Sabtu, 04 Juni 2011

Teori Strukturasi Giddens

ANTHONY GIDDENS: TELAAH TERHADAP TEORI STRUKTURASI
Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc*
Abstract: Anthony Giddens is known as a social thinker who makes an excellent breakthrough in social thought. One of his excellent views is structuration theory. This theory emerges from the absence of action theory in social theories. In this theory, the agent, who is capable and knowledgeable, has a vital role in producing action, which is purposive in nature. Moreover, structure, which includes rules and resources recursively implicated in the reproduction of social systems, also performs a significant role in this action. Furthermore, human agency and social structure relate to each other in one way. In this, structure becomes a basis for all individual actions, and these actions will reproduce structure. This is called a duality of structure.

Kata Kunci: strukturasi, agensi, dualitas struktur, hermeneutika ganda
A.      Pendahuluan
Siapa yang tidak mengenal Anthony Giddens. Di kalangan ilmuan sosial, ia diposisikan sebagai salah satu pemikir ilmu sosial yang handal, bahkan dapat dikategorikan sebagai pemikir teoretis besar yang bisa dikatakan setaraf dengan Talcot Parsons dan Habermas di zamannya. Bahkan, ia memiliki banyak keahlian. Selain sebagai ilmuwan sosial kelas dunia, ia juga administrator yang sukses, pengusaha yang mempunyai kemampuan politik dan komunikasi yang mengagumkan. Namun, ketenaran dan keilmuan Giddens mulai diakui ketika ia menerbitkan buku The Constitution of Society yang berisi teorinya tentang strukturasi.
Lalu apa sebenarnya teori strukturasi itu? Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, apa motif di balik pemunculan teori ini, dan dalam konteks apa? Makalah ini mencoba mengulasnya secara sederhana, kemudian pada akhir pembahasan, akan diulas pula bagaimana aplikasi teori strukturasi dalam kaitan dengan proses migrasi atau perpindahan seseorang atau kelompok masyarkat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam hal aplikasi teoritis terhadap masalah migrasi, pengulasan hanya bersifat sederhana.
B.       Anthony Giddens: Sketsa Biografis
Anthony Giddens adalah salah seorang teoritisi sosiologi kontemporer terkemuka abad ini, yang dilahirkan pada tahun 1938 di Edmonton, London Utara, Inggris.[1] Ia lulus dari Universitas Cambridge (1976), dan diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor sosiologi (1986). Selain itu, ia juga pendiri perusahaan penerbitan (Polity Press) dan penasehat bagi Partai Buruh Inggris. Dan, sejak tahun 1997, ia menjadi menjadi Direktur London School of Economics and Political Science (LSE).
Hampir semua ilmuwan sosial dan politik sepakat bahwa Anthony Giddens terkenal karena karya tulisnya. Lebih dari 200 artikelnya tersebar di berbagai jurnal, majalah dan surat kabar. Sebagian kumpulan artikelnya bahkan sudah diterbitkan oleh penerbit Routledge dari London tahun 1997 menjadi empat jilid besar. Sementara jumlah buku yang ditulis oleh Giddens atau bersama dengan orang lain—sampai 1999—sudah mencapai 32 buah. Buku-buku itu pun sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 35 bahasa.[2] Tulisan-tulisannya mencakup tema-tema seperti teori sosial, sejarah pemikiran sosial, struktur kelas, elit dan kekuasaan, bangsa dan nasionalisme, identitas personal dan sosial, keluarga, relasi dan seksualitas.
Sebagai seorang sosiolog, Giddens terkenal sangat piawai dalam meringkas, menggabungkan dan menyajikan perspektif-perspektif dan argumen-argumen teoritis awal. Bukunya Modernity and Self-Identity[3] berisi konsep-konsep dan gagasan-gagasan dari Marx, Weber, Durkheim, Goffman, Simmel, Parsons, dan sosiolog lainnya. Dalam menyajikan argumennya, Giddens bergerak melampaui para teoritisi sebelumnya dan mengembangkan perspektifnya sendiri. Ia berupaya mencakup semua, menyediakan pandangan-pandangan teoritis tentang tindakan dan interaksi sosial, analisis historis, sistem dan struktur, dan sosiologi politik. Dalam masing-masing ini, ia berupaya memecahkan sebagian teka-teki dan masalah-masalah sosiologis, serta mengintegrasikan teori-teori dan perspektif-perspektif yang tampak memprihatinkan ke dalam satu teori sosiologis yang menyeluruh.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan transformasi diri melalui bukunya, The Transformation of Intimacy.[4] Buku itu adalah hasil tiga tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya yang kedua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah “hubungan murni” (antara lelaki dan perempuan) yang didasarkan pada hakekat kepuasan hubungan itu sendiri, yang pandangan ini membuat kaum feminis di Inggris menjadi sangat marah.
Giddens menjadi kontroversial dan terkenal ketika ia menerbitkan The Third Way: The Renewal of Social Democracy.[5] Popularitas Giddens sebenarnya bisa dipahami, karena sejak tahun 1985, ia sudah memiliki dan bahkan menguasai Polity Press, yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar 400.000 buku ajar sosiologi karangan Giddens, Sociology,[6] berhasil dijual. The Third Way juga tersebar luas karena Polity Press dan koneksi Giddens dalam lingkaran “para kroni Tony Blair”.
Tentang sifat kontroversial dari Giddens dengan The Third Way-nya sampai saat ini memang masih menjadi perdebatan. Pelbagai sikap pro dan kontra terhadapnya begitu beragam. Di satu sisi, teori olahan Giddens dinilai sebagai terobosan baru. Namun, di sisi lain, Giddens bahkan dinilai tidak memiliki konsepsi dasar mengenai kekuasaan maupun ketimpangan struktural.
C.      Teori Strukturasi
1.   Konteks Kemunculan
Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens pernah ditanya tentang tujuan seluruh proyek kerjanya selama dua puluh tahun terakhir ini. Ia menjawab, “Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga modern.”[7] Apa yang diinginkan Giddens ternyata bukanlah mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu terobosan penting tidak hanya bagi sosiologi, namun juga bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Salah satu kontribusinya adalah teori strukturasi.
Teori ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori tindakan dalam ilmu sosial.[8] Ini bukan berarti bahwa para teoritisi tidak mempunyai teori tentang tindakan. Erving Goffman, misalnya, menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan Menteri Penerangan Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut petunjuk bapak.” [9] Yang pertama cenderung menafikan bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan ini yang menguasai dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya. Ada dualisme yang menggejala.
Akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat objek kajian ilmu sosial. Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula ‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur, dan bukan pelaku-perorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu.”[10]
Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya terangkum dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial.[11]
Kritik terhadap strukturalisme adalah pada poin pokoknya bahwa apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut struktur. Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika internal kinerja modal.[12]
Jadi, antara kedua perspektif di atas ada kesejajaran, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku pada totalitas gejala. Pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses tindakan dianggap sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis dan strukturalis merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subyek.”[13] Strukturalisme adalah bentuk dualisme.
2.   Penjelasan Teori
a.  Agensi dan Struktur
1)     Agensi
Dalam teori strukturasi, individu memainkan peran yang penting. Dalam teori ini, agen dipahami sebagai “subjek yang berpengetahuan dan cakap”. Agen tahu apa yang ia lakukan dan mengapa ia melakukannya. Menurut Giddens, semua tindakan adalah “bertujuan”.[14] Penekanan bahwa agen adalah berpengetahuan dan tindakan mereka mengandung maksud dan tujuan adalah salah satu dari fondasi pemikiran Giddens.
Berkenaan dengan proses pembuatan keputusan, menurut Giddens, “pelaku mungkin mengkalkulasi resiko-resiko yang tercakup dalam melakukan tindakan sosial tertentu, berkaitan dengan kemungkinan sangsi-sangsi atau yang sebenarnya diterapkan, dan ia mungkin siap tunduk kepadanya sebagai harga yang mesti dibayar untuk mendapatkan tujuan tertentu.”[15] Dalam teori ini, orang menggunakan analisis biaya-keuntungan (cost-benefit analysis) agar bisa membuat sebuah keputusan. Jika keuntungan untuk melakukan suatu tindakan lebih besar daripada biaya-biayanya, maka tindakan tersebut akan dilakukan. Biaya di sini mencakup kemungkinan mengalami atau terkena sangsi-sangsi yang negatif. Jika keuntungan dari sebuah tindakan tersebut sama baik dari segi biaya-biaya dan sangsi-sangsinya, maka perbuatan itu dilakukan. Penting untuk diingat bahwa pelaku yang berpengetahuan itu menggunakan analisis biaya-keuntungan dengan menggunakan sekumpulan kriteria, tidak hanya masalah-masalah ekonomi saja.
Karena tidak seorang pelaku yang memiliki “pengetahuan yang sempurna,” maka penting menentukan batasan-batasan kemampuan mengetahui dari manusia. Menurut Giddens, “kemampuan mengetahui pelaku selalu dibatasi di satu sisi oleh konsekuensi tindakan yang tidak sadar, dan di sisi lain, oleh konsekuensi tindakan yang tidak diketahui/tidak dimaksudkan (unintended consequences).”[16] Tindakan-tindakan tidak sadar mungkin tidak tampak rasional, namun mereka diatur oleh sebagian perilaku tidak sadar yang tidak bisa diatur seseorang. Tindakan-tindakan ini seringkali diabaikan jika sesuai dengan masyarakat atau salah ucap sementara.
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari tindakan adalah lebih penting bagi teori Giddens. Konsekuensi-konsekuensi ini adalah hasil dari aktivitas-aktivitas yang memunculkan hasil yang berbeda dari yang diharapkan.[17] Untuk memahami konsekuensi-konsekuensi ini, penting untuk melihat hasil-hasil dari tindakan ketimbang motif-motifnya.[18] Giddens menggunakan contoh seorang pelaku yang menghidupkan lampu.[19] Motif di balik menghidupkan lampu ini adalah untuk menerangi ruangan. Namun, konsekuensi lain dari tindakan ini adalah mengusir pencuri. Pengusiran pencuri adalah konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Dalam contoh ini, kesimpulan bahwa tindakan pelaku tidak relevan adalah benar. Namun, dalam situasi-situasi yang kompleks, konsekuensi-konsekuensi itu mungkin sangat berpengaruh. Karena tindakan adalah hasil dari seorang individu (agen), maka ia menjadi unsur yang penting dari pengaruh seorang individu terhadap masyarakat.
Meskipun Giddens menekankan individu sebagai agen manusia, ia menempatkannya sebagai bagian dari proses pembuatan sejarah, ketimbang “pembuat sejarah”.[20] Konsekuensinya, untuk memahami teori Giddens, sangat penting memahami hubungan antara masyarakat dan individu. Giddens menyebut hubungan ini dengan “dualitas struktur.” Ini akan diulas setelah membahas tentang pengertian Giddens mengenai struktur.
2)      Struktur
Unsur kedua dalam teori strukturasi adalah peran struktur dalam perubahan sosial. Giddens mendefinisikan struktur sebagai “aturan-aturan dan sumber-sumber yang dilibatkan secara berulang-ulang dalam reproduksi sistem-sistem sosial. Struktur hanya ada dalam jejak-jejak memori, dasar organis bagi kemampuan mengetahui dari manusia, dan seperti dikongkritkan dalam tindakan.” [rules and resources, recursively implicated in the reproduction of social systems. Structure only exists in memory traces, the organic basis of human knowledgeablitiy, and as instantiated in action].[21] Dengan kata lain, ia mencakup aturan-aturan (rules) yang mengatur masyarakat. Penggunaan istilah recursive menunjuk kepada suatu pengertian bahwa struktur bisa menjadi media dan sekaligus hasil dari praktik-praktik sosial yang membentuk sistem-sistem sosial. Ini menyiratkan bahwa struktur dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi perubahan sosial. Jadi, ia bersifat recursive (berulang). Masyarakat mempunyai aturan-aturan dan sumber-sumber yang mempengaruhi perubahan sosial. Dan juga, aturan-aturan dan sumber-sumber ini bisa dimodifikasi melalui proses restrukturasi masyarakat. Inilah dasar bagi dualitas struktur.
Giddens memandang struktur sosial sebagai ciri-ciri yang tidak dapat diraba. (structure only exists in memory traces, the organic basis of human knowledgeability, and as instantiated in action). Seorang tidak bisa memandang aturan-aturan atau sumber-sumber sebuah masyarakat dengan sendirinya, hanya pengaruh-pengaruhnya saja yang bisa dipelajari. Jadi, struktur ada hanya secara instan. Karena struktur dilibatkan dalam perubahan sosial, maka keberadaannya sebagai entitas yang bisa diraba (dapat diukur) hanya bersifat temprorer. Dengan kata lain, struktur tidak pernah statis, ia selalu dimodifikasi.
Unsur lain yang penting dari pemikiran Giddens adalah pembedaan antara struktur, sistem dan strukturasi. Sistem berbeda dengan struktur, yang diartikan Giddens sebagai “relasi-relasi yang direproduksi antara pelaku atau kelompok, yang diatur sebagai praktik sosial yang rutin.”[22] Sistem menunjuk kepada relasi antara individu dan kelompok pelaku, yang masing-masing menggunakan struktur masyarakat secara berbeda. Proses perubahan sosial dalam masyarakat disebut strukturasi, yang diartikan sebagai “conditions governing the continuity or transformation of structures, and therefore the reproduction of systems” [kondisi-kondisi yang mengatur kesinambungan atau transformasi struktur, dan ujungnya reproduksi sistem].[23] Dengan kata lain, strukturasi menunjuk kepada metode-metode yang digunakan untuk mengubah masyarakat. Tiga faktor ini menggambarkan metode dan pola perubahan sosial yang dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi struktur masyarakat.
b. Dualitas Struktur
Dalam teori ini, Giddens menegaskan bahwa agensi manusia dan struktur sosial berhubungan satu dengan lainnya, dalam satu cara, yang mana struktur merupakan dasar bagi segala tindakan individu, dan tindakan-tindakan individu mereproduksi struktur. Penyeimbangan ini disebut Giddens dengan dualitas struktur. Ini berarti bahwa struktur sosial ada dalam bentuk tindakan dan modalitas yang berhubungan dengan unsur-unsur struktural, bahkan juga berarti bahwa muatan-muatan unsur ini dapat diubah ketika orang mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.
Pelaku yang refleksif menyajikan suatu simbol refleksi yang terus menerus, entah itu sebagai seorang individu atau pun seorang teman. Interaksi-interaksi yang merupakan hasil dari proses refleksi mempengaruhi satu sama lainnya dan juga muatan struktur. Struktur didefinisikan sebagai pola-pola tindakan dan tatanan virtual dari tindakan dan modalitas. Tindakan-tindakan berlangsung dalam wilayah-wilayah struktural, yang secara formal digambarkan sebagai: signification (pemaknaan), domination (dominasi) dan legitimation (legitimasi). Wilayah-wilayah ini memiliki modalitas, yang seorang dapat gambarkan sebagai media interaksi.
Struktur sosial dan interaksi manusia dipecah ke dalam tiga dimensi dan karakter berulang dari tiga dimensi ini diilustrasikan dengan modalitas (sarana-sarana) penghubung. Maka, ketika manusia berkomunikasi, mereka menggunakan kerangka penafsiran (interpretive scheme) untuk membantu memahami interaksi. Pada saat yang sama, interaksi-interaksi tersebut mereproduksi dan memodifikasi kerangka-kerangka penafsiran tersebut yang melekat dalam struktur sosial sebagai pemaknaan (signification). Begitu pula, fasilitas untuk mengalokasi sumber daya dibangun dalam kendali kekuasaan, dan menghasilkan serta mereproduksi struktur dominasi, dan aturan-aturan moral membantu menentukan apa yang bisa diberikan sangsi dalam interaksi manusia, yang memunculkan struktur-struktur legitimasi.
Dimensi-dimensi dari dualitas struktur dapat diberikan dalam diagram yang terkenal berikut ini:[24]
Struktur
Pemaknaan
-----
Dominasi
----
Legitimasi

I

I

I
Modalitas
Kerangka penafsiran

Fasilitas

Norma

I

I

I
Interaksi
Komunikasi
----
kekuasaan
----
Sangsi

Ilustrasi dari bagan ini akan diuraikan sebagai berikut. Menurut Giddens, setiap interaksi atau tindakan yang berulang dan terpola akan menghasilkan struktur. Kualitas dari struktur ini akan ditentukan oleh modalitas. Yang disebut struktur di sini adalah hukum, aturan dan kebiasaan hidup. Di dalam masyarakat, ada tiga interaksi sosial yang sangat dominan yaitu, komunikasi, kekuasaan dan sangsi. Dalam hal komunikasi, modalitas adalah kerangka penafsiran (intepretive scheme) yang akan menghasilkan pemaknaan sebagai langkah berikutnya.
Sebagai contoh, saya belum kenal yang namanya Bambang, sementara besok saya akan berjumpa dengannya. Lalu saya tanya kepada teman saya yang kebetulan sudah kenal dengan Bambang tentang siapa Bambang itu sebenarnya? Teman saya itu kemudian menjawab bahwa Bambang adalah seorang pencuri. Teman saya telah memberikan kerangka penafsiran bahwa “Bambang adalah pencuri”. Keesokan harinya, sebelum Bambang datang, saya mengunci seluruh lemari, dan bahkan Bambang saya terima di luar rumah. Namun kemudian, Bambang mengajak saya makan dan bahkan membayari saya ongkos taksi sekaligus ketika saya mau pulang, pemaknaan saya pun kemudian berubah, ternyata Bambang orang baik. Keesokan harinya, ketika Bambang datang ke rumah, saya mempersilahkan dengan penuh hangat. Perjumpaan di sini bisa mengubah kerangka penafsiran, dan kemudian kepada pemaknaan. Bahkan sebaliknya, bisa memperburuk kerangka penafsiran, jika pengalaman perjumpaan pertamanya buruk.
Tindakan yang kedua adalah kekuasaan (power). Interaksi akan mengantarkan kepada dominasi, namun dominasi ditentukan oleh modalitas, yaitu dalam bentuk fasilitas yang bisa mencakup fisik, ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Semakin ada akumulasi fasilitas, dominasi itu akan semakin kuat. Seorang yang memiliki fasilitas ekonomi, misalnya, akan sangat mudah untuk mendominasi yang miskin ekonomi. Seorang kiayi bisa dengan mudah mendominasi santri-santrinya karena mempunyai fasilitas budaya dalam bentuk simbol-simbol agama. Bentuk dominasi ini juga akan memberikan pengaruh dalam interaksi relasi antara santri-kiayi.
Tindakan ketiga sangsi atau terkait dengan moralitas. Yang dituntut adalah legitimasi (dasar pembenaran suatu tindakan), entah dari hukum, norma, agama, atau kebiasaan. Setiap tindakan membutuhkan pembenaran atau legitimasi. Semua tindakan membutuhkan legitimasi, apa lagi kekuasaan. Kekuasaan membutuhkan legitimasi dari hukum, agama atau lainnya. Agama bisa menjadi sumber legitimasi, sementara semua tindakan membutuhkan legitimasi. Di sinilah awal dari konflik dan pertentangan, pada saat legitimasi di dapat dari agama. Legitimasi mendukung kekuasaan, dan pemaknaan memberikan masukan bagi kekuasaan. Namun, dalam realitasnya dominasi menentukan pemaknaan, dan juga bisa menentukan legitimasi. Sebagai contoh dominasi menentukan pemaknaan adalah penataran P4, yang mana makna yang paling baik adalah yang ditentukan oleh Manggala, sehingga selain dari itu dianggap keluar dari pemaknaan yang sebenarnya.
c.  Relasi Waktu dan Ruang
Dalam teori sosialnya, Giddens menekankan bahwa waktu dan ruang memberikan pengaruh-pengaruh yang penting terhadap struktur masyarakat, dan konsentrasi terhadap pelintasan-silang waktu-ruang adalah tema yang mendasar dari teorinya.[25] Manusia tidak hanya membuat proses-proses sejarah tetapi juga geografis. Relasi waktu-ruang bukanlah terjadi secara kebetulan bagi pembentukan masyarakat dan perilaku kehidupan sosial. Pembentukan atau perkembangan masyarakat terikat tidak hanya kepada orang dan struktur masyarakat, namun juga dipengaruhi oleh proses-proses historis dan geografis yang mempengaruhi masyarakat.
Semua aktivitas sosial diposisikan dalam tiga hubungan penting. Ini disebut oleh Giddens sebagai “tiga momen perbedaan yang saling menyilang”. Giddens melihat aktivitas sosial selalu dibentuk dalam tiga momen ini. Momen-momen tersebut adalah: (1) temporer; (2) paradigmatik; (3) spasial. Masing-masing dari hubungan ini adalah penting untuk memahami perubahan sosial. Sejarah dan letak geografi suatu wilayah juga penting untuk memahami perubahan sosial karena mereka memberikan pengaruh yang kuat bagi serangkaian tindakan yang ada pada agen atau pelaku. Penekanan pada relasi waktu dan ruang ini adalah salah satu dari kontribusi paling penting yang diberikan Giddens kepada teori sosial.
Daya konstitutif waktu dan ruang ini tampak jelas dalam gejala bahwa waktu-ruang menentukan makna tindakan kita maupun perbedaan nama yang satu dari tindakan yang lain. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Menonton film di bioskop bersama keluarga umumnya tidak disebut “bekerja”, sebagaimana berada di samping mesin mengerjakan sesuatu dari jam 8 pagi hingga 5 sore tidak disebut “berlibur”.
Semua tindakan hanya berlangsung dalam (bukan melalui) waktu dan ruang. Tetapi persoalan bagaimana hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik sosial merupakan faktor yang membedakan masyarakat modern dari masyarakat sebelumnya. When [kapan] dicabut dari where [dimana]. Giddens menyebut gejala ini sebagai “perentangan waktu-ruang” [time-space distanciation] yang sebenarnya berisi “pencabutan” waktu dari ruang. Pencabutan waktu dari ruang inilah lokus perbedaan antara masyarakat modern dan bukan modern. Melalui proses pencabutan waktu dari ruang dalam skala global, kita juga akan mendapati globalisasi. Tanpa pencabutan waktu dari ruang, tidak akan ada globalisasi. Namun, yang perlu dicatat adalah bahwa perentangan sekaligus pemadatan waktu dan ruang hanya mungkin terjadi karena inovasi teknologi.
d.   Hermeneutika Ganda (Double-Hermeneutic)
“Hermeneutika Ganda” adalah konseptualisasi Giddens tentang ‘interaksi bersama antara ilmu sosial dan mereka yang segala aktivitasnya adalah menyusun materi-materinya.”[26] Akar keterlibatan ini adalah watak hubungan antara ilmu-ilmu sosial dan objek kajiannya. Praktik sosial adalah titik temu antara struktur dan pelaku. Praktik sosial mendepositokan uang yang dilakukan oleh semakin banyak orang adalah titik temu antara pemaknaan-dominasi-legitimasi kapitalisme dan tindakan kongkrit orang-orang yang menyimpan uang di bank. Perilaku mendepositokan uang di bank merupakan data yang memberi umpan balik pada studi manajemen perbankan, psikologi iklan, para teknolog bank, sosiolog yang mempelajari gaya hidup, dan sebagainya. Umpan balik ini kemudian masuk ke dalam riset-riset dan refleksi para peneliti dan pemikir, yang hasilnya kembali menjadi umpan balik praktik mendepositokan uang di bank. Dan begitu seterusnya.
Semua ilmu sosial, menurut Giddens, mulai dari apa yang sudah, sedang atau mungkin akan dilakukan seseorang, yang juga merupakan hasil dari berbagai motivasi, kepentingan, keterbatasan, dan maksud dari orang-orang yang kongkrit. Ada yang mendepositokan uang karena menyimpan di bawah bantal tidak aman, atau untuk menabung, atau demi bunga, atau karena ingin memenangkan undian berhadiah. Tindakan dan praktik sosial ini disebut oleh Giddens sebagai “dunia yang sudah ditafsirkan.”[27]
Ilmu sosial menghadapi dan mengkaji dunia yang sudah ditafsirkan. Namun praktik sosial yang menjadi objek kajian itu juga merupakan gugus tindakan yang telah melibatkan skemata tertentu (struktur) di mana ilmu-ilmu sosial sendiri sudah turut merumuskannya. Praktik deposito, misalnya, sudah melibatkan konsep investasi dan suku bunga yang menjadi objek kajian ilmu keuangan. Praktik yang sama juga melibatkan pemasaran tentang guna deposito bagi pengelolaan keuangan yang banyak direfleksikan oleh ekonom dan psikolog ekonomi, disamping menyangkut pola gaya hidup yang banyak diminati para sosiolog dan psikolog. Pada giliranya berbagai kajian, laporan riset, serta teori sosial baru mengenai praktik sosial itu, yang terus menerus dihasilkan para ilmuan sosial, juga terus menerus memodifikasi dan mengubah praktik mendepositokan uang di bank. Proses ini disebut Giddens sebagai double hermeneutic yaitu “arus timbal-balik antara dunia sosial yang diperbuat oleh khayalak dan wacana ilmiah yang dilakukan oleh ilmuan sosial.”
Singkatnya, para pelaku sosial memiliki kekuatan untuk merefleksikan teori-teori ilmu sosial, memasukkannya dalam gudang pengetahuan dan keyakinannya, dan pada gilirannya berbuat secara berbeda. Ketika mereka melakukan ini, mereka mentransformasikan struktur dari realitas sosial, dan mungkin pada akhirnya membuat teori-teori tersebut menjadi tidak bisa dipertahankan.
3.  Kritik terhadap Teori Strukturasi Giddens
Dalam tulisan ini, hanya ditampilkan kritik Margareth S. Archer terhadap Giddens.[28] Archer mengkritik Giddens karena ia mengunci agensi dan struktur begitu ketat. Ia menegaskan bahwa konsep-konsep tersebut mempunyai implikasi yang berbeda. Gagasan struktur cenderung menekankan batasan-batasan pada tindakan manusia; gagasan agensi menekankan batasan-batasan pada kehendak bebas; dan keduanya tidak pernah bisa direkonsiliasikan. Dalam pandangannya, Giddens begitu banyak menekankan pada kemampuan agen untuk mengubah struktur hanya dengan mengubah perilaku mereka.
Karya Giddens menyiratkan bahwa, jika orang ingin mulai bertindak secara berbeda esok hari, maka semua struktur masyarakat akan segera berubah. Menurut Archer, ini tidaklah begitu. Kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah struktur sosial, dan jangkauan manusia mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan dunia sosial, bergantung pada watak struktur sosial.
4.   Aplikasi Teori Stukturasi terhadap Masalah Migrasi
Teori strukturasi, yang menekankan signifikansi struktur masyarakat dan agen manusia, bisa digunakan untuk meneliti fenomena migrasi atau perpindahan seseorang atau kelompok dari suatu wilayah ke wilayah lain. Migrasi pada umumnya dilihat sebagai proses untuk memperbaiki kondisi seseorang. Dalam kaitan ini, penting untuk menentukan enam konsep penting: agensi, struktur, dualitas struktur, institusi, dialektika kontrol dan relasi ruang/waktu.
Dalam teori strukturasi Giddens, agen/pelaku, seperti telah dijelaskan, dipahami sebagai knowledgeable and capable subject dan tindakan-tindakan mereka bertujuan. Dan juga, dalam pembuatan putusan, seorang pelaku mungkin akan menghitung resiko-resiko (untung-rugi), atau menggunakan cost-benefit analysis.
Seorang individu atau agen membuat putusan-putusan yang didasari pada karateristik-karakteristik personal. Dan ia tidak sepenuhnya membuat putusan-putusan yang rasional dalam hal migrasi. Putusan-putusan yang dibuat memunculkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Sebagai contoh adalah pelanggengan patriarki dalam sebuah masyarakat melalui putusan-putusan migrasi. Ini bukan merupakan tujuan dari seorang yang melakukan migrasi, namun seringkali menjadi sebuah konsekuensi.
Struktur juga merupakan faktor berpengaruh terhadap migrasi. Lanskap-lanskap ekonomi dan politik yang terus berubah cenderung memunculkan sejumlah besar migrasi. Ini memberikan kontribusi bagi faktor-faktor struktural-migrasi yang sangat menentukan tentang proses pembuatan keputusan mengenai migrasi ini.
Dualitas struktur merupakan aspek penting lainnya dalam pikiran Giddens. Dalam kajian tentang migrasi, interaksi antara faktor-faktor penentu yang bersifat struktural dan juga proximate mendemonstrasikan pentingnya dualitas struktur. Misalnya, seorang atau kelompok orang berhasrat mendapatkan tempat yang bisa memuaskan kebutuhan dan memenuhi nilai-nilainya. Jika ini mereka bisa temukan di tempat yang akan dituju, mereka pun mempertimbangkan untuk migrasi. Ada dualitas antara struktur dan tindakan pelaku.
Seorang tidak bisa membayangkan faktor-faktor ini bergerak secara terpisah satu sama lainnya. Kedua faktor-faktor penentu ini berinteraksi untuk menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Menurunnya kondisi atau nilai mungkin menyebabkan seorang atau masyarakat bermigrasi ke wilayah-wilayah yang kebutuhan-kebutuhan mereka bisa tepenuhi. Menurunnya kondisi ekonomi mengurangi prospek-prospek kerja di sebagian wilayah. Dalam lingkungan inilah masyarakat mulai melakukan protes, yang memunculkan dukungan bagi pembuatan legislasi yang mendukung pembangunan nasional yang mengangkat dominasi bangsa oleh kelompok mayoritas. Migrasi kelompok minoritas juga mengangkat strukturasi masyarakat oleh mayoritas dengan menghilangkan kompetisi dalam proses pembentukan bangsa.
Dialektika kontrol sangat berkaitan erat dengan dualitas struktur. Giddens menekankan bahwa semua agen mempunya sumber kekuasaan. Ketika mereka kehilangan kekuasaan, mereka pun akan berhenti menjadi agen. Dengan alienasi yang terlembagakan yang kerapkali menyertai pembagunan bangsa dan ekonomi, sebagian agen memandang migrasi sebagai satu-satunya kesempatan untuk memperoleh kembali status mereka sebagai agen. Seringkali mereka bermigrasi ke suatu negara yang mereka rasakan mempunyai peluang-peluang ekonomi atau memiliki identitas nasional yang sesuai dengan identitas mereka sendiri.
Perubahan-perubahan masyarakat dipengaruhi oleh institusi-institusi yang eksis dalam suatu masyarakat dan bagaimana para agen menggunakannya. Institusi-institusi ini merupakan praktik-praktik yang dilakukan secara rutin yang digunakan oleh para agen untuk menciptakan perubahan sosial. Sebagian institusi berada dalam suatu tempat yang mempengaruhi migrasi. Diskriminasi memaksa sebagian orang untuk kembali tanah airnya. Ancaman diskriminasi yang konstan ini menyebabkan banyak orang bermigrasi dari tempat-tempat yang subur, dengan menciptakan putusan-putusan migrasi yang tidak rasional.
Institusi kedua yang mempengaruhi migrasi adalah serangkaian jaringan antara masyarakat yang berada di luar tanah airnya serta teman-teman dan anggota keluarga yang bertempat di wilayah nenek moyang mereka. Jaringan-jaringan ini menyediakan serangkaian informasi yang membantu para calon migran untuk memutuskan kalau-kalau migrasi akan meningkatkan fungsi utilitasnya.
Rangkaian institusi terakhir yang mempengaruhi migrasi adalah geopolitik. Relasi-relasi geopolitik menyuburkan hubungan-hubungan antara negara-negara. Hubungan-hubungan antar-negara meningkatkan migrasi karena interaksi dan konektivitas yang bertambah. Contoh dari proses ini adalah migrasi antara Rusia dan Asia Tengah[29] dan migrasi antara Amerika Serikat dan Meksiko.[30]
Unsur terakhir dari teori strukturasi adalah pentingnya relasi ruang/waktu dalam pembentukan masyarakat. Giddens menekankan bahwa wilayah-wilayah adalah unik dan membentuk ulang masyarakat dalam cara-cara yang berbeda. Oleh karena itu,  dalam kaitan dengan migrasi penting untuk melihat serangkaian faktor-faktor tempat asal dan tujuan yang unik yang mempengaruhi migrasi. Watak unik suatu wilayah menyediakan titik tolak yang darinya pola-pola migrasi bisa dijelaskan. Migrasi adalah proses yang kompleks di seluruh dunia dan menjadi lebih kompleks lagi dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami transisi. Karakteristik-karakteristik seorang migran dan karakteristik-karateristik masyarakat pada tempat asal dan tujuan adalah faktor-faktor penting bagi migrasi. Juga, metode yang digunakan masyarakat untuk berubah dan sumber-sumber daya yang mereka gunakan untuk menyebabkan perubahan adalah penting. Terakhir, peran institusi dan karakteristik-karakteristik sebuah lokasi adalah faktor-faktor utama yang mempengaruhi putusan-putusan migrasi dan pola-polanya. Semua isu ini secara bersama-sama mempengaruhi migrasi.
D.      Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, teori strukturasi pada umumnya didasari pada poin-poin pokok sebagai berikut:
  1. Fokus mendasar dari teori sosial bukanlah tindakan individu dan pengalaman pelaku, namun praktik sosial. Praktik sosial inilah yang berada pada akar pembentukan individu dan masyarakat.
  2. 2.    Praktik sosial dilakukan oleh agen-agen manusia yang berpengetahuan dengan kekuatan sebab-akibat, yaitu kekuatan untuk membuat perbedaan. Para pelaku bukanlah orang-orang yang dungu dan bukan pula produk dari kekuatan-kekuatan sosial. Mereka mempunyai kapasitas untuk refleksi-diri dalam interaksi sehari-hari, sebuah kesadaran praktis tentang apa yang mereka lakukan dan dalam keadaan-keadaan tertentu kemampuan untuk melakukan sesuatu.
  3. Bagaimanapun juga, praktik-praktik sosial ini tidaklah berantakan dan tidak murni voluntaristik, namun teratur dan stabil dalam ruang dan waktu. Singkatnya, mereka dirutinisasi dan dilakukan berulang-ulang. Dalam menghasilkan praktik-praktik sosial, yang merupakan pola-pola jelas yang membentuk masyarakat, para pelaku menggunakan “structural properties” (aturan-aturan dan sumber-sumber daya) yang mereka sendiri merupakan ciri-ciri institusional dari masyarakat.
  4. Struktur karenanya bergantung pada aktivitas. Ia merupakan sarana dan sekaligus hasil dari sebuah proses strukturasi—produksi dan reproduksi praktik-praktik dalam ruang dan waktu. Proses ini adalah apa yang disebut Giddens “hermeneutika ganda”, keterlibatan ganda dari individu dan lembaga. Secara lebih jelas, “kita menciptakan masyarakat dan pada saat yang sama kita diciptakan olehnya.”
E.       Bibliografi
Conway, Dennis dan Jeffery H. Cohen, “Consequences of Migration and Remittances for Mexican Transnational Communities,” Economic Geography 74 (1), 1998: 26-44
Dunlop, John, “Will the Russians Return from the Near Abroad?” Post-Soviet Geography 35 (4), 1994, 204-215
Giddens, Antony, Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, London: MacMillan Press, 1979
-----------, New Rules of Sociological Method, London: MacMillan Press, 1976
-----------, The Constitution of Society, Berkley: University of California Press, 1984
-----------, Modernity and Self-Identity, Cambridge: Polity Press, 1990
-----------, The Transformation of Intimacy, Cambridge: Polity Press, 1992
-----------, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, Cambridge: Polity Press, 1998
Haralambos dan Holborn, Sociology: Themes and Perspectives, Cet. ke-5, London: Hapercollins, 2000
Jary, David dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, New York: Harper Collins, 1991
Priyono, B. Herry, “Sebuah Terobosan Teoritis,” Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000
-----------,  Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2, Jakarta: KPG, 2003
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, Cet. ke-3, Jakarta: Kencana, 2005



* Dosen STAIN Datokarama Palu
[1] David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, (New York: Harper Collins, 1991), 196
[2] Di antara buku-buku terkenalnya adalah: New Rules of Sociological Method (1976), The Constitution of Society (1984), The Consequences of Modernity (1990), The Transformation of Intimacy (1992) dan The Third Way (1998).
[3] Diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge, pada tahun 1990.
[4] Diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge, pada tahun 1992.
[5] Diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge, pada tahun 1998.
[6] Diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge tahun 1998.
[7] Dikutip dalam B. Herry Priyono, “Sebuah Terobosan Teoritis,” Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000, 16
[8] Antony Giddens, Central Problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, (London: MacMillan Press, 1979), 2
[9] Dikutip dalam Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Cet. ke-2, (Jakarta: KPG, 2003), 7-8
[10] Dikutip dalam Priyono, Sebuah .., 17
[11] Priyono, Anthony …, 10
[12] Ibid., 15
[13] Giddens, Central …, 38
[14] Ibid., 56
[15] Ibid., 87
[16] Giddens, The Constitution of Society, (Berkley: University of California Press, 1984), 282
[17] Ibid., 10
[18] Ibid., 11
[19] Lihat, ibid., 10
[20] Inilah yang memisahkan teori Giddens dari teori-teori sosial-humanistik, seperti humanisme dan posmodernisme. Teori-teori humanistik melihat pelaku sebagai “pembuat sejarah”.
[21] Giddens, Constitution…, 377
[22] Giddens, Central Problems …, 66
[23] Ibid.
[24] Ibid., 82; Constitution …, 29
[25] Giddens, Constitution …, 54
[26] Ibid., xxxii
[27] Dikutip dalam Priyono, Anthony …, 51
[28] Dikutip dalam Haralambos dan Holborn, Sociology: Themes and Perspectives, Cet. ke-5, (London: Hapercollins, 2000), 1068. Lihat pula, Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, Cet. ke-3, (Jakarta: Kencana, 2005), 515-18
[29] Lihat John Dunlop, “Will the Russians Return from the Near Abroad?” Post-Soviet Geography 35 (4), 1994, 204-215
[30] Dennis Conway dan Jeffery H. Cohen, “Consequences of Migration and Remittances for Mexican Transnational Communities,” Economic Geography 74 (1), 1998: 26-44

Tidak ada komentar: