Sabtu, 04 Juni 2011

Islam Moderat Abu al-Fadl

GAGASAN KHALED ABU FADL TENTANG “ISLAM MODERAT VERSUS ISLAM PURITAN”: PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENGETAHUAN

Rusli, S.Ag. M.Soc.Sc

Abstract
The spread of puritanist movements which have been greatly influenced by Salafabi theology—a combination of Wahabi’s and Salafi’s thought—is in fact counter-productive to Islam and moslem societies in the world. The difficulty of countering Puritan streams is because of the fact that religious-traditional authority which counters this stream do not exist anymore or at least is marginalized by colonialist attack in the early eighteenth century. Therefore, the presence of moderate Islam, according to Abu Fadl, is highly vital for this purpose. In the perspective of sociology of knowledge, the motive behind the project of “moderate Islam,” in Abu Fadl’s view, is to establish a civil society which is moderate, tolerant, pluralist, and respectful for human rights. The interest is to create moderate Islam which is creative, smart, and full of spirit in spreading mercy for all universe. In the mirror of moderate Islam, the maqāsid are moral values, such as beauty, justice, equality, kindness, and these values are believed as a basis for the construction of particular substantive laws. Therefore, if contradiction between universal moral values and substantive laws for particular cases occurs, moral considerations are made priority since they are more deeprooted in sacred texts. And, to understand these texts, in addition to employing traditional methods, it is necessary to engage in rational-critical methods and approaches in social sciences, such as hermeneutical approach, among others.
Key words: Islam moderat, puritan, moral, Wahabi, Salafabi
I   Pendahuluan
Tragedi 11 September ternyata telah menarik perhatian para intelektual entah dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Banyak tulisan tersebar yang mengecam tragedi ini dan menganalisis dampak-dampak yang tidak diinginkan bagi komunitas Muslim minoritas yang tinggal di Barat. Salah satu buku yang diterbitkan dalam semangat ini adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Ian Markham dan Ibrahim M. Abu-Rabi‘.[1] Lebih dari itu, hampir semua intelektual Muslim yang ada di Barat, berupaya menolak penggambaran wajah buram Islam dan berupaya menyebarkan Islam sebagai agama yang menekankan prinsip kasih sayang, keadilan, demokrasi, dan kesetaraan, seperti Ebrahim Moosa, Amina Wadud Muhsin,[2] Fathi Othman, dan sebagainya.
Tokoh yang juga ikut serta menyuarakan keindahan Islam dan menentang dengan sengit segala bentuk radikalisme, esktermisme, dan terorisme atas nama Islam adalah Khaled M. Abou El Fadl. Ia menyuarakan ini dalam berbagai tulisan yang tersebar luas, entah dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel-artikel lepas di berbagai surat kabar di Amerika. Tulisan ini berupaya memotret pikirannya dengan menggunakan kerangka pikir sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan umumnya didefinisikan sebagai “ilmu yang menekuni hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosialnya” (sociology of knowledge is concerned with the relationship between human thought and the social context within which it arises).[3] Sosiologi pengetahuan bisa dikatakan sebagai teori pengkondisian sosial atau eksistensial pengetahuan. Bagi Mannheim, semua pengetahuan dan pemikiran, meskipun berbeda tingkatannya, pasti dibatasi oleh struktur sosial dan proses historis. Pada saat tertentu, individu atau kelompok tertentu mungkin mempunyai akses lebih besar kepada suatu fenomena sosial ketimbang individu atau atau kelompok yang lain. Meskipun begitu, tidak ada seorang individu atau kelompok yang mempunyai akses total terhadap fenomena. Dalam hal ini, tulisan ini hanya diarahkan pada eksplorasi tulisan Abou Fadl dalam kaitan dengan konteks sosial serta motif dan kepentingan dari gagasannya tentang tipologi moderat dan puritan dalam wacana Islam.
II   Khaled Abou Fadl: Dari Tradisional Menuju Progresif-Moderat
Dalam kaitan dengan biografi tokoh ini, saya memetakannya ke dalam dua tahap perkembangan, yaitu fase ketika ia masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional Islam, dan fase ketika ia berkenalan dengan nilai-nilai liberal Islam. Fase pertama dimulai pertama kali ketika ia masih berusia puluhan tahun di wilayahnya sendiri. Khaled, yang dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963, memang tumbuh di kalangan Islam tradisional-konservatif, meskipun keluarganya termasuk yang berpikiran relatif maju. Ia besar di sebuah lingkungan yang sarat dengan mimpi tentang kebangkitan peradaban Islam—sebuah peradaban yang menjadi menara kebebasan, keadilan dan kemuliaan, dengan membangkitkan kembali pada kejayaan dan keindahan pengalaman Nabi di Madinah.[4]
Tradisionalisme-konservatif Khaled ini sedikit banyak dipengaruhi oleh persentuhan intelektualnya dengan guru-guru awal yang konservatif dan bacaan-bacaan yang dianggap “tradisional.” Khaled sendiri mengakui bahwa ia diharuskan membaca buku koleksi hadis yang berjudul Riyâd al-Sâlihîn karya al-Nawawi dan Sîrat al-Sahâbah yang keduanya merupakan rujukan majelis pengajian tradisional. Bahkan, ia diharuskan menguasai secara utuh kedua buku ini dan jangan pindah ke buku-buku lain, apalagi yang kontroversial, dengan alasan kekhawatiran adanya pikiran-pikiran yang bisa mencemarinya.
Ternyata, apa yang dipelajari oleh Khaled tidak terhenti pada batas pengkajian saja, namun harus didakwahkan kepada orang lain. Dalam hal ini, Khaled memiliki sikap puritan dalam menyebarkan faham-faham tradisional itu, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ia menciptakan polarisasi we (nahnu) dan the other (minhum). Bahkan, meniru perilaku the other dianggap keluar dari identitas keislaman yang sejati. Sikap keras itu jelas adalah buah dari didikan-doktriner dari guru-guru awalnya yang konservatif. Ini berlangsung hingga usia remaja, yang secara psikologis, merupakan usia-usia yang penuh semangat dan agresif.
Kemudian, Khaled memasuki fase kedua, yaitu fase progresifisme-moderat yang dalam fase ini pikiran-pikirannya mulai mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Fase ini ditandai dengan pikiran-pikiran yang lebih mengutamakan substansi ketimbang isi, lebih mengedepankan pendekatan historis-hermeneutis dalam memahami teks ketimbang pendekatan literal, dan mempromosikan nilai-nilai moral universal yang indah seperti keadilan, kesetaraan, kasih sayang, dan lain-lain.
Kapan terjadi perubahan yang drastis pada diri Khaled ini? Tepatnya ketika ia mulai bersentuhan dengan pikiran-pikiran moderat. Sentuhan pertama ketika ayahnya membuat semacam perjanjian dengan Khaled bahwa ia akan mengikuti Khaled jika ia tidak berubah ketika mengaji dengan seorang guru yang dikenal moderat, toleran dan terbuka, serta berpengetahuan luas. Ternyata akibat persentuhan intelektual ini, Khaled menemukan suatu pencerahan baru yang menjadi titik balik baru bagi sikapnya kemudian, yaitu menjadi seorang yang berpikiran terbuka dan toleran, yang merupakan kebalikan dari sikapnya sebelumnya. Kata Khaled:
“Pengetahuan agama saya ternyata sedikit sekali dibanding dengan pengetahuannya dan pengetahuan murid-murid lain yang sudah lama belajar padanya. Kalau saya mengajukan satu ayat Alquran atau sebuah hadis untuk mendukung argumentasi saya, ia membalasnya dengan 10 atau 20 ayat Alquran dan hadis Nabi, yang cukup menggoyahkan apa yang selama ini saya anggap benar.”
Sentuhan berikutnya adalah ketika ia mereguk pengetahuan di Mesir dan juga di negara Barat. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika menetap di negeri Piramida ini. Di Mesir, ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Maklum, di Kuwait Wahabisme menjadi mazhab negara dan telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi Wahabi menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat. Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Di Barat, ia menimba ilmu di berbagai universitas Barat seperti Yale University (B.A). Namun, bayang-bayang puritanisme tidak pernah pupus dari ingatannya. Kemudian, pada tahun 1986 ia melanjutkan studi di University of Pennsylvania Law School (J.D), dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1999, ia melanjutkan studi di Princeton University untuk meraih gelar master dalam bidang Islamic Studies, dan pada saat yang bersamaan, ia juga mengambil studi hukum di UCLA. Ia juga memperoleh gelar doktor di Princeton University.
Setelah itu, sebagai seorang akademisi, ia mengajar di berbagai universitas di Amerika, misalnya, menjadi profesor tamu di Yale Law School mengajar National Security, Immigration and Islamic law, Profesor Penuh di the UCLA School of Law mengajar hukum Islam, imigrasi, hak asasi manusia, hukum keamanan nasional dan internasional, serta Profesor Hukum di the University of Texas at Austin Law School, Yale Law School dan Princeton University.
Sebagai seorang aktivis, ia menjadi juru bicara yang aktif tentang Islam di Barat terutama yang terkait isu-isu terorisme, otoritas, toleransi dan hukum Islam, terlebih lagi ketika terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan dunia, yaitu pemboman gedung WTC pada tanggal 11 September 2001. Dan berbagai buku dan jurnal yang ia tulis sebagai besar adalah setelah tragedi 11 September ini, yang mengecam keras berbagai aksi terorisme, radikalisme, abolutisme yang muncul dari gerakan-gerakan puritanisme yang, menurut Khaled, dalam jangkauan yang luas dipengaruhi teologi Wahabisme. Itu tidak berarti bahwa, sebelum tragedi 11 September, ia tidak memiliki kepekaan terhadap isu-isu ini. Namun dari hampir semua tulisan yang ia tulis berisi tentang kecamannya terhadap gerakan puritan beserta pendekatan dan pemahamannya terhadap Islam yang sangat literal dan terbatas.
Dengan kata lain, konteks historis di balik berbagai pandangannya adalah pengalamannya yang tidak menguntungkan dengan berbagai tindakan puritanisme beserta tafsiran-tafsiran puritan yang hanya mencoreng wajah Islam yang indah, dan ini menjadi bumerang buat Islam dan masyarakat Muslim. Dengan kata lain, aksi terorisme atas nama Islam hanya menjadi bencana bagi umat Islam itu sendiri. Dan ini secara psikologis mempengaruhi komunitas Muslim minoritas yang berada di Barat.
Pelbagai karyanya, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel lepas ditulis dalam fase progresifme-moderat dan dalam aroma kebencian terhadap gerakan puritan ini. Diantara karya buku yang sampai kepada kita adalah sebagai berikut: Islam and the Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004); The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press, 2002);[5] Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of America/Rowman and Littlefield, 2001);[6] And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (UPA/Rowman and Littlefield, 2001);[7] Speaking in God's Name: Islamic law, Authority and Women (Oneworld Press, Oxford, 2001);[8] Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University Press, 2001); The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005).[9]
III   Tipologi Moderat dan Puritan
1.       Akar Genealogis Puritanisme
Ada perdebatan mengenai istilah yang tepat yang bisa digunakan untuk mencirikan gerakan-gerakan agama yang menyeru kepada dasar-dasar fundamental Islam. Sebagian ilmuan menggunakan istilah “fundamentalisme Islam” dengan alasan bahwa ia merupakan kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai simbol perjuangan menolak nilai-nilai Barat, sekularisme, dan imperialisme. Apa yang mengejutkan mengenai ini adalah penolakannya terhadap umumnya dianggap sebagai modern pada abad ke-20: sekularisme, demokrasi, dan bahkana nasionalisme.
Esposito menjauhi penggunaan istilah ini karena menyesatkan.[10] Munculnya gerakan-gerakan Islam, menurutnya, merupakan sebuah fenomena siklikal, yang terjadi di sepanjang sejarah Islam. Namun, Esposito lebih suka menggunakan istilah “islamisme” atau “Islam politik”, dan penamaan ini didukung pula oleh Bobby Sayyid.[11] Sebaliknya, sebagian ilmuan malah menyebut gerakan ini sebagai “revivalisme Islam” atau “kebangkitan Islam”.[12]
Menurut hemat saya, istilah “fundamentalisme” tidaklah begitu tepat untuk diterapkan kepada Islam karena istilah ini diambil dari Kristenitas, yang memiliki konteksnya sendiri, yang berarti seseorang yang percaya dasar-dasar dari Bibel dan Kitab Suci. Dalam pengertian ini, setiap Muslim bisa dikatakan seorang “fundamentalis” karena mereka percaya kepada dasar-dasar fundamental dari Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Nabi Saw.[13] Yang tampaknya lebih pas adalah menyebut gerakan ini sebagai “revivalisme Islam” yang berarti adanya kesadaran untuk meningkatkan keberagamaan secara individual dan kolektif. Klaim ini didasarkan pada alasan bahwa kemunculan gerakan ini pada awalnya merupakan respons terhadap situasi-situasi memprihatinkan yang dialami oleh komunitas dunia Muslim dalam jangka waktu yang lama.
Khaled cenderung menggunakan istilah puritan untuk menggambarkan gerakan di atas. Alasannya, menurut Khaled, ciri khas pemikiran mereka itu menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau ekstremis mereka.[14] Gerakan yang disebut puritan ini, menurut Khaled, bisa dilacak konteks historisnya pada tahun 1970an,[15] yang dalam tahun itu, umat Islam menyaksikan kebangkitan Islam yang mengambil bentuk gerakan puritan berorientasi-kekuasaan yang menyerukan kembali kepada identitas Islam otentik melalui penerapan syariat Islam. Seruan-seruan ini merupakan tema-tema umum yang terjadi setiap saat pada era kolonial.
Puritanisme melawan era modern dengan berlindung pada literalisme yang ketat, yang dalam payung itu teks menjadi satu-satunya sumber legitimasi. Ia mencoba kembali kepada masa keemasan Islam, kepada suatu tatanan negara adil dan sempurna yang diciptakan oleh Muhammad. Menurut kaum puritan, kita wajib kembali kepada Islam yang lurus dan sederhana, yang itu bisa diperoleh hanya dengan kembali kepada penerapan literal terhadap perintah-perintah dan sunnah Nabi, serta pelaksanaan yang ketat terhadap praktik-praktik ritual. Orientasi puritan juga menganggap bentuk pemikiran moral yang tidak sepenuhnya bergantung pada teks sebagai bentuk pemberhalaan diri, dan menganggap wilayah-wilayah pengetahuan humanistik, seperti teori sosial, filsafat, atau pemikiran spekulatif lainnya, sebagai “ilmu setan”.[16] Ia juga menolak segala upaya untuk menafsirkan hukum Tuhan dari perspektif historis dan kontekstual, dan malah, menganggap mayoritas sejarah Islam sebagai bentuk perusakan atau penyimpangan dari Islam yang otentik. Hermeneutika dialektis dan tidak terbatas terhadap ilmu fikih klasik dianggap sebagai pengotoran terhadap iman dan sharî‘ah.[17]
Dalam banyak hal, gerakan puritan mereproduksi kondisi-kondisi mental yang diadopsi oleh gerakan apologetik. Ia menghindari pendekatan-pendekatan analitis atau historis dalam memahami Islam, dan mengklaim bahwa semua tantangan yang dihadirkan oleh modernitas bisa dipecahkan dengan kembali kepada Alquran dan Sunnah Nabi. Dalam paradigma Islam puritan, Islam itu sudah sempurna, kesempurnaan itu berarti bahwa Islam tidak merekonsiliasikan dirinya atau membuktikan dirinya sesuai dengan sistem pemikiran lainnya. Islam merupakan sebuah sistem keyakinan dan hukum yang sudah lengkap dalam dirinya yang mencoba membentuk dunia dalam gambarannya, ketimbang mengakomodasi pengalaman manusia.[18]
Sikap ini muncul dari perdebatan tentang hakimiyyah (kedaulatan) dalam sejarah Islam. Menurut puritan, kedaulatan Islam adalah milik Tuhan itu sendiri, yang merupakan satu-satunya Pencipta hukum. Oleh karena itu, posisi normatif apa pun yang diambil dari akal manusia atau pengalaman-pengalaman sosial-historis pada dasarnya tidak valid. Satu-satunya posisi normatif yang dibolehkan adalah yang diserap dari pemahaman terhadap perintah-perintah Tuhan, seperti yang ditemukan dalam teks-teks suci. Oleh karenanya, tidak mengejutkan jika orientasi puritan menganggap semua pendekatan moral yang berlindung pada intuisi, akal, kewajiban-kewajiban kontraktual, atau konsensus sosial dan politik, sebagai aneh dan tidak valid. Semua norma moral dan hukum mesti diambil dari satu-satunya sumber, yaitu keinginan Tuhan.
Konsekuensi dari posisi, sikap, pendekatan dan pemahaman literal dari gerakan puritan ini dalam sebagian hal adalah sebagai berikut:
  •  Anti demokrasi dan hak asasi manusia, yang dianggap sebagai produk Barat.
  •  Anti pluralisme agama, bahkan gerakan puritan menuntut agar umat Islam menampakkan kebencian dan permusuhannya kepada orang-orang kafir (musyrik) dengan menegaskan bahwa seorang Muslim seharusnya tidak boleh mengadopsi kebiasaan-kebiasaan orang kafir dan tidak bersahabat dengan mereka. Ini harus diperlihatkan secara terang-terangan dan tidak ambigu.
  • Anti kesetaraan gender dan feminisme, yang dianggap sebagai doktrin Barat untuk menghancurkan identitas keislaman yang otentik.
  • Pembenaran kekerasan dan teror atas nama agama, karena ini, menurut mereka, merupakan bagian dari jihad defensif yang menegaskan bahwa umat Islam telah dizalimi.[19]
Gerakan-gerakan teologi Wahabi dan Salafi, yang merupakan pendukung utama Islam puritan, muncul pada era kolonial, sekitar abad ke-18, dan tetap aktif di sepanjang abad 20 ini.[20] Mereka memanfaatkan terjadinya krisis otoritas keagamaan setelah kolonialisme berhasil menyingkirkan peran ulama tradisional dengan berbagai sistem yang mendukungnya. Ketika lembaga-lembaga tradisional Islam ambruk di bawah kolonialisme, dan selama rentang waktu itu, lembaga-lembaga tradisional Islam ditantang oleh realitas baru negara-bangsa yang despotik dan sangat sentralistik, yang menasionalisasikan lembaga-lembaga keagamaan dan dan menarik lembaga wakaf masuk ke dalam kontrol negara, dan sebagian besar fuqahanya menjadi pegawai yang dibayar negara. Ini menghancurkan peran mediasi dari para fuqaha dalam masyarakat Muslim. Fakta ini juga menghilangkan legitimasi ulama tradisional dan mentransformasikan mereka menjadi “ulama istana”. Selain itu, simbol-simbol budaya Barat, model-model produksi, dan nilai-nilai sosial normatif secara agresif meresap ke dalam dunia Muslim, yang secara serius menantang kategori-kategori dan praktik-praktik normatif yang telah diwariskan, dan menambah rasa alienasi dan disonansi sosial-budaya yang mendalam.[21]
Kebanyakan negara Muslim meminjam konsep-konsep hukum perdata Barat, ketimbang melakukan metode dialektik fiqih tradisional. Pengaruh ini begitu kuat, bahkan modernis Muslim yang berupaya melakukan reformasi hukum Islam dipengaruhi oleh sistem hukum perdata Barat. Disintegrasi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan otoritas tradisional berarti meluncur ke dalam kondisi anarki virtual, khususnya terkait dengan mekanisme pendefinisian otentisitas Islam. Karena adanya kevakuman dalam otoritas keagamaan ini, tiba-tiba seorang yang tidak otoritatif dalam otoritas ini bicara untuk Islam, dan bahkan secara virtual setiap Muslim tiba-tiba dianggap memiliki kualifikasi untuk menjadi representatif dan pembicara bagi tradisi Islam, bahkan hukum sharî‘ah, padahal mereka memiliki pemahaman yang biasa tentang Alquran dan Sunnah Nabi dan tidak memahami preseden-preseden dan wacana-wacana komunitas penafsir masa silam. Ini karena standar yang ditetapkan begitu rendah, konsekuensinya, para insinyur, dokter, ilmuan fisika, [yang kebanyakan mengenyam pendidikan Barat] yang pas-pasan pengetahuannya tentang teks Islam dan sejarahnya, memposisikan dirinya sebagai fihak yang berotoritas tentang hukum Islam dan teologi.[22]
Dengan terdekonstruksinya institusi tradisional otoritas  keagamaan, maka muncullah organisasi-organisasi seperti kelompok Jihad, Tanzim, al-Qaeda dan Taliban, yang dipengaruhi oleh paradigma resistensi pembebasan bangsa dan ideologi-ideologi anti-kolonialis, namun yang juga melabuhkan diri mereka pada orientasi keagamaan yang sangat puritan, supremasis, dan berwatak sangat oportunistik. Teologi ini merupakan produk orientasi sinkronistik yang menggabungkan Wahabisme dan Salafisme dalam Islam modern.[23]
Penggabungan Salafisme yang telah menjadi oportunis dan Wahabisme oleh Khaled disebut Salafabisme. Ia bukan sebuah aliran pemikiran (school of thought) yang terstruktur, namun sebuah orientasi teologis. Karenanya, akan ditemukan variasi ideologis dan kecenderungan dalam masing-masing teologis. Namun, karakteristik yang konsisten dari Salafabisme ini, menurut Khaled, adalah puritanisme supremasis sebagai kompensasi dari perasaan-perasaan kekalahan, ketidakberdayaan, dan alienasi dengan rasa arogansi yang merasa benar sendiri vis à vis “yang lain” (other) yang tidak beridentitas—entah other itu Barat, orang kafir secara umum, atau perempuan Muslim. Dalam pengertian ini, adalah tepat menggambarkan orientasi Salafabis sebagai supremasis karena ia melihat dunia dari perspektif superior-inferior dan polarisasi yang ekstrim.[24]
Salafabisme melabuhkan dirinya pada teks, namun, menurut Fadl, ia sebenarnya telah merusak teks. Sebagai orientasi hermeneutis, ia memberdayakan para pengikutnya untuk mengarahkan rasa frustrasi dan ketidakamanan mereka kepada teks. Dinamika Salafabisme vis à vis teks bersifat despotik dan otoriter. Secara konsisten, teks-teks agama menjadi seperti cemeti yang digunakan oleh kelas pembaca tertentu agar bisa menegaskan dinamika kekuasaan yang reaksioner dalam masyarakat. Para pengikut Salafabisme tidak peduli dengan kooptasi atau klaim terhadap institusi-institusi Barat sebagai milik mereka. Dengan mengklaim Islam yang sejati dan sebenarnya, mereka terus mendefinisikan Islam sebagai antitesis Barat. Menurut model Salafabi, hanya dua jalan dalam kehidupan: jalan Tuhan (jalan lurus) dan jalan Setan (jalan sesat). Dengan berupaya mengintegrasikan dan mengkooptasi gagasan Barat seperti feminisme, demokrasi atau hak asasi manusia, manusia telah menjadi umpan godaan Setan dengan menerima pelbagai bentuk bid‘ah. Islam satu-satunya jalan dalam kehidupan, dan mesti diikuti terlepas apa yang dipikirkan orang lain dan bagaimana akibat-akibatnya kepada kebaikan dan kesejahteraan mereka. Kaum Salafabi bersikukuh bahwa hanya mekanisme dan teknikalitas hukum Islam saja yang mendefinisikan moralitas. Cara hidup yang legalistik ini dianggap lebih tinggi, dan mereka yang mengikuti cara yang lain dianggap sebagai kafir, munafik atau fasik. Kehidupan yang dijalani di luar hukum Tuhan dianggap tidak sah dan, karenanya, merupakan sebuah kejahatan terhadap Tuhan dan mesti diperangi secara aktif atau dihukum.[25]
Menurut Khaled, ada dua problematika yang membedakan Salafabisme dari yang lainnya: (1) Apakah teks dimaksudkan mengatur sebagian besar aspek kehidupan? (2) Apakah estetika atau kapasitas bawaan manusia untuk merefleksikan atau mewujudkan suatu yang baik itu mungkin? Kaum Salafabi terlalu melebih-lebihkan peran teks, dan memperkecil peran agen manusia yang menafsirkan teks keagamaan. Menurut mereka, teks tidak hanya mengatur kebanyakan aspek kehidupan, namun juga pengarang teks menentukan makna teks, dan tugas pembaca teks hanya memahami dan mengimplementasinya saja. Subjektivitas penafsir tidaklah relevan bagi realisasi dan implementasi perintah Tuhan, yang sudah dicakup secara utuh dan komprehensif di dalam teks. Karenanya, estetika dan pandangan-pandangan moral atau pengalaman-pengalaman dari penafsir dianggap tidak relevan dan tidak penting. Kemaslahatan publik seperti menjaga masyarakat dari godaan-godaan seksual kaum perempuan bisa diverifikasi secara empiris, sedangkan nilai-nilai moral dan estetika, seperti kemuliaan manusia, cinta, kasih sayang, tidak bisa diverifikasi secara empirik, karenanya harus diabaikan. Singkatnya, pendekatan mereka terhadap teks dapat dikatakan literalis, anti-rasionalisme dan anti pendekatan-pendekatan interpretatif. Dari orientasi teologis Salafabi inilah, menurut Khaled, muncullah kelompok-kelompok militan seperi al-Qaeda atau Taliban.[26]
Menariknya, gerakan-gerakan yang berorientasi-kekerasan ini pada era kontemporer malah semakin kuat, bukan menghilang, terbukti dengan pelbagai aksi teroris internasional yang dilakukan atas nama mereka. Pertanyaannya adalah mengapa mereka bisa begitu marak dan bahkan tetap eksis hingga saat ini? Menurut Khaled, salah satu sebabnya adalah karena “lembaga-lembaga tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya. Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama periode yang demikian lama.”[27]
Dan, mengapa teologi Wahabi yang dianggap minoritas saat ini menjadi kuat? Khaled menjelaskan empat faktor alasan utama bagi maraknya dan menguatnya Wahabisme:
(1) Dengan memberontak kepada Utsmani, Wahabi memunculkan respons yang simpatik kepada ideologi-ideologi nasionalisme Arab pada abad ke-18. Dengan memperlakukan kekuasaan Utsmani Muslim sebagai kekuatan asing, Wahabi membuat satu preseden yang kuat buat gagasan-gagasan tentang hak menentukan nasib dan otonomi sendiri. (2) seperti disebutkan diatas, Wahabi mendukung gerakan kembali kepada asal muasal Islam yang murni. Begitupula, Wahabi menolak beban kumulatif dari hambatan sejarah, dan bersikukuh pada kembali kpeada preseden generasi awal yang terbimbing (al-salaf al-sâlih). … (3) dengan mengontrol Mekkah dan Madinah, Saudi Arabia secara terposisikan secara alami untuk memberikan pengaruhnya yang signifikan kepada budaya dan pemikiran Muslim. Kota-kota suci Mekkah dan Madinah merupakan jantung simbolik bagi Islam, dan situs-situs bagi jutaan Muslim melakukan ibadah haji setiap tahun. Oleh karena itu, dengan mengatur apa yang mungkin dianggap sebagai keyakinan dan praktik ortodoks meskipun pada saat haji, Saudi Arabia terposisikan secara unik untuk sangat mempengaruhi sistem keyakinan itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan-tujuan yang murni simbolik, Raja Saudi Arabia mengadopsi gelar yang rendah hati sebagai penjaga dan pengabdi dua kota suci. (4) dan yang paling penting, penemuan dan pemanfaatan minyak memberikan buat Saudi tingkat likuiditas yang tinggi. Khususnya pasca 1975, dengan pelonjakan yang tajam dalam harga minyak, Saudi Arabia secara agresif mempromosikan pikiran Wahabi di seluruh dunia.[28]
Dengan uang yang melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.[29] Kendati begitu, Wahabi tidak menyebar dalam benderanya sendiri, namun dengan menggunakan bendera Salafi, karena kata Salafi merupakan paradigma yang jauh lebih dipercaya dalam Islam ketimbang istilah Wahabi itu sendiri, yang dianggap derogatif oleh para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang lebih senang melihat diri mereka sebagai representatif ortodoks Islam. Oleh karena itu, para ulama Wahabi secara konsisten menyebut diri mereka sebagai Salafi, bukan Wahabi.[30]
2.       Moderat Sebagai Tandingan Puritanisme: Motif dan Kepentingan
Kata “moderat”[31] merupakan lawan atas kata “puritan” dalam pemahaman Khaled. Kata “moderat” dalam kamus Merriam-Webster Dictionary (kamus digital), salah satu pengertiannya adalah “menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrim” [avoiding extremes of behaviour and expression]. Dalam kaitan ini, seorang yang moderat adalah seorang yang menjauhi perilaku-perilaku dan ungkapan-ungkapan yang ekstrim. Sementara itu, “Muslim moderat” didefinisikan oleh Khaled sebagai:
Orang-orang yang yakin pada Islam sebagai keyakinan yang benar, yang mengamalkan dan mengimani lima rukun Islam, menerima warisan tradisi Islam, namun sekaligus memodifikasi aspek-aspek tertentu darinya demi mewujudkan tujuan-tujuan moral utama dari keyakinan itu di era modern.[32]
… mereka meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat dan zaman. Mereka tidak memperlakukan agama mereka laksana monumen yang beku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekuensinya, Muslim moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama Muslim di masa silam, namun mereka hidup di zaman sekarang ...[33]
Dan dewasa ini, seperti diakui Khaled, kaum Muslim terpangkas dari tradisi-tradisi intelektual Islam itu, yang konsekuensinya, mereka kehilangan etos pengetahuan maupun landasan moral dan intelektual mereka.[34]
Terkait dengan motif, pada dasarnya semua proyek yang dilakukan Khaled dalam mengkritik bangunan teoritis dan praksis dari gerakan-gerakan puritan bermuara pada keinginan Khaled untuk menciptakan suatu masyarakat madani yang mencakup individu-individu Muslim yang moderat seperti yang digambarkan di atas, yang toleran, anti kekerasan, pluralis, demokratis, penuh kasih terhadap makhluk Tuhan, dan lebih menghargai hak asasi manusia. Kepentingannya bukan bersifat ideologis, namun praktis, yaitu Islam yang moderat, cerdas, kreatif, penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Karena jika individu-individu seperti ini terbentuk, maka wajah Islam yang pada dasarnya indah, akan tampak bersinar kembali sebagaimana itu pernah terjadi pada masa-masa keemasan Islam yang pada periode itu wacana intelektual berjalan begitu bebas dan dinamis. Dan orang-orang moderat inilah yang diharapkan Khaled menjadi counter-hegemony terhadap tafsiran-tafsiran dan gerakan-gerakan puritan yang pengaruhnya begitu kontra-produktif terhadap Islam dan masyarakat Muslim.
Untuk sampai kepada tujuan ini, perlu ada reformulasi pemahaman terhadap Islam dan sharî‘ah, dan juga pengetahuan yang baik terhadap tradisi-tradisi intelektual Islam masa silam yang begitu kaya. Islam harus dipahami sebagai sebuah ajaran yang indah dan penuh moral, bukan agama hitam-putih yang atomistik. Inti Islam, menurut Khaled, adalah “mencari keindahan—mencari keindahan Tuhan yang sempurna dan keindahan ciptaan-Nya.”[35] Pemahaman tentang hukum-hukum keindahan merupakan bagian yang fundamental dalam menemukan sharî‘ah itu sendiri. Tujuan sharî‘ah menurut para fuqaha adalah untuk mencapai kemaslahatan masyarakat, karena kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat termasuk sesuatu yang baik dan indah.[36] Tuhan itu bermoral dan etis, dan Alquran itu sendiri menyebut imperatif-imperatif moral yang umum seperti kasih sayang, keindahan, keadilan, kejujuran, kebaikan dan kemaslahatan.[37] Dan sebutan itu tidak berbilang dalam Alquran, dan juga bahkan dalam hadis-hadis Nabi, seolah-olah nilai-nilai ini mempunyai makna yang kodrati bagi manusia.
Karena begitu seringnya Alquran menyebut nilai-nilai moral ini, maka bagi Khaled, moralitas tampaknya menjadi maqâsid al-sharî‘ah, tujuan umum di balik segala penciptaan hukum. Hukum-hukum partikular merupakan penjelmaan absolut dari nilai-nilai moral Islam yang harus dipatuhi umat Islam itu. Karenanya, yang partikular tidak boleh menyimpang dari atau bertentangan dengan yang universal itu. Kata Khaled, “Hukum-hukum yang bersifat khusus dijalankan dan dikemudikan berdasarkan hukum-hukum yang universal, dan bukan sebaliknya,”[38] dan “jika tujuan-tujuan khusus menghalangi tujuan-tujuan moral sharî‘ah, maka tujuan-tujuan moral harus didahulukan, dan tidak sebaliknya.”[39]
Lalu bagaimana dengan metodologi al-Shâtibî (maslahah) yang menekankan konsep al-kulliyât al-khams yang dirumuskan al-Shâtibî? Khaled setuju dengan rumusan itu, namun pertimbangan moral lebih mengakar dalam kitab suci ketimbang pertimbangan-pertimbangan yang murni fungsional atau oportunistik,[40] karenanya, ia harus didahulukan. Ia menyatakan bahwa,
Penyelidikan-penyelidikan moral harus lebih berani dan aktif peranannya dalam memformulasikan hukum. Nilai-nilai moral harus diambil dari universalitas-universalitas yang terdapat dalam teks suci. Sebagai contoh, keadilan, kehormatan, atau keindahan dikenal sebagai nilai-nilai moral karena Alquran menekankan ketiganya sebagai kewajiban-kewajiban normatif. Makna dan konotasi dari nilai-nilai moral ini harus dieksplorasi dengan nalar, intuisi, dan observasi-observasi atas hukum-hukum alam yang bersifat sosial. intuisi dan penalaran akan memberikan kesadaran yang lebih utuh dan mendalam tentang makna dan implikasi nilai-nilai moral tersebut. Aturan-aturan hukum yang bersifat khusus, sekalipun bersumber dari teks, harus dievaluasi berdasarkan normatitivitas-normativitas Islam yang umum.[41]
Untuk sampai kepada suatu pemahaman Islam yang otentik, perlu menggunakan alat-alat bantu seperti teori-teori sosial, metode rasional-kritis, dan juga pendekatan kesejarahan dan hermeneutika. Khaled mencontohkan, dalam pembacaan teks agar tidak terjadi sikap sewenang-wenang terhadap teks misalnya, seorang pembaca mesti menunjukkan susunan teks dan bukti-bukti yang ditemukannya secara utuh, termasuk teks-teks yang bertentangan dan berseberangan. Setelah pembaca itu menganalisis teks atau bukti-bukti yang ditemukannya, ia kemudian memisahkan penafsirannya dari teks itu. Pembaca bisa membuat jarak dengan istilah-istilah seperti “saya berpendapat”, atau “barangkali” atau “tampaknya”, dan semacamnya. Dengan begitu teks akan tetap otoritatif.[42]
Teks harus dipahami dengan melihat kepada konteks kesejarahannya agar bisa diketahui pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan Tuhan dalam teks itu. Dengan demikian, mengetahui sebab yang memunculkan turunnya sebuah teks itu menjadi penting, seperti dalam kasus ayat hijab, misalnya. Begitu pula, ketika teks itu dalam bentuk hadis Nabi, maka perlu dilihat pula konteks kesejarahan hadis itu, agar bisa dipahami apa pesan yang ingin disampaikannya, seperti, siapa yang mengatakan hadis itu, dalam konteks apa, siapa yang menjadi sasaran target hadis itu, dan begitu seterusnya. Jika yang mengucapkan itu Nabi, maka dalam konteks masyarakat seperti apa Nabi menyatakannya. Jika hadis itu kemudian ditransmisikan oleh sahabat atau tabi‘in, maka siapa yang meriwayatkannya, dalam konteks apa, apa ideologi dan kepentingan dan konteks si perawi, dan seterusnya. Begitu pula, perlu dianalisis pemahaman komunitas penafsir terhadap peran Nabi dalam proses tersebut.[43] Wal hasil, menyikapi sebuah teks dengan rasional-kritis, tanpa membabi buta, dan dengan pendekatan kesejarahan, lebih akan mengantarkan kepada pesan yang diinginkan teks itu.
Untuk mempermudah, dalam kaitan dengan gagasan Khaled ini menurut perspektif sosiologi pengetahuan, dapat dibuat skema sebagai berikut:


IV. Penutup
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Muslim moderat adalah penting dalam menghambat arus puritanisme yang makin marak pada era kontemporer ini. Muslim moderat tentunya perlu memahami Islam dan segala tradisi intelektualnya dalam melakukan hal itu. di sini, perlu menggunakan alat-alat bantu untuk memahami pesan-pesan yang terdapat dalam teks seperti ilmu-ilmu sosial kontemporer dan humaniora, selain tentunya perangkat metodologi ilmu keislaman klasik. Metode rasional-kritis, pendekatan kesejarahan dan hermeneutis menjadi penting untuk mengetahui teks, karena teks turun dalam konteks historisnya. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah memahami pesan-pesan moral apa yang sebenarnya dikehendaki teks. Dengan demikian, masing-masing tafsiran menjadi relatif, dan klaim kebenaran yang seringkali berbuntut pada kekerasan akan dihindarkan. Malah yang akan terbentuk adalah wacana keilmuan yang bebas dan dinamis, sehingga bisa tercipta suatu peradaban yang tinggi. Jika semua individu Muslim telah sampai kepada tahapan ini dalam keberagamaannya, maka cita-cita terbentuknya masyarakat Muslim yang moderat, cerdas, kreatif, penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi seluruh alam akan menjadi kenyataan. Wa-llâhu a‘lam bi al-sawâb.
V.  Bibliografi
Ahmed, Akbar S.,  Living Islam: From Samarkand to Stornoway, Victoria: Penguin Books 1995
Bagader, Abubaker,  “Contemporary Islamic Movements in the Arab World” in Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan (eds), Islam, Globalization and Postmodernity, London dan New York: Routledge, 1994
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, London: Penguin Books, 1966
Esposito, John L., Islam: the Straight Path, New York and Oxford: Oxford University Press, 1988
Fadl, Khaled Abou El, The Place of Tolerance in Islam, Boston: Beacon Press, 2002
--------, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilisations”, Global Dialogue, Vol 4, No 2, (Spring 2002), 1-16. Artikel dapat diakses pada http://www.scholarofthehouse.org/orofmodandcl.html
--------, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, Terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2002
--------, “The Human Rights Commitment in Modern Islam” dalam Joseph Runzo dan Nancy M. Martin (eds), Human Rights and Responsibilities in the World Religions, Oxford: Oneworld, 2003
--------, “The Ugly Modern and The Modern Ugly: Reclaiming The Beautiful in Islam” Progressive Moslems: on Justice, Gender and Pluralism, Oxford: Oneworld, 2003
--------, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam. Terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003
--------, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004
--------, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustafa, Edisi ke-1, Jakarta: Serambi, 2007
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Ke-2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Antara Pikiran dan Politik, Terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Markham, Ian dan Ibrahim M. Abu-Rabi‘, 11 September: Religious Perpectives on the Causes and Consequences, Oxford: Oneworld, 2002
Muhsin, Amina Wadud, Inside Gender Jihad: Women‘s Reform in Islam, Oxford: Oneworld, 2006
Nash, Manning, “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia” in Fundamentalisms Observed, Martin E. Marty and R. Scott Appleby (eds), Chicago dan London: the University of Chicago Press, 1991
Piscatory, James P., “The Nature of the Islamic Revival” dalam Islam in a World of Nation-States, New York: Cambridge University Press, 1986
Sayyid, Bobby S., A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, London and New York: Zed Books, 1997

Artikel sudah diterbitkan oleh Jurnal Ushuluddin, IAIN Antasari Banjarmasih, Vol. 8, No. 1, Januari 2009


[1] Lihat Ian Markham dan Ibrahim M. Abu-Rabi‘, 11 September: Religious Perpectives on the Causes and Consequences, (Oxford: Oneworld, 2002).
[2] Lihat Amina Wadud Muhsin, Inside Gender Jihad: Women‘s Reform in Islam, (Oxford: Oneworld, 2006).
[3] Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, (London: Penguin Books, 1966), 16; Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Ke-2, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 200; Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Antara  Pikiran dan Politik, Terj. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 3.
[4] Khaled Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam. Terj. Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi, 2003), 18.
[5] Edisi bahasa Indonesia, Toleransi dalam Islam (Mizan, 2003).
[6] Edisi bahasa Indonesia, Musyawarah Buku (Serambi, 2002).
[7] Edisi bahasa Indonesia, Melawan Tentara Tuhan (Serambi, 2003).
[8] Edisi bahasa Indonesia, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif  (Serambi, 2004).
[9] Edisi bahasa Indonesia, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Serambi, 2007).
[10] John L. Esposito, Islam: the Straight Path, (New York and Oxford: Oxford University Press, 1988).
[11] Bobby S. Sayyid, A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, (London and New York: Zed Books, 1997).
[12] Abubaker Bagader,  “Contemporary Islamic Movements in the Arab World” dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan (eds), Islam, Globalization and Postmodernity, London dan New York: Routledge, 1994), 119-120; James P. Piscatory, “The Nature of the Islamic Revival” dalam Islam in a World of Nation-States, (New York: Cambridge University Press, 1986); Manning Nash, “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia” in Fundamentalisms Observed, Martin E. Marty and R. Scott Appleby (eds) (Chicago dan London: the University of Chicago Press, 1991).
[13] Lihat Akbar S. Ahmed,  Living Islam: From Samarkand to Stornoway, (Victoria: Penguin Books 1995), 10.
[14] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustafa, Edisi ke-1, (Jakarta: Serambi, 2007), 30-31.
[15] Sebelumnya, benih-benih awal gerakan yang berorientasi puritan dapat dilacak pula akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut ‘Alî bin Abî Tâlib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa ‘Alî bin Abî Tâlib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai). Lihat Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam, (Boston: Beacon Press, 2002), 6.
[16] Fadl, Selamatkan .., 121.
[17] Khaled Abou El Fadl, “The Human Rights Commitment in Modern Islam” dalam Joseph Runzo dan Nancy M. Martin (eds)., Human Rights and Responsibilities in the World Religions, (Oxford: Oneworld, 2003), 308-309.
[18] Ibid., 309.
[19] Untuk lebih jelasnya, lihat uraian Khaled tentang pelbagai isu ini dalam Selamatkan Islam …, 217-329.
[20] Fadl, Human Rights …, 308.
[21] Khaled Abou El Fadl, “The Ugly Modern and The Modern Ugly: Reclaiming The Beautiful in Islam” Progressive Moslems: on Justice, Gender and Pluralism, (Oxford: Oneworld, 2003), 46-7.
[22] Ibid., 47.
[23] Ibid., 48.
[24] Ibid., 57-58.
[25] Ibid., 60; Khaled Abou El Fadl, “The Orphans of Modernity and the Clash of Civilisations”, Global Dialogue, Vol 4, No 2, (Spring 2002), 1-16. Artikel dapat diakses pula pada http://www.scholarofthehouse.org/orofmodandcl.html.
[26] Fadl, Ugly Modern …, 60-61.
[27] Fadl, Selamatkan …, 125.
[28] Fadl, Ugly Modern …, 53-4; Fadl, Selamatkan …, 89-90.
[29] Fadl, Selamatkan .., 127.
[30] Fadl, Ugly Modern …, 55.
[31] Kata ini banyak disamakan dengan kata-kata seperti modernis, reformis, dan progresif. Bahkan ada yang menyamakannya dengan Islam liberal, dan istilah ini yang lebih luas digunakan dalam diskursus pemikiran Islam. Abou Fadl, lebih cenderung menggunakan istilah moderat, meskipun dalam sebuah buku, Progressive Moslems: on Justice, Gender and Pluralism, ia dimasukkan ke dalam kubu Muslim progresif, dan bahkan ia menyumbang sebuah tulisan dalam buku itu.
[32] Fadl, Selamatkan …, 130.
[33] Ibid., 133.
[34] Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, Terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2002), 15.
[35] Ibid., 20.
[36] Fadl, Melawan …, 153.
[37] Fadl, Place …, 14.
[38] Fadl, Melawan…, 161.
[39] Ibid., 162.
[40] Ibid., 158.
[41] Ibid., 156.
[42] Ibid., 97.
[43] Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Hakim, (Jakarta: Serambi, 2004), 163-64.

Tidak ada komentar: