Selasa, 17 Juli 2012

Fikih Ekologi


FIKIH EKOLOGI:
TAWARAN KONSEPTUAL-PARADIGMATIK DAN AFFIRMATIVE ACTION*

Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc**

I.  Pendahuluan
Masalah ekologi sudah seharusnya diberikan perhatian yang serius mengingat berbagai kerusakan terhadapnya sudah mencapai tingkat yang begitu mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun kerusakan dan kekerasan terhadap ekologi bukannya semakin menurun, malah semakin meningkat secara drastis. Kebakaran, penebangan hutan, penambangan dan pabrik kimia, pencemaran air, polusi udara, dan masih banyak yang lainnya, mungkin merupakan fenomena yang umum terjadi di Indonesia. Tentu ketika ditanya apa faktor-faktor di balik ini, jawabannya adalah sederhana. Pertama, pemahaman manusia terhadap alam dan lingkungan adalah keliru. Anggapan bahwa alam beserta isinya diciptakan untuk manusia, dan manusia sebagai pusat penciptaan hampir banyak didukung oleh berbagai agama di dunia dengan berbagai variannya. Ini misalnya,  seperti diungkapkan Lynn White Jr,[1] dapat ditemukan dalam etika Judaeo-Kristen. Manusia, dalam tradisi Bibel, berada di atas alam. Ia merupakan makhluk spesial ciptaan Tuhan, dan diperintahkan untuk mendominasi alam: “untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya; menguasai ikan-ikan di lautan, burung-burung di udara, dan segala binatang merayap di muka bumi.” (Kitab Kejadian I: 28).
Kedua, tindakan rakus manusia yang senang mengeksploitasi alam beserta isinya demi kepentingan perutnya dengan menggunakan sains dan teknologi tanpa mempedulikan hak-hak alam. Seorang filosof Jerman, Nietszhe menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kecenderungan dan keinginan untuk berkuasa dan mendominasi (will to power), tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap terhadap alam. Dalam tradisi Marxis ada penekanan bahwa ekonomi menjadi suprastruktur terhadap segala aktivitas manusia. Paham-paham materialis ini semakin memperbesar pemilahan antara subjek-objek, “yang berkuasa dan dikuasai”, yang telah dibuat oleh sains dan teknologi Barat.
Oleh karena itu, persoalan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moral. Maka, penanganannya pun harus melibatkan pertama kali, perubahan paradigma terhadap alam dan lingkungan. Kemudian, melakukan tindakan afirmatif untuk mengembangkan sikap bersahabat dan berbuat baik kepada alam. Makalah ini berusaha untuk menawarkan solusi tersebut dalam perspektif fikih Islam yang kaya dengan konsep-konsep yang menekankan kebaikan dan keseimbangan manusia dan alam. Ini pada gilirannya dimaksudkan untuk dapat ditindaklanjuti dalam tataran praktis.

II. Pemeliharaan Ekologi: Tawaran Fikih dan Tindakan Afirmatif
A.     Maqasid Shari’ah: Framework for Action
Dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in, Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan cerdas menyebutkan bahwa “Sesungguhnya fondasi dan dasar syariat Islam adalah hikmah dan kemaslahatan hamba baik di dunia maupun diakhirat. Syariat Islam itu adalah keadilan, kasih sayang, hikmah dan kemaslahatan. Segala sesuatu yang keluar dari prinsip keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah, menuju kepada kezaliman, perusakan, dan kesia-siaan, bukanlah syariat, meskipun ia dipahami dengan cara ta'wil.”[2] Karena syariat Islam berpijak pada prinsip universal ini, maka berbagai tujuan di balik pensyariatan hukum adalah “menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan”. Prinsip ini kemudian dibagi ke dalam tiga bagian: daruriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Yang dianggap pertama kali merumuskan konsep ini adalah al-Juwayni dalam kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh.[3] Kemudian, konsep ini dielaborasi dengan sangat cerdas oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Ulama berikutnya yang memperluas konsep ini dan mengulas dengan begitu cemerlang adalah al-Shatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah.
Menurut rumusan al-Ghazali dan al-Shatibi dengan urutan yang tidak sama, maslahat daruriyyah ini dibagi ke dalam lima prinsip: hifz al-din (pemeliharaan terhadap agama); hifz al-nafs (pemeliharaan terhadap jiwa); hifz al-‘aql (pemeliharaan terhadap akal); hifz al-mal (pemeliharaan terhadap harta); dan hifz al-nasl atau hifz al-‘arad (pemeliharaan keturunan dan kehormatan).
Dalam perkembangannya, mengingat permasalahan yang dihadapi umat Islam begitu kompleks, maka pembatasan hanya terhadap lima prinsip pokok ini menjadi dipertanyakan. ‘Atiyyah menguraikannya dengan singkat upaya penambahan tersebut dalam bukunya Nahwa Taf’il Maqasid al-Shari’ah.[4] Namun di antara penambahan yang mungkin relevan dalam bahasan ini adalah hifz al-bi’ah (pemeliharaan terhadap linkungan). Pemeliharaan terhadap isu ekologi dan lingkungan ini mendapatkan pijakan Qur’ani yang kuat, selain fakta juga menunjukkan bahwa berbagai kerusakan terhadap alam menuntut dengan cepat perhatian yang sangat serius dari teks-teks keagamaan.
Misalnya, perhatian Alquran yang kuat terhadap bumi dan perintah untuk memakmurkannya bisa dilihat dari berbagai rentetan ayat dan juga hadis Nabi yang menegaskan perintah untuk menanam dan menyuburkan, dan larangan menyia-nyiakannya. Dalam Alquran kata bumi (‘ard) disebutkan sektiar 61 kali.[5] Dalam ayat-ayat ini kita menemukan bahwa bumi digambarkan sebagai mahd,[6] mustaqar atau qarar,[7] firash,[8] bisat[9] dan mihad.[10] Menurut hukum Islam, segala tindakan yang membahayakan dan merusak bumi adalah sangat dilarang dalam Islam. Yang dimaksud dengan bumi di sini mencakup tanah, gunung, tanaman, hutan, dan seterusnya. Istilah ‘ard juga mencakup makna “tempat yang halus dan mudah untuk manusia berjalan, bekerja, menanam dan memanen, membangun rumah dan pabrik dan melakukan segala sesuatu yang berada dalam batasan-batasannya.”[11]
Dari pentingnya isu ini muncul konsep ihya al-mawat dan hima dalam literatur fikih Islam. Bahasan berikut akan mengulas kedua isu ini secara sederhana.[12]

1.        Ihya al-mawat (menghidupkan tanah mati atau tidak produktif)
Kata ihya berarti “menghidupkan” dan mawat berarti “tanah-tanah mati yang tidak ada pemiliknya”. Menurut al-Zuhayli, kandungan makna dari istilah ini adalah “membuat tanah-tanah pertanian menjadi subur atau menjadikannya cocok untuk ditanami dengan menghilangkan hal-hal yang menghambat penanaman seperti batu-batu dan rumput-rumput, membuat air keluar, menaburkan tanah-tanah yang cocok untuk ditanam, dan mendirikan pagar atau mendirikan bangunan di atasnya. ” (istislah al-aradi al-zira’iyyah aw ja’luha salihah li al-zira’ah bi-raf’ ‘awa’iq al-zira’ah min ahjar wa a’shab minha wa istikhraj al-ma’ wa tawfir al-turbah al-salihah li al-zira’ah wa iqamat al-aswar ‘alayha aw tashyid al-bina’ fiha).[13] Tujuan dari konsep ini, seperti yang dipahami para fuqaha dan juga dokter, tidak hanya dianggap sebagai sumber dalam ekonomi negara, namun juga sumber bagi kesehatan lingkungan. Karena tanah mati yang tidak produktif jika diabaikan begitu saja akan menyebabkan degradasi tanah, dan ini pada gilirannya bisa mengancam keselamatan hidup manusia, binatang dan makhluk ciptaan lainnya.
Secara historis, praktik ini pernah ada pada masa Nabi, Khulafa Rashidun dan juga Umayyah. Sejarawan menceritakan bahwa ketika Nabi berhijrah ke Madinah, sejumlah umat Islam Madinah telah memiliki lahan-lahan pertaniannya sendiri. Nabi tidak hanya mengkonfirmasi kepemilikan tanah, namun ia sendiri juga menetapkan aturan yang positif yang membiarkan tanah tersebut menjadi milik perorangan. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelahnya juga. ‘Umar b. al-Khattab, misalnya, menyerahkan semua lahan Khaybar kepada ratusan orang setelah ia mengeluarkan orang-orang Yahudi dari sana.
Dasarnya adalah hadis, “Siapa pun yang tadinya menghidupkan tanah yang tidak dipakai—terlantar dan tidak dimiliki siapa pun—maka tanah tersebut menjadi miliknya” [man ahya ardan maytah fahiya lahu].[14] Semangat hadis ini memberikan pesan agar tidak membiarkan tanah tidak bertuan atau kawasan terlantar begitu saja. Konsep ini sangat penting sebagai landasan memakmurkan bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.[15] Namun untuk konteks sekarang, praktik tersebut tidak bisa begitu saja dilakukan. Namun perlu mendapatkan persetujuan pemerintah atau penguasa, menurut mazhab Hanafi.[16] Alasan dari pandangan ini adalah untuk menjauhi berbagai sengketa yang mungkin terjadi dari berbagai klaim yang bertentangan—entah itu antara pengembang ihya dan pemilik iqta’. Sedangkan mazhab Malik berpendapat bahwa persetujuan dari negara itu penting hanya ketika tanah mati yang tidak berpenghuni (mawat) itu berada dekat dengan perhunian masyarakat. Jika tanah mawat tersebut terisolasi dan jauh dari kampung masyarakat, maka persetujuan dari negara tidaklah begitu penting.[17]
Menurut hemat penulis, dalam konteks sekarang, intervensi pemerintah itu sangat penting demi menghindari terjadinya konflik, karena hukm al-hakim ilzam yarfa’ al-khilaf (putusan penguasa bersifat mengikat dan mengangkat segala bentuk sengketa). Untuk itu, pemerintah dan peraturan perundangan harus aktif dan akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. ‘Umar b. al-Khattab, misalnya, membuat peraturan perundangan untuk mengambil tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila tidak terlihat ada tanah-tanah yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, pemerintah dapat memproses lahan tersebut agar bisa dialihkan kepemilikannya untuk dijadikan lahan produktif.
Namun demikian, dalam ihya al-mawat ada beberapa ketentuan fikih yang perlu diperhatikan, yaitu selain penggarapan tanah tidak berlaku terhadap tanah yang sudah dimiliki orang lain, ia juga bukan merupakan kawasan yang bisa mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum, seperti tanah yang rawan longsor atau daerah aliran sungai yang bisa berakibat berubahnya aliran sungai. Dalam proses ihya tersebut, menurut al-Mawardi, diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Karenanya, ia harus dilakukan menurut watak alami dan londisi tanah yang tidak produktif (mawat) tersebut. Jika tanah tersebut masuk dalam kategori tanah pertanian, maka pekerjaan yang diharapkan untuk dilakukan seharusnya mencakup pembuatan batas-batas, pembersihan lahan tanah, dan pengairan.[18]

2.      Hima (lahan konservasi atau cagar alam)
Dalam literatur fikih, kata hima mengandung pengertian “lahan terlarang bagi orang lain”. Dasarnya adalah hadis Nabi, “Semua hima (lahan konservasi) hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.”[19] Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh siapa pun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan penggembalaan hewan ternak. Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya.
Secara historis, praktik ini sudah dilakukan Nabi, misalnya dengan membuat hima di wilayah Naqi’, delapan mil dari kota Madinah, untuk kuda-kuda kaum muslimin. ‘Umar b. al-Khattab membangun hima Sharaf dan al-Rabadah, yang diperluas oleh Uthman b. Affan, membentang dari tempat di Rabadah di barat Nejed sampai ke perkampungan Dariyah. Pada tahun 1969, diperkirakan ada tiga ribu hima, yang mencakup  
Meskipun pada masa Nabi dan setelahnya dimanfaatkan untuk menggembala ternak, namun dalam konteks sekarang, istilah ini bisa diperluas pemahamannya menjadi taman nasional, cagar alam, suaka alam, hutang lindung, dan suaka margasatwa. Di Indonesia banyak ditemukan hima atau cagar alam, di antaranya Cagar Alam Ujung Kulon, Cagar Alam Way Kambas, Cagar Alam Karaeta di Maros, Hima Batang Gading, Hima Gunung Leuser (Aceh), dan sebagainya.

B.     Prinsip al-‘Adah Muhakkamah dan Kearifan Lokal
Di dalam kaidah fikih induk, ini masuk ke dalam kaidah kelima yang secara umum mengandung pengertian “Adat bisa menjadi hukum”. Adat kebiasaan, atau dikenal pula dalam bahasa usul al-fiqh dengan ‘urf, yang bisa dijadikan sebagai hukum adalah yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: (1) tidak bertentangan dengan syariat; (2) kemaslahatannya harus bersifat universal, bukan parsial. Kemudian, segala sesuatu yang ditetapkan hukumnya melalui adat, maka ketetapan hukumnya seperti ketetapan hukum melalui nash. (al-thabit bi al-‘adah ka al-thabit bi al-nass)
Adat, dalam pengertian yang luas, bisa mencakup pula kearifan lokal atau kearifan tradisional. Yang dimaksudkan di sini adalah “semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis”.[20]  Jumlah kearifan lokal dari masyarakat adat ini melimpah, karena masyarakat adat membentuk jumlah yang cukup signifikan di dunia. Menurut laporan dari The World Conservation Union (1997) dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat budaya dunia.[21]
Kearifan lokal dari masyarakat-masyarakat adat ini terhadap lingkungan bisa dikatakan hampir sama (universal) di seluruh dunia. Mereka memandang dirinya, alam dan relasi antara keduanya dalam perspektif religius, spiritual. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional sebagai sakral. Atau singkatnya semuanya menekankan berbagai prinsip yang bisa diringkas sebagai berikut:
·         Sikap hormat terhadap alam (respect for nature).
·         Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature).
·         Solidaritas kosmik (cosmic solidarity).
·         Prinsip kasih sayang dan kepedulian (caring for nature).
·         Prinsip no harm (la darar wa la dirar).
·         Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.
·         Prinsip keadilan dan keseimbangan.
·         Prinsip integritas moral.
Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip yang terambil dari kearifan tradisional dari berbagai masyarakat adat bisa dijadikan sebagai ingredient bagi upaya pelestarian ekologi dan penyelamatan bumi. Meskipun penerapannya bersifat lokal [dan terkadang dibungkus pula dengan mitos-mitos], namun mempunyai ajaran-ajaran moral yang bersifat universal terhadap lingkungan. Kita mempunyai berbagai kearifan tradisional dan falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup.  Sebenarnya dalam komunitas perkotaan yang modern pun kini tumbuh berbagai kearifan lingkungan, seperti halnya pengelolaan sampah di Banjar Sari Jakarta, Sukunan Yogyakarta, Karah Surabaya, Kassi-Kassi Makasar, dan lain-lain.

III. Catatan Penutup
Kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yaitu lingkungan rumah, dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan. Rasulullah Saw pernah menyatakan,  “Seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan di tanganku ada benih yang akan ditanam, maka saya akan menanam benih itu.” Aksi ini kemudian diperluas jangkauannya hingga lingkungan sekitar, kantor, dan seterusnya, agar menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan tempat-tempat sampah yang organik dan non-organik, agar yang bisa didaur ulang kembali menjadi hal yang berguna, pun perlu diperhitungkan. Di negara-negara Barat, seperti di antaranya Australia, hal ini sudah dilakukan.
Tentunya pemerintah dan masyarakat harus bergandeng tangan mewujudkan cita-cita ini. Tanpa adanya partisipasi yang tulus dari segenap masyarakat dan political will dari pemerintah daerah, maka pewujudan lahan konservasi (hima) dan pengembangan tanah-tanah tidak produktif (ihya al-mawat) tidak akan bisa terwujud. Wa-llahu a’lam bi al-sawab.


* Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Agama dan Kearifan Lokal (Membangun Teologi dan Fikih Ekologi di Era Otonomi, tanggal 21 Oktober 2008 di STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.
** Dosen Sejarah Sosial Hukum Islam (Tarikh Tasyri) dan Comparative Study of Islamic Law (Perbandingan Mazhab), Jurusan Syariah, STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.
[1] Dikutip dalam S. Parvez Manzoor, “Environment and Values: the Islamic Perspective,” dalam Ziauddin Sardar (ed.), The Touch of Midas: Science, Values and Environment in Islam and the West, Manchester: Manchester University Press, 1984), 152.
[2] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 3, Cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), 14.
[3] Abu al-Ma’ali al-Juwayni, al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Jilid 2, Tahqiq: Salah b. Muhammad b. ‘Uwaydah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 79-80.
[4] Jamal al-Din ‘Atiyyah, Nahwa Taf’il Maqasid al-Shari’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), khususnya dari hal. 91-172.
[5] Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahrath li Alfaz al-Qur’an al-Karim bi Hashiyat al-Mashaf al-Sharif, (Beirut: Dar al-Fikr li al-Tiba‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1994), 34-42.
[6] al-Zukhruf [43]: 10.
[7] Q.S. al-Mu’min [40]: 64.
[8] Q.S. al-Baqarah [2]: 22.
[9] Q.S. Nuh [71]: 19.
[10] Q.S. al-Naba’ [78]: 6.
[11] Lihat Q.S. Al-Mulk (67): 15: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
[12] Untuk keterangan lebih rinci bisa dilihat kitab-kitab fikih, seperti di antaranya Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid 5, Cet. Ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), bahasan Ihya al-Mawat (h. 549-570) dan Ahkam al-Ma’adin wa al-Hima wa al-Iqta’ (h. 571-587); Imam al-Nawawi, al-Majmu Sharh al-Muhadhdhab, Jilid 16, Cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), bahasan ihya al-mawat (h. 81-130) dan al-iqta’ wa al-hima (h. 107-119).
[13] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, 5: 550.
[14] Hadis riwayat Ahmad dan al-Turmudhi melalui jalur Jabir b. ‘Abd Allah. Status hadis ini, menurut al-Turmudhi, adalah hasan sahih.
[15] Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 30.
[16] Abu Yusuf Ya‘qub b. Ibrahim, Kitab al-Kharaj, Ihsan ‘Abbas (ed), (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 180.
[17] Imam Malik b. Anas, al-Muwatta’, 2: 743-744
[18] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Mahmud Satraji (ed), Jilid 9, (Beirut: Dar al-Fikr li al-Tiba‘ah wa al-Nashr wa al-tawzi‘, 1994), 333-334.
[19] Hadis riwayat Ahmad, Bukhari dan Abu Dawud. Redaksinya: la hima illa lillah wa Rasulih.
[20] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), 289.
[21] Dikutip dalam ibid., 282.

Tidak ada komentar: