Senin, 16 Juli 2012

Isu Gender dalam Studi Islam


ISU-ISU GENDER DALAM BINGKAI METODOLOGI STUDI ISLAM

Rusli
Abstract
This paper deals with the approaches and methodologies in studying gender issues from Islamic perspective. It is argued that there are two different views regarding the study of Islam. First, the study of the classical religio-intellectual discipline and tradition should remain at the core of Islamic Studies; to broaden its scope might mean that the quality would suffer. Secondly, Islam needs to be studied within the context of the ‘puzzling evolution of modern Islam’. Confining the field to textual studies alone would risk giving the wrong impression of a unified set of practices, thus masking a more complex reality. Islam should be taught both as a textual tradition and as a social reality. Islamic Studies should have a defined core of key areas and texts; essentially, this should consist of the classical Islamic sciences. However, surrounding this core, other areas could be included, such as anthropology and social sciences. In terms of gender issues, to overcome gender inequality, all forms of study and research should start with a feminist paradigm. Therefore, in Islamic Studies, reorientation from value-free to value-laden is necessary.
Keywords: gender issues, methodology of islamic studies, feminist paradigm
I.     Pendahuluan
Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa perempuan merupakan kelompok yang seringkali mengalami ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut asumsi sebagian feminis, ketidakadilan tersebut berakar pada patriarki yang mengkonstruk seluruh pengetahuan dan pandangan dunia dari pengalaman laki-laki, bahkan dalam kasus-kasus yang terkait dengan perempuan. Akibat buruk yang ditimbulkan dari patriarki, yang kemudian membudaya ini, adalah begitu besar. Sebagai contoh adalah terhalangnya akses perempuan kepada berbagai aspek kehidupan publik, seperti agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Sehingga, bukan sesuatu yang mengherankan jika pada masa lalu jarang terdengar orang-orang besar dari kaum perempuan. Jika ada, itu pun mungkin tidak terekspos secara meluas, karena segala informasi dikuasai oleh laki-laki.
Melihat pengaruh buruk dari fakta ini, tentu perlu muncul sebuah upaya pembongkaran. Salah satu caranya adalah melalui rekonstruksi pemahaman dan kajian ulang terhadap berbagai isu perempuan dari berbagai perspektif keilmuan. Salah satu yang dituntut untuk ikut andil tentu saja adalah disiplin keilmuan Islam. Tulisan ini berupaya membuat sebuah sketsa tentang bagaimana studi Islam dengan beragam pendekatan dan metodologinya dapat digunakan untuk melihat dan mengkaji isu-isu perempuan ini. Dan, tulisan ini juga berusaha untuk me-list isu-isu gender yang dapat masuk ke dalam payung besar kajian Islam.

II.       Studi Islam: Kerangka Konseptual
Secara sederhana, istilah Islamic Studies (dirasat islamiyyah) secara sederhana mengacu kepada kajian tentang keislaman. Menurut laporan dari workshop kajian Islam di Edinburgh, terdapat dua pendekatan mendasar terhadap Islamic Studies. Pertama yang mempersempit definisi tersebut, dan kedua yang mendukung karakterisasi yang lebih luas.[1] Kelompok pertama menegaskan bahwa studi tentang disiplin keilmuan dan tradisi intelektual-keagamaan klasik harus berada pada jantung kajian Islam; memperluas ruang lingkupnya berarti kualitas kajian akan menjadi tidak baik. Sementara itu, kelompok kedua beranggapan bahwa Islamic Studies harus didasari pada asumsi bahwa Islam perlu dipelajari dalam konteks ‘evolusi Islam modern yang mengandung teka-teki’, dan perlu memahami apa yang dimaksudkan sebuah teks mengenai cara masyarakat mengalami dan menjalani hidupnya. Membatasi Islamic Studies hanya kepada kajian-kajian tekstual akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang serangkaian praktik, dan kemudian menutupi realitas yang lebih kompleks. Islam harus dipelajari sebagai sebuah tradisi tekstual dan sebagai sebuah realitas sosial. Islamic Studies harus mempunyai jantung yang pasti tentang wilayah-wilayah dan teks-teks yang vital. Artinya, ia harus mencakup ilmu pengetahuan Islam klasik. Meskipun demikian, dengan mengitari jantung ini, wilayah-wilayah lain dapat pula dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dari uraian ini, menurut hemat penulis, Islam lebih tepat jika dipahami dalam pengertian sebagai teks, pranata, tradisi, institusi dan realitas sosial (masyarakat). “Islam sebagai teks” mengandung pengertian bahwa mengkaji Islam berarti menelaah teks-teks yang menjadi penopang bangunan keilmuan Islam, seperti Alquran, Hadis dan teks-teks lain yang merupakan elaborasi pemahaman terhadap dua sumber ini, seperti tafsir, fikih, kitab koleksi fatwa, dan teks-teks lain yang mempunyai kaitan dengan kedua sumber ini.
“Islam sebagai institusi” adalah Islam yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk pranata dan kelembagaan dalam Islam, seperti masjid, madrasah, pesantren, pengadilan agama, lembaga fatwa, dan lain-lain. Munculnya berbagai lembaga dan pranata Islam adalah bentuk pemahaman terhadap nilai-nilai Islam yang ada. Sehingga mengkaji lembaga-lembaga ini masuk dalam kajian Islamic Studies. Mengkaji “Islam sebagai institusi” berarti meneliti persoalan-persoalan kelembagaan yang ada dalam Islam dan masyarakat Muslim.
“Islam sebagai realitas sosial” adalah ajaran-ajaran Islam yang diterjemahkan ke dalam konteks sosial-kemasyarakatan. Sehingga, ketika kita menelaah Islam dalam aspek ini, kita mengkaji, misalnya, model masyarakat yang dipengaruhi ajaran Islam dalam berbagai variannya; gerakan Islam dengan beragam coraknya—tradisional, radikal, moderat, modern, dan sebagainya; pengaruh Islam dalam pembentukan adat dan budaya lokal, dan sebagainya.
Pengkajian terhadap Islam (Islamic Studies) dalam beragam aspeknya tersebut dapat didekati umumnya dengan berbagai pedekatan, seperti sosiologis, antropologis, historis, filosofis, fenomenologis, dan lain-lain. Qadry Azizy[2] mengelaborasinya ke dalam empat pendekatan yang umum digunakan dalam tradisi kajian di Barat (orientalism atau islamology). Pertama, menggunakan metode-metode ilmu yang masuk dalam kategori humanities, seperti filsafat, filologi, ilmu bahasa dan sejarah; kedua, menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam tradisi kajian teologi agama-agama; ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan psikologi; keempat, menggunakan pendekatan area studies (studi kawasan), seperti kajian Timur Tengah (Middle Eastern Studies), kajian Asia Tenggara (Southeast Asian Studies), dan sebagainya. Pendekatan yang digunakan biasanya bersifat lintas disiplin (interdisciplinary). Seorang yang mengadakan kajian “Islam sebagai realitas sosial” tentunya tidak akan terlepas dari disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu politik, sosiologi, antropologi, dan lain-lain, meskipun ia berada dalam wilayah area studies.
Inilah konsep yang diinginkan oleh Amin Abdullah terkait dengan pengertian Islamic studies (dirasat islamiyyah), yang membedakannya dengan istilah ‘ulum al-din dan al-fikr al-islami.[3] Dalam pemahaman ini, berbagai pendekatan baru yang disumbangkan oleh ilmu pengetahuan alam, sosial, humaniora, dan studi agama-agama (religious studies) diperkenalkan dan dilibatkan dalam melakukan kajian terhadap Islam. Bahkan, menurut Amin, penggunaan “kerangka teori” untuk memandu analisis data yang terkumpul dari lapangan sangat dipentingkan dalam Islamic studies (dirasat islamiyyah). Dengan kata lain, dirasat islamiyyah selalu menggunakan dan menggandeng metode kerja tata pikir social sciences untuk membedah realitas keberagamaan Islam di dunia sosial, tidak hanya di dunia teks dan rasio.

III.     Gender dan Kajian Islam: Isu dan Metodologi
Gender harus dibedakan dengan sex (jenis kelamin). Yang pertama mengarah kepada peran sosial dalam sebuah masyarakat, sementara yang kedua terkait dengan kodrat yang diberikan oleh Tuhan.[4] Kamla Bashin membedakan perbedaan gender dan sex (jenis kelamin) dengan mengatakan bahwa sex bersifat biologis, alamiah, tidak dapat diubah, tetap, dan akan sama di mana saja, sementara gender bersifat sosial budaya, buatan manusia, dapat diubah dan berubah dari waktu ke waktu, dari satu budaya atau keluarga ke budaya atau keluarga yang lain, tidak tetap dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin.[5]
Jika kita berbicara tentang isu-isu gender, maka secara umum, yang kita maksudkan adalah isu-isu yang terkait dengan perempuan, dan persoalan-persoalan yang muncul dari fakta bahwa perempuan adalah bagian dari wilayah privat dan publik. Mansour Fakih me-list secara umum beberapa isu yang tidak bersahabat kepada perempuan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[6] Isu-isu perempuan ini menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan.
Memasukan isu-isu gender ini ke dalam bingkai Islamic Studies berarti melihat berbagai isu tentang perempuan dan segala bentuk persoalannya dalam kaca mata kajian Islam. Kajian Islam, seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat mencakup kajian tentang teks, pranata, tradisi, institusi dan realitas sosial kemasyarakatan. Dengan asumsi ini, isu-isu perempuan yang terdapat dalam teks, seperti Alquran, Hadis, kitab-kitab kuning, dan teks-teks lainnya dalam Islam, dapat dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metodologi, seperti sosiologis, antropologis, filosofis, fenomenologi, hermeneutik, dan lain-lain. Ketika kita mengkaji isu gender, dalam kaitannya dengan Islam sebagai institusi misalnya, maka kita dapat membahas pelbagai organisasi perempuan dan institusi keperempuanan dalam Islam seperti organisasi Nasyiatul Aisyiah (Muhammadiyah), Muslimat dan Fatayat dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Wanita Islam Alkhairaat (WIA), Wanita Syarikat Islam, dan lain-lain. Dalam kaitan Islam sebagai realitas sosial, kita dapat mengkaji bagaimana peran, sosialisasi, dan ketidakadilan gender yang dibentuk oleh paham keagamaan Islam mempengaruhi relasi sosial dan perilaku mereka dalam masyarakat, dan begitu seterusnya.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga model kajian dan penelitian yang terkait dengan gender dan Islamic studies (dirasat islamiyyah). Pertama, penelitian yang berangkat dari kajian murni yang value-free, dalam arti bukan berangkat dari prinsip dan tujuan mewujudkan keadilan gender, namun hanya sekedar untuk mendeskripsikan isu-isu tersebut dalam berbagai perspektif keilmuan. Maka, bentuk kajian pun dapat berupa normatif-deskriptif. Misalnya, isu-isu gender dalam perspektif ini dikaji dengan menggunakan pendekatan ilmu keislaman murni (al-‘ulum al-islamiyyah), seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, dan lain sebagainya. Sehingga informasinya lebih bersifat deskriptif, tidak mempunyai kepentingan untuk melakukan suatu perubahan. Sebagai contoh, isu poligami dapat dikaji dengan pendekatan tafsir tematik (tafsir mawdu‘i), untuk melihat bagaimana realitas poligami dalam perspektif Alquran, atau mungkin dapat menggunakan metode takhrij al-hadith (verifikasi hadis) atau naqd al-hadith (kritik hadis) terhadap hadis-hadis yang berbicara tentang poligami,untuk melihat validitas hadis yang menjustifikasi praktik poligami. Atau mungkin dapat menggunakan metode usul al-fiqh seperti di antaranya. pendekatan maqasid al-shari‘ah, terhadap isu poligami untuk melihat apakah praktik poligami didukung oleh satu maksud dan tujuan penetapan hukum (maqasid al-shariʻah), dan lain sebagainya.
Model kedua, mengkaji isu-isu gender yang terdapat dalam Islam—baik dalam teks, institusi, maupun realitas sosial—dengan menggunakan berbagai pendekatan sosial dan humaniora, seperti sosiologis, antropologis, historis, filosofis, filologis (linguistik), fenomenologis, hermeneutik, dan berbagai pendekatan ilmu sosial dan humaniora lainnya. (Lihat bagan 2). Misalnya, ketika mengkaji isu-isu tentang reproduksi perempuan yang terdapat dalam teks-teks seperti Alquran, Hadis, kitab-kitab fikih, dan lainnya, dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, maka kita melihat bagaimana sebuah teks tentang hak reproduksi perempuan itu terbentuk dalam sebuah ruang sosial dan kultural tertentu, dan pengaruhnya terhadap seorang pengarang teks (author). Kemudian, dengan menggunakan metode Foucault tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, peneliti dan pengkaji menganalisis peran dan pengaruh kekuasaan terhadap pembentukan pengetahuan mengenai reproduksi perempuan tersebut. Betapa pun, dalam kerangka ini, setiap tindakan dan perilaku tertentu tidak terlepas dari muata dan kepentingan. Maka, untuk melakukan kajian terhadap isu ini, distansiasi pemahaman dan kritik ideologi, menurut Ricoeur, menjadi satu hal yang harus dilakukan.
Model ketiga, mengkaji isu-isu perempuan dengan berpijak pada paradigma feminis dan teori sosial kritis. Dalam kaitan ini, model yang dipakai adalah model responsif gender dengan memusatkan pada gender analysis. (Lihat bagan 3). Yang ditekankan dalam kajian ini adalah perlunya membawa nilai-nilai dan pesan-pesan yang memberikan kesetaraan dan keadilan kepada perempuan. Oleh karena itu, model kajian dan penelitian ini tidaklah bebas nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value-laden), yaitu nilai pembebasan dan keadilan buat perempuan. Untuk itu, paradigma yang perlu dibangun sebelum melakukan kajian ini adalah paradigma transformatif-kritis, yaitu paradigma yang mengusung nilai-nilai perubahan ke arah yang lebin baik untuk kepentingan kelompok yang tertindas atau termarginalkan dalam masyarakat.
Paradigma ini mungkin secara praktis dapat disarikan ke dalam beberapa langkah penting berikut ini:
  1. Mengubah pandangan budaya yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinat
  2. Melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman keagamaan yang tidak kondusif terhadap peran gender
  3. Merevisi sistem pendidikan agama yang terlalu menekankan pada aspek kognitif semata, dan merumuskan suatu sistem pendidikan agama yang dapat mengubah perilaku keagamaan;
  4. Merevisi sejumlah peraturan yang bias gender dan tidak bersahabat pada perempuan.[7]


Sementara itu, isu-isu yang terkait dengan persoalan gender dan perempuan pada hakikatnya dapat didekati oleh berbagai kajian keislaman. Artinya, semua bidang dalam kajian Islam dapat membahas persoalan-persoalan gender dan perempuan tersebut. Begitu pula, semua pendekatan dan metodologi dapat digunakan untuk meneropong persoalan tersebut selama paradigma yang digunakan adalah paradigma feminis yang bermuatan pro-perempuan dan kesetaraan gender. (Lihat bagan 4)
Bagan 4. Pemetaan isu-isu gender dalam Islamic Studies
No
Isu-isu Gender
Bidang Kajian
Metodologi dan Pendekatan
1.











Sosial dan Hukum: Perkawinan, poligami, perceraian, ‘iddah dan ihdad, nushuz, warisan, jilbab (hijab), reproduksi perempuan (keluarga berencana, kontrasepsi), seksualitas perempuan, mutilasi genital (khitan), aborsi, perkawinan dini, ijbar (pernikahan paksa), pernikahan sirri, perdagangan perempuan (trafficking in women), sex-trafficking, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan terhadap perempuan, pornografi dan eksploitasi tubuh perempuan, menstruasi, kematian ibu muda, transgender/ transeksual, kepemimpinan perempuan dalam politik, imam perempuan
Pendidikan: Pendidikan yang tidak gender-friendly buat perempuan, akses yang kecil terhadap pendidikan, putus sekolah, kurikulum yang bias gender, buku teks yang bias
Ekonomi: Diskriminasi di tempat kerja, hak cuti hamil, upah buruh rendah, pelecehan seksual,
Semua bidang kajian Islamic studies: Alquran
Hadis, Kalam (Teologi Islam), Politik Islam, Filsafat, Pendidikan, Fikih, Ushul Fikih, Ekonomi Islam, Dakwah, dan lain-lain
Hermeneutik, analisis wacana, content analysis, linguistik, semiotik, fenomenologi, dan lain-lain


IV.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian Islam dapat dipetakan ke dalam dua bagian besar. Pertama, disiplin keilmuan dan tradisi intelektual-keagamaan klasik harus berada pada jantung kajian Islam, memperluas ruang lingkupnya berarti kualitas kajian akan menjadi tidak baik; kedua, kajian Islam harus didasari pada asumsi bahwa Islam perlu dipelajari dalam konteks evolusi Islam modern, dan ia harus dipelajari sebagai sebuah tradisi tekstual dan sebagai sebuah realitas sosial. Untuk tujuan ini, pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi penting untuk digunakan.
Terkait dengan kajian Islam terhadap isu-isu gender, untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, maka semua bentuk kajian harus berangkat dari paradigma feminis yang bermuatan nilai, yaitu mengangkat harkat dan martabat perempuan serta memberdayakan mereka. Untuk itu, dalam kajian Islamic Studies, perlu adanya reorientasi kajian dari yang value-free menjadi value-laden. Untuk alasan ini, pendekatan positivistik yang menjadi dasar penelitian kuantitatif yang value-free menjadi kurang relevan untuk dijadikan paradigma penelitian.


[1] Mawil Izzi Den, “Islamic Studies or the Study of Islam? From Parker to Rammel,” Journal of Beliefs & Values, vol. 28, no. 3 (December 2007), 245.
[2] A. Qadry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Cet. ke-4 (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), 92-96.
[3] Lihat Muhammad Amin Abdullah, “Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Peradaban Mempertautkan Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah Global,” dalam http://aminabd.wordpress.com/ 2010/06/20/mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-islamiy-dan-dirasat-islamiyyah-sumbangan-keilmuan-islam-untuk-peradaban-global (Kamis, 24 Mei 2012).
[4] Lisa Tuttle, Encyclopedia of Feminism (London: Arrow Books, 1986), 123-4.
[5] Kamla Bhasin, Memahami Gender, Terj. Muh. Zaki Hussein, Cet. ke-2 (Jakarta: Teplok Press, 2002), 4.
[6] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. ke-4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 12-13.
[7] Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), 101-102.

Tidak ada komentar: