KONTROVERSI AKHBÂRÎ-USHÛLÎ
Dalam TRADISI PEMIKIRAN SYΑah IMÂmiyyah
Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc*
Abstract:
This paper deals with the controversy that occurs between Akhbârî and Ushûlî within Syî’ah Imâmiyyah’s thought. The controversy lies on the legal methodology employed in understanding the will of God after the great occultation of the twelfth Imam. Akhbâri, which is literalist in nature, tends to absolutely get rid of reason as a means of deriving Islamic laws, while insists on revelation and akhbâr of the Imams. They strictly hold that Shi’ites must absolutely follow such twelve imams, since it is only they who are able to accurately interpret the Quran. On the other hand, Ushûlî allow the use of ijtihâd (legal reasoning) into a great deal in making legal decisions, and also argue that a Shi’ite must abide by mujtahid (legal experts), as well as the Imams. Therefore, they can come up with vital concepts in a religious life of Shi’ites nowadays, such as marja’ al-taqlîd and wilâyat al-faqîh.
Kata Kunci: Gerakan sosial, Syî’ah Imâmiyyah, Akhbârî, Ushûlî, marja’ al-taqlîd, wilâyat al-faqîh
I. Pendahuluan
Wafatnya Nabi ternyata menciptakan satu kondisi yang memilukan dalam sejarah perpolitikan umat Islam. Bahwa siapa yang menggantikan beliau dalam mengatur urusan umat yang baru tumbuh menjadi sebuah negara ini adalah satu pertanyaan yang menciptakan perpecahan dalam tubuh komunitas. Satu kelompok mengklaim bahwa hak tersebut berada pada pihak ‘Alî b. Abî Thâlib dan keluarganya, dengan alasan adanya isyarat Nabi tentang masalah ini pada peristiwa Ghâdir Khumm. Mereka ini kemudian disebut sebagai Syî’ah ‘Alî. Kelompok lain, yang direpresentasikan oleh Sunnî, beranggapan tidak adanya ketentuan dari Nabi, dan itu diserahkan kepada ijtihad umat. Dalam sejarah Sunnî, para khalifah seperti Abû Bakr, ‘Umar, Utsmân dan ‘Alî yang dikenal sebagai khulafâ’ rasyidûn adalah absah dan bahkan merupakan tipe ideal kepemimpian dalam sejarah politik kenegaraan Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Syî‘ah terpecah ke dalam beberapa sekte seperti di antaranya, Zaydiyyah,[1] Ismâ‘îliyyah,[2] dan Imâmiyyah. Namun diantara sekte-sekte tersebut hanya sekte Imâmiyyah (Duabelas Imam) yang lebih mendapatkan pengaruh yang luas dan masih tetap eksis di sebagian dunia muslim, terutama di Iran, yang menjadikan sekte ini sebagai mazhab resmi negara. Syî’ah Imâmiyyah (Duabelas Imam) ini, menurut pengakuan Watt,[3] mengambil bentuknya yang pasti antara tahun 874 dan 920, karena diasumsikan tidak mungkin ada bentuk Syî’ah ini kecuali setelah wafatnya Imam ke-11 dan menghilangnya Imam ke-12.
Seperti di dunia Islam Sunnî, dalam Syî’ah Imâmiyyah juga terdapat polarisasi dalam pemikiran hukum yang terbagi ke dalam dua kecenderungan metodologis: Akhbârî, yang dikenal sebagai kelompok literalis-konservatif, dan Ushûlî yang dikenal sebagai kelompok pengguna nalar dalam menciptakan produk-produk hukum. Apakah polarisasi itu terjadi karena semata-mata problem ideologis, atau perbedaan dalam pemahaman terhadap teks-teks hukum, atau karena alasan pragmatis-utilitarian? Untuk itu, pertanyaannya difokuskan pada hal-hal berikut ini: Secara historis, kapan kedua tren pemikiran ini muncul? Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab di balik kemunculannya itu? Aspek-aspek apa saja yang menjadikan kedua tren pemikiran ini menjadi berbeda? Dan dimana letak akar kontroversi antara kedua tren ini? Makalah ini mencoba menelusurinya dengan menggunakan logika dan pendekatan sejarah.
Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut, penulis terlebih dahulu mencoba menganalisis dan meletakkan kelompok Syî’ah dalam kerangka gerakan sosial (social movement), yang dalam diskursus ilmu sosial biasanya dibahas dalam dua paradigma. Paradigma pertama dikemukakan oleh Ralph Turner dan Lewis Killian,[4] yang membagi gerakan sosial ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah gerakan yang berorientasi nilai (value-oriented movement), yang dalam gerakan ini para anggotanya memiliki suatu komitmen terhadap prinsip menolak segala bentuk kompromi demi suatu tujuan yang dicita-citakan. Kategori kedua adalah gerakan yang berorientasi kekuasaan (power-oriented movement), yang tujuan utamanya adalah perolehan kekuasaan, status dan pengakuan bagi para anggota dari gerakan tersebut. Satu dogma dari gerakan ini adalah asumsi bahwa hanya dengan menguasai kekuatan ekonomi dan politik, mereka dapat menghilangkan sesuatu yang mereka anggap sebagai kejahatan dalam masyarakat. Kategori ketiga adalah gerakan yang berorientasi pada partisipasi (participation-oriented movement) yang bisa mengambil bentuk, seperti gerakan reformasi fasif (passive-reform movement) yang hanya menyuarakan adanya kekurangan dalam masyarakat, tetapi tidak berusaha secara aktif untuk menghilangkan kekurangan tersebut, atau, dengan gerakan status personal (personal-status movement) yang menganjurkan pendefinisian kembali terhadap sistem status yang ada. Dengan pendefinisian tersebut diharapkan status mereka akan dapat terangkat.
Paradigma kedua dikemukakan oleh David Aberle dalam bukunya The Peyote Religion Among the Navaho (1966). Aberle membagi gerakan sosial ke dalam gerakan: transformative, reformative, redemptive dan alternative.[5] Gerakan pertama, transformative movement, adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan secara total bagi individu atau masyarakat. Perubahan yang dikehendaki adalah perubahan yang menyeluruh, yang biasanya mencakup kekerasan dan perusakan. Reformative movement biasanya dilakukan untuk menghilangkan kekurangan-kekurangan dalam sebuah sistem sosial yang ada, tetapi tidak menghancurkan struktur mendasar dari sistem tersebut. Redemptive movement merupakan sebuah gerakan yang memusatkan pada perubahan individual ketimbang perubahan institusional. Terakhir, alternative movement berusaha menghilangkan tingkah laku individual secara parsial. Gerakan ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, namun bisa menjadi lebih baik melalui penghilangan karakter atau kebiasaan tertentu.
Muncul dan menguatnya sebuah gerakan sosial sangat bergantung pada faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri (internal) dan juga di luar dirinya (eksternal) seperti kondisi sosial, budaya dan politik. Namun, di antara faktor-faktor tersebut ada pula satu faktor yang perlu diberikan penekanan, yaitu figur kharismatik yang menjadi poros menguatnya sebuah gerakan atau mazhab. Kata “kharisma” didefinisikan Weber sebagai “kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supranatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu, individu yang besangkutan diperlakukan sebagai pemimpin”. Kharisma dipandang Weber sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuat dirinya berbeda.
Institusionalisasi kharisma, dalam pandangan Weber, dapat diperoleh melalui beberapa cara, seperti melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Jika dikaitkan dengan Syî‘ah, adalah jelas bahwa kharisma merupakan bagian yang melekat dalam keyakinan mereka tentang Imâmah ‘Alî dan juga anak keturunannya (dua belas imam). Dan, kharisma ‘Alî dan para Imam ini diperoleh tidak hanya dengan cara-cara seperti yang disebutkan di atas, namun juga melalui ilmu pengetahuan mereka yang mendalam dan sikap zuhud dan wara’ mereka yang begitu tinggi. Karenanya, pernyataan-pernyataan mereka dipercayai “benar” dan dipatuhi, karena mereka dipercaya “dibimbing oleh Tuhan” dan terbebas dari dosa dan kesalahan (maksum). Petunjuk ilahi tentang otoritas mereka, keturunan, kedalaman ilmu pengetahuan, dan kesalehan para Imam menjadi dasar bagi “poros otoritas” (the axis of authority) yang kuat bagi mazhab Syî‘ah.
Wael B. Hallaq menegaskan bahwa menguat dan langgengnya empat mazhab fikih Sunnî tidak terlepas dari “poros otoritas” ini. Poros otoritas ini, menurut Hallaq,[6] adalah tokoh yang dikenal sebagai pendiri, seorang faqîh terkemuka, yang dalam namanya prinsip-prinsip kumulatif dan kolektif dari mazhab itu ditawarkan. Pendiri mazhab ini disebut Imam, yang menempa metodologi yang khas buat mazhabnya sendiri, dan tentu saja, pengetahuannya dalam semua bangunan ilmu keislaman harus menyeluruh. Kemudian, nama mazhab dinisbatkan kepada namanya. Dari fakta ini, pembangunan poros otoritas itu bukan hal yang mudah, dan karenanya, banyak mazhab yang punah karena poros otoritasnya tidak begitu kuat.
Munculnya aliran Syî‘ah dibangun dari sebuah konsep “poros otoritas” yang didukung dengan adanya “putunjuk Tuhan” kepadanya dan kharisma yang melekat pada dirinya. Keyakinan dan keterikatan kepadanya menjadi menguat, sehingga perkataan-perkataannya menjadi mengikat kepada umat, karena mereka dianggap representasi dari Tuhan. Keyakinan ini menguat melalui proses, yang disebut oleh Antonio Gramsci, dengan “hegemoni”. Hegemoni terjadi melalui indoktrinasi, dan kemudian ini menguat dalam kesadaran sehingga apa yang telah dirumuskan menjadi diterima secara a priori.
Namun begitu, kata Hallaq, poros otoritas mazhab bukan perkara mudah untuk dibangun. Ini menentukan suatu aliran bisa eksis atau menurun pengaruhnya, untuk tidak mengatakan punah. Semakin kuat poros otoritas dan upaya para murid dan pengikutnya untuk memperluas doktrin mazhab, maka penyebaran akan semakin kuat, selain tentunya dibantu oleh faktor politik. Menurut Hallaq, salah satu yang menentukan suatu aliran bisa bertahan atau menyebar secara meluas adalah ketika mazhab itu mampu melakukan “Sintesa Besar” (Great Synthesis) antara tradisionalisme dan rasionalisme, atau antara teks dan rasio. Kedua ranah ini memang dalam perjalanan sejarahnya seringkali mengalami konflik dan ketegangan seperti yang disinyalir oleh Coulson.[7] Dan bahkan, perjalanan hukum Islam itu sendiri merupakan perseteruan antara akal dan wahyu. Perseteruan ini bisa direfleksikan dalam perseteruan yang terjadi antara ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y dalam sejarah ushûl al-fiqh Sunnî. Pada gilirannya, dari perseteruan ini akan muncul posisi menengah yang melakukan sintesis antara wahyu dan rasio, terutama dalam ushûl al-fiqh, seperti yang dimotori seorang ahli fikih Syâfi‘iyyah, Ibn Surayj dari halaqah Baghdad.
II. Syî‘ah Imāmiyyah: Kemunculan dan Perkembangan
Seperti pernyataan Watt, Syî‘ah Imâmiyyah (Duabelas Imam) mengambil bentuknya yang pasti antara tahun 874 dan 920, karena menurut asumsinya, tidak mungkin ada sekte Syî‘ah ini kecuali setelah wafatnya Imam ke-11 dan menghilangnya Imam ke-12 (ghaybah). Dalam keyakinan mereka, Hasan b. ‘Alî al-‘Askarî (Imam ke-11) mempunyai seorang anak bernama Muhammad yang bersembunyi dari kebencian dan permusuhan khalifah al-Mu‘tamid (w. 287/923). Setelah wafat ayahnya, Muhammad yang baru berusia lima tahun ini menjadi Imam dan berkomunikasi dengan pengikutnya yang setia melalui serangkaian wakil/dutanya.[8] Periode ini berlangsung selama 70 tahun dan dikenal sebagai “Kegaiban Kecil” (al-ghaybah al-sughrâ).[9] Karya-karya Imâmiyyah awal menyebutkan tiga alasan dibalik bersembunyinya Imam ke-12: [10]
a. Al-Shâdiq diriwayatkan pernah mengatakan bahwa al-Qâ’im akan bersembunyi sebelum ia muncul lagi karena khawatir akan dibunuh.
b. Menurut al-Hasan dan al-Ridhâ, alasan kedua adalah bahwa Imam ke-12 diriwayatkan telah menginformasikan kepada pengikutnya Ishâq b. Ya‘qûb bahwa semua kakeknya telah memberikan baiat kepada para penguasa yang zalim, namun ia menyembunyikan dirinya agar bisa muncul melawan permusuhan tersebut, dan tidak menyatakan baiat kepada penguasa yang zalim itu.
c. Al-Kulaynî menyebutkan alasan ketiga bahwa ghaybah merupakan ujian yang dibuat Allah untuk makhluk-Nya agar bisa melihat siapa yang akan tetap loyal dan setia mengakui keimaman Imam ke-12.
Dengan kematian duta terakhirnya, Imam memasuki fase “Kegaiban Besar” (al-ghaybah al-kubrâ) pada tahun 329/939.[11] Peristiwa ini kemudian menciptakan kevakuman yang serius dalam kepemimpinan Syî‘ah Imâmiyyah. Situasi ini menyebabkan para fuqahâ’ Imâmiyyah memperluas aktivitas-aktivitas mereka. Mereka sepakat jika Imam ke-12 masih hidup dan akan muncul pada masa nantinya. Namun, dalam realitasnya mereka membutuhkan seorang pemimpin untuk menyelamatkan jemaat dari disintegrasi yang mungkin terjadi, dan tidak ada seorang pun yang mengambil tugas ini kecuali diri mereka sendiri. Pada seperempat abad ke-4/10, orang-orang Syî‘ah Imâmiyyah menerima pernyataan-pernyataan fuqahâ’ sebagai pernyataan-pernyataan aktual dari Imam ke-12, namun tidak menganggap otoritas mereka sama dengan otoritasnya. Dengan kata lain, para fuqahâ’ dianggap sebagai juru bicara para Imam berkenaan dengan doktrin Islam dan hukum. Namun mereka ini tidak memimpin jabatan Imâmah karena, dalam asumsi mereka, tidaklah mungkin memegang jabatan Imam sebelum munculnya Imam Mahdî.[12]
Karena alasan ini, para pemimpin Imâmiyyah terkemuka, seperti al-Mufîd dan al-Thûsī, menolak memberikan setengah dari bagian khums yang telah disediakan buat Imam kepada diri mereka sendiri. Al-Mufîd beranggapan bahwa pengikut setia yang ingin memberikan bagian Imam seharusnya meninggalkannya untuk sementara waktu atau menyembunyikannya di tempat yang aman atau menguburkannya. Jika ia meninggal, ia harus mengalihkannya kepada orang terpercaya agar bisa diberikan kepada Imam nantinya ketika ia muncul nanti. Setengah dari bagian khums lainnya, harus dibagi ke dalam tiga bagian dan diberikan secara sama kepada anggota keluarga Nabi yang membutuhkan, seperti anak-anak yatim, orang miskin, dan ibn al-sabīl.[13]
Setelah masa Kegaiban Besar muncul dua orang fuqahâ’ Syî‘ah yang terkenal. Yang pertama adalah Ibn ‘Aqîl al-‘Umânî (Hasan b. ‘Alî, pada paruh pertama abad ke-4), yang menyempurnakan fikih Syî‘ah, menggunakan sebagian pendapat yang baru, memisahkan bahasan-bahasan tentang ushûl dari furû‘ dan mendasari metode-metodenya pada prinsip-prinsip ushûl al-fiqh, yang ditolak oleh para fuqahâ’ Imâmiyyah. Ia adalah orang pertama yang menggunakan ushûl al-fiqh dan melakukan penalaran intelektual. Setelah itu, Ibn Junayd al-Iskâfî (Abû ‘Alî Muhammad b. Ahmad b. Junayd, w. 381/991) melanjutkan metode ini. Ia menulis beberapa buku seperti di antaranya, Mukhtashar al-Ahmadī, Tahdzîb al-Shî‘î, dan al-Asfâr. Namun, buku-bukunya tersebut ditinggalkan banyak orang Syî‘ah kala itu karena ia menggunakan qiyâs dalam penalarannya.[14] Kedua tokoh ini disebut sebagai qadîmayn pada abad ke-4/10.
Singkatnya, dalam perjalanan fikih Syî‘ah Imâmiyyah, konflik dan ketegangan antara kecenderungan ijtihâd syar‘î dan ijtihâd ‘aqlî terjadi, sebagaimana juga terjadi dalam tradisi pemikiran fikih Sunnî. Bahasan berikut akan memfokuskan pada tren-tren tersebut yang, dalam tradisi pemikiran Syî‘ah Imâmiyyah, terbagi ke dalam dua kecenderungan metodologis yang dominan, yaitu Akhbârî dan Ushûlî.
III. Akhbârî: Sejarah dan Epistemologi Hukum
Akhbârî merupakan sebuah gerakan keagamaan dalam Syî‘ah Imâmiyyah yang merupakan oposisi terhadap kelompok Ushûlî.[15] Kata Akhbârî berasal dari kata khabar (plural: akhbâr) yang berarti riwayat/hadis para Imam yang dianggap maksum.[16] Benih-benih kecenderungan akhbârî ini sebenarnya sudah ada pada masa Kegaiban Kecil, yang direpresentasikan para fuqahâ’ Imâmiyyah seperti al-Kulaynî[17] (w. 329/941) dan Ibn Bâbûya[18] (w. 381/991). Kedua tokoh ini dikenal sebagai ulama Akhbârî klasik yang menerima secara tidak kritis otoritas tradisi dalam ilmu agama.[19]
Meskipun benihnya sudah ada pada abad ke-4/10, namun gerakan Akhbârî mengkristal di bawah payung tulisan-tulisan Muhammad Amîn Astarabâdî (w. 1624), dan sangat berpengaruh pada abad ke-18, terutama pada masa-masa akhir dan pasca periode Shafawi. Setelah jatuhnya dinasti Shafawi pada tahun 1722, aliran Akhbârî menjadi ortodoksi yang berkuasa. Tokoh berpengaruh dari aliran ini, Astarabâdî, dengan sengit menyerang aliran Syî‘ah mujtahidî-ushûlî yang membolehkan penalaran hukum berdasarkan spesialisasi teknis, dan menuduh aliran ini sebagai bid‘ah. Ia menolak ajaran sebagian besar faqîh setelah abad ke-10, yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum yang mereka akui, seperti qiyâs, merupakan peminjaman dari yurisprudensi Sunnî. Namun kemudian pengaruh Akhbârî bisa dihancurkan oleh para mujtahid Ushûlî pada akhir era dinasti Qajar.
Pada abad ke-11/17, tokoh Akhbârî yang terkemuka adalah Muhammad Taqiyy al-Majlisî (w. 1660) dan Mullah Muhsin Faydh Kâsyânî (w. 1680), yang keduanya memadukan kecenderungan sufi dengan tradisionalisme ketat dalam mazhab hukum mereka; al-Hurr al-‘Âmilî (1624-1693) dan Sayyid Ni‘mat Allâh al-Jazâ’irî. Pada abad ke-18, para ulama Akhbârî, khususnya di Bahrain, hampir sepenuhnya mendominasi ‘Atabat, kota-kota suci Irak, yang merupakan pusat penting pengajaran Syî‘ah di Iran setelah runtuhnya Dinasti Shafawiyyah (1501-1722).[20]
Dalam pandangan Akhbârî, yang menjadi sumber hukum adalah Alquran, Sunnah Nabi dan akhbâr para Imam. Nalar (‘aql) tidak mendapatkan tempat dalam tradisi pemikiran Akhbârî. Dan penggunaan nalar (ijtihad) dalam penerapan hukum kepada situasi yang khusus meskipun dalam masa kegaiban Imam ke-12 pun tidak diperbolehkan. Sebaliknya, aliran ini bersikukuh bahwa orang-orang Syî‘ah harus taklid kepada 12 Imam, karena hanya para Imam yang maksum saja yang dipercaya bisa memberikan tafsiran-tafsiran yang benar terhadap Alquran itu sendiri. Mereka melarang taklid kepada siapa pun yang tidak maksum, dan menegaskan bahwa semua orang Syî‘ah mesti taklid kepada para Imam.[21] Ini mengandung pengertian bahwa mereka mendukung kemampuan semua orang beriman untuk menafsirkan tradisi-tradisi para Imam.[22]
Dari fakta bahwa Imam adalah penafsir Alquran dan Sunnah Nabi yang maksum, maka menurut Astarâbâdî, akhbâr menjadi sumber terpenting yang tunggal, yang harus lebih didahulukan daripada makna lahiriyah Alquran dan hadis Nabi.[23] Dibolehkannya tindakan tertentu dilakukan bergantung pada riwayat Imam yang membolehkannya. Ketiadaan hadis menyebabkan tindakan tersebut meragukan dan lebih baik tidak dikerjakan. Ketergantungan yang kuat terhadap akhbâr berakibat dibaginya semua hadis Imam menjadi: yang shahîh (kuat) dan yang dha‘îf (lemah).[24]
Pandangan mereka tentang tidak bolehnya bersandar pada pemahaman akal dalam penetapan hukum syariat bisa ditafsirkan dalam tiga hal dengan ungkapan yang berbeda-beda:
a. Mengingkari pemahaman akal terhadap baik dan buruk.
b. Mengingkari keterlekatan antara akal dan hukum syariat.
c. Mengingkari kewajiban mematuhi hukum syariat yang ditetapkan melalui akal. Sasarannya adalah mengingkari otoritas akal.[25]
Mengapa mereka mengingkari akal sebagai penetap hukum atau menolak ijtihad? Jawabannya sederhana bahwa akal tidak membawa kepada pemahaman yang pasti tentang agama. Menurut mereka,
Ijtihad, yang mengantarkan kepada zhann (pendapat yang mungkin, sebagai lawan dari kepastian) dan taklid, yaitu mengikuti pendapat-pendapat seorang mujtahid, adalah dilarang. Setiap mukmin mesti mengikuti akhbâr para Imam karena pemahamannya yang tepat tidak hanya pengetahuan tentang bahasa Arab dan terminologi khusus dari para Imam dibutuhkan. Jika konflik yang tampak antara dua tradisi tidak bisa dipecahkan oleh metode-metode yang telah diberikan para Imam, maka tawaqquf (tidak memberikan satu putusan) adalah wajib.[26]
Dalam realitas sosial politik, kelompok Akhbârî ini tidak mengembangkan kontrol politik. Anggapan mereka adalah bahwa para ulama mesti memberikan nasehat kepada para pemimpin politik, namun bukan mengatur mereka. Pemahaman yang literalis dan konservatif dan penolakan terhadap peran akal dalam penetapan hukum membuat kaum Akhbârî menjadi kelompok minoritas yang ditinggalkan banyak orang. Kelompok ini pada masa sekarang bisa ditemukan di wilayah-wilayah seperti Irak, Iran, Bahrain, Pakistan, dan wilayah-wilayah non-Arab lainnya.
IV. Ushûlī: Sejarah Sosial dan Epistemologi Hukum
Ushûlî merupakan sebuah gerakan keagamaan yang merupakan lawan Akhbârî.[27] Kata “ushûlî” sendiri berakar dari istilah ushûl al-fiqh yang mempunyai kecenderungan dan wawasan yang lebih liberal ketimbang Akhbârî. Benih kecenderungan ushûlî awal dapat ditemukan pada abad ke-4/10 pada fuqahâ’ seperti Ibn Junayd al-Iskâfî dan Ibn Abî ‘Aqîl al-‘Umânî. Kelompok Ushûlî membolehkan penggunaan ijtihad yang lebih luas dalam memproduksi putusan-putusan hukum, dan beranggapan bahwa seorang mesti mematuhi mujtahid dan juga para Imam. Pusat keagamaan Iran di Qum merupakan fokus Syî‘ah Ushûlî. Dan, dari tahun 1760-an aliran Ushûlî mulai menguasai pusat-pusat Syî‘ah yang strategis seperti Najaf dan Karbala di Irak. Dengan berdirinya dinasti Qajar pada tahun 1785, ulama Ushûlî muncul sebagai sebuah kekuatan yang diperhitungkan di seluruh Iran, dengan kepemimpinan yang memancar dari ‘Atabat (Karbala dan Najaf di Irak).
Pada abad ke-11, kecenderungan Ushûlî diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Syarîf al-Murtadhâ (w. 1044) dan Abû Ja‘far Muhammad b. Hasan al-Thûsî (w. 1067), yang berguru kepada seorang faqîh Imâmiyyah terkenal, Syaikh al-Mufîd (w. 1022).[28] Syaikh al-Mufîd ini merupakan seorang penyusun kitab ushûl al-fiqh pertama dalam mazhab Syî‘ah, yaitu al-Tadzkirah fî Ushûl al-Fiqh.[29] Namun, menariknya Syaikh al-Mufîd ini, seperti dikatakan Arjomand,[30] menolak taklid, yang dalam pandangan Ushûlî malah diharuskan terutama bagi orang-orang awam. Namun, muridnya, Syarîf Murtadhâ yang menghancurkan pandangan tradisional itu dan menjustifikasi kebolehan dan perlunya taklid bagi orang-orang awam kepada mujtahid demi mencari nasehat. Alasannya, karena yang orang-orang awam tidak mempunyai pengetahuan yang dibutuhkan, bukan karena mujtahid mempunyai pengetahuan itu.[31] Syarîf Murtadhâ ini juga mengembangkan disiplin ilmu ushûl al-fiqh setelah al-Mufîd dan menulis kitab al-Dzarî‘ah ilâ Ushûl al-Syarî‘ah.[32]
Beberapa abad kemudian, pandangan Murtadhâ ini diikuti oleh al-‘Allâmah al-Hillî (w. 1325). Ia juga menjustifikasi kebolehan taklid dengan pertimbangan praktis, karena orang awam tidak mempunyai waktu yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan demi menentukan perilaku yang benar secara etis dan ritual sehubungan dengan peristiwa-peristiwa baru. Ia menegaskan kembali kebolehan taklid dalam masalah-masalah furû‘. Sebagaimana Murtadhâ, ‘Allâmah lebih peduli pada penguatan kebolehan taklid ketimbang membuat penegasan yang empatik tentang kewajibannya sebagai kewajiban etis.[33]
Meskipun diakui bahwa para fuqahâ’ Syî‘ah telah mempraktikkan ijtihad, namun penerimaan terhadapnya oleh Imâmiyyah datang kemudian, terutama ketika ‘Allâmah al-Hillî menerimanya secara eksplisit. Penerimaan ijtihad oleh ‘Allâmah ini menjadi langkah yang sangat penting dalam meningkatkan otoritas hukum para ulama. Yang lebih penting lagi, ia menghubungkan ijtihad dengan kompetensi yang terkait dengan masalah-masalah dan bidang-bidang khusus, dan tidak membatasinya kepada ijtihad mutlak.
Langkah penting berikutnya adalah pada masa Shafawî, yang diambil oleh Ardabilî (w. 1585) dan Al-Karakî (w. 1534). Al-Karakî, misalnya, menentang kebolehan mengikuti mujtahid yang sudah meninggal. Dalam pemikiran ini, tampak bahwa para teolog-fuqahâ’ Syî‘ah sedang berada dalam proses peletakkan fondasi otoritas hirokratis (dewan ulama) dalam menghadapi tradisi Syî‘ah yang berlawanan. Meskipun demikian, penghubungan yang tegas antara taklid dan ijtihad, dan munculnya gagasan ijtihad mutlak, yang menempatkan otoritas hirokratis (dewan ulama) secara jelas dalam figur seorang mujtahid adalah penting dan menjadi indikasi bagi arah perkembangan berikutnya. Ardabilî bahkan memasukkan doktrin taklid dan ijtihad dalam kewajiban-kewajiban etis “amar ma‘rûf nahy munkar”. Dari sini, orang awam mesti berbuat menurut putusan seorang mujtahid ketika putusan itu telah dikeluarkan.
Kejayaan Ushûlî pada abad ke-18 dan 19 mulai memiliki signifikansi khusus, terutama ketika tokoh penting pendukung aliran Ushûlî, Muhammad Bâqir Bihbahânî (1705-91), yang menetap di ‘Atabat, kota suci Syî‘ah di Irak, melawan dominasi Akhbârî yang kala itu mendominasi kota-kota suci di Irak. Ia dan para muridnya berhasil meyakinkan sebagian besar kolega mereka di Irak dan Iran untuk meninggalkan aliran Akhbārī. Setelah itu, kecenderungan metodologis Ushûlî mendominasi nyaris seluruh wilayah yang bermazhab Syî‘ah Imāmiyyah, bahkan hingga saat ini. Mengenai tokoh-tokoh penting yang mempunyai kecenderungan Ushûlî dari setelah masa Kegaiban Kecil hingga abad berikutnya, lihat pada bagan berikut.
Bagan 1. Tokoh-tokoh berkecenderungan Ushûlî dalam Syî‘ah Imâmiyyah
No. | Abad | Nama | Karya | |
1 | X | 1. Ibn Junayd al-Iskâfî | (1) Mukhtashar al-Ahmadî; (2) Tahdzîb al-Syî‘î; (3) al-Asfâr. | |
2. Ibn ‘Aqîl al-‘Umânî | - | |||
2 | XI | 1. Syarîf al-Murtadhâ | (1) al-Intishâr; (2) Al-Nâsiriyyât; (3) Rasâ’il al-Murtadhâ | |
2. Abû Ja‘far al-Thûsî | (1) al-Iqtishâd; (2) al-Khilâf; (3) al-Rasâ’il al-‘Asyr; (4) al-Mabsûth; (5) al-Nihâyah; (6) Mishbâh al-Mujtahid. | |||
3 | XII | 1. Ibn al-Barrâj | (1) Jawâhir al-Fiqh; (2) al-Mûjaz; (3) al-Kâmil. | |
2. Ibn Idrîs | al-Sarâ’ir al-Hâwî li Tahrîr al-Fatâwâ. | |||
4 | XIII | Muhaqqiq al-Hillî | (1) Syarâ’i‘ al-Islâm; (2) al-Mukhtashar al-Nâfi‘. | |
5 | XIV | 1. Al-‘Allâmah al-Hillî | (1) Irsyâd al-Adzhân; (2) al-Risâlah al-Sa‘diyyah; (3) Tabshirat al-Muta‘allimîn; (4) Tahrîr al-Ahkâm; (5) Tadzkirat al-Fuqahâ’; (6) Qawâ‘id al-Ahkâm; (7) Mukhtalaf al-Syî‘ah; (8) Muntahâ al-Mathlab; (9) Nihâyat al-Ahkâm. | |
2. Syahîd I | (1) al-Alfiyyah wa al-Naqliyyah; (2) al-Bayân; (3) al-Durûs; (4) al-Lum‘ah al-Dimasyqiyyah; (5) Dzikr al-Syî‘ah fî Ahkâm al-Syarî‘ah. | |||
6 | XV | Ibn Fahd al-Hillî | Al-Muhadzdzab al-Bâri‘ ilâ Syarh al-Nâfi’ | |
7 | XVI | 1. Al-Muhaqqiq al-Karkī | Jâmi‘ al-Maqâshid fī Syarh al-Qawâ’id. | |
2. Syahīd II | (1) Rasâ’il al-Syahîd al-Tsânî; (2) Rawdh al-Jinân; (3) Syarh al-Lum‘ah; (4) Masâlik al-Afhâm. | |||
3. Muhaqqiq Ardabilî | (1) Risâlatâni fî al-Kharâj; (2) Zubdat al-Bayân; (3) Majma‘ al-Fâ’idah. | |||
8 | XVII | Muhammad Bâqir al-Sabzawârî | (1) Kifâyat al-Ahkâm; (2) Dzâkirat al-Ma‘âd fî Syarh al-Irsyâd | |
9 | XVIII | Muhammad Bâqir al-Bihbâhânī | (1) Syarh Mafâtīh al-Syarâ’i‘ fī Fiqh al-Imâmiyyah; (2) al-Fawâ’id al-Hâ’iriyyah. | |
10 | XIX | 1. Kâshif al-Ghithâ’ | Kasyf al-Githâ’ ‘an Mubhamât al-Syarî‘at al-Gharrâ’ | |
2. Muhammad Hasan al-Najafî | Jawâhir al-Kalâm fî Syarh Syarâ’i‘ al-Islâm | |||
3. Murtadhâ al-Anshârî | (1) Ahkâm al-Khalal fî al-Shalâh; (2) al-Taqiyyah; (3) al-Qadhâ’ wa al-Syahâdât; (4) al-Washâyâ wa al-Mawârits; (5) Rasâ’il al-Fiqhiyyah; (6) Kitâb al-Khums; (7) Kitâb al-Zakât; (8) Kitâb al-Shawm; (9) Kitâb al-Thahârah; (10) Kitâb al-Makâsib; (11) Kitâb al-Nikâh. | |||
11 | XX | 1. Husayn al-Burujirdī | - | |
2. Muhammad Bâqir al-Sadr | Durûs fī ‘Ilm al-Ushûl | |||
3. Abû al-Qâsim al-Khû’î | (1) Minhâj al-Shâlihîn; (2) Mu‘jam Rijâl al-Hadîts; (3) al-Tanqîh fī Syarh ‘Urwat al-Wutsqâ | |||
4. Muhammad Hâdî al-Milânî | Muhâdharât fî Fiqh al-Imâmiyyah | |||
5. Sayyid Rûh Allâh Musâwî al-Khumaynî | (1) al-Hukûmât al-Islâmiyyah; (2) Kitâb al-Bay‘; (3) al-Makâsib al-Muharramah; (4) Tahrîr al-Washîlah. |
Sumber: diramu dari berbagai sumber
a. Marja‘ al-Taqlîd
Aliran Ushûlî mengajarkan bahwa semua orang Syî‘ah terbagi ke dalam orang-orang awam dan pakar dalam ilmu agama. Kewajiban orang awam adalah mengikuti pakar ilmu agama (mujtahid). Teori ini menyediakan sebuah ideologi yang tentunya bisa digunakan untuk mendukung gagasan bahwa ulama seharusnya memainkan peran sebagai pembimbing masyarakat, meskipun gagasan bahwa ulama seharusnya yang memerintah tampak dianggap heretis (bid‘ah) bagi sebagian besar mujtahid Syî‘ah hingga saat ini. Taklid kepada mujtahid tidak hanya dianjurkan bagi orang-orang awam, namun juga, seperti ditegaskan Murtadhâ Anshârî, merupakan kewajiban yang absolut.[34] Meskipun begitu, taklid hanya dibenarkan kepada mujtahid yang masih hidup dan terutama yang paling terdidik. Taklid tidak diperkenankan kepada mujtahid yang sudah meninggal.
Dalam koridor Ushûlî, ini kemudian berkembang menjadi satu praktik terutama pada abad ke-19 yang mengakui seorang mujtahid sebagai sumber taklid (marja‘ taqlîd muthlaq). Lembaga ini memperkenalkan satu kemungkinan tentang kepemimpinan sentral yang kuat.[35] Istilah marja‘ taqlîd menunjuk kepada otoritas tertinggi dalam komunitas Syî‘ah Imâmiyyah. Jumlah mereka umumnya sangat sedikit. Otoritas yang terkait dengan marja‘ taqlîd bergantung pada konvergensi historis dari dua struktur teoritis: ijtihad dan otoritas hukum.[36] Mereka yang mempunyai kualifikasi untuk melakukan ijtihad harus berijtihad, sementara yang tidak punya harus taklid kepada mujtahid. Para faqīh yang berkualitas dan lurus selama kegaiban Imam telah diberikan otoritas hukum sebagai hâkim syar‘î (hakim yang absah) dan nâ’ib al-imâm (wakil imam). Mereka juga sebagai pengelola yang lurus terhadap masalah-masalah zakat dan khums. Faqīh yang berperingkat tinggi mendapatkan bantuan finansial dari khums, yang ini bisa menjamin independensi politis dan kekuasaan riil mereka.
Tokoh-tokoh yang pernah memegang posisi sebagai marja‘ al-taqlîd, adalah sebagai berikut:
1. Muhammad Hasan al-Najafî (w. 1850)
2. Murtadhâ al-Anshârî (w. 1864)
3. Muhammad Hasan b. Mahmûd al-Syîrâzî (w. 1895)
4. Sayyid Abû al-Hasan al-Musâwî al-Isfahânî (w. 1945)
5. Sayyid Husayn al-Burujirdî (w. 1961)
6. Sayyid Muhsin al-Hakîm (w. 1970)
7. Sayyid Muhammad Hâdî al-Milânî (w. 1975)
8. Sayyid Muhammad Bâqir al-Shadr (dieksekusi 1980)
9. Sayyid Abû al-Qâsim al-Khû’î
10. Sayyid Rûh Allâh Musâwî al-Khumaynî (w. 1989)
b. Wilâyat al-Faqîh
Konsep wilâyat al-faqîh (“kepemimpinan seorang faqîh”) menemukan momentumnya di dunia Syî‘ah ketika digunakan sebagai judul dari kuliah-kuliah yang disampaikan Ayatullah Khomeini (1902-1989) pada tahun 1969 kepada para mahasiswanya di Najaf. Dan, ketika Khomeini menjadi hakim bagi semua masalah pemerintahan di Iran, maka menjadi jelas bagi dunia Islam bahwa kepemimpinan tersebut merupakan satu rute menuju sebuah pemerintahan ideal yang didengungkan oleh sebagian muslim kontemporer, yaitu pemerintahan Islam.
Wilâyat al-faqîh ini didasari pada beberapa penjelasan Khomeini yang mendasar.[37]
- Seorang faqîh mempunyai ‘hak yang sama yang dimiliki oleh Nabi dan para Imam’, meskipun ada fakta bahwa tidak ada seorang yang khusus diangkat oleh Tuhan untuk mengemban tugas pemerintahan pada masa Kegaiban Imam. Namun, Khomeini menolak pernyataan bahwa ‘status faqîh itu identik dengan status para Imam dan Nabi’, dengan menegaskan bahwa wilâyat al-faqîh adalah ‘masalah rasio dan eksternal’ yang disamakan dengan pengangkatan seorang wali kepada kelompok yang lebih kecil. Ia menegaskan bahwa seorang faqîh menikmati kekuasaan politik para Imam.
- Khomeini yakin bahwa wilâyah didukung oleh argumen-argumen dari akal dan juga dari tradisi.
- Khomeini mendefinisikan wilâyah sebagai sebuah institusi untuk memastikan penerapan yang ketat terhadap syariah kepada masyarakat muslim.
- Khomeini cenderung menggabungkan sejumlah argumen—untuk pendirian sebuah pemerintahan, tafsirannya terhadap kepemimpinan faqîh, dan revolusi politik terhadap penguasa yang menindas dan zalim—dalam cara-cara yang menyiratkan bahwa ia melihat adanya hubungan antara argumen-argumen itu yang memberikannya satu koherensi program.
Latarbelakang khusus dari teori ini sebenarnya ditemukan pada perkembangan-perkembangan dalam pemikiran Syî‘ah Imâmiyyah abad ke-18 dan 19. Sekte Ushûlî memberikan hak ekslusif kepada mujtahid untuk menafsirkan hukum Islam. Jumlah mujtahid tidaklah banyak, dan di antara mereka terdapat beberapa orang yang menerbitkan panduan-panduan yang menjelaskan praktik-praktik dasar bagi komunitas awam. Komunitas awal ini, menurut teori Ushûlî, diwajibkan untuk memilih salah satu dari mujtahid sebagai marja‘ al-taqlîd. Marja‘ ini mendapatkan otoritas keduniawian dari Imam ke-12, dan karenanya mereka menerima donasi-donasi yang diberikan kepada Imam yang tersembunyi.[38] Dari otoritas ini, disadari adanya implikasi politis dari peran marja‘ al-taqlîd.
Dari buku yang ditulis Khomeini tentang “pemerintahan Islam”, ia berpendapat bahwa “umat Islam wajib membentuk pemerintahan tersebut, dan para fuqahā’ berkewajiban menerima semua tugas yang pernah diemban Nabi Muhammad, termasuk pemerintahan.”[39] Khomeini bahkan menyatakan kembali pandangan tradisional Syî‘ah Imâmiyyah-Ushûlî bahwa setiap mujtahid (yang memiliki padanan yang sama dengan kata “faqîh” dalam konteks ini) mesti mengikuti pendapatnya sendiri. Ini menyiratkan bahwa tidak seorang mujtahid pun yang perlu menunda kepada yang lainnya dalam masalah-masalah pemerintahan. Seorang faqīh mempunyai pengetahuan dan integritas moral untuk mengemban tugas pemerintahan itu. Ia, kata Khomeini, “mempunyai otoritas yang sama dengan Rasulullah, dan merupakan kewajiban semua orang untuk mematuhinya.”[40]
V. Kontroversi Akhbârî dan Ushûlî: Melacak Akar Masalah
Memang ada beberapa titik persamaan antara Akhbârî dan Ushûlî, namun itu tidak begitu besar, di antara persamaannya adalah bahwa mereka mengakui Alquran dan Sunnah (yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi serta perkataan-perkataan para imam) sebagai sumber hukum dan bahwa imâmah setelah wafatnya Nabi adalah jatuh di tangan ‘Alî b. Abî Thâlib dan keturunannya hingga yang keduabelas. Jika dibuat perbandingan, perbedaan-perbedaan di antara mereka adalah cukup besar dan signifikan. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup perbedaan teologi dan epistemologi hukum. Untuk lebih jelasnya, bagan berikut memaparkan poin-poin perbedaan antara kedua aliran ini:
Bagan 2. Perbedaan antara Syî‘ah sekte Akhbârī dan Ushûlî
No | Akhbârī | Ushûlî |
1. | Alquran dan Hadis merupakan satu-satunya sumber hukum Tuhan. | Alquran dan Hadis merupakan sumber hukum, namun menambahkan akal dan ijmā’. |
2 | Ijtihad dalam agama dilarang. | Ijtihad dalam agama adalah sangat penting |
3 | Menggunakan ra’y dan qiyâs adalah haram dan merupakan bid‘ah. | Menggunakan ra’y dan qiyâs. |
4 | Taklid adalah wajib. | Taklid dibolehkan hanya untuk para pengikut, namun dilarang bagi para mujtahid. |
5 | Taklid hanya kepada 14 imam yang maksum | Hanya taklid kepada mujtahid yang dibenarkan. |
6 | Otoritas tertinggi (ûlî al-’amr) hanyalah 14 orang, menggunakan kata ini untuk yang lain adalah diharamkan. | Yang tidak maksum sebagai Penguasa Tertinggi (ûlî al-’amr). |
7 | Menggunakan terma Imam selain 12 Imam adalah dilarang. | Yang tidak maksum juga bisa disebut Imam. |
8 | Wakil (Nâ’ib) Imam hanyalah Imam. | Yang tidak maksum bisa menjadi wakil Imam |
9 | Hanya yang maksum yang bisa melakukan istinbâth hukum. | Mujtahid punya hak untuk melakukan istinbâth hukum. |
10. | Sahadat ‘Alî Waliyyullâh adalah bagian yang integral yang tanpanya kalimat tidak sempurna. | ‘Aliyyan Walliyullâh bukan merupakan bagian yang integral. |
11. | Nabi dan 13 para Imam yang maksum adalah sama dalam semua dan setiap aspek. | 14 yang maksum itu tidaklah sama. |
12 | Hak untuk menafsirkan Alquran hanya ada pada 14 yang maksum yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dalam ilmu pengetahuan (al-râsikhûn fī al-‘ilm) | Mujtahid bisa menafsirkan Alquran melalui penalaran akal (tafsîr bi al-ra’y). |
13 | Penghapusan dan pengubahan dibuat dalam Alquran. | Tidak ada penghapusan dan pengubahan yang dibuat dalam Alquran. |
14 | Memperoleh pengetahuan tentang kesucian (ma‘rifah nûrâniyyah) Nabi Muhammad dan anak keturunannya adalah wajib. | Memperoleh pengetahuan spiritual bukan merupakan kewajiban dalam agama (taklîf syar‘î), namun memahaminya hanya sebagai makna verbal. |
15 | Mempraktikan pengetahuan tentang ushûl al-fiqh adalah dilarang. | Hanya mempraktikan pengetahuan tentang ushûl al-fiqh saja. |
16 | Pelukaan berdarah terhadap diri sendiri (khooni matam) pada saat meratapi Imam Husayn adalah sesuai dengan hukum Islam. | Pelukaan berdarah terhadap diri sendiri (khooni matam) pada saat meratapi Imam Husayn adalah haram dan bid‘ah dalam agama. |
17 | Keselamatan hanya dicapai melalui kecintaan yang mendalam kepada Ali dan melalui pengetahuan tentang kesuciannya. [amal perbuatan sangat dituntut] | Keselamatan hanya melalui amal-amal yang nyata. [Mu‘tazilah mempercayai hal yang sama] |
18 | Menerima semua atribut Tuhan, dan memohon belas kasih-Nya atas segala dosa-dosa. | Mengakui keadilan Tuhan sehingga menolak belas kasih dari Tuhan. [Mu‘tazilah mempercayai hal yang sama] |
19 | Amal-amal yang nyata merupakan indikasi iman. | Amal-amal yang nyata adalah bagian iman yang integral. |
20 | Hadis hanya dikategorikan sebagai benar dan salah | Hadis dikategorikan ke dalam shahîh, dha‘îf, muwatstsaq, hasan, âhâd, dan lain-lain. |
Perdebatan yang paling asasi antara kedua kubu ini dalam pernyataan-pernyataan hukumnya berakar pada debat teologis tentang prioritas akal terhadap wahyu. Semenjak masa-masa awal sejarah Syî‘ah Imâmiyyah, bahkan semenjak kepemimpinan al-Bâqir dan al-Shâdiq, ada diskusi di kalangan para sahabat dekat para Imam tentang al-‘aql (rasio), yang menyimbolkan otoritas dan bahkan prioritas penalaran manusia, dan al-atsâr atau al-akhbâr, yang menyimbolkan otoritas wahyu. Pada masa keberadaan Imam, putusan terakhir tentang masalah apa pun yang diperselisihkan berada di tangan para Imam, yang tafsiran-tafsirannya terhadap Alquran dan Sunnah mengikat secara otoritatif karena keimanan dan kemaksumannya.[41] Bahkan, ijmâ‘ harus dilindungi dengan cara memasukkan pendapat Imam yang maksum ke dalamnya; jika tidak, maka ijmâ‘ tidak memiliki validitas hukum dalam pengeluaran hukum. Otoritas perkataan para Imam, baik dalam hal akhbâr maupun ijmâ‘, adalah begitu penting dalam proses pembuatan hukum sehingga hanya ijtihad berbasis-wahyu (al-ijtihâd al-syar‘î) saja, dan bukan ijtihad berbasis-akal (al-ijtihâd al-‘aqlî), yang dianggap valid.
Kontroversi ini sebenarnya bisa dilacak kepada periode ketika para pendukung al-dalîl al-sam‘î (wahyu) mengusulkan dalil-dalil skriptural dan mencoba mendemonstrasikan bahwa akhbâr merupakan sumber yang memadai bagi kehidupan agama dan hukum umat Islam. Di sisi lain, para penganut al-dalîl al-‘aqlî, yang juga disebut sebagai pendahulu ushûlî, menegaskan bahwa dalil rasional adalah sangat penting dalam menjelaskan prinsip-prinsip keagamaan dan memperluas apa yang dianggap mengikat buat umat menurut ketentuan agama. Ini khususnya berlaku dalam masalah-masalah yang al-dalîl al-sam‘î tidak bisa memberikan informasi-informasi otentik yang penting untuk memasukkan akhbâr ke dalam praktik hukum.[42]
Al-Thûsî melakukan penelitian tentang akhbâr yang di dalamnya terjadi berbagai perbedaan dan pertentangan. Akibatnya, dalam karya fikih terakhirnya, al-Mabsûth, ia menjelaskan metodenya, yaitu mengikuti ijtihad dan menyeimbangkannya dengan akhbâr untuk mengeluarkan putusan-putusan hukum. Alasan mengikuti metode ini, seperti yang dijelaskan dalam pendahuluan kitabnya itu, adalah bahwa para fuqahâ’ Imâmiyyah memasang tradisi-tradisi tanpa mentransmisikan ungkapan aktualnya, sehingga putusan-putusan hukum yang didasari pada tradisi-tradisi tersebut gagal memasukkan pengertian terhadap kata-kata dari tradisi-tradisi itu. Lebih-lebih, para fuqahâ’ seringkali gagal memahami substansi dari tradisi-tradisi itu. Oleh karena itu, al-Thûsî memperbaiki situasi ini dengan menghadirkan 80 karya tentang fikih dan menerapkan metodologi penyeimbangan antara ijtihad dan akhbâr. Malah, semua karya al-Thûsî, baik tentang masalah fikih maupun ushûl al-dîn, mengindikasikan berbagai upayanya untuk melakukan kompromi yang menyenangkan, dengan menggabungkan dua bentuk argumentasi yang didasari pada al-sam‘ (wahyu) dan al-‘aql (nalar). Dengan menerapkan metode ini, ia mampu membela ajaran-ajaran Imâmiyyah, mempelajari sejumlah besar tradisi dan memberikan struktur teologis terhadap sebuah doktrin.
Kemampuan menggabungkan al-sam’ dan al-‘aql inilah yang menyebabkan sekte Ushûlî meraih kemenangan dalam perseteruan pemikiran antara kedua kubu ini. Dan ini terbukti bahwa sekte ini yang mendominasi wilayah-wilayah yang menganut mazhab Syî‘ah, terutama di Iran, dengan konsep khas Ushûlî-nya seperti marja‘ al-taqlîd dan wilâyat al-faqîh. Bahkan pada perkembangan berikutnya, berbagai kitab ushûl al-fiqh dalam kalangan Syî’ah lebih mencerminkan sintesis antara wahyu dan rasio ini. Di antaranya adalah kitab yang dikarang oleh ulama Syî‘ah kontemporer terkenal, Muhammad Bâqir al-Shadr, Durûs fî ‘Ilm al-Ushûl.[43] Dalam kitab itu, al-Shadr membagi dalil menjadi dua: dalîl syar‘î lafzhî[44], yang mencakup bahasan tentang sigat amr, nahy, muthlaq, adawât al-‘umûm, adât al-syarth, dan seterusnya, dan dalîl ‘aqlî.[45]
Salah satu contoh perdebatan Akhbârî-Ushûlî adalah tentang kasus legalitas pernikahan seorang laki-laki dengan dua wanita yang merupakan keturunan puteri Nabi, Fâthimah. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan perdebatan kasus tersebut dengan bersandar pada artikel yang ditulis oleh Robert Gleave.[46] Dalam artikel tersebut, Gleave menjelaskan bahwa Akbārī berpandangan bahwa haram bagi seorang laki-laki menikahi dua wanita dari keturunan puteri Nabi, Fâthimah. Hal ini didasari pada sebuah khabar:
Saya mendengar Abû ‘Abd Allâh [Imam Ja‘far al-Shâdiq] berkata: “Tidaklah hal bagi siapa pun untuk menikahi dua wanita dari keturunan Fâthimah, karena itu akan menyakiti hatinya dan membuatnya menderita.” Aku bertanya: “Apakah itu benar-benar akan menyakitinya?” Ia menjawab, “Demi Tuhan, ya”.
Khabar ini dijumpai pula dalam Kitâb al-‘Ilal karya al-Syaikh al-Shâdûq Ibn Bâbuyâ (atau Ibn Bâbawayh, w. 991), dengan isnâd:
Ibn Bâbuya, Muhammad b. ‘Alî, Muhammad b. Yahyâ, Ahmad b. Muhammad, Ayahnya Ahmad Ibn Abî ‘Umayr, Ābân b. Utsmân, Hammâd, Imâm Ja‘far.[47]
Dan juga dalam kitab Tahdzîb al-Ahkâm karya al-Syaikh Muhammad b. Hasan al-Thûsî (w. 1067), dengan isnâd yang berbeda:
Shaykh al-Thûsî, ‘Alî b. Hasan, al-Sindî b. al-Rabî‘, Ibn Abî Amîr, salah seorang Syî‘ah Imâm Ja‘far.[48]
Yûsûf al-Bahrânî (w. 1709), seorang tokoh Akhbârî yang terkenal, dalam bagian terakhir Risālah-nya, mendiskusikan status hukum dari perkawinan antara seorang laki-laki dengan dua wanita keturunan Fâthimah sebagai berikut:
Kami berpendapat bahwa menikahi dua wanita keturunan Fâthimah adalah haram; tidak ada keraguan atau ketidakpastian di seputar penjelasan [pandangan ini]. Persoalannya adalah apakah [1] larangan ini menjadikan perkawinan tersebut batal, atau [2] hanya dapat digambarkan sebagai dosa, dan perkawinan itu karenanya tetap sah. Jika yang pertama adalah kasusnya, maka apakah hukum yang menyatakan secara spesifik kontrak perkawinan dengan perempuan yang kedua itu tidak sah, atau seorang suami bisa memilih menceraikan isteri mana pun yang ia kehendaki?[49]
Jawaban dari al-Bahrânî ini adalah bahwa perceraian adalah pilihan yang diambil olehnya.
Sedangkan kelompok Ushûlî menolak pandangan tentang keharaman pernikahan ini, seperti yang direpresentasikan oleh al-Bihbâhânî. Khabar ini dalam pandangannya adalah lemah dan perkawinan tersebut tidaklah dilarang dalam wahyu. Karenanya, ia mesti dianggap sebagai mubah. Al-Bihbâhânî ini tampak menggunakan logika istishhâb dan al-barâ’ah al-ashliyyah. Artinya, jika perkawinan bisa diterima oleh Imam dan tidak ada aturan yang jelas bahwa itu dilarang (dan khabar ini, karena ia lemah, maka tidak menjadi aturan yang jelas), maka hukum mubah itu dianggap tetap berlangsung (istishhâb al-hâl).
Singkatnya, dari dua perseteruan ini, tampak terlihat adanya konflik dan ketegangan dalam pemahaman terhadap khabar dan penggunaan nalar terhadapnya. Satu kelompok menerima khabar sebagai suatu yang final dan harus dijalankan, sementara yang lain melihatnya lemah, dan karenanya hukum awal tersebut terus berlangsung dengan menggunakan logika hukum istishhâb al-hâl.
Contoh lainnya adalah perseteruan tentang persoalan politik dan otoritas hukum, yang mewujud dalam bentuk “kepemimpinan para fuqaha” (wilâyat al-faqîh) dan “sumber rujukan bagi muqallid” (marja’ al-taqlîd) yang berlangsung hingga datangnya Imam Mahdî. Landasan konsep ini adalah pada kemaslahatan berbasis nalar, bahwa umat Islam membutuhkan pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan tugas para fuqaha, sebagai niyâbah Imam Mahdî, adalah membantu mencarikan solusi hukum terhadap hal itu.[50] Bagi kelompok Ushûlî, persoalan ini jelas sangat signifikan seperti telah diuraikan pada bahasan sebelumnya. Namun, bagi kelompok Akhbârî, yang menolak otoritas akal dalam pembentukan hukum, isu-isu ini menjadi persoalan yang ditolak dengan serius lantaran tidak ditemukan sandaran hukumnya dalam Sunnah dan juga akhbâr para imam yang maksum, dan juga alasan bahwa para fuqahâ’ bukanlah pengganti para imam yang suci dan bahkan mereka tidak mempunyai peran dan andil dalam politik, seperti dibuktikan dalam kehidupan para imam yang maksum dan para pengikutnya. Untuk itu, mereka menolak kedua konsep ini, yang di dalam komunitas Iran saat ini kedua konsep ini menjadi ciri penting negara Islam Iran.
VI. Penutup
Dalam kacamata ilmu sosial, Syî‘ah merupakan sebuah gerakan yang bisa dimasukkan ke dalam paradigma gerakan sosial berorientasi nilai, kekuasaan, dan partisipasi. Kesemuanya dibangun pada prinsip “poros otoritas” [figur otoritatif] yang mempunyai kemuliaan, kesalehan, integritas dan keilmuan. Mereka ini disebut sebagai “Imam” yang dianggap maksum. Imam ini dibangun pada prinsip kharisma yang mengalami rutinisasi melalui keturunan, integritas, dan keilmuan. Kepatuhan terhadapnya menjadi mutlak karena, melalui proses doktrinisasi yang menguat melalui proses hegemoni, Imam dianggap sebagai juru bicara Tuhan yang perkataan-perkataannya ‘pasti’ benar karena mereka terlepas dari kesalahan (maksum).
Namun, dalam perkembangannya, Syî‘ah Imâmiyyah terpecah ke dalam sekte Akhbârî dan Ushûlî yang mempunyai kecenderungan metodologis yang berbeda. Titik tekan perbedaan tersebut terutama adalah pada peran akal dan wahyu dalam pengeluaran produk hukum. Namun, dalam perkembangannya, aliran yang mampu melakukan Sintesis Besar antara tradisionalisme dan rasionalisme sajalah yang akan terus bertahan dan menyebar. Dan ini terbukti dalam sejarah bahwa kelompok Ushûlî, yang melakukan Sintesis Besar itu, yang memenangkan perseteruan.
VII. Bibliografi
1. Sumber Cetak:
Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, The Just Ruler in Shi‘ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York, Oxford: Oxford University Press, 1988).
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London, New York: Routledge, 2006).
Gordon Marshall, Oxford Dictionary of Sociology (Oxford, New York: Oxford University Press, 1998).
Gregory Rose, “Velayat-e Faqih and the Recovery of Islamic Identity in the Thought of Ayatollah Khomeini” dalam Religion and Politics in Iran: Shi‘ism from Quietism to Revolution, ed. Nikki R. Keddie (New Haven & London: Yale University Press, 1983).
Hamid Algar, “Akhbariyah” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid I, ed. John L. Esposito (Bandung: Mizan, 2002).
Hasan Hanafî, Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi‘ (Kairo: Markaz al-Mathba‘ah li al-Nasyr, 2004).
Jassim M. Hussain, The Occultation of The Twelfth Imam: Historical Background (USA: The Muhammadi Trust of Great Britain & Northern Ireland, The Zahra Trust, 1982). http://www.al-islam.org/occultation_12imam/; diakses tanggal 23 Mei 2008.
Juan R. Cole, “Imami Jurisprudence and the Role of the Ulama: Mortaza Ansari on Emulating the Supreme Exemplar”, dalam Religion and Politics in Iran: Shi‘ism from Quietism to Revolution, ed. Nikki R. Keddie (New Haven & London: Yale University Press, 1983).
Muhammad Bâqir al-Shadr, Durûs fī ‘Ilm al-Ushûl: al-Halaqat al-Ûlâ (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, 1978).
Muhammad ibn ‘Abd al-Karim Shahrastani et.al, “Shi‘ism, Zaydism, Isma‘ilism, and Shaykhism” dalam Shi‘ism: Doctrines, Thought and Spirituality, ed. Seyyed Hossein Nasr et.al (Albany: State University of New York Press, 1988).
Nâshir b. ‘Abd Allâh b. ‘Alî al-Qifârî, Ushûl Madzhab al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ al-Asyariyyah: ‘Ardh wa Naqd, Jilid 2 (tp: tt).
Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Drs. Fuad, MA (Yogyakarta: Navila, 2001).
Norman Calder, “Marja‘ Taqlid” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid I, ed. John L. Esposito (Bandung: Mizan, 2002).
Paul E. Walker, “The Ismâ‘îlî Da‘wa and the Fâtimid Caliphate”, dalam The Cambridge History of Egypt, Vol 1: Islamic Egypt, 640-1517, ed. Carl F. Petry (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
Rabî’ b. Muhammad al-Su’ûdî, al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ al-Asyariyyah fî Mîzân al-Islâm (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, 1414 H).
Ralph Turner dan Lewis Killian, Collective Behaviour (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1957).
Robert Gleave, “Marrying Fatimid Women: Legal Theory and Substantive Law in Shī‘ī Jurisprudence”, dalam Islamic Law and Society, 6, 1 (1999), 38-68.
Roy P. Mottahadeh, “Wilâyat al-Faqîh” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, ed. John L. Esposito (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995).
Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam: Religion, Political Order, and Societal Change in Shi‘ite Iran from the Beginning to 1890 (Chicago & London: University of Chicago Press, 1984).
Sayyid Muhammad Taqiyy al-Hakîm,, al-Ushûl al-‘Âmmah li al-Fiqh al-Muqâran, Tahqîq: al-Majma‘ al-‘Âlamî li Ahl al-Bayt, (Qum: Mathba‘ah Amîr, 1997).
Syaikh Muhammad b. al-Hasan al-Thûsī, Tahzhīb al-Ahkâm, vol. 7 (Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1390), 463, no. 1855.
Syaikh al-Shadûq Ibn Babuya, ‘Ilal al-Syarâ’i (Najaf: al-Maktabah al-Haydariyyah, 1383/1963), 590, no. 38
W. Montgomery Watt, “The Significance of the Early Stages of Imami Shi‘ism” dalam Religion and Politics in Iran: Shi‘ism from Quietism to Revolution, ed. Nikki R. Keddie (New Haven & London: Yale University Press, 1983).
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005).
2. Sumber Web:
“Akhbârî”. http://en.wikipedia.org/wiki/Akhbari. diakses tanggal 23 Mei 2008.
“Twelvers/Ithna Ashari Islamic Schools of Thought”. http:// www.globalsecurity.org/military/intro/islam-ithna-ashari2.htm. diakses tanggal 23 MEi 2008.
“Basic differences between Shia Imamia Ithna Ashari Akhbari and Usooli,” http://www.akhbari.org/differences.htm. diakses tanggal 23 Mei 2008.
Artikel ini telah diterbitkan dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Vol. XIII, No. 1, Juni 2009): 141-168.
* Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah. Mahasiswa Program Doktor Hukum Islam, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Email: rusli_mochtar@yahoo.com
[1] Syî‘ah ini dinisbatkan kepada Zayd b. ‘Alî b. al-Husayn b. ‘Alî b. Abî Thâlib, yang dianggap sebagai Imam ke-5 setelah wafatnya ‘Alî Zayn al-‘Âbidîn (Imam ke-4). Aliran ini beranggapan bahwa imamah merupakan hak dari keturunan Fâthimah, dan tidak bisa dipegang oleh orang lain. Namun, mereka mengakui sebagai imam hanya dari keluarga Fâthimah yang terpelajar, saleh, berani dan dermawan, dan yang menyatakan kepemimpinannya: kesetiaan (baiat) mesti diberikan kepada salah seorang seperti itu, apakah ia berasal dari keturunan Hasan atau Husayn. Dalam masalah-masalah teologis, Zayd b. ‘Alî merupakan murid dari Wâshil b. ‘Athâ’. Salah satu pandangan Zayd adalah bahwa seorang yang kurang utama (al-mafdhûl) memiliki kemungkinan untuk menjadi seorang imam, meskipun ditemukan ada seorang yang lebih utama (al-afdhal). Pandangan lain darinya adalah bahwa seorang imam mesti melakukan pemberontakan agar bisa menjadi seorang imam. Pandangan-pandangan ini tidak ditentang oleh saudaranya sendiri, Muhammad al-Bâqir, yang dalam Syî’ah Imâmiyyah dianggap sebagai Imam ke-5. Ketika Zayd b. ‘Alî dibunuh (oleh Hisyâm b. ‘Abd al-Mâlik) dan dicabik-cabik tubuhnya di Kufah, Yahyâ b. Zayd menerima Imamah itu, dan dibunuh di Juzyan Khurasan oleh Gubernurnya. Kemudian Imamah beralih kepada Muhammad (dibunuh oleh ‘Îsâ b. Hamân di Madinah) dan Ibrâhîm (dibunuh di Basrah), yang pembunuhan terhadap keduanya adalah atas perintah Manshûr. (Lihat Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Shahrastani et.al, “Shi‘ism, Zaydism, Isma‘ilism, and Shaykhism” dalam Shi‘ism: Doctrines, Thought and Spirituality, ed. Seyyed Hossein Nasr et.al (Albany: State University of New York Press, 1988), 86.
[2] Syî’ah Isma‘iliyyah dinisbatkan kepada putera kedua dari Ja‘far al-Shâdiq (Imam ke-6), Ismâ‘îl, yang dikatakan bahwa ayahnya mengangkat dirinya menjadi Imam sebagai pengganti dirinya. Namun demikian, Ismâ‘îl meninggal sebelum ayahnya. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya Ja‘far al-Shâdiq tidak digantikan olehnya. Setelah wafatnya Ja‘far al-Shâdiq, Imâmah yang pernah diberikan kepada Ismâ‘îl dengan penunjukan yang eksplisit, menurut sebuah kelompok, tidak jatuh kepada putera-putera Ja‘far yang lainnya, tetapi kepada Muhammad b. Ismâ‘îl. (Lihat Paul E. Walker, “The Ismâ‘îlî Da‘wa and the Fâtimid Caliphate”, dalam The Cambridge History of Egypt, Vol 1: Islamic Egypt, 640-1517, ed. Carl F. Petry (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 121-22.
[3] W. Montgomery Watt, “The Significance of the Early Stages of Imami Shi‘ism”, dalam Religion and Politics in Iran: Shi‘ism from Quietism to Revolution, ed. Nikki R. Keddie (New Haven & London: Yale University Press, 1983), 21.
[4] Ralph Turner dan Lewis Killian, Collective Behaviour (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1957).
[5] Dikutip dalam Frank N. Magill, International Encyclopedia of Sociology, Vol. 2 (London, Chicago: Salem Press, 1995), 1244; Gordon Marshall, Oxford Dictionary of Sociology, Cet. ke-2 (Oxford, New York: Oxford University Press, 1998), 166.
[6] Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 157.
[7] Lihat Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Drs. Fuad, MA (Yogyakarta: Navila, 2001), 4-24.
[8] Yang menjadi duta Imam (sufarâ’) adalah: (1) ‘Utsmân b. Sa‘îd al‑‘Umarî; (2) Abû Ja‘far Muhammad b. ‘Utsmân b. Sa‘îd al‑‘Umarî; (3) Abû al-Qâsim al‑Husayn b. Rûh al-Nawbakhtî; (4) Abû al-Hasan ‘Alî b. Muhammad al-Sammârî (duta terakhir).
[9] Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London & New York: Routledge, 2006), 117-18.
[10] Dikutip dalam Jassim M. Hussain, The Occultation of The Twelfth Imam: Historical Background (USA: The Muhammadi Trust of Great Britain & Northern Ireland, The Zahra Trust, 1982), Bab III. Download dari http://www.al-islam.org/occultation_12imam.; diakses tanggal 23 Mei 2008.
[11] Saeed, Islamic ..., 118.
[12] Hussain, Occultation ..., Bab VII
[13] Ibid.
[14] Mahmud Ramyar et.al, “Ijtihad and Marja‘iyyat” dalam Shi‘ism ..., 230.
[15] Dikutip dalam “Twelvers/Ithna Ashari Islamic Schools of Thought”. http:// www.globalsecurity.org/military/intro/islam-ithna-ashari2.htm; diakses tanggal 23 Mei 2008.
[16] Hamid Algar, “Akhbariyah” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid I, ed. John L. Esposito (Bandung: Mizan, 2002), 85.
[17] Di antara karya-karyanya adalah al-Ushûl min al-Kâfî dan Furû ‘al-Kâfî.
[18] Di antara karya-karyanya adalah ‘Ilal al-Syarâ’i‘, Ma‘ânî al-Akhbâr, dan Man lâ Yahdhuruhu al-Faqîh.
[19] Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, The Just Ruler in Shi‘ite Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in Imamite Jurisprudence (New York, Oxford: Oxford University Press, 1988), 10.
[20] Algar, Akhbariyyah, 85.
[21] Juan R. Cole, “Imami Jurisprudence and the Role of the Ulama: Mortaza Ansari on Emulating the Supreme Exemplar”, dalam Religion..., 39.
[23] Algar, Akhbariyyah, 85.
[24] Ibid.
[25] Dikutip dalam al-Sayyid Muhammad Taqiyy al-Hakîm, al-Ushûl al-‘Âmmah li al-Fiqh al-Muqâran, Tahqîq: al-Majma‘ al-‘Âlamî li Ahl al-Bayt (Qum: Mathba‘ah Amîr, 1997), 284-5.
[26] Dikutip dalam Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam: Religion, Political Order, and Societal Change in Shi‘ite Iran from the Beginning to 1890 (Chicago & London: University of Chicago Press, 1984), 146.
[27] “Twelvers/Ithna Ashari Islamic Schools of Thought,” http:// www.globalsecurity.org/military/intro/islam-ithna-ashari2.htm; diakses tanggal 23 Mei 2008.
[28] Beberapa karyanya adalah Ahkâm al-Nisâ’, al-Masâ’il al-Marwiyyah, al-Masâ’il al-Shâghiniyyah, al-Masâ’il al-Thûsiyyah, al-Masyh ‘alâ al-Rijlayn, al-Muqni‘ah, Jawâbât Ahl al-Mûshil, Khulâshah al-Îjâz, Dzabâ’ih Ahl al-Kitâb, Risâlah al-Mut‘ah, dan Risâlah al-Mahr.
[29] Hasan Hanafî, Min al-Nashsh ilâ al-Wâqi‘ (Kairo: Markaz al-Mathba‘ah li al-Nasyr, 2004), 245.
[30] Arjomand, Shadow ..., 139.
[31] Ibid.
[32] Hanafî, Min ..., 245.
[33] Ibid.
[34] Dikutip dalam Juan R. Cole, Imami..., 44.
[35] Ibid., 33-4.
[36] Norman Calder, “Marja‘ Taqlid” dalam Ensiklopedi, Jilid 3, ed. Esposito (ed), 342.
[37] Dikutip dalam Gregory Rose, “Velayat-e Faqih and the Recovery of Islamic Identity in the Thought of Ayatollah Khomeini” dalam Religion ..., 177-80.
[38] Roy P. Mottahadeh, “Wilâyat al-Faqîh” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, ed. John L. Esposito (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995), 321.
[39] Dikutip dalam ibid.
[40] Ibid.
[41] Sachedina, Just ..., 19.
[42] Ibid., 85.
[43] Muhammad Bâqir al-Shadr, Durûs fī ‘Ilm al-Ushûl: al-Halaqat al-Ûlâ (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, 1978).
[44] Untuk lebih jelasnya lihat ibid., 84-143.
[45] Untuk lebih jelasnya lihat ibid., 144-168.
[46] Robert Gleave, “Marrying Fatimid Women: Legal Theory and Substantive Law in Shī‘ī Jurisprudence”, dalam Islamic Law and Society, 6, 1 (1999), 38-68.
[47] Syaikh al-Shadûq Ibn Babuya, ‘Ilal al-Syarâ’i (Najaf: al-Maktabah al-Haydariyyah, 1383/1963), 590, no. 38.
[48] Syaikh Muhammad b. al-Hasan al-Thûsī, Tahzhīb al-Ahkâm, (Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1390), vol. 7, 463, no. 1855.
[49] Dikutip dalam Gleave, Marrying ..., 50.
[50] Lihat Nâshir b. ‘Abd Allâh b. ‘Alî al-Qifârî, Ushûl Madzhab al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ al-Asyariyyah: ‘Ardh wa Naqd, Jilid 2 (tp: tt), 1165-1175; Rabî’ b. Muhammad al-Su’ûdî, al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ al-Asyariyyah fî Mîzân al-Islâm (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, 1414 H), 205-208.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar