ETIKA PENGANGKATAN HAKIM KONSTITUSI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (KASUS MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA)
Rusli *
Abstract
This paper deals with Constitutional Court in Indonesia, especially in terms of the ethics of judge appoinment in this legal institution. It is argued that moral values are the basis for the this kind of appoinment. They include moral integrity (honesty), courage, justice and fairness. This can be carried out through the method of fit and proper test, which analyses the personality, deeds, and vision of the candidate to establish justice in this institution.
Keywords: Constitutional Court, fit and proper test, moral integrity
I. Pendahuluan: Sekilas tentang Kekuasaan Kehakiman
Salah satu pilar demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan dari kesewenang-wenangan. Kekuasaan kehakiman, yang merupakan salah satu cabang kekuasaan negara, mempunyai tujuan utama untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Menurut doktrin pemisahan kekuasaan, fungsi kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan, sehingga tidak terjadi proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan. Pemisahan secara tegas harus dilanjutkan dan disertai pemberian kewenangan secara otonom kepada yudikatif, baik yang berkaitan dengan kemandirian dalam bidang personil, maupun kelembagaan internal dan substantif. Upaya-upaya untuk mewujudkan independensi kekuasaan kehakiman akan selalu terkait dengan upaya demokratisasi, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan lain-lain.
Independensi ini merupakan cita-cita universal yang telah menjadi salah satu resolusi PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 Nopember 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985) yang berbunyi bahwa:
Kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutan-hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur tangan secara langsung atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apa pun.”[1]
Namun dalam sejarah dan praktiknya, indepedensi kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami pasang surut. Terkadang, antara peraturan perundang-undangan dengan realitanya sama-sama independen, dan ini sebenarnya menjadi cita-cita dari suatu negara hukum. Dalam kondisi lain terkadang peraturan perundangannya tidak independen, dan realitanya pun tidak independen. Sebagai contoh, misalnya, ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, yang Pasal 19 dari UU itu menyatakan bahwa Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang tersebut dilaksanakan. Dalam keadaan lain, terkadang secara normatif independen, namun realitanya tidak independen. Misalnya, pada masa Orde Baru peraturan perundang-undangannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, namun realitanya para hakim secara otomatis menjadi anggota korpri, sedangkan korpri pada masa itu seperti umumnya dipahami merupakan pendukung birokrasi yang berafiliasi pada salah satu kekuatan politik yang berkuasa pada masa itu, sehingga netralitas sebagai hakim pada masa itu masih perlu dipertanyakan.
Terlepas dari kondisi-kondisi di atas, pada dasarnya kekuasaan kehakiman mendapatkan pijakan yang kuat dari undang-undang, meskipun telah mengalami pelbagai perubahan. Perubahan tersebut tentunya bukan tanpa alasan, ia pasti didasari pada adanya kepentingan-kepentingan dan kondisi-kondisi tertentu. Di antara dasar institusional tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX terutama Pasal 24 yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Yang secara khusus mengatur kekuasaan kehakiman ini sebelumnya adalah UU No. 14 Tahun 1970, dan yang sekarang berlaku adalah UU No. 4 Tahun 2004. Dalam undang-undang ini, dalam menyelenggarakan peradilan demi penegakan hukum dan keadilan, Kekuasaan Kehakiman mesti merdeka.[2] Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman tersebut, baik yang bersifat fungsional maupun kelembagaan, tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan manapun. Hal itu juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.[3]
Salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Konstitusi, seperti ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 24 Ayat 2: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam artikel ini, fokus pembahasan diarahkan pada pengulasan tentang Mahkamah Konstitusi serta hal-hal yang terkait dengannya, serta bagaimana perspektif etika hukum Islam tentang pengangkatan hakim konstitusi.
II. Mahkamah Konstitusi: Akar Historis dan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berdiri tanggal 17 Agustus 2003 dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Mahkamah Agung berdasarkan UUD 1945 (perubahan ketiga) Pasal 24 ayat 2. Menurut UUD ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah: mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, dan wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.[4]
Kemudian, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:
· Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[5]
· Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
· Memutus pembubaran partai politik.
· Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
· Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Menarik untuk dicatat bahwa pemikiran dan gagasan tentang pentingnya pembentukan Mahkamah Konstitusi ini telah ada sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), salah seorang anggota BPUPKI, Prof. Muhammad Yamin, mengemukakan pendapat agar Mahkamah Agung (MA) diberikan kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan: pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Yang kedua, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya berkaca pada kasus impeachment Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pencopotan tersebut dimunculkan dan diputuskan oleh kompromi politik belaka, tanpa ada pembuktian pelanggaran terhadap konstitusi secara jelas. Maka, dibuatlah Mahkamah Konstitusi untuk mengadili hal tersebut, sehingga pemberhentian presiden tidak hanya diputuskan oleh aspek politis semata. Pembentukan MK ini baru terwujud pada era reformasi,[6] yaitu setelah adanya perubahan ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 Ayat 2, Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi, yang semenjak lama dianggap perlu dan penting, berasal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter menuju demokratis, sebagai upaya untuk mendorong penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan menuju sistem ketatanegaraan yang lebih baik, demokratis dengan menjunjung tinggi hukum dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan juga untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah perundang-undangan.[7]
Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tersendiri pada dasarnya adalah karena kebutuhan terhadap suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Ide ini secara teoritis bermula dari Prof. Hans Kelsen (Universitas Wina) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang dinamakanVerfassungsgerichtshoft (Constitutional Court, Mahkamah Konstitusi). Gagasan Kelsen ini kemudian diterima dan dimasukkan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria.
Menurut Hans Kelsen, persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah adalah hal yang mungkin saja terjadi, tidak hanya berkaitan antara undang-undang dan putusan pengadilan, namun juga hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini terkait dengan masalah “inkonstitusional”nya suatu undang-undang. Suatu undang-undang hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi. Jika bertentangan, maka dianggap tidak berlaku. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Untuk itu, diperlukan sebuah badan yang secara khusus menyatakan “inkonstitusional”nya suatu produk undang-undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan:
There may be a special organ established for this purpose, for instance, a special court, as so-called “constitutional court” or the control of the constituionality of statutes, the so called “judicial review” may be conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme court.[8]
Menurut Kelsen, undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain. Berbeda dengan pengadilan biasa. Jika pengadilan biasa yang berwenang untuk menilai konstitusionalnya suatu undang-undang hanya berhak menolak menerapkannya atau mengesampingkannya dalam kasus-kasus kongkrit yang diputuskan, namun badan yang lainnya tetap berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu undang-undang tidak dinyatakan tidak berlaku, maka ia tetap “konstitusional” dan “tidak konstitusional”, meskipun undang-undang itu dianggap bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku oleh dewan legislatif dan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini tidak lepas pelaksanaan teori hukum murni dan teori hirarki norma yang sangat terkenal yang dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum yang superior dari undang-undang biasa.
Dari awal berdiri, Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, MA (selama dua periode, 2003-2006, 2006-2009). Sekarang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahfud MD. Jumlah hakim yang ada dalam Mahkamah Konstitusi adalah sembilan orang yang ditetapkan oleh Presiden.[9] Tiga orang dari Mahkamah Agung, tiga orang dari DPR dan tiga orang lainnya oleh Presiden. Selama perjalanannya itu, terutama semenjak pertama berdiri hingga periode pertama (2006), ada beberapa perkara yang menjadi sorotan publik.[10]
Bagan 1.
Perkara yang diselesaikan MK para periode pertama (2003-2006) yang menjadi sorotan publik
No. | Jenis Perkara | Rincian |
1. | Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004 | · Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD. · 1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid |
2. | Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) | - |
3. | Pekara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU) | · UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. · UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. · UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. · UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. · UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. · UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. · UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. · UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN). · UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. · UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. · UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Irian Jaya. · UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). · UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. · UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. · UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005. · UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) |
Dan beberapa putusannya yang menimbulkan perdebatan pro-kontra dalam masyarakat, yaitu:
· Dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan undang-undang ketenagalistrikan,
· Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri.
· Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beberapa pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya.
· Terakhir, yang menghebohkan adalah surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004 (Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
III. Etika Pengangkatan Hakim Konstitusi: Perspektif Hukum Islam
Ada asumsi mendasar bahwa apa pun bagus dan idealnya sebuah lembaga, namun yang menentukan adalah orang-orang yang berada di belakangnya (man behind the gun). Namun orang-orang yang berada di balik lembaga-lembaga publik tersebut dalam perjalanan sejarahnya seringkali melakukan berbagai penyimpangan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang itu sendiri, namun juga nilai-nilai agama dan kepatutan universal. Ini tentunya membenarkan ungkapan bahwa power tends to corrupt. Oleh karena itu, yang terpenting tentunya, selain menciptakan sistem yang kuat, juga memperkuat sistem itu dengan orang-orang yang berintegritas moral yang tinggi. Mungkin menarik mendengar sebuah ungkapan bahwa “Sesungguhnya umat itu akan eksis jika moralnya kuat. Sebaliknya, jika moral telah hilang dari mereka, maka suatu umat atau bangsa akan hilang”.
Ungkapan ini dalam sebagian hal terbukti dalam sejarah. Untuk itu, dalam membangun sebuah sistem, harus mempertimbangkan moralitasnya. Islam sebagai sebuah agama memuat nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan dalam pengangkatan hakim dan juga pelaksanaannya. Pertama, dalam pengangkatan hakim konstitusi tentunya harus dilihat pada kecakapan dan kemampuan yang bersangkutan. Tentunya ini mencakup pengetahuan tentang konstitusi, undang-undang, berbagai prosedur dan hal-hal lain yang terkait yang harus dimiliki oleh seorang hakim ini. Dalam tradisi Islam, seperti ditegaskan dalam sebuah hadis Nabi, “Seandainya suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah akan kehancurannya.”
Mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dan kecenderungan terjadinya penyimpangan mungkin bisa terjadi, maka para hakim yang diangkat menduduki posisi itu harus mempunyai integritas moral yang tinggi. Masalah integritas merupakan hal yang prinsip bagi seorang hakim konstitusi. Tentunya, demi menjaga integritas, seorang hakim konstitusi seyogyanya tidak berafiliasi kepada aliran politik tertentu, bersikap netral dan mempunyai sikap yang konsisten dalam memberikan pendapat hukum. Pendapat para hakim konstitusi baik yang mendukung maupun berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam suatu sengketa yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi akan menjadi acuan bagi publik untuk menilai integritas dan kredibilitas hakim konstitusi maupun Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Untuk itu, dalam pemilihan dan pengangkatan hakim, “kualitas adil” menjadi suatu keharusan yang mutlak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dari kebenaran dan keadilan. Sebagian besar ulama mazhab mensyaratkan “kualitas adil” bagi seorang yang akan menjadi seorang presiden atau hakim pengadilan, kecuali ulama H}anafiyyah yang membolehkan orang fasik menjadi seorang kadi dan menganggap putusannya tetap sah, namun demikian, dalam pandangan mereka, seorang yang fasik seharusnya jangan diangkat menjadi kadi.[11] Muhammad Salam Madkur juga mendukung pendapat Abu Hanifah ini.[12] Lebih luas lagi, ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam (w. 660 H) mengatakan bahwa, “kualitas adil adalah syarat dalam setiap wilayah kewenangan dalam negara agar ketidakmampuan dalam mendatangkan segala bentuk kebaikan dan menghindari segala bentuk kerusakan bisa dicegah.”[13]
Bagaimana menentukan standar keadilan (fairness) ini adalah bisa melalui metode fit and proper test (proses uji kepatutan dan kelayakan calon). Di sini, yang bisa dijadikan standar penilaian diantaranya adalah integritas (integrity), kejujuran (honesty) dan reputasi (reputation). Di samping itu, terkait pula dengan proses uji kepatutan dan kelayakan calon ini adalah menilai kapabilitas dan kompetensi calon. Seorang bisa dikatakan “adil” jika tidak pernah melakukan berbagai bentuk kejahatan yang mengganggu masyarakat, memiliki kejujuran dan track-record yang par excellence selama hidupnya, serta memiliki kemampuan yang baik sesuai dengan bidang profesinya .
Menurut Ibn Taimiyyah,[14] metode yang bisa digunakan untuk mengetahui kelayakan calon adalah dengan melihat kepada baiknya hubungan vertikal orang tersebut kepada Tuhan dan besar upayanya dalam memperbaiki kondisi sosial dan spiritual masyarakatnya. Metode ini juga bisa diterapkan pada institusi-institusi publik yang lain, yang dalam sejarah hukum Islam mencakup diantaranya, qada’ (peradilan biasa), kejaksaan (muhamat), mazalim, hisbah (Inspeksi Pasar dan Harga), dan shurtah (Kepolisian). Sehingga, jika mereka yang berada pada posisi-posisi penentu kebijakan untuk kemaslahatan publik ini memiliki integritas moral (good character), kejujuran, reputasi yang par exellence, maka mereka berpotensi menjadi figur teladan yang bisa menjadi ikon pemberantasan korupsi, sebagaimana yang ditekankan oleh Alatas bahwa tokoh-tokoh elit yang berintegritas tinggi dapat memangkas mewabahnya virus korupsi.[15]
Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, jika sebuah lembaga, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, ingin menegakkan kebenaran dan keadilan dalam pelbagai sidangnya, maka nilai-nilai yang diajarkan Islam perlu diperhatikan dan diadopsi. Jika tidak, maka lembaga hanya akan menciptakan “kezaliman-kezaliman” baru yang lebih berbahaya.
III. Catatan Penutup
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah suatu yang mesti ada dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Karena ia bisa menjadi sebuah lembaga yang menilai inkonstitusionalnya sebuah undang-undang. Karena lembaga ini begitu penting keberadaannya dalam tatanan hukum dan peradilan di Indonesia, maka persoalan hakim yang berada di baliknya menjadi penting. Untuk itu, dalam pengangkatan hakim konstitusi, perlu diangkat seorang yang memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dalam bentuk pengetahuan yang mendalam tentang konstitusi, perundang-undangan, serta berbagai prosedur yang terkait. Yang tidak kalah pentingnya, seorang hakim tersebut mempunyai integrasi moral yang tinggi.
IV. Bahan Bacaan
Alatas, Syed Hussein, “Sociology of Corruption” dalam Corruption and Destiny of Asia ed. S.H. Alatas, Kuala Lumpur: Prentice Hall, 1999.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Terj. Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961.
Madkur, Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam, (terj), Cet. ke-4, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta: STIH IBLAM, 2004.
al-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyi al-Din ibn Sharaf, al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhdhab, Juz. XXII, Cet. ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007.
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
al-Salam, ‘Izz al-Din ‘Abd al-Aziz ibn ‘Abd, Qawa’id al-Ahkam fi Islah al-Anam, Cet. ke-1, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2003.
Taimiyah, Ahmad ibn, Siyasah Syar'iyah: Etika Politik Islam (Terj) Cet. ke-2, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 6, Cet. ke-3, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
* Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc adalah dosen Sejarah Sosial Hukum Islam, Jurusan Syariah, STAIN Datokarama Palu [1] Dikutip dalam Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), 5-6.
[2] UU No. 4 Tahun 2004 Pasal I, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
[3] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
[4] UU No.24 Tahun 2003 Bab III, Pasal 10 ayat 1 dan 2.
[5] Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
[6] Konteks awalnya adalah ketika setelah seluruh anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada bulan Maret-April tahun 2000. Studi banding ini begitu berpengaruh, sehingga ketika ada usulah perubahan UUD 1945, maka masalah ini dimasukkan ke dalam draft perubahan ketiga.
[7] Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007), 7.
[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Terj. Anders Wedberg (New York: Russell & Russell, 1961).
[9] UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 4 Ayat 1.
[10] Sumber: Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya, “Mahkamah Konstitusi: The Guardian and The Interpreter of The Constitution” ((11 September 2006).
[11] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 6, Cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 482; Abu Zakariyya Muhyi al-Din ibn Sharaf al-Nawawi, al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhdhab, Juz. XXII, Cet. ke-1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 12-3. Al-Nawawi dalam kitab ini menjelaskan kriteria “adil” sebagai berikut, yaitu: seorang kadi mesti yang jelas-jelas bisa dipercaya, tidak melakukan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari dosa, jauh dari keragu-raguan, tetap amanat baik dalam keadaan senang maupun marah, tidak menyimpang dari kebenaran dan norma-norma hukum agama.
[12] Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Terj. Imron AM, Cet. ke-4 (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), 58-9.
[13] ‘Izz al-Din ‘Abd al-Aziz ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Islah al-Anam, Cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2003), 367.
[14] Ahmad ibn Taimiyah, Siyasah Syar'iyah: Etika Politik Islam (Terj) Cet. ke-2, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 19-21.
[15] Syed Hussein Alatas, “Sociology of Corruption” dalam Corruption and Destiny of Asia ed. S.H. Alatas, (Kuala Lumpur: Prentice Hall, 1999), 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar