Selasa, 17 Juli 2012

Islam dan demokrasi: perspektif Islam liberal



ISLAM DAN DEMOKRASI: PERSPEKTIF ISLAM LIBERAL*

Rusli
Dosen STAIN Datokarama Palu
Pendahuluan
Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dalam hal suku, kelompok etnik, dan agama, tidak dapat dihindari adanya ketegangan-ketegangan baik yang tersembunyi maupun yang muncul ke permukaan. Dan ini bisa dilihat pada beberapa kerusuhan baik yang berskala lokal maupun nasional yang seringkali dimotivasi dan didasari oleh perbedaan etnik atau agama. Di dalam masyarakat Muslim sendiri, terutama dalam konteks Indonesia, tarik menarik, konflik dan ketegangan, baik secara konsep maupun praktik, terjadi antara mereka yang berpegang kepada makna literal ayat dengan spirit ayat. Kelompok pertama sering diidentikkan dengan kelompok “skripturalis,”[1] “Islam konservatif”, “Islam radikal”, “Islam militan”,[2] “Islam fundamentalis”, ataupun “Islam revivalis”.[3] Sementara yang kedua, sering disebut sebagai kelompok  “Islam substansialis” atau “Islam liberal.”[4]
Diantara isu-isu yang sering menimbulkan konflik dan ketegangan antara kedua kelompok ini adalah bentuk negara, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim. Misalnya, bentuk negara yang diinginkan kelompok “fundamentalis” adalah bentuk khilafah[5] dimana syariat Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh, misalnya hukum potong tangan, jilbabisasi, dan lain-lain. Kelompok fundamentalis juga beranggapan bahwa “demokrasi” adalah suatu bentuk sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidupan.[6] Disamping itu, demokrasi dianggap sebagai suatu bentuk kreasi manusia yang bertentangan dengan Al-Quran karena demokrasi meniscayakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan rakyatlah sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang. Padahal, dalam pandangan mereka, Islam telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syariat, bukan milik rakyat. Syariatlah yang menjadikan rujukan tertinggi segala sesuatu.[7]
Berkenaan dengan hak-hak perempuan, kelompok fundamentalis atau konservatif lebih melihat perempuan sebagai makhluk domestik yang memiliki peran lebih banyak di dalam ruang domestik daripada ruang publik. Seksualitas perempuan harus dijaga melalui “pemingitan” (seclusion) dan penutupan aurat dengan hijab atau jilbab.
Tulisan ini tidak membahas keseluruhan isu yang menimbulkan konflik dan ketegangan antara kelompok fundamentalis-konservatif dengan kelompok substansialis-liberal, tetapi hanya memfokuskan kepada bagaimana pandangan Islam liberal tentang demokrasi secara konseptual dan teoritis. Disamping itu, akan dilihat bagaimana prospek penerapan demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini.

Prinsip Dasar Substansialis atau “Liberal”
Kata “liberal” dalam berbagai kamus bahasa Inggris diartikan sebagai free from restrictions (bebas dari pembatasan-pembatasan) atau having policies or views advocating individual freedom (memiliki kebijakan dan pandangan yang mendukung kebebasan individual).[8] Tetapi dalam wacana Islam, liberalisme Islam adalah sebuah trend yang memahami Islam dengan pendekatan yang lebih menekankan kepada substansi daripada bentuk.
Dalam masyarakat, istilah ini selalu dipertentangkan dengan istilah “konservatif, “fundamentalis” atau “radikalisme.” Dalam wacana politik, “liberal” selalu dipertentangkan dengan “konservatif.” Sementara, dalam wacana pemikiran Islam, istilah “liberal” selalu dipertentangkan dengan “radikalisme” atau “fundamentalisme.”
Banyak studi yang dilakukan untuk mengamati perkembangan gerakan fundamentalisme agama di  seluruh dunia, termasuk dunia Islam, seperti tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku Fundamentalism Observed (tiga jilid). Proyek besar ini meneropong gerakan fundamentalisme dalam setiap agama, seperti Budha, Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam. Disamping itu, studi yang sama dengan menekankan analisis terhadap adanya benih-benih radikalisme atau kekerasan dalam setiap agama dilakukan oleh Mark Jurgensmeyer (2001) dalam Terror in the Mind of God.
Di sisi lain, studi tentang liberalisme dalam Islam dilakukan oleh Leonard Binder (1988) dalam bukunya Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies. Buku ini merupakan hasil dari proyek riset yang lama, berskala luas dan hasil kolaboratif di tahun 1970-an yang dilakukan oleh Binder dan Fazlur Rahman. Buku ini juga merupakan salah satu studi yang signifikan tentang liberalisme Islam.
Studi lain juga dilakukan oleh Charles Kurzman (2001) yang memberikan pengantar cukup mendalam mengenai tipologi masyarakat Islam dengan membaginya ke dalam revivalist Islam, customary Islam dan liberal Islam. Kemudian, Kurzman membagi liberal Islam ke dalam liberal shari’a (syari’ah liberal), silent shari’a (syari’ah yang diam) dan interpereted shari’a (syariah yang ditafsirkan). Setelah itu, Kurzman me-list tokoh-tokoh yang masuk ke dalam kategori Islam liberal disertai dengan ide-idenya. Diantara intelektual Muslim Indonesia yang dimasukkan oleh Kurzman sebagai liberal adalah Muhammad Natsir dan Nurcholis Madjid.
Ada beberapa karakteristik yang membedakan Islam substansial-liberal dari kelompok konservatif-fundamentalis. Seperti yang dipaparkan oleh Liddle,[9] yang pertama dan paling mendasar prinsip yang dipegang oleh kelompok substansialis adalah bahwa substansi dan isi suatu keyakinan adalah lebih penting daripada bentuk. Bertindak dan berperilaku baik secara moral dan etika dinilai lebih penting daripada hanya melaksakan ritual-ritual semata. Karena itu, seorang manager yang saleh dalam hal ibadah murni (ibadah mahdhah) tetapi memperlakukan bawahannya tidak adil, dalam pandangan ini, kurang mendapatkan penghargaan daripada manager yang tidak saleh, bahkan non-muslim, tetapi berlaku adil terhadap bawahannya.
Kedua, pesan universal Al-Quran dan Hadits, sekalipun eternal dan abadi dalam keberadaan dan pengertiannya, perlu direinterpretasi kembali oleh masing-masing generasi masyarakat dengan melihat kepada kondisi sosial yang ada pada saat itu.  Karena itu, dalam sejarah pemikiran di Indonesia, kita mengenal istilah-istilah sebagai bentuk pengejawantahan Islam sesuai dengan konteks keindonesiaan, seperti “sekularisasi”, “desakralisasi”, “reaktualisasi” dan “pribumisasi”.
Ketiga, karena sulit dan tidak mungkin bagi setiap muslim untuk memahami keinginan dan perintah Tuhan lebih baik daripada yang lainnya, maka umat Islam diharuskan toleran terhadap sesamanya dan juga di luar golongannya. Kajian ulang terhadap pemikiran Islam klasik dan tradisi-tradisi Islam di luar modernisme perlu digalakkan, termasuk juga dialog dengan fihak non-Muslim, seperti Kristen.

Islam dan Demokrasi
Istilah “demokrasi” adalah terma Barat yang terambil dari kata Yunani demos (rakyat) dan kratein (memerintah).[10] Secara etimologis, demokrasi berarti “pemerintahan oleh rakyat” (ruled by the people). Abraham Lincoln, mendefinisikan demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam definisi yang diberikan Sulaiman,[11] demokrasi adalah “partisipasi publik dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Bagi Islam liberal, demokrasi tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam yang universal, bahkan ide ini mendapatkan dukungan yang kuat dari Al-Quran dan praktik Nabi saw yang sering berkonsultasi (istisyar) dengan para sahabatnya. Al-Quran menyebutkan syura sebagai prinsip dasar yang harus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik.[12]  Sementara secara konseptual dan prinsip, syura tidak jauh berbeda dengan demokrasi, bahkan sinonim, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam hal penerapannya yang disesuaikan dengan adat istiadat dan kebiasaan lokal.[13]
Prinsip lain yang mendasari proses demokrasi adalah persamaan (equality; musawat). Dalam negara demokrasi, semua orang adalah sama, memiliki hak dan tanggungjawab yang sama. Diskriminasi dalam bentuk apapun, apakah itu didasari atas perbedaan gender, status sosial, agama, keturunan, atau warna kulit, tidak dapat dibenarkan. Persamaan ini didasari oleh sebuah fitrah manusia yang diciptakan dalam keadaan mulia.[14] Sebagai sebuah agama, Islam sangat menekankan prinsip egaliter ini. Bahkan ketika datang pertama kali di Timur Tengah, tepatnya di Saudi Arabia, Islam berupaya menghilangkan segala bentuk diskriminasi, diantaranya diskriminasi yang dialami perempuan dan kaum budak.
Prinsip demokrasi lainnya adalah keadilan (justice; ‘adalah). Keadilan adalah spirit dan prinsip dasar ajaran Islam. Tanpa keadilan, maka tatanan sosial suatu masyarakat akan menjadi rapuh. Al-Quran sendiri banyak sekali menegaskan agar kita dapat berlaku adil terhadap siapa saja, sekalipun ada perbedaan atau ketidaksamaan prinsip. “Janganlah kebencian kamu terhadap kelompok lain membuat kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena sikap adil lebih dekat menujuk kepada takwa” (Al-Maidah: 8). Berkenaan dengan keadilan hukum, Rasulullah saw sendiri dalam suatu perkataannya yang terkenal mengatakan, “Banyak umat-umat terdahulu yang binasa, karena apabila orang mulia melakukan tindakan kriminal tidak dikenakan sangsi hukum. Sebaliknya apabila orang lemah melakukan tindakan tersebut, ditegakkan hukum kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah mencuri, tentu akan kupotong tangannya.”
Last but not least, kebebasan mengekspresikan aspirasi dan pendapat (freedom of speech) yang merupakan inti dari proses berdemokrasi juga mendapatkan tempat dalam ajaran Islam dan praktik sosial umat Islam. Bersikap kritis menyampaikan aspirasi adalah sesuai dengan sabda Nabi saw, “Siapapun yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya. Apabila tidak mampu, dengan perkataan. Dan apabila tidak mampu juga, maka dengan hatinya bahwa ia tidak meyukai kemungkaran tersebut. Yang demikian itulah iman yang paling lemah.” Prinsip “merubah dengan perkataan” adalah bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa agar kebijakan tersebut berpijak kepada kemaslahatan bersama.
Jadi, konsep demokrasi sebenarnya tidaklah bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang universal. Sekalipun istilah ini tidak ditemukan secara eksplisit di dalam perbendaharaan kata Islam, tetapi prinsip-prinsip yang mendasari proses demokrasi mendapatkan justifikasi dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

Prospek Demokrasi di Indonesia
Menurut laporan dari Freedom House (2001), dari 47 negara yang mayoritas beragama Islam, hanya 11 (23 persen) yang dapat dianggap benar-benar mengadopsi demokrasi dan mengalami konsolidasi demokrasi yang stabil.[15] Sementara itu, di dunia non-muslim, 110 dari 145 negara (75 persen) memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Ini mengindikasikan bahwa di negara muslim, penerapan demokrasi begitu lemah. Bahkan semakin islami suatu negara, semakin tidak demokratis. Sementara di negara-negara yang non-muslim, tingkat demokrasinya begitu tinggi dan kuat.
Tentunya laporan seperti ini sangat tidak menyenangkan bahkan menyakitkan bagi umat Islam. Mengapa mengadopsi demokrasi begitu sulit di negara-negara Muslim? Apakah Islam menjadi penghambat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi?
Azra, seperti dikutip Darmadi,[16] mengatakan ada lima alasan kenapa penerapan demokrasi begitu lemah di negara-negara Muslim. Pertama, kurangnya infrastruktur dan prasyarat yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu negara demokrasi. Apalagi tidak adanya kelas menengah yang independen yang dapat menopang infrastruktur secara kokoh dan kondusif.
Kedua, masih ada kecenderungan di kalangan sebagian umat Islam untuk mempertahankan keyakinan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Dalam konteks Indonesia, keyakinan seperti ini masih begitu kuat, terutama pada masyarakat Muslim yang berpegang kepada Islam tradisional. Dan ini termanifestasi dalam berbagai gerakan yang ingin memasukkan Islam sebagai simbol dan dasar negara, seperti diantaranya, Hizbut Tahrir, Angkatan Mujahidin Indonesia (AMIN), dan sebagainya.
Ketiga, gagalnya negara-negara Muslim untuk meng-implementasikan praktik-praktik yang demokratis, misalnya tentang pemilu demokratis. Dalam masyarakat kita, praktik money politics yang menggoyang sendi-sendi demokrasi masih tetap menjamur, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Hal ini dikarenakan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi masih begitu rendah, dan kesadaran untuk membangun etika tersebut masih begitu lemah.
Keempat, ketiadaan budaya demokratis (democratic culture) di negara-negara Muslim. Di Indonesia, misalnya, hambatan kultural yang menghambat pertumbuhan demokrasi adalah masih adanya dikotomi antara wong gedhe dan wong cilik.[17] Penguasa masih menganggap rakyat itu bodoh sementara dirinya mengaku sebagai pengayom, pemurah dan baik hati. Rakyat harus patuh, tunduk dan setia kepada pemerintah. Dalam kehidupan politik seperti itu, sulit sekali diharapkan timbulnya kualitas demokrasi yang tinggi karena sikap kritis yang menjadi “inti” berdemokrasi melemah. Terakhir, tidak berfungsinya kelompok civil society atau organisasi-organisasi non-governmental, yang melakukan kritik terhadap kekuasaan.
Apabila kita melihat prasyarat yang dibutuhkan untuk berkembangnya suatu demokrasi yang stabil dalam masyarakat kita, prospeknya tidak begitu menggembirakan. Kendati demikian, seperti dikatakan Gus Dur, umat Islam jangan bersikap pesimis. Dalam memperjuangkan demokrasi, Islam tak perlu menjadikan dirinya sebagai bendera, tetapi akidah dan prinsip-prinsip ajaran untuk proses demokratisasi tetap dipegang teguh. Kedua, perhatian tidak harus langsung diarahkan kepada kata “demokrasi”, tetapi perjuangan bisa merupakan cangkokan dari demokrasi yaitu memperjuangkan keadilan, rela berkorban, membantu tanpa pamrih, dan bekerjasama dengan siapa saja yang memiliki spirit perjuangan yang sama.[18]

Penutup
Kendati prospek penerapan demokrasi di Indonesia masih memerlukan proses perjuangan yang panjang dan melelahkan, tetapi usaha-usaha untuk itu tidak boleh dihentikan. Untuk itu, beberapa hal perlu diperhatikan dan dilakukan. Pertama, perlu diadakan sosialisasi pemahaman Islam yang lebih menekankan isi daripada bentuk. Perlu direkonstruksi kembali pemahaman kepada teks-teks keagamaan dengan lebih menekankan pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan politik masa itu. Kedua, sosialisasi demokrasi tidaklah harus menampilkan kata dan simbol demokrasi, yang terpenting adalah bagaimana cangkokan demokrasi tersebut dapat diterapkan, seperti keadilan, membantu orang lain, dan sebagainya.

Referensi
Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England: Harper Collins Publisher, 1995
Darmadi, Dadi, 2002, “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1
Engineer, Ashgar Ali, Is Islam Undemocratic? On Absence of Democracy in the Muslim World, diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm pada tanggal 25 Oktober 2001
Jansen, G.H., 1976, Militant Islam, London dan Sydney: Pan Books
Kurzman, Charles (ed), 2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Liddle, R. William, 1996, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin
Rahardjo, Dawam, 1995, “Khalifah” dalam Ulumul Qur’an, No.1, Vol. VI, Tahun 1995
Sufiyanta, Mintara, 1997, “Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2
Sulaiman, Sadek Jawad, 2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Syabab Hizbut Tahrir, “Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
Syabab Hizbut Tahrir, “Trias Politica dalam Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie, No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22




*Makalah dipresentasikan pada acara seminar “Islam dan Demokrasi” pada tanggal 15 Maret 2003 yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Datokarama Palu.
[1] R. William Liddle, 1996, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sydney: Allen and Unwin, hal. 266-289
[2] G.H. Jansen, 1976, Militant Islam, London dan Sydney: Pan Books         
[3] Charles Kurzman (ed), 2001, “Pengantar Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, hal. xvi
[4] Ibid.
[5] Khilafah adalah berasal dari kata khalf yang berarti suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, penguasa, yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Quran. Menurut ensiklopedi Islam, kata khilafah adalah “istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang sinonim dengan kata imamah yang berarti kepemimpinan.” Sementara orang yang melaksanakan fungsi khilafah disebut khalifah. (Dawam Raharjo, “Khalifah” dalam Ulumul Qur’an, No.1, Vol. IV, 1995, hal. 40-47
[6] Syabab Hizbut Tahrir, “Demokrasi Mengharuskan Sekularisasi Kehidupan” dalam Buletin Al-Islam, Edisi 045 Tahun VII
[7] Ibid., “Trias Politica dalam Pandangan Islam” dalam Al-Wa’ie, No.06, Tahun 1, 1-28 Februari, 2001, hal. 22
[8] Collins Concise Dictionary, Edisi ke-3, England: Harper Collins Publisher, 1995, hal. 757
[9] Liddle, op.cit. hal. 268
[10] Lorens Bagus, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, hal. 154
[11] Sadek Jawad Sulaiman, 2001, “Demokrasi dan Syura” dalam Kurzman, op.cit., hal. 125
[12] Surat Ali Imran: 159, “…dan berkonsultasilah dengan mereka dalam segala urusan.” Surat al-Syura: 38, “Dalam berurusan dengan mereka hendaklah dilakukan musyawarah.”
[13] Ibid. hal. 128; Ashgar Ali Engineer, Is Islam Undemocratic? On Absence of Democracy in the Muslim World, diakses di www.dawoodi-bohras.com/perspective/absence.htm pada tanggal 25 Oktober 2001
[14] Surat al-Isra: 70, “Kami telah muliakan anak keturunan Adam… dan Kami lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lainnya.”; Surat al-Tin: 5, “Kami benar-benar telah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling baik.” Dalam sebuah hadts, “Tidak ada kelebihan orang Arab dengan non-Arab, kecuali dengan kualitas takwanya.”
[15] Mali di Sub-Saharan Afrika dan Bangladesh di Asia Selatan merupakan contoh negara Muslim yang telah mengadopsi demokrasi. Meskipun kedua negara tersebut berjuang untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan ekonomi, tetapi mereka mengalami konsolidasi demokrasi yang begitu stabil. Beberapa negara lain, seperti Turki, Jordania, Kuwait, Azerbaijan, Malaysia dan Indonesia, telah lama berjuang untuk mengadopsi demokrasi. Bagaimanapun, diantara negara-negara tersebut, Malaysia dan Turki-lah yang lama mengalami proses demokratisasi, meskipun mereka menghadapi gerakan-gerakan anti demokrasi.
[16] Dadi Darmadi, 2002, “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, dalam Studia Islamika, Vol. 6, No.1, hal. 204
[17] Mintara Sufiyanta, 1997, “Islam dan Demokrasi di Indonesia” dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 2, hal. 39
[18] Ibid.

Tidak ada komentar: