tentang rasionalisasi. Rasionalisasi adalah suatu proses yang menjadikan aturan-aturan dan prosedur-prosedur dapat dikalkulasikan secara eksplisit dan intelektual, disistematisasi dan dispesifikasikan, dan langsung menggantikan sentimen dan tradisi. Rasionalisasi juga menunjukkan suatu bentuk kontrol normatif, suatu bentuk kekuatan legitimate yang oleh Weber disebut dengan “otoritas legal rasional”. Weber mendefinisikan model legitimasi ini sebagai “model yang didasarkan pada keyakinan atas legalitas pola-pola aturan normatif dan hak orang-orang yang menduduki otoritas dimana di bawah aturan tersebut ia mengeluarkan perintah. Weber mempertentangkan bentuk dominasi legitimate ini dengan “otoritas tradisional” dan “karismatik”.
Otoritas tradisional atau otoritas yang dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Dalam otoritas ini, tatanan sosial dipandang sebagai suci, abadi dan tak bisa dilanggar. Rakyat terikat dengan penguasa karena ketergantungan personal dan tradisi kesetiaan. Dan ketaatan mereka kepada penguasa makin diperkuat oleh keyakinan-keyakinan seperti hak ilahi para raja. Semua sistem pemerintahan sebelum berkembangnya negara modern merupakan contoh otoritas tradisional. Meskipun kekuasaan penguasa dibatasi oleh tradisi yang memberikan legitimasi kepadanya, pembatasan tersebut tidaklah bersifat ketat, karena penguasa dipandang tetap memiliki kesewenang-wenangan. Pada umumnya, otoritas seperti ini cenderung mempertahankan status quo dan tidak cocok bagi perubahan sosial.
Sementara itu, otoritas kharismatik, sebagai kekuatan inovatif dan revolusi, yang mengancam dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas ini didasarkan kepada kepatuhan terhadap person ketimbang pada sistem hukum impersonal yang memberdayakan pemegang posisi untuk melaksanakan otoritas semata-mata dalam kapasitas resminya. Legitimasi kharisma secara inheren tidak stabil karena bergantung pada satu orang yang mungkin melalui kegagalan dan kekalahan dapat menghancurkan keyakinan para pengikutnya terhadap misinya dan yang akhirnya mati. Dengan demikian, masalah suksesi dihadapi oleh semua gerakan yang diciptakan oleh para pemimpin kharismatik.
Weber percaya bahwa tindakan rasional dalam sistem otoritas legal-rasional merupakan jantung masyarakat modern. Disini, Weber meneliti tentang pergeseran dan peralihan dari tindakan tradisional ke tindakan rasional. Weber juga percaya bahwa rasionalisasi tindakan dapat diwujudkan apabila cara-cara hidup tradisional ditinggalkan. Di dunia Barat, orang-orang modern telah meninggalkan cara-cara hidup tradisional yang berorientasi kepada nilai-nilai keagamaan, dan mereka mengembangkan suatu hasrat dan keinginan yang kuat untuk memperoleh benda-benda materi dan kekayaan.
Setelah melakukan penelitian yang hati-hati, Weber mengemukakan sebuah hipotesis bahwa etika Protestan telah membongkar ikatan tradisi sekaligus mendorong penganutnya untuk menerapkan etika tersebut secara rasional ke dalam kerja mereka untuk memperoleh kekayaan materi. Dengan kata lain, Protestan memiliki etika yang dapat memunculkan spirit kapitalisme. Dengan tesis ini, Weber juga menelaah etika ekonomi budaya-budaya atau agama-agama non-Barat, seperti Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Budhisme di India, Judaisme Klasik dan Islam. Weber mendapati bahwa masyarakat-masyarakat pra-industri ini telah memiliki infrastruktur teknologis dan prasyarat-prasyarat penting lainnya untuk memulai kapitalisme dan ekspansi ekonomi, tetapi, kapitalisme tetap gagal untuk muncul dan berkembang. (lihat bagan 1)

Bagan 1: Korelasi antara agama-agama dunia dengan spirit kapitalisme

No. Agama-agama Dunia Prasyarat material Prasyarat ideal
(e.g. penduduk, teknologi) (e.g. semangat pencapaian)
1.Medieval Religions Ada Tidak ada
2.Protestantisme Asketik Ada Ada
3.Judaisme Klasik Ada Tidak ada
4.Islam Ada Tidak ada
5.Taoisme (Cina) Ada Tidak ada
6.Konfusianisme (Cina) Ada Tidak ada
7.Hinduisme (India) Ada Tidak ada
8.Budhisme (India) Ada Tidak ada

Konfusianisme digambarkan oleh Weber sebagai doktrin dan ritus yang dipaksakan terhadap Cina oleh kelas birokratnya atau literati. Ia dipandang mencakup etika konvensi, kontrol diri, yang masih terikat dengan masalah-masalah praktis dan demi kepentingan birokratis. Orang lebih mengembangkan seni kaligrafi yang sulit sehingga tidak ada perkembangan dalam penalaran. Etika ini meremehkan perang, menekankan harmoni, dan satu-satunya penyelamatan adalah membebaskan orang dari perilaku barbar dan stagnasi; satu-satunya dosa adalah dosa yang dilakukan terhadap otoritas yang lebih tua, seperti nenek moyang, atasan, adat-tradisi; satu-satunya kabajikan adalah kesehatan, panjang umur, kekayaan, dan nama baik setelah mati. Dengan etika mandarin ini, yang terkait erat dengan tradisi dan berlawanan dengan reformasi apapun, Cina tetap jauh dari spirit kapitalis. Sekalipun memiliki semangat untuk meraih pendapatan yang besar dan menggunakan kekayaan untuk kesempurnaan moral, terdapat kedamaian dan kebebasan berusaha, serta memilih profesi, Cina tidak mengembangkan aktivitas bisnis yang terorganisir dengan baik dan sistem moneter.
Berkenaan dengan Taoisme dan Budhisme, meskipun keduanya memiliki etik yang berbeda, namun dalam tindakan ekonomi mempunyai akibat yang mirip dengan Konfusianisme, yaitu tidak mendukung kapitalisme. Keduanya menarik diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian karena bertujuan menyatu dengan sifat adikodrati. Sedang kedua massa dari kedua agama itu cenderung menekankan pada hal-hal yang bersifat magis, artinya kejadian-kejadian magis bertanggungjawab atas nasib dan takdir manusia di bumi dalam kaitannya dengan kesejahteraan material. Untuk mempengaruhi kekuatan magis itu, perlu diadakan ritual atau pemujaan.
India, di sisi lain, memiliki semua kondisi yang mendukung perkembangan aktivitas bisnis rasional, seperti berkembangnya riba dan perdagangan, politik dan keuangan yang rasional, insting keuntungan yang tak pernah terpuaskan, persediaan dan monopoli, tetapi kapitalisme tidak muncul di India. Karena, menurut Weber, masyarakat terbagi ke dalam kasta-kasta. Dalam sistem kasta ini, lapisan Brahma dapat dikatakan sebagai a political stratum. Brahma mampu meletakkan makna dunia lewat ide kastanya, namun menurut Weber, makna-makna itu tidak rasional dan tidak komunikatif sehingga menghambat perkembangan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, sistem kasta mencegah terwujudnya free wage labour karena masing-masing kelompok saling terisolasi.
Dalam Jainisme, menurut Weber, ditemukan etik yang mirip dengan Protestantisme, sebab Janisme menolak otoritas Brahma dan ketidakseimbangan praktek-praktek ritual dan magis. Akibatnya, Jainisme mampu memproduksi tingkah laku yang mengejar keuntungan ekonomis dan menjadi minoritas pedagang yang sukses. Namun sekte ini juga tidak mempengaruhi perkembangan secara luas karena terserap dan didikte oleh kultur dominan dari Hinduisme.
Berkenaan dengan Islam, Weber hanya memberikan komentar secara terpencar-pencar dan tidak memberikan analisis secara mendalam. Islam menurut Weber, tidak menawarkan konsep keselamatan individual di alam baka dan ini berbeda dari Hinduisme, Budhisme dan Yahudi. Sementara itu, dikatakan bahwa dalam Islam ditemukan hubungan kuat antara agama dan politik. Hambatan perkembangan ekonomi dalam masyarakat Islam terwujud dalam beberapa bentuk. Pertama, ada korelasi yang terlalu dekat antara agama dan politik. Kedua, industrialisasi tidak muncul bukan karena etik Islam, tetapi karena struktur negara Islam, sistem administrasi dan aturan hukumnya. Dalam hal ini, negara bersifat patrimonial, misalnya dalam penggunaan budak dan prajurit angkatan perang, kota-kota yang otonom, dan sistem legal yang juga otonom. Namun karena tidak ada pemisahan yang tegas antara sekuler dan sakral dalam setiap bidang kehidupan, maka ekonomi dan masyarakat tidak berkembang.

Weber dan Etika Protestan
Pembahasan klasik dan paling berpengaruh tentang hubungan antara etika dan agama, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi, adalah yang dilakukan oleh Weber. Tesisnya yang terkenal yang diungkapkan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism membuktikan bahwa munculnya zaman modern dengan Kapitalisme-nya itu mempunyai akar dalam pandangan etis dan keagamaan Kristen Protestan, khususnya Calvinisme. Tesis ini merupakan bantahan terhadap tesis Marx tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme.
Dalam bukunya tersebut, Weber mengungkapkan bahwa segi keagamaan Kristen yang paling berpengaruh bagi pertumbuhan kapitalisme modern adalah justru asketisme. Asketisme ini dalam perkembangan agama Kristen, diwakili secara ekstrem dalam puritanisme yang muncul di Inggris pada abad ke-16 dan 17 sebagai kelanjutan dan perkembangan Calvinisme di Jenewa, Swiss. Asketisme kaum puritan memancar dalam etika mereka.
Etika yang terdapat dalam Cavinisme adalah ketidaksetujuan mereka dengan pola hidup yang lebih menghabiskan waktu pada hal-hal yang sia-sia dan tak berguna, sikap malas, tidur yang tidak penting, pembicaraan-pembicaraan yang tidak bermanfaat, kesenangan seksual, olahraga, rekreasi untuk kesenangan, dan apapun yang dapat menjauhkan mereka dari panggilan keagamaannya, termasuk menghadiri pesta-pesta dansa. Penekanan agama Calvinisme ini adalah pada sikap disiplin diri.
Kelompok Calvinis, menurut Weber, percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir seorang manusia sebelum ia dilahirkan. Bagaimanapun, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah digariskan sebelumnya, kelompok Calvinis, menurut Weber, berada dalam proses pencarian untuk menjadi manusia pilihan Tuhan. Yang dimaksudkan Weber dengan pernyataan ini adalah bahwa masing-masing individu mengalami suatu penderitaan kegelisahan atas penyelamatan Tuhan dan, dengan melakukan arahan-arahan serta aturan-aturan Calvinisme untuk berperilaku baik, mereka mencari suatu bukti bahwa mereka adalah kelompok pilihan. Mereka percaya bahwa pendekatan sistematis untuk berkerja tidak hanya akan menghasilkan hasil yang baik, tetapi juga akan menghasilkan tanda-tanda pilihan Tuhan. Mereka juga percaya bahwa kerja keras adalah suatu yang baik dan dilakukan atas dasar pilihan, bukan atas dasar kebutuhan. Aktivitas ekonomi mereka tergantung atas pengumpulan kekayaan, yang menurut Weber, melalui penolakan-penolakan atas kesenangan-kesenangan. Meskipun mereka tidak anti kepada pencarian uang, mereka tidak suka menggunakan uang untuk kegiatan-kegiatan yang mengandung kenikmatan semu. Karena itu, mereka memutar uang mereka dalam suatu bentuk kerja yang kemudian membawa kepada pengumpulan kekayaan. Inilah yang kemudian mendorong timbulnya kapitalisme.
Tesis Weber jelas tidak sepi dari kritik. Dalam buku Antropologi Agama, Brian Morris, memaparkan beberapa kritik terhadap tesis Weber ini. Kritik yang paling umum adalah penolakan terhadap berbagai korelasi atau pertalian antara Protestantisme dan Kapitalisme dengan didasarkan kepada landasan-landasan empiris. Misalnya, kapitalisme telah ada di negara-negara seperti Itali, Perancis, Spanyol, Portugal sebelum dan terlepas dari etika Protestan. Sebaliknya, di negara-negara seperti Switzerland dan Skotlandia dimana Protestatisme tumbuh subur, kapitalisme tidak mengalami perkembangan.
Kritik kedua, menurut Morris, adalah terfokus pada penggambaran Weber tentang etika Protestan. Weber, menurut para pengkritik, tidak cermat menampilkan ajaran-ajaran asli Calvin. Bukan Calvin yang menyebarkan kebebasan bagi seluruh kapitalisme dan tidak ada perbedaan antara teologi Katolik dan Calvinis dalam kaitannya dengan cercaan mereka terhadap kekayaan.

Kharisma dan Kepimpinan Kharismatik
Fenomena kharisma dan kepemimpinan kharismatik, seperti dikatakan oleh Loewenstein, dapat ditemukan di suatu wilayah dimana keyakinan rakyat pada kekuatan supranatural masih meluas, seperti, misalnya, di Indonesia. Berbeda dengan Loewenstein, Edward Shills melihat adanya unsur kharismatik dalam setiap masyarakat. Secara umum, Weber mendefinisikan kharisma sebagai “kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supernatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu, individu yang besangkutan diperlakukan sebagai pemimpin”. Kharisma dipandang oleh Weber sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuat dia berbeda.
Institusionalisasi kharisma dapat diperoleh melalui beberapa cara, misalnya, bisa melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan tradisional, kharisma banyak diturunkan melalui hubungan darah. Kharisma yang dimiliki oleh Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, yang ketiganya memimpin partai dengan ideologi Soekarnoisme, diwarisi dari bapaknya, Soekarno, tokoh proklamator yang sangat kaharismatik. Para pendukungnya setia kepada mereka kerapkali tidak didasari pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada ikatan-ikatan emosional dan kharisma bapaknya.
Satu contoh yang mungkin juga representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan institusi, disamping pengetahuan Gus Dur yang mendalam tentang masalah-masalah sosial-politik-keagamaan. Sepak terjang Gus Dur dalam banyak bidang, baik pemikiran keagamaan maupun masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi, telah banyak mengguncang tatanan normatif masyarakat Islam tradisional NU. Timbulnya para pemikir liberal di kalangan NU dan semakin memudarnya ciri tradisionalitas organisasi NU yang pernah dipimpinnya, paling tidak, berkat jasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid, yang lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940, mempunyai seorang kakek yang kharismatik, Hasyim Asy’ari, yang merupakan satu dari pemimpin Muslim terbesar Indonesia pada pergantian abad lalu, dan seorang ayah, Wahid Hasyim, yang juga merupakan tokoh penting dan pernah menjabat posisi Menteri Agama pada 1945.
Sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur mewarisi kharisma moyangnya. Hasyim Asyari dikenal sebagai seorang penggalang Islam tradisional yang sangat berpengaruh. Ia mendirikan sebuah organisasi yang sampai saat ini masih mempengaruhi pola hidup sebagian besar umat Islam di Indonesia. Ucapan-ucapannya ditaati oleh para pengikutnya, terutama di kalangan orang-orang NU. Misalnya, antara tahun 1945-1947, Kiyai Hasyim mengeluarkan fatwa yang menggerakkan umat Islam, khususnya di Jawa Timur, untuk mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Kedua, ia melarang kaum Muslimin Indonesia untuk melakukan perjalanan haji dengan kapal-kapal Belanda. Kampanye yang dilakukan oleh Kiayi Asy’ari agar kaum Muslimin melancarkan perang melawan Belanda ternyata berhasil. Hal ini disebabkan pengaruhnya yang luar biasa di kalangan para pengikut Islam tradisional, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, disamping ia pendiri Pondok Pesantren Tebuireng yang terkenal di Jawa Timur.
Disamping itu, jika ditelusuri ke belakang, kharisma tersebut ternyata dapat ditemukan juga pada nenek moyangnya. Gus Dur ternyata memiliki keturunan yang sangat berpengaruh dan berdarah biru. Nenek moyang dari Gus Dur, dapat ditelusuri sampai kepada Syeikh Ahmad Mutamakkin, seorang yang dipercaya sebagai “waliyullah” (derajat tinggi dan terhormat dalam keyakinan umat Islam) dan yang merupakan ulama kontroversial zaman Mataram Kertosuro, abad ke-18. Syeikh Mutamakkin dipercaya juga merupakan keturunan dari seorang yang sangat legendaris di tanah Jawa yang juga raja Pajang, yaitu Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir.
Rutinisasi kharisma melalui keturunan ini-lah yang membuat para pengikut Gus Dur sangat loyal, bahkan sekalipun sinyalemen-sinyalemen Gus Dur seringkali sulit dipahami dan membingungkan banyak orang. Masyarakat tradisional NU bahkan berani mati untuk mendukung tokoh ini. Ini terbukti dengan dibentuknya “pasukan berani mati” untuk membela Gus Dur dari upaya-upaya yang ingin menjatuhkan kekuasaannya, sekalipun pembentukan pasukan ini juga mengundang kontroversi di kalangan NU juga. Contoh lain, sekalipun pendapat-pendapat yang dikemukakan Gus Dur membuat banyak kiayi tradisional NU kecewa, tetapi pada saat pemilihan ketua umum sebelum Gus Dur menjadi presiden, Gus Dur tetap mendapat dukungan para kiayi dan dinobatkan kembali menjadi ketua umum. Hal ini menandai bahwa ketaatan kepada Gus Dur cenderung menjadi “keharusan” dan bahkan Gus Dur seringkali “disakralkan”. Lebih-lebih, untuk sebagian orang, Gus Dur seringkali dipandang sebagai “waliyullah”. Dalam masyarakat Islam tradisional juga terdapat sebuah pernyataan yang mendukung sinyalemen di atas bahwa hormat kepada anak seorang ulama adalah sebuah “keharusan”.
Sebagai seorang pemimpin kharismatik, ucapan-ucapan Gus Dur selalu membawa pengaruh besar bagi kaum nahdliyin. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU. Selain membesarkan NU, Gus Dur juga dikenal tokoh universal. Ia adalah pejuang demokrasi, tokoh LSM, pengamat bola, dan juga budayawan. Satu ciri menonjol karakter Gus Dur adalah sosoknya yang nyentrik. Tak heran, komentar atau sikapnya sering menjadi kontroversi.
Dari sinilah, pernyataan Weber bahwa kharisma bisa menjadi kekuatan yang inovatif dan faktor yang dignifikan dalam perubahan sosial, dapat relevan dengan fenomena kharisma Gus Dur. Dalam kalangan masyarakat NU yang dahulu dianggap sebagai “kaum sarungan”, terjadi sebuah pergeseran paradigma dari yang “tradisional” menjadi “liberal”. Hal ini sebagian disebabkan oleh peran Gus Dur yang, menurut Greg Barton, dikenal sebagai “liberal” yang berpandangan pluralis, moderat dan humanis. Gus Dur mampu membuat terobosan-terobosan berani yang mengubah pola pikir masyarakat tradisional menjadi liberal, yang pada gilirannya membawa kepada perubahan tatanan sosial masyarakat Islam, khususnya masyarakat NU.
Pergeseran paradigma ini secara lebih jelas dapat dilihat pada tokoh muda NU. Terbentuknya Lakspesdam merupakan satu bukti yang representatif. Lembaga yang berada di bawah NU ini didominasi oleh tokoh-tokoh muda NU yang berpandangan liberal, pluralis dan sangat dinamis. Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pengurus lembagai ini juga merupakan salah seorang penggagas dan pembentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Ia dikenal sebagai seorang yang liberal yang pandangan-pandangannya seringkali kontroversial dan pernah mengundang fatwa mati oleh sebagian ulama terhadap dirinya.
Contoh lain, terbentunya LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang dikenal cukup moderat dan liberal, merupakan respons anak-anak muda yang tergabung dalam PMII, sebuah organisasi pelajar NU, terhadap kesenjangan antara idealisme dan kenyataan. Organisasi ini, menurut Machasin, merupakan generasi intelektual generasi muda NU yang dibesarkan di kalangan Islam tradisional yang ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan zaman dan menyadari kekurangan perlengkapan keahlian dan pengetahuan untuk dapat terlibat secara aktif dalam percaturan dunia modern, melakukan berbagai kegiatan yang semula tidak jelas bentuknya, namun kemudian menjadi lembaga yang dapat melakukan kegiatan yang berarti. Bahkan, lebih dari itu, LKiS juga berani mengkritik ajaran Islam yang dipahami dan dinterpretasi secara tradisional oleh para bapaknya.
Singkat kata, kharisma dan kepemimpinan kharismatik dapat menjadi agen perubahan dari yang bersifat tradisionalis ke non-tradisionalis. Kendati demikian, keterikatan pengikut terhadap pemimpin yang kharismatik masih dapat dikatakan sebagai pertimbangan yang emosional dan tradisional.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan sosiologi Weber penekanannya terletak pada tindakan sosial, makna subjektif dan sosiologi bebas nilai. Dan ini dapat dilihat ketika Weber melakukan analisa tentang pengaruh agama dalam tindakan sosial seorang individu. Ternyata, menurut Weber, ada hubungan yang sangat erat antara etos kerja kaum Calvinis dengan semangat kapitalisme modern. Kendati demikian, tesis Weber tentang Etika Protestan tidaklah sepi dari kritik. Kritik tersebut pada dasarnya diarahkan kepada korelasi yang tidak tepat antara Prosetantisme dan Kapitalisme berdasarkan bukti-bukti empirik, dan kepada penggambaran Weber yang tidak cermat mengenai ajaran-ajaran Calvinis. Kendati demikian, terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan kepadanya, Weber telah menggagas ide-ide besar yang sangat berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial.
Tesis Weber tentang kharisma dan kepemimpinan kharismatik dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan-keyakinan tradisional masih dapat diterapkan. Contoh yang representatif adalah Gus Dur yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi, yang kepemimpinannya serta gebrakannya dalam pemikiran keagamaan dan masalah-masalah kemanusiaan mewarnai dan mengubah pola pikir masyarakat NU, terutama kalangan anak mudanya yang antusias dan dinamis.

Bibliografi

Antoni, Carlo, “Pandangan tentang Agama dan Kelas” dalam Dennis Wrong (ed), Max Weber: Sebuah Khazanah, (terj.), Yogyakarta: IKON, 2003

Ashley, David and David M. Orenstein, Sociological Theory: Classical Statements, Edisi ke-3, Boston: Allyn and Bacon, 1995

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman, Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999

Blau, Peter M., “Komentar Kritis atas Teori Weber tentang Otoritas” dalam Dennis Wrong (ed), Max Weber: Sebuah Khazanah, Yogyakarta: IKON, 2003

Dhofier, Zamakhsyari, “K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional” dalam Prisma, No. 1, Januari 1984

Foucault, Michel, Arkeologi Pengetahuan, (terj), Cet. ke-1, Yogyakarta: Qalam, 2002

Gertz, Hans dan C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology, New York: Oxford University Press, 1958

Grabb, Edward G., Theories of Social Inequality: Classical and Contemporary Perspective, Edisi ke-2, Toronto, Holt, 1990

Kleden, Ignas, “Model Rasionalitas Teknokrasi” dalam Prisma, No. 3, Maret 1984

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi ke-2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

Machasin, “Zâhirah Harakah Syubbân al-Nahdiyyîn al-Fikriyyah: Dirâsah ‘an Majma’ al-Dirâsah al-Islâmiyyah wa al-Ijtimâ’iyyah (LKiS) bi Jogjkarta” dalam Al-Jami’ah, No. 60, 1997

Marshall, Gordon, Oxford Dictionary of Sociology, Edisi ke-2, Oxford, New York: Oxford University Press, 1998

Morris, Brian, 2003, Antoropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, Cet. ke-1, Yogyakarta: AK Group

Schroeder, Ralph, Max Weber and the Sociology of Culture, London: Sage, 1992

-----------, Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, disunting dan diberi kata pengantar oleh Heru Nugroho, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organisation, New York: Oxford University Press, 1947

----------, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Edisi ke-2, Los Angeles: Roxbury, 1998

Wrong, Dennis, “Pendahuluan: Max Weber” dalam Max Weber: Sebuah Khazanah, (terj.), Yogyakarta: IKON, 2003

Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah Dosen STAIN Palu, Sulawesi Tengah. Artikel ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Religi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. IV, No. 1, Januari 2005

Tidak ada komentar: