Senin, 16 Juli 2012

Kontroversi celana panjang buat perempuan

PEMAKAIAN CELANA PANJANG ANTARA KEHARAMAN DAN KEBOLEHAN: 
PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARIAH *

Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc **
I.  Wacana fikih tentang celana panjang
Dalam wacana fikih, terdapat kontroversi seputar persoalan ketentuan hukum memakai celana panjang (bantalun; sirwal) buat perempuan. Ada sebagian ulama yang mengharamkannya, seperti Salih ibn Fawzan, Muhamman ibn Salih al-‘Uthaymin, dan ‘Abd Allah Ibn ‘Abd al-Rahman al-Jibrin. Alasan pengharaman tersebut adalah: pertama, karena celana panjang itu ketat sehingga memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh perempuan; kedua, penyerupaan terhadap laki-laki atau perempuan kafir (tashabbuh bi al-rijal aw tashabbuh bi al-kafirat). Dalam kitab Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah disebutkan bahwa ketika Salih ibn Fawzan ini ditanya tentang masalah ini, ia menjawab:
“… Seorang perempuan tidak boleh memakai pakaian yang menyerupai laki-laki atau perempuan kafir. Begitu pula, tidak dibolehkan untuk memakai pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekukan-lekukan badannya dan yang menimbulkan fitnah. Celana panjang mengandung bahaya-bahaya ini. Maka, tidak dibolehkan untuk memakainya.”[1]
Al-Uthaymin menambahkan bahwa pemakaian celana panjang dapat menimbulkan fitnah, karena pada umumnya, celana panjang itu sempit dan ketat sehingga memperlihatkan lekukan-lekukan badan perempuan, selain tentunya menyerupai laki-laki. Untuk itu, ia diharamkan.[2]

Alasan yang dikemukan oleh al-Uthaymin adalah sama dengan Ibn Fawzan, yaitu “memperlihatkan lekukan-lekukan badan perempuan” dan “penyerupaan terhadap laki-laki”. Dan, ketidakbolehan memakai celana panjang buat perempuan ini, menurut al-Uthaymin, bersifat mutlak, meskipun celana tersebut longgar atau tidak menampakkan lekukan badan ini. Karena, jika tidak, maka ia masuk dalam kategori “menyerupai laki-laki.”[3] Dasar  alasannya adalah hadis Nabi:

dan hadis: 
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang memiliki cemeti seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia, dan wanita yang berpakaian seperti telanjang, berlenggang-lenggok dan menggoyang-goyangkan pundaknya, kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium aromanya, dan sesungguhnya aromanya bisa tercium dari jarak seperti ini dan seperti ini.”­
Ketika memahami makna كاسيات عاريات, al-Uthaymin mengatakan bahwa
Mereka adalah perempuan yang berpakaian, namun pakaian tersebut tidak berguna dalam penutupan aurat. …. seperti pakaian yang tipis sehingga di balik pakaian tersebut terlihat kulit perempuan; seperti pakaian yang tebal namun pendek; seperti pakaian sempit yang menempel ke kulit, dan perempuan tersebut tampak seperti tidak berpakaian …[4]
Para ulama yang berpendapat di atas adalah ulama bermazhab Hanbali-Wahhabi. Model pemikiran ulama bercorak Wahhabi ini, jika ditilik dari sudut pandang epistemologi hukum Islam, dapat dikatakan agak konservatif. Letak konservatisme tersebut terlihat dari struktur bangunan pemikiran mereka. Model nalar bayani kentara terlihat dengan penekanan pada pendekatan tekstualis-literalis dalam memahami teks. Penyandaran pada teks—Alquran dan Sunnah—berada pada hirarki pertama dengan pemahaman literal pada dua teks tersebut. Peran akal ditekan dan tidak begitu signifikan. Oleh karena itu, konteks sosial, historis, dan kultural, tidak menjadi begitu pertimbangan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks, karena dianggap dapat menjauhkan dari penafsiran yang sebenarnya. Pendekatan tekstualis-literalis secara teologis didasari pada keinginan untuk mengungkap maksud dan keinginan Tuhan sebagai pencipta hukum (shari‘) dan menghindari terjadinya penyimpangan dari teks yang orisinil. Dalam kerangka ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam memahami Alquran. Pertama, Alquran harus ditafsirkan dengan Alquran itu sendiri. Atau, Alquran ditafsirkan melalui Sunnah Nabi (al-sunnah qadiyah ‘ala al-qur’an), yang mengandung pengertian bahwa Sunnah menjadi otoritas yang absolut untuk menentukan makna teks Alquran. Oleh karena itu, jika ada pandangan Sahabat Nabi tentang ayat Alquran tertentu yang berbeda dari penjelasan Nabi, maka yang terakhir ini harus didahulukan.[5] Setelah itu, penafsiran seharusnya melihat pada penafsiran atau pandangan para ulama Salaf seperti Sahabat Nabi dan Tabi‘in. Dalam hirarki sumber otoritatif di kalangan Sunni, dua yang pertama dianggap sebagai yang paling otoritatif, sedangkan dua yang terakhir berada pada posisi yang lebih rendah.
Secara prinsip, pendekatan tekstualis-literalis setidaknya berpijak pada tiga prinsip penting: pertama, teks menyediakan satu fondasi yang pasti dan objektif untuk memahami Alquran; kedua, ada beberapa teks dalam Alquran dan Hadis yang mengindikasikan bahwa agama Islam adalah sempurna. Konsekuensinya, aturan-aturan yang terkait dengan perilaku individu dan sosial semuanya terkandung dalam Alquran dan Hadis; dan ketiga, tidak perlu mencari perluasan, klarifikasi atau justifikasi pada akal. Dari sinilah peran akal untuk memahami dan menerapkan teks-teks suci dibatasi, terutama dalam Islam Sunni.[6]
Di sisi lain, ada sebagian ulama yang menganggap bolehnya memakai celana panjang buat perempuan. Di antaranya adalah ‘Abd al-Karim Zaydan (lahir 1917), seorang ulama dan guru besar hukum Islam di Universitas Baghdad dan salah seorang pemimpin tinggi di gerakan Ikhwanul Muslimin di Irak. Menurut Zaydan, memakai celana (sirwal) adalah sesuatu yang dibolehkan menurut agama (amr ja’iz sharan), bahkan dianjurkan (yustahabb sharan). Katanya,
“ … perempuan boleh memakai celana panjang, bahkan ada Sunnah yang menganjurkannya, karena di dalamnya ada penutupan terhadap aurat perempuan. Namun, harus diketahui bahwa perempuan memakai celana di balik bajunya. Jika perempuan memakai (celana) seperti yang dipakai laki-laki zaman sekarang ini, tanpa memakai baju atau jilbab di atasnya, maka ini tidak boleh, karena celana laki-laki biasanya sempit dan menggambarkan anggota-anggota badan. Memakainya menyerupai pakaian laki-laki. Namun, jika celana tersebut longgar dan tebal sampai ke mata kakinya dan tidak transparan seperti celananya orang Kurdi di Irak Utara, dan di atasnya tidak ada pakaian, serta menutupi badannya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa ini tidak masuk dalam larangan perempuan menyerupai laki-laki dalam pakaian, apabila kebiasaan suatu bangsa, kaum perempuannya memakai seperti celana-celana yang dipakai kaum laki-lakinya.”[7]
Zaydan mendasarkan pandangannya ini pada hadis Abu Hurayrah:
Ketika Nabi sedang duduk di samping pintu masjid, lewat seorang perempuan mengendarai seekor kuda. Ketika menemui Nabi, ia terjatuh dari kudanya. Nabi kemudian memalingkan pandangannya. Nabi diyakinkan bahwa perempuan itu memakai celana (sirwal). Lau Nabi berkata: رحم الله المتسرولات من النساء (Allah merahmati para perempuan yang memakai celana).[8]
Jadi, pada masa Nabi sudah ada atau dikenal praktik pemakaian sirwal, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “celana panjang”. Namun, bagaimana rupa celana-celana awal ini tidak dapat dipastikan. Pada masa-masa berikutnya, celana ini berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain, dari satu budaya ke budaya yang lain, dan mencakup segala macam pantalon, celana panjang, dan celana yang ketat.[9] Masuknya pengaruh-pengaruh asing pada masa-masa berikutnya memberikan corak yang lebih berwarna lagi kepada persoalan busana dalam masyarakat Muslim, terutama bagi perempuan.
II.  Pakaian dalam cermin maqasid al-shariah
Setiap aturan dan hukum yang digariskan oleh Allah tentu saja mengandung maksud dan tujuan. Apa sebenarnya maksud dan tujuan disyariatkannya pakaian? Tujuan mendasar dari berpakaian ini adalah “menutup aurat menurut cara yang disyariatkan.”[10] Apa itu aurat? Secara kebahasaan, kata aurat berasal dari bahasa Arab  عورة, yang berarti “celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu kalau dipandang” (الخلل والعيب فى الشيء dan كل ما يستره الإنسان استنكافا أو حياء).[11] Dalam wacana fikih klasik, terdapat berbagai perbedaan terkait dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Ada yang mengatakan seluruh tubuh perempuan itu aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Yang lain mengatakan seluruh tubuh perempuan itu aurat.
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang pasti menutup aurat pada hakikatnya bermuara kepada salah satu prinsip maqasid al-shariah, yaitu “memelihara kehormatan” (حفظ العرض). Prinsip ini menjadi paradigma bagi setiap persoalan busana. Dan, menutup aurat adalah salah satu media (wasilah) dari pemeliharaan terhadap kehormatan ini. Subtansinya adalah “menutup aurat,” sementara teknis penutupan aurat tersebut ditentukan oleh masing-masing adat setempat atau kearifan lokal (local wisdom). Kata Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari,
فأما هيئة اللباس فتختلف باختلاف عادة كل بلد، فرب قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم فى اللبس، لكن يمتاز النساء بالاحتجاب والاستتار ...
“bentuk pakaian tersebut berbeda-beda karena perbedaan kebiasaan masing-masing negeri. Boleh jadi, ada suatu kaum yang tidak membedakan pakaian perempuan dan laki-lakinya. Akan tetapi, perempuan tersebut dibedakan dengan ber-hijab dan menutup aurat.”[12]
Itu berarti bahwa persoalan adat kebiasaan setempat memainkan peran dalam menentukan model pakaiannya, namun tujuannya (maqsid) tetap terjaga, yaitu “menjaga kehormatan”, melalui cara (wasilah) “menutup aurat”. Dalam sebuah kaidah disebutkan: للوسائل حكم المقاصد  (media sama kedudukannya dengan tujuan)

III. Penutup
Dari berbagai fakta tentang adanya perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai legalitas pemakaian celana panjang buat perempuan, dapat disimpulkan bahwa persoalan ini adalah masalah khilafiah. Namun, yang pasti dan bersifat qati adalah “menjaga kehormatan” dengan cara “menutup aurat”. Sementara itu, teknis penutupan aurat bersifat relatif dan kondisional (zanni), diserahkan kepada kearifan lokal setempat. Untuk itu, dalam konteks multikultural saat ini, yang terpenting bagi kita adalah menghargai perbedaan tersebut sebagai sebuah khasanah yang harus dilindungi. Jika tidak, maka ketegangan yang dapat berujung pada konflik, dapat menjadi sebuah keniscayaan. Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (menolak kerusakan lebih didahulukan ketimbang menarik kemaslahatan)
Daftar Pustaka
al-‘Asqalani, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar. Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari. Jilid 10. Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001.
al-Bayhaqi, Ahmad ibn al-Husayn. Shu‘ab al-Iman. Jilid 6. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Fawzan, Salih ibn et.al. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Riyad: Maktabah Tayriyyah, 1995.
Goolam, Nazeem MI. “Ijtihad and Its Significance for Islamic Legal Interpretation,” Michigan State Law Review (2006), pp. 1443-1467.
al-Mahdi, Ahmad ibn Muhammad. al-Libas fi al-Islam. Mekkah: Rabitah al-‘Alam al-Islami, 1991.
al-Majma al-Lughawi, al-Mujam al-Wasit. Cet. ke-4. Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004.
Manzur, Ahmad ibn. Lisan al-‘Arab. Kairo: Dar al-Maarif, tt.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London, New York: Routledge, 2006.
Stillman, Yedida Kalfon. Arab Dess from the Dawn of Islam to Modern Times. Leiden: Brill, 2003.
al-Uthaymin, Muhammad Salih. “Hukm Labs al-Bantalun,” dalam Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad: np, 1999.
al-Uthaymin, Muhammad Salih. “Hukm Labs al-Mar’ah li al-Bantalun,” dalam Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad: np, 1999.
al-‘Uthaymin, Muhammad Salih.Mana Qawlihi ‘Ariyat Kasiyat,” Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram. Riyad: np, 1999.
Zaydan, ‘Abd al-Karim. al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shariah al-Islamiyyah. Jilid 3. Beirut: Mu’sassah al-Risalah, 1993.


* Disampaikan dalam Seminar “Memakai Celana Panjang Bagi Perempuan dalam Perspektif Etika Pendidikan dan Hukum Islam,” yang diselenggarakan oleh Education Development Centre, Taman Budaya Golni Palu (Sabtu, 9 Juni 2012).
** Dosen Sejarah Sosial Hukum Islam, Jurusan Syariah dan Program Pascasarjana STAIN Datokarama Palu.
[1] Salih ibn Fawzan et.al, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah (Riyad: Maktabah Tayriyyah, 1995), 438.
[2] Muhammad Salih al-‘Uthaymin, “Hukm Labs al-Mar’ah li al-Bantalun,” dalam Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram (Riyad: np, 1999), 1178.
[3] Al-‘Uthaymin, “Hukm Labs al-Bantalun,” dalam Fatawa ‘Ulama’, 1174-5.
[4] Al-‘Uthaymin, “Mana Qawlihi ‘Ariyat Kasiyat,” dalam Ibid., 1160.
[5] Nazeem MI. Goolam, “Ijtihad and Its Significance for Islamic Legal Interpretation,” Michigan State Law Review (2006), 1450.
[6] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London, New York: Routledge, 2006), 55-56.
[7] ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fi al-Shariah al-Islamiyyah, Jilid 3 (Beirut: Mu’sassah al-Risalah, 1993), 325-6, 343.
[8] Ahmad ibn al-Husayn al-Bayhaqi, Shu‘ab al-Iman, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 168-9.
[9] Yedida Kalfon Stillman, Arab Dess from the Dawn of Islam to Modern Times (Leiden: Brill, 2003), 11.
[10] Ahmad ibn Muhammad al-Mahdi, al-Libas fi al-Islam (Mekkah: Rabitah al-‘Alam al-Islami, 1991), 12; Zaydan, al-Mufassal, Jilid 3, 326.
[11] Al-Majma al-Lughawi, al-Mujam al-Wasit, Cet. ke-4 (Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dawliyyah, 2004), 636; Lihat juga Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Maarif, tt), 3166-7.
[12] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, Jilid 10 (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2001), 345.

Tidak ada komentar: