URGENSI PENGUASAAN BAHASA ARAB DAN INGGRIS
Menguasai bahasa, baik bahasa Arab maupun Inggris, secara umum mengandung banyak keuntungan. Dalam realitas sosial, tidak dapat dibantah bahwa kesuksesan seseorang baik itu sosial maupun akademis, sebagiannya banyak bergantung pada bahasa.[1] Sebagai contoh, penguasaan bahasa dapat menciptakan pundi-pundi uang, seperti menjadi penerjemah (resmi maupun lepas), pemandu turis, atau lainnya. Dalam bidang pendidikan, ia dapat mengantarkan seorang untuk mendapatkan berbagai beasiswa untuk studi lanjut di berbagai perguruan tinggi ternama di luar negeri. Dalam kehidupan sosial politik, peranan bahasa tampak terlihat dalam sebuah pepatah Arab man ‘arafa lughah qawm salima min makrihim (barangsiapa mengetahui bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari tipu dayanya). Artinya, tidak dapat dinafikan adanya korelasi yang positif antara penguasaan bahasa dan kesuksesan seseorang.
Dalam kaitan dengan pengembangan studi Islam, urgensi ini tampak jelas terlihat. Pertanyaannya adalah di mana letak urgensinya? Tentunya kita harus melihat kepada Islam dan epistemologinya. Secara teoritis, Islam bersumber pada tiga sumber dasar: Alquran, Sunnah dan ijtihad (pemahaman terhadap kedua sumber suci ini). Dua sumber tersebut tertulis dalam bahasa Arab, dan seperangkat metodologi pemahaman dan penalaran terhadap kedua sumber ini, seperti usul al-fiqh, ulum al-tafsir, dan lainnya, terbukukan pula dalam literatur-literatur berbahasa Arab pula. Pemahaman dan penafsiran terhadap Alquran memunculkan berbagai kitab tafsir dengan beragam coraknya, diawali dari yang klasik, seperti tafsir Jami’ al-Bayan (24 Jilid) karya Ibn Jarir al-Tabari (Tafsir al-Tabari), atau kitab Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (Tafsir al-Baghawi), hingga kitab-kitab tafsir kontemporer seperti Adwa’ al-Bayan fi Idah al-Qur’an bi al-Qur’an (10 jilid) oleh Muhammad al-Amin al-Shanqiti, Tafsir al-Sha’rawi karya Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi (20 jilid) dan al-Tahrir wa al-Tanwir (31 jilid, cetakan al-Dar al-Tunisiyyah) karya Muhammad Tahir ibn ‘Ashur. Tentunya, semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Hal yang sama berlaku pula pada kitab-kitab koleksi hadis, seperti al-Kutub al-Sittah, dan bidang-bidang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fikih, sejarah, tauhid, kalam, tasawuf, dan lain sebagainya. Semua ini mengandung arti bahwa untuk memahami Islam dan strukturnya, perlu penguasaan bahasa Arab yang baik. Di sini terlihat bahwa bahasa Arab dapat dikatakan sebagai media untuk memahami teks-teks syariat (wasilah li fahm al-nusus al-shar’iyyah), karena ilmu syariat tidak akan terlepas dari bahasa Arab (la ghana’a li ‘ilm min ‘ulum al-shari’ah ‘an al-‘arabiyyah).
Ibn Taymiyyah, nenek moyangnya para reformis, menyatakan dengan tegas signifikansi mempelajari bahasa Arab dalam kaitannya dengan Islamic studies,
إن نفس اللغة العربية من الدين، ومعرفتها فرض واجب، فإن فهم الكتاب والسنة فرض، و لا يفهم إلا بفهم اللغة العربية، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Bahasa Arab sesungguhnya termasuk dalam bagian agama, dan mengetahuinya adalah wajib, karena memahami kitab dan sunah adalah wajib. (Keduanya) tidak bisa dipahami kecuali dengan pemahaman terhadap bahasa Arab. Suatu kewajiban yang tidak dapat terpenuhi tanpa sesuatu tersebut, maka sesuatu itu adalah wajib (untuk dicapai).[2]
Islamic Studies antara Intelektual Muslim dan Orientalis (Islamolog)
Kajian terhadap Islam (islamic studies) dilakukan dalam dua kubu yang sangat berbeda. Pertama adalah kajian yang dilakukan di kalangan ulama dan intelektual Muslim, dengan pendekatan yang agak normatif-tradisional. Pada masa klasik, kajian Islam (dirasah Islamiyyah) terpusat di wilayah-wilayah Islam saja. Dan pada sekarang, yang menjadi kiblat kajian tersebut adalah Mesir, Mekkah, Madinah, dan lainnya. Di Indonesia, berbagai kajian terhadap kitab-kitab keislaman (kutub al-turath) dapat ditemukan di berbagai pesantren atau halaqat al-ta’lim al-diniyyah (majelis taklim) hingga saat ini. Sebelum masuk ke tahapan kajian terhadap kitab-kitab tersebut, tentu saja para santri pesantren diharuskan menguasai tata bahasa Arab (nahu-saraf).
Dirasah Islamiyyah oleh kalangan ulama dilakukan di bawah paradigma yang berkembang saat itu “Islam sebagai cara hidup”, sehingga iman dan takwa menjadi fondasi dan orientasi. Nalar yang berkembang adalah nalar bayani, meminjam istilah ‘Abid al-Jabiri, yang berfokus pada teks. Oleh karena itu, tidak heran yang berkembang adalah tradisi penafsiran dan penjelasan, yang memunculkan dua istilah penting, sharh (penjelasan terhadap matan kitab) dan hashiyah (penjelasan terhadap sharh). Dalam literatur keislaman klasik, kita sering menemukan kitab-kitab yang bercorak seperti ini. Dalam kaitan terhadap kajian model ini, maka penguasaan bahasa Arab menjadi sangat vital, dikarenakan fakta bahwa literatur-literatur tersebut menggunakan bahasa Arab, sebagai bahasa pengetahuan Islam.
Pada perkembangan berikutnya, dirasah islamiyyah oleh intelektual Muslim mengalami penambahan pendekatan dan metode, terutama di era kontemporer saat ini. Hal ini, dalam sebagian hal, disebabkan oleh perubahan paradigma ilmu pengetahuan (posmodern) dan persentuhan dengan dunia Barat beserta segala peradabannya. Para intelektual Muslim ini, seperti Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, menggunakan berbagai pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang pada umumnya merupakan produk pengetahuan Barat. Sehingga antara pendekatan klasik dan pendekatan modern seringkali terjadi benturan dan ketegangan.
Kedua, kajian terhadap Islam dilakukan oleh orientalis. Seiring dengan perjalanan waktu, kajian Islam ternyata tidak hanya didominasi oleh intelektual Muslim—klasik atau kontemporer, namun terjadi pergeseran dan perubahan. Barat mulai memusatkan kajian pada Islam dan peradabannya namun dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sejarah, etnografi, dan filologi. Mereka ini disebut “orientalis”. Namun, di balik kajian tersebut tersembunyi berbagai motif dan kepentingan seperti keingintahuan intelektual (intellectual curiosity), Kristenisasi, dan imperialisme,[3] meskipun sekarang mengalami perubahan. Islamic studies mencakup kajian terhadap Alquran, hadis, hukum Islam, tasawuf, filsafat dan juga peradaban Islam. Para orientalis menguasai dengan baik bahasa Arab, namun mereka menulis hasil kajian dan penelitiannya tersebut dalam bahasa Inggris. Konsekuensinya, kajian-kajian terhadap Islam mulai meluas dengan ragam pendekatan yang berbeda, bahkan hingga saat ini.
Kajian terhadap Islam kemudian mengalami fluktuasi, baik dari segi tema maupun metodologinya. Pembedaan dan pemisahan karya-karya tentang Islam dari kawasan Muslim (dar al-Islam, intelektual Muslim) dan non-Muslim (dar al-harb, orientalis/islamolog) tidak lagi relevan. Setidaknya ada empat alasan mengapa pemisahan ini tidak dapat lagi dipertahankan.[4] Pertama, lokasi geografis kajian Islam saat ini telah mengalami desentralisasi, yaitu dengan adanya pusat-pusat penciptaan pengetahuan tentang Islam di semua benua. Artinya, produksi pengetahuan tradisional tentang Islam tidak hanya terbatas pada mayoritas negara Muslim, dan produksi pengetahuan orientalis tidak hanya terbatas di Barat. Kedua, sejumlah ilmuan pos-orientalis tumbuh dengan pesat, yang identitas-identitas profesional mereka, terkait dengan Islam dan bentuk-bentuk afinitas kultural, nasional dan ideologis yang eksis secara berdampingan, mengaburkan batasan-batasan antara Islam dan non-Islam. Ketiga, di kalangan ilmuan yang beridentitas Muslim, ada aneka macam pemahaman dan pengertian tentang identitas keislaman dalam kumpulan besar ideologi politik. Persaingan internal terhadap makna Islam dan visi tentang masa depan Islam menghancurkan kemungkinan batasan-batasan yang jelas dalam penciptaan pengetahuan Islam dari wilayah Muslim. Keempat, mengenai ilmuan tentang Islam yang identitasnya bukan Muslim, mereka juga merepresentasikan kumpulan besar tersebut dalam hubungan mereka dengan Islam, apa pun definisinya, yang secara kolektif tidak mungkin direduksi kepada produksi pengetahuan dari dar al-harb (wilayah non-Muslim) yang mengancam.
Karena studi Islam sekarang sudah mengalami penyebaran dan menembus ruang yang begitu luas, tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja namun juga oleh orang Barat non-Muslim, maka penguasaan bahasa Inggris menjadi penting. Letak signifikansi tersebut dikarenakan oleh fakta bahwa bahasa Inggris tidak diragukan lagi sudah menjadi bahasa pengetahuan dan peradaban (lughah al-‘ilm wa al-hadarah). Fakta ini diperkuat oleh perkembangan Internet saat ini yang menyebabkan globalisasi komunikasi bagi penduduk dunia. Manusia membutuhkan bahasa yang dapat membantu mereka untuk berkomunikasi dalam skala global atau melakukan presentasi tentang Islam di dunia internasional. Bahasa Inggris menyebar ke seluruh dunia baik secara alami maupun sengaja dan menjadi bahasa global bagi perkampungan global.[5] Menurut Mc Laughlin[6], “the world is becoming more homogeneous” (dunia menjadi semakin lebih homogen) dan “there is a linguistic convergence” (ada pertemuan bahasa) di dunia saat ini, sebuah situasi yang jelas-jelas melibatkan bahasa Inggris dalam cara yang begitu penting. Tidak diragukan bahwa bahasa Inggris secara perlahan menjadi bahasa universal, yang digunakan secara luas sebagai media komunikasi dalam wilayah-wilayah ilmu pengetahuan termasuk Islamic studies. Meskipun fenomena ini tidak berarti bahwa “bahasa Inggris menggantikan bahasa pribumi”, namun jelas bahwa sebagian masyarakat di dunia berusaha mempelajari, menggunakan dan mengintegrasikan bahasa Inggris ke dalam situasi budaya mereka sendiri.
Strategi Pengembangan Bahasa: Gambaran Umum
Strategi tersebut melibatkan berbagai aspek, seperti pengembangan sikap positif, pengembangan materi, kebijakan, dan penciptaan lingkungan yang demokratis dan kondusif bagi pengembangan bahasa.
1. Mengembangkan sikap yang positif terhadap bahasa Arab dan Inggris
Sikap positif adalah konsep psikologi yang sangat penting dalam pendidikan. Tidak diragukan lagi bahwa sikap positif mempengaruhi kesuksesan akademis para siswa atau mahasiswa. Motivasi menjadi unsur yang sangat penting untuk memperoleh sikap positif ini, karena mahasiswa yang mempunyai minat dan motivasi cenderung menilai penting mempelajari bahasa Arab dan Inggris. Motivasi, yang secara umum dipahamai sebagai “ciri psikologis yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan demi mencapai tujuan”, dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian besar: intrinsic motivation dan extrinsic motivation.
Intrinsic motivation adalah “dorongan dari dalam yang muncul dari minat pribadi” (inner drive that comes from personal interest). Motivasi internal ini adalah lebih penting jika dibandingkan dengan motivasi eksternal, karena ketika mahasiswa termotivasi dari dalam, maka mereka akan melakukan aktivitas pengembangan bahasa secara sadar untuk kepentingannya. Ketika mahasiswa termotivasi, maka ia akan mencurahkan waktu dan tenaganya untuk melakukan pembelajaran bahasa dengan cara dan media apa pun yang dimilikinya. Motivasi ini terkait dengan tujuan, fokus, serta usaha dan latihan yang konsisten dan berkesinambungan.
Extrinsic motivation mencakup lingkungan belajar yang kondusif dan demokratis, yang mendukung pengembangan bahasa. Lingkungan ini dapat melibatkan penentu kebijakan, dosen dan mahasiswa. Dalam kaitan dengan penentuan kebijakan (policy making), pembentukan pusat bahasa harus disertai dengan penyediaan anggaran yang besar dan fasilitas yang memadai. Jika sebuah kampus ingin menciptakan sebuah kampus yang kompetitf, maka perhatian terhadap pengembangan bahasa harus berada dalam daftar prioritas utama. Dalam kaitan dengan dosen, kebersamaan untuk menciptakan lingkungan bahasa yang demokratis harus didorong. Segala bentuk arogansi dan ketidakpedulian harus dihilangkan, apalagi sikap ingin menjegal program pengembangan bahasa, karena tidak mungkin sebuah lingkungan tersebut terbentuk tanpa melibatkan partisipasi aktif dari semua fihak.
Dalam kaitan dengan mahasiswa, perlu dibentuk student groups, karena ia menjadi alat untuk membangkitkan motivasi. Mengapa ini penting untuk dilakukan? Menurut Glasser,[7] setidaknya ada beberapa alasan: (1) mahasiswa akan mendapatkan sense of belonging (rasa memiliki), yang menjadi motivasi awal untuk berbuat; (2) mahasiswa yang lebih bagus dapat membantu yang lebih rendah penguasaan bahasanya, karena teamwork yang sukses akan memunculkan persahabatan; (3) mahasiswa tidak perlu bergantung pada dosen, namun dapat bergantung pada diri mereka sendiri.
2. Pengembangan Materi
· Meningkatkan kosa kata
Mempelajari kosa kata (vocabulary) adalah langkah pertama yang terpenting untuk menguasai bahasa. Pengetahuan tentang kosa kata ini menjadi indikator penting bagi kemampuan berbahasa lisan, yang penting pula bagi pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan. Langkah terbaik untuk mengembangkan kosa kata dasar adalah dengan mempelajari kata-kata yang paling sering digunakan atau muncul sehingga menjadi kata-kata yang tetap. Dalam setiap minggunya, seorang mahasiswa seharusnya dapat menguasai 10-15 kata, yang kata-kata tersebut dikaitkan dengan latarbelakang dan pengalamannya.[8] Kosa kata dalam percakapan (conversation, hiwar) yang mesti diketahui jumlahnya tidak sama dengan yang dibutuhkan dalam reading. Dalam reading, yang dibutuhkan untuk extensive reading adalah minimal 3000-5000 kosa kata, sedangkan dalam percakapan tidak sebesar jumlah tersebut. Kosa kata yang keluar dalam percakapan adalah kata-kata standar.
Selain itu, penting pula mempraktikkan kosa kata yang kita miliki dengan menulis buku harian yang ditulis dengan bahasa Inggris atau Arab. Pada tahap pertama, kita dapat menulis apa yang kita lakukan pada hari itu dalam dua atau tiga baris. Pada hari berikutnya, mungkin dapat lebih dari tiga baris, dan begitu seterusnya. Janganlah kita dipusingkan dengan kompleksitas susunan gramatikanya dalam menulis catatan harian tersebut. Persoalan tata bahasa dengan sendirinya akan terselesaikan melalui pembelajaran yang konsisten dan tekun.
· Tata bahasa
Kaidah-kaidah atau tata bahasa (grammar), baik bahasa Inggris maupun Arab, yang pertama kali mesti dipelajari dan diulang-ulang, adalah yang paling sering digunakan dalam literatur-literatur berbahasa Arab dan Inggris. Kita jangan terlalu asyik dengan kaidah-kaidah pada tingkatan menengah atau atas yang kadar kesulitannya cukup tinggi, kecuali jika telah menguasai kaidah-kaidah dasar atau ingin mendalami kaidah-kaidah tersebut. Dalam literatur berbahasa Arab, kaidah-kaidah yang seringkali muncul dapat disimpulkan sebagai berikut:
No. | Kaidah | Keterangan |
1. | المبتدأ وخبره | |
2. | فعل + فاعل + مفعول | |
3. | الجر بـ "عن" وأخواتها | Seperti: فى – إلى – على – لـ - بـ - من |
4. | الخفض بالإضافة (المضاف والمضاف إليه) | |
5. | كان وأخواتها | Seperti yang sering muncul ليس - |
6. | إن وأخواتها | Seperti: أن – لكن - لأن |
7. | النعت والمنعوت | |
8. | "واو" الإستئناف والعطف | |
9. | "إلا" الاستثناء و "إلا" فى معنى "لكن" | |
10. | "الفاء" التي تكون جوابا للأشياء الستة | الأمر والنهي و التمني والإستفهام و الجحود والدعاء |
11. | بنية الأفعال | فعل – أفعل – فعّل – فاعل – تفعّل – تفاعل – افتعل – انفعل – استفعل – وما يتفرع منها |
3. Pembiasaan
Last but not least, adalah pembiasaan. Dalam pepatah Inggris disebutkan, “practice makes perfect” (praktik dapat membuat kesempurnaan). Di kalangan orang Arab terkenal pepatah: من شب على شيء شاب عليه (Barangsiapa yang masa mudanya terbiasa melakukan sesuatu, maka di saat tuanya akan terbiasa pula melakukan hal tersebut). Bahasa Inggris atau Arab, jika tidak dibiasakan atau dipraktikkan secara rutin, maka akan cepat hilang seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Oleh karena itu, pembiasaan menjadi sesuatu yang mesti dilakukan.
Mudah-mudahan goresan tulisan yang tidak mendalam ini menjadi batu loncatan untuk mendalami bahasa Arab dan Inggris karena keduanya tidak diragukan lagi sangat penting bagi pengembangan islamic studies. Wa Allah a’lam bi al-sawab
* Disampaikan dalam Studium General, “Urgensi Penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris untuk Islamic Studies di PTAI”, Unit Pelayanan Bahasa, STAIN Datokarama Palu, 3 Nopember 2010.
[1] Melissa A Facella, “Effective Teaching Strategies for English Language Learners,” Bilingual Research Journal, vol. 29, no. 1 (Spring 2005), 209.
[2] Dikutip dalam Hadi Ahmad Farhan al-Shujayri, al-Dirasat al-Lughawiyyah wa al-Nahwiyyah fi Mu’allafat Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah wa Atharuha fi Istinbat al-Ahkam al-Shar’iyyah, Cet. ke-1 (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 2001), 35.
[3] Lihat Muhammed A. Al-Da'mi, “Orientalism and Arab-Islamic History: An Inquiry into the Orientalists’ Motives and Compulsions,” Arab Studies Quarterly, vol. 20, no. 4 (Fall 1998), 1-11.
[4] Patrice C Brodeur, “The Changing Nature of Islamic Studies and American Religious Studies (Part 2)”, The Muslim World, vol. 92, no. 1/2 (Spring 2002), 186-7.
[5] D. Crystal, English as A Global Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).
[6] Mc Laughlin, Second-Language Acquisition in Childhood: Preschool Children, Cet. ke-2 (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates Inc, 1984), 1.
[7] Dikutip dalam Amber M. Simmons and Melissa Page, “Motivating Students through Power and Choice,” English Journal, vol. 100, no. 1 (September 2010), 66.
[8] Valerie Kinloch (ed.), “Innovative Writing Instruction,” English Journal, vol. 100, no. 1 (September 2010), 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar