Gandhi, AHIMSA, DAN MASYARAKAT NIR-KEKERASAN
Rusli *
Abstract: This paper deals with the Mahatma Gandhi and his idea of “ahimsa,” which literally means “non-violence”. This moral philosophy emerged due to his struggle to face social, political, economic, and cultural conditions within societies which he lived South Africa and India. The problems include social injustice which low-caste communities went through, western colonialism, economic and political inequalities, and so on. From this struggle and observing this reality, Gandhi developed his view of ahimsa (non-violence), which has actually existed within world religions.
تبحث هذه المقالة فى شخصية محتما غاندي و مفهومه عن "أهيمسا" التي تعني ب"عدم العنف". و ظهرت هذه الفلسفة الأخلاقية بسبب كفاحه فى مقابلة الأوضاع الاجتماعية و السياسية والاقتصادية والحضارية فى المجتمعات التي كان يعيش فيها (أفريقيا الجنوبية و الهند). وتشمل هذه القضية الظلم الإجتماعي والافتصادي و السياسي و ما إلى ذلك. ومن هذه المكافحة أظهر غاندي مفهوم "أهيمسا" الذي يوجد فى الأديان العالمية
Keywords: Gandhi, ahimsa, nir-kekerasan, ketidakadilan sosial
I. Pendahuluan
Mahatma Gandhi adalah seorang pemikir sekaligus praktisi sosial-kemanusiaan yang sangat aktif. Ia sangat tertarik dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan individu dan masyarakat. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin politik yang handal yang dapat mengembangkan teknik baru satyagraha. Kritiknya terhadap kelompok yang dianggap “tidak bisa disentuh” (untouchability) dan ide-ide superioritas dan inferioritas karena kelahiran adalah sangat terkenal. Bahkan bagi masyarakat India, pengabdian terbesarnya adalah emansipasi kaum perempuan India.
Pada dasarnya, Gandhi tidaklah bermaksud untuk mengkonstruksi sebuah sistem filsafat, tetapi ia lebih fokus terutama kepada penerapan prinsip-prinsip dan cita-cita yang menjadi bagian hidupnya. Karena itu, kita tidak akan mendapati pembedaan antara yang ideal dengan yang aktual atau praktis. Hal ini dapat terlihat apabila kita mempelajari ide-ide Gandhi dalam konteks latarbelakang hidupnya, yang pada dasarnya adalah ide-ide yang terdapat dalam filsafat Hindu.
Yang menarik, pikiran-pikiran Gandhi sangat berpengaruh tidak hanya bagi orang-orang India, tetapi juga bagi pengagum-pengagumnya di luar India. Misalnya, pikiran-pikiran Gandhi memberikan inspirasi kepada banyak aktivis dalam bidang sosial dan keagamaan, seperti Martin Luther King Jr. di Amerika, E.M. Schumacher di Inggris, Danilo Dolci di Sisilia, Albert Luthuli di Afrika Selatan, Lanza del Vasto di Perancis, dan A.T. Ariyaratna di Srilanka. Isu-isu yang dikembangkan Gandhi mencakup isu-isu seperti politik, ekonomi, spiritualitas dan agama, pendidikan, perempuan, moral-etika, dan sebagainya. Dalam hal ketokohannya, Gandhi bahkan disejejarkan dengan Sokrates, Buddha, dan Jesus, tokoh-tokoh besar yang pernah mengubah dunia. Lebih dari itu, jutaan orang India menyebutnya dengan “mahatma” (great soul). Diantara pemikiran-pemikiran filosofisnya yang paling berpengaruh adalah pandangannya tentang ahimsa (nir-kekerasan; non-violence).
Makalah ini akan memberikan sebuah deskripsi tentang konsep ahimsa dan aplikasinya dalam bidang politik dan kemasyarakatan. Untuk melihat bagaimana konsep ini muncul, kita perlu melihat setting sosial-historis pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya. Hal ini penting karena seperti dikemukakan Michel Foucault, sebuah gagasan selalu berada dalam suatu konteks, tempat dan juga keadaan, dari mana sebuah gagasan itu berasal. Tugas arkeologi pengetahuan adalah melakukan eksplorasi bagaimana proses-proses historis objek-objek pengetahuauan dibangun. Arkeologi melihat kondisi-kondisi memungkinkan bagi kelahiran sebuah ide atau gagasan, termasuk mempertanyakan kesatuan tradisional mengenai “oeuvre”, tulisan dan pengarang, dengan melakukan pengujian terhadap kondisi-kondisi dalam mana “oeuvre” dibangun dan diciptakan (Foucault, 2002).
II. Sketsa Biografis Mahatma Gandhi
Karamchand Mohandas Gandhi dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1869, di wilayah Porbandor, India. Keluarganya berasal dari kasta Bania yang menganut agama Hindu. Ketika Gandhi dilahirkan, India adalah “permata dalam mahkota” (jewel in the crown) kekuasaan orang-orang Inggris. Budaya India dimulai sejak 3000 tahun dan negara tersebut dibagi oleh bilangan-bilangan bahasa, agama dan kasta. Ketika seorang penulis Amerika Mark Twain mengunjungi India satu abad yang lalu, ia menyebut negeri India dengan sebutan "negara seratus bangsa dan seratus bahasa, negara dengan ribuan agama dan dua juta dewa” (the country of a hundred nations and a hundred tongues, of a thousand religions and two million gods) (Leathem, 1999).
Gandhi tumbuh dalam sebuah lingkungan keluarga Hindu tradisional. Ibunya Putili Ba sangat banyak mempengaruhi keyakinan moral, sosial dan agamanya. Keyakinan ibunya adalah sejenis evangelical devotionalism, dalam tradisi bhakti, yang agak dipengaruhi oleh Islam (Smart, 1993: 74). Ayahnya Gandi adalah seorang Dewan (menteri utama) penguasa bangsawan Porbandor. Ini merupakan post tradisional bagi keluarga Gandhi, dimana mereka memiliki harapan yang tinggi agar Mohandas muda akhirnya akan mengambil posisi tersebut. Pada usia 13 tahun, Gandhi menikah dengan Kasturbi, yang juga berusia 13 tahun dan puteri seorang pedagang. Mereka memilik 4 anak selama 12 tahun. Kemudian Gandhi bersumpah untuk tidak melakukan hubungan seksual. Salah satu alasannya adalah didasari pada pencarian kepada spiritualitas yang murni. Sementara alasan lainnya adalah berita kematian ayahnya yang sampai kepadanya ketika ia sedang asyik tidur dengan isterinya. Setelah itu, Gandhi percaya bahwa penebusan dosa perlu dilakukan dengan cara menghindarkan diri dari kenikmatan seksual.
Pada usia 19 tahun keluarganya mengirim Gandhi ke London untuk belajar hukum, dengan harapan agar pendidikan ini akan dapat mempersiapkan Gandhi untuk kemudian menggantikan posisi ayahnya di pemerintahan. Di London, Gandhi menelaah secara intensif karya-karya seorang novelis Russia Leo Tolstoy dan seorang moralis Inggris John Ruskin. Ia juga sering menghadiri pertemuan-pertemuan “Theosophical Society” (masyarakat teosofis) yang mendiskusikan berbagai agama dan filsafat. Dari pembacaan-pembacaan dan keterlibatannya dalam diskusi-diskusi inilah, Gandhi kemudian mulai mengembangkan filsafatnya sendiri: Ahimsa (non-violence) dan Satya (truth). Gandhi mengakui, disamping pembacaan-pembacaan tersebut, ia juga sangat dipengaruhi oleh ide Jainisme tentang ahimsa, disamping tentunya agamanya sendiri, yaitu Hindu (Smart, 1993: 74). Tetapi, Gandhi bukanlah seorang penganut agama Hindu yang konservatif. Ia banyak melakukan inovasi-inovasi dalam keberagamaannya. Di antara Inovasi-inovasi lain yang dilakukan oleh Gandhi adalah penggunaan “kebenaran” (truth) sebagai basis tindakan moral dan politiknya, penyamaan ide nir-kekerasan dengan ide Kristen tentang “cinta yang tulus” (selfless love), perluasan konsep karmayoga yang mencakup pelayanan sosial dan tindakan politik, pendefinisian ulang konsep untouchabiltiy dan evaluasi atas tugas-tugas yang diemban oleh untouchables (orang-orang dari kasta rendah), dan harapan akan hadirnya sebuah dunia yang lebih sempurna bahkan dalam masa kegelapan sekarang ini (Eliade, 1995, V: 483). Apa yang membuatnya berbeda tentang keberagamaannya adalah penekanannya pada “etika sosial” sebagai bagian yang integral dan menyatu dengan keimanannya. Dalam tradisi keberagamaan Islam, mungkin tradisi keberagamaan Gandhi dapat disejajarkan dengan kelompok Islam liberal-moderat (modernis) yang agak longgar dan fleksibel dalam memahami teks-teks keagamaan.
Setelah lulus pada tahun 1893, Gandhi pergi ke Afrika Selatan. Di sana ia menjadi penasihat hukum bagi sekelompok pedagang India dan menetap selama 21 tahun. Afrika Selatan terdiri dari negara-negara di bawah kekuasan Inggris (Natal dan the Cape Colony) dan Belanda (Transvaal dan the Orange Free State). Kebijakan diskriminasi rasial yang dijalankan oleh pemerintah kolonial mendorong Gandhi untuk melakukan aksi satyagraha, atau perlawanan pasif (passive resistance) menentang hukum-hukum yang membatasi kehidupan dan hak-hak orang-orang kulit berwarna (non-whites). Sebagian besar orang India di Afrika Selatan adalah buruh kontrak imigran. Mereka terikat oleh satu employer sampai kontrak-kontrak mereka berakhir. Mereka tidak dapat menikmati kebebasan mereka sendiri, kecuali terbatas pada wilayah-wilayah yang dikuasai Inggris dimana mereka memiliki hak untuk memberikan suara (right to vote).
Gandhi marah dengan batasan-batasan yang dibuat oleh pemerintah kolonial kepada masyarakat India di Afrika Selatan. Mereka dibatasi dalam kepemilikan tanah, tidak dapat pergi setelah jam 9 malam, tidak dapat memberikan suara, dan harus membayar pajak-pajak khusus. Gandhi melakukan perubahan-perubahan tersebut tidak secara konfrontatif. Malahan, ia mengumumkan kepada orang-orang India agar mereka dapat menuntut hak persamaan dengan cara damai.
Kemudian, setelah melakukan perjuangan politiknya yang panjang dengan pandangan-pandangan sosial dan ekonominya yang nampak radikal di wilayah ini, Gandhi meninggalkan Afrika Selatan pada tahun 1914 menuju tanah India. Bagi Gandhi, perjuangan politik di India sangat dekat dengan masalah-masalah ekonomi, sosial dan komunal. Sebagai bentuk perlawanan terhadap barang-barang tekstil yang diimpor dari Inggris, ia mempromosikan pakaian tradisional buatan dalam negeri India kepada rakyat India. Ia juga menyerang konsep untouchability dan menyatakan bahwa untouchables (kasta paling rendah), yang disebut dengan Harijans, adalah “anak Tuhan” (the children of God).
Perjuangan Gandhi berakhir pada tanggal 30 Januari 1948. Dalam perjalanannya untuk sembahyang, Gandhi dibunuh dengan tiga peluru di perut dan dadanya oleh seorang Hindu fanatik yang marah dengan usaha Gandhi untuk merekonsialisasikan orang-orang Hindu dengan orang-orang Muslim ke dalam India merdeka.
III. Gagasan tentang Ahimsa
Kata ahimsa berasal dari bahasa Sanskrit “himsa” dengan awalan “a”. Secara umum, istilah ini diterjemahkan sebagai “nir-kekerasan”. Ahimsa merupakan suatu sifat yang amat khusus dalam agama Hindu. Secara etimologis “himsa” berasal dari kata “hims” yang berarti melukai, merusak, membunuh, mengganggu, dan meretakkan. Ahimsa kemudian diartikan sebagai sebuah penolakan suatu kehendak untuk membunuh atau melukai.
Tindakan “nir-kekerasan” sebenarnya bukan hanya tipikal milik agama Hindu saja. Dalam agama-agama lain, seperti Jainisme, Budhisme, dan Islam, juga terdapat doktrin tentang konsep “nir-kekerasan”. Dalam Budha, misalnya, prinsip “nir-kekerasan” (ahimsa) memproyeksikan sebuah cita-cita perdamaian universal, yang dapat diperluas dengan mecakup ide hati atau pikiran yang damai. Logika Budhisme kenyataannya menempatkan pertama kali adalah pikiran: upaya keagamaan untuk mencapai tatanan dan keharmonisan kosmik berlangsung dalam pikiran (Gomez, 2003).
Dalam Jainisme, “nir-kekerasan” adalah agama yang paling tinggi (ahimsa parmo dharmah). Dalam tradisi agama ini juga, ahimsa merupakan sebuah prinsip yang diajarkan dan dipraktikkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh alam. Ajaran ahimsa tidak hanya menunjuk kepada perang dan tindakan-tindakan kekerasan nyata yang dilakukan oleh fisik, tetapi juga kekerasan dalam hati dan pikiran manusia, hilangnya kepedulian terhadap sesama umat manusia dan dunia alam. Teks-teks Jain klasik menjelaskan bahwa kekerasan tidak diartikan sebagai tindakan bahaya yang aktual, yang mungkin tidak disengaja. Tetapi keinginan untuk membahayakan atau ketiadaan empati atau kasih sayang-lah yang membuat tindakan tersebut menjadi bahaya (violent). Tanpa kekerasan yang dipikirkan, tidak akan ada tindakan kekerasan.
Dalam Al-Quran, misalnya, ada bukti yang cukup signifikan yang melegitimasi tindakan nir-kekerasan. Kekerasan dalam kondisi-kondisi tertentu dapat diperbolehkan, tetapi menahan diri itu lebih disukai Tuhan daripada kekerasan, dan inilah yang disebut dengan hukum cinta. Itulah, dalam bahasa Gandhi disebut dengan satyagraha. Kekerasan adalah konsesi dari kelemahan manusia, Satyagraha adalah sebuah kewajiban. Bahkan dari sudut pandang praktis, cukup mudah untuk melihat bahwa kekerasan tidak mendatangkan manfaat apapun atau membawa sesuatu yang baik, tetapi sebaliknya ia hanya akan mendatangkan bahaya.
Menurut Iyer, pandangan ahimsa Gandhi sejalan dengan Budhisme. Ia mengatakan, “Gandhi, kenyataannya, mengikuti langkah-langkah Budha dalam menunjukkan hubungan antara service of suffering humanity dan proses purifikasi diri” (Iyer, 1973: 49). Albert Schweitzer setuju bahwa Gandhi melanjutkan apa yang telah dimulai Budha. Di Budha, spirit cinta menciptakan kondisi-kondisi spiritual yang berbeda di dunia; di Gandhi, spirit cinta mentransformasikan semua kondisi-kondisi dunia (Schweitzer, 1960: 231). Gandhi mengatakan bahwa Budha adalah guru ahimsa yang terbesar dan “Budha mengajarkan kita untuk menantang segala bentuk penampilan dan kepercayaan dalam kejayaan cinta dan kebenaran” (Gandhi, 1959: 160). Seperti orang-orang Budha, Gandhi percaya bahwa ahimsa tanpa cinta (compassion) adalah sia-sia. Hal ini sama saja dengan emas dalam bentuk mentah tanpa dibentuk secara artistik oleh pengrajin emas, atau akar tanpa adanya pohon yang besar (Navajivan, 1929, 40: 191-2). Ini berarti bahwa bagi Gandhi dan Budhisme, ahimsa adalah sebuah nilai yang harus diterjemahkan dalam konteks etika sosial.
Sebagai elaborasi lebih luas, ahimsa dapat berbentuk negatif dan positif. Secara negatif, ahimsa diartikan sebagai suatu penghindaran untuk melukai atau membunuh apa yang ada dalam dunia ini baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Ahimsa dalam arti positif berarti cinta yang paling besar, bahkan juga mencintai para pelaku kejahatan. Tetapi ini tidak berarti bahwa seorang penganut ahimsa tunduk kepada para pelaku kejahatan. Tetapi sebaliknya, seorang penganut ahimsa harus ikut serta memerangi kekuatan jahat dengan segenap jiwa. Dalam tulisannya pada tahun 1920, Gandhi menegaskan, “Ahimsa does not mean meek submission to the will of the evil-doer, but it means the pitting of one’s whole soul against the will of the tyrant....” (Gandhi, 1959: 160). Menurut Gandhi, kejahatan tidak dapat diatasi dengan kejahatan atau dengan kekerasan, melainkan ia harus dihadapi dengan sikap nir-kekerasan atau dengan cinta.
Bagi Gandhi, ahimsa tidaklah hanya berarti “tanpa kekerasan”, tetapi ia memiliki makna yang lebih tinggi. Gandhi berkata ketika mengartikan ahimsa:
“Kamu tidak boleh melukai perasaan orang lain; kamu tidak boleh melindungi pikiran-pikiran yang tidak baik, bahkan dalam hubungan dengan mereka yang kamu anggap sebagai musuh. Bagi seorang yang mengikuti doktrin ini, tidak ada musuh. Seorang yang percaya dengan efektifitas ajaran ini akan mendapatkannya dalam perkembangan terakhir, ketika ia akan mencapai tujuan tersebut, suluruh dunia ada pada kakinya. Jika kamu menekspresikan cintamu -ahimsa- sedemikian rupa hingga ia membuat musuhmu terkesan, kamu harus kembalikan cinta itu” (dalam http://www.kamat.com/mmgandhi/ahimsa.htm).
Bagi Gandhi, ahimsa bukanlah sebuah tujuan. Yang menjadi tujuan adalah kebenaran. Tetapi kita, menurutnya, tidak memiliki alat atau media untuk mewujudkan kebenaran tersebut kecuali melalui praktik ahimsa. Tanpa ahimsa, tidak mungkin untuk mencari dan mendapatkan kebenaran. Ahimsa dan kebenaran saling berhubungan hingga secara praktis tidak mungkin memisahkan mereka. Ahimsa dan kebenaran ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Singkatnya, ahimsa adalah media atau alat; Kebenaran adalah tujuan. Karena itu, alat harus selalu ada dalam jangkauan kita, dan ahimsa adalah tugas utamanya. Jika kita, kata Gandhi, memperhatikan dan menjaga alat tersebut, kita akan segera mencapai kebenaran. Jika kita memahami poin ini, tegas gandhi, kemenangan akhir pasti akan datang.
Implikasi sosial dari penerapan konsep ahimsa adalah menahan diri untuk tidak menerobos batasan-batasan. Misalnya, makanan yang dapat dimakan adalah makanan yang dipersiapkan tanpa harus mengambil kehidupan makhluk lainnya. Karena itu, memakan daging menjadi suatu yang harus dihindarkan karena berkaitan dengan pengambilan kehidupan binatang. Bahkan dalam pengertian yang lebih ekstrem, tumbuh-tumbuhan atau tanaman-tanaman yang ditanam kemudian dipotong dan dirusak untuk dijadikan makanan juga tidak diperkenankan. Konsep ini pada gilirannya akan membawa seseorang menjadi vegetarian. Diet yang ideal adalah hanya makan buah-buahan yang jatuh secara alami dari pohon.
Konsep ‘tidak ada pelukaan’ atau ‘nir-kekerasan’ yang dikombinasikan dengan kontrol terhadap diri sendiri (self-control) dan penahanan diri (self-restraint) mengandung banyak pengembangan. Ia kemudian menjadi ide etika sentral dalam filsafat-filsafat dan agama-agama India. Bahkan di dalam sebagian masyarakat, ahimsa dipercayai sebagai suatu doktrin penting yang harus diajarkan dan dipraktikan dalam kehidupan.
IV. Aplikasi Ahimsa dalam Bidang Sosial dan Politik
Menurut Gandhi, ahimsa haruslah dipraktikkan pertama kali di rumah. Karena ia ibarat sebuah derma atau sedekah yang harus diberikan pertama kali dalam lingkungan keluarganya. Ahimsa, disamping mengandung muatan kebajikan yang bersifat personal (personal virtue), ia juga merupakan nilai yang bersifat sosial (social virtue). Dari asumsi inilah, maka ahimsa juga harus dipraktikan dalam wilayah publik. Katanya,
non-violence is not a cloistured virtue to be practiced by the individual for his peace and final salvation, but it is a rule of conduct for society if it is to live consistently with human dignity and make progress towards the attainment of peace for which it has been yearning for ages past (Gandhi, dalam http://www. mkgandhi.org/momgbook/index.htm).
Dalam tataran sosial dan politik, sikap ahimsa ini merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menghilangkan berbagai ketegangan yang ada dalam masyarakat. Tanpa ini, suatu masyarakat akan berujung kepada kehancuran. Gandhi percaya bahwa suatu negara akan dapat diatur apabila didasarkan kepada faham ahimsa. Di dalam negara dimana prinsip ini diterapkan, kehendak umum diungkapkan dengan cara tidak adanya segala bentuk paksaan, sehingga Gandhi berpikir bahwa di dalam masyarakat tersebut, tidak ada eksploitasi manusia atas manusia lain dan masalah pengangguran otomatis akan terpecahkan. Pengangguran jelas merupakan hasil dari ketimpangan ekonomi dalam bentuk distribusi yang tidak merata. Sistem pemerintahan yang menerapkan konsep ahimsa jelas tidak akan terwujud jika masih terdapat gap antara the haves dan the have-nots. Suatu revolusi berdarah dan memakan korban akan merupakan suatu bom waktu yang akan meledak setiap saat apabila kesenjangan tersebut tidak diatasi.
Dalam sebuah masyarakat “nir-kekerasan”, ada pertentangan yang mendasar antara demokrasi dan militerisme. Seorang demokrat tidak akan unjuk gigi dengan kekuatan senjata atau militer, tetapi lebih mengandalkan kekuatan moral (moral force). Demokrasi tidak akan dapat survive kecuali jika semangat untuk mempertahankan faham ahimsa ini tetap membara.
Gandhi sadar bahwa untuk menerapkan konsep ini tidaklah mudah, tetapi non-violence state, non-violence society dan demokrasi “nir-kekerasan” merupakan standar penilaian dan stimulus untuk merubah situasi yang ada. Gandhi mengakui bahwa pemerintah tidak akan memerintah tanpa seperangkat undang-undangan. Tetapi, unsur paksaan dalam perundang-undangan akan semakin dapat dikurangi dalam masyarakat demokratis. Gandhi jelas menentang peperangan serta setiap bentuk kekerasan. Tetapi itu tidak berarti bahwa faham ahimsa melarang orang untuk tidak bertempur melawan musuh. Kendati demikian, musuh utama seorang ahimsis berada dalam dirinya sendiri.
Ahimsa adalah satu-satunya norma susila yang diakui oleh masyarakat, alat yang sah, aman dan bermanfaat dalam jangka waktu yang panjang. Ahimsa merupakan kebutuhan yang sangat penting dan harus segera dipenuhi. Kendati demikian, ahimsa bukan merupakan kebutuhan yang final. Gandhi mengakui selama manusia menjadi makhluk sosial, maka disadari atau tidak ia akan selalu ambil bagian dalam kekerasan. Karena itu, mereka perlu dilatih seni “nir-kekerasan”, misalnya mereka harus selalu melalui hari-hari mereka tanpa tidur nyenyak dan mengalami banyak siksaan mental sebelum mencapai kerendahan hati; harus menanamkan kebiasaan kerja keras yang tiada henti-hentinya; kewaspadaan serta kontrol diri secara terus menerus. Orang seperti ini, menurut Gandhi, tidak akan mudah menyerah kepada keinginan jahat tetapi dengan sepenuh hati akan melawan keinginan seorang tiran. Kendati demikian, Gandhi juga mengakui bahwa memang sulit menjadikan masyarakat luas menjadi masyarakat “nir-kekerasan” dalam pengertian yang agung, tetapi ia yakin bahwa sekumpulan orang yang cerdas dan jujur akan dapat dibentuk dan dilatih dalam suasana nir-kekerasan.
V. Catatan Akhir
Pikiran-pikiran filosofis-moral Gandhi timbul sebagai pergumulan dari situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang melingkup diri dan masyarakatnya, ketika ia berada di Afrika Selatan dan India, seperti ketidakadilan yang dialami oleh kelompok kasta rendah, kolonialisme Barat, ketimpangan ekonomi dan politik, dan sebagainya. Dari pergumulan dan pembacaan terhadap realitas ini, Gandhi mengembangkan faham ahimsa yang sebenarnya telah ada konsep-konsep dasarnya dalam beberapa agama.
Kendati demikian, apabila dicermati secara lebih mendalam, faham ahimsa yang dikembangkan Gandhi terlalu utopis. Terutama apabila konsep ini diterapkan dalam wilayah politik. Karena itu, bagi sekelompok realis politik, tindakan ahimsa Gandhi tidak dapat mewujudkan kekuasaan politik yang efektif, dan karenanya tidak relevan untuk para politisi praktis.
VI. Bibliografi
Eliade, Mircea, 1995, The Encyclopedia of Religion, Vol. 5, New York: Simon & Schuster Macmillan
Foucault, Michel, 2002, The Archeology of Knowledge, diterjemahkan oleh Mochtar Zoerni, Arkeologi Pengetahuan, cet.1, Yogyakarta: Qalam
Gandhi, Mahatma, The Gospel of Non-violence, diakses pada http://www. mkgandhi.org/momgbook/index.htm
---------, 1959, The Collected Works of Mahatma Gandhi, New Delhi: Government of India Publication, Jilid 40
---------, Application of Non-violence, dapat diakses pada http://www. mkgandhi.org/momgbook/index.htm
Iyer, Raghavan, 1973, The Moral and Political Thought of Mahatma Gandhi, Oxford: Oxford University Press
Leathem, Rebecca, “Mahatma Gandhi,” Business Asia, 15 Februari 1999, diakses pada http://www.findarticles.com
Luis O. Gómez, Nonviolence and the Self in Early Buddhism, diakses pada http://www.algonet.se/~jviklund/gandhi/ENG.NV.ahimsa.html
Schweitzer, Albert, 1960, Indian Thought and Its Development, terjemahan Mrs. Russel E. B. Russell, Bombay: Wilco Publishing House
Smart, Ninian, 1993, Religions of Asia, New Jersey: Prentice Hall
“The Jain Teachings of Ahimsa”, diakses pada tanggal 27 September 2003 di http://www.wizard.net/~ethan/JainTeachings.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar